Cerita Silat | Imam Tanpa Bayangan II | oleh Xiao Say | Imam Tanpa Bayangan II | Cersil Sakti | Imam Tanpa Bayangan II pdf
Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana
"DI ATAS LOTENG!" sahut dayang itu dengan sikap hormat, ia segera menyingkir ke samping. Wie Chin Siang tersenyum ringan, dengan cepat ia melangkah masuk ke dalam loteng Coei Hoa Loo. Di bawah sorot cahaya lampu tampaklah sebuah permadani merah menutupi lantai dari depan pintu hingga atas loteng, di sisi pintu berdirilah empat orang dayang berbaju hijau yang menyoren pedang menghalangi jalan perginya. Wie Chin Siang tetap melangkah naik dengan sikap tenang, melihat kehadiran gadis cantik ini ke-empat orang dayang itu tunjukkan sikap tercengang, delapan sorot mata menatap wajah tetamunya tanpa berkedip, rupanya mereka merasa terpesona oleh kecantikan orang. "Tolong berilah laporan kepada majikan kalian, katakan saja boanpwee Wie Chin Siang ada persoalan hendak menjumpai dirinya..." kata gadis itu sambil tersenyum. "Majikan kami tidak suka menemui tamu," tolak seorang dayang yang berdiri di sisi Wie Chin Siang dengan nada ketus. "Kecuali kalau kau adalah satu- satu dari dua jenis manusia, maka dia baru akan menjumpai dirimu..." "Dua jenis manusia? Dua jenis yang bagaimana?" tanya gadis itu dengan wajah tertegun. Dayang tadi tertawa dingin. "Pertama adalah sahabat yang mendapat kartu undangan, dan kedua adalah gadis cantik yang datang kemari karena memperoleh pilihan! Kau termasuk jenis yang pertama atau kedua?" "Kedua-duanya bukan!" Begitu mendengar pihak lawan bukanlah rekan sealiran yang diundang datang oleh majikannya, air muka ke-empat orang dayang itu seketika diliputi oleh napsu membunuh, terdengar dayang yang buka suara tadi segera mendengus dingin dan menegur : "Bagaimana caramu memasuki tempat ini?" Setelah merandek sejenak ia berpaling ke arah rekannya dan menambahkan : "Coen Lan, cepat keluar dan periksa bocah penjaga pintu itu, kalau mereka berdua berani secara pribadi memasukkan orang luar ke dalam loteng Coei-Hoa- Loo ini, bunuh lebih dahulu kemudian baru laporkan kepada majikan..." Seorang dayang menerima perintah dan segera meloncat turun dari atas loteng, sebelum Wie Chin Siang sempat mengambil keputusan apakah ia akan menerjang masuk ke dalam secara kekerasan atau memancing kemunculan si Tangan Sakti Berbaju Biru dengan akal, dari kejauhan terdengar jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang datang, rupanya ke-dua orang bocah lelaki tadi sudah mati di tangan Coen Lan. Diam-diam Wie Chin Siang menghela napas panjang, ia tidak menyangka kalau peraturan dari si Tangan Sakti Berbaju Biru demikian ketatnya, hanya disebabkan memasukkan seseorang ke dalam wilayah mereka, ke-dua orang yang tidak bersalah itu telah dibinasakan. Dalam hati segera pikirnya : "Pada saat ini sekeliling tempat ini sudah tersebar jago lihay yang amat banyak, jejak mereka begitu rahasia dan misterius, jelas si Tangan Sakti Berbaju Biru bukanlah manusia dari kalangan lurus, sungguh tak nyana suhu bisa mengadakan hubungan dengan manusia semacam ini." Belum habis ia berpikir, tampaklah Coen Lan telah balik ke atas loteng, setelah melirik sekejap ke arah Wie Chin Siang dengan pandangan dingin dengan sikap yang sangat hormat ia menjura kepada pemimpinnya yakni si dayang berbaju hijau tadi, lapornya : "Menurut laporan dari para boach penjaga pintu, perempuan ini menerjang masuk ke dalam dengan andalkan kepandaian silatnya. Aku benci mereka berdua di hari-hari biasa terlalu lalaikan ilmu silat yang telah diwariskan kepada mereka, maka kupenggal sebuah lengan mereka..." Ucapan ini diutarakan dengan enteng dan seenaknya, sama sekali tidak ada perasaan di dalam hatinya bahwa memotong lengan orang adalah suatu perbuatan yang melanggar peri kemanusiaan, hal ini membuktikan bahwasanya ke-empat dayang ini sudah terbiasa menyaksikan perbuatan-perbuatan menyeramkan semacam itu sehingga lama kelamaan timbul pendapat dalam hati mereka bahwa berbuat demikian bukanlah suatu perbuatan yang melanggar peri kemanusiaan. Darah panas yang bergolak dalam dada Wie Chin Siang kontan bergelora dengan hebatnya, hawa napsu membunuh terlintas di atas wajahnya, bibir yang kecil segera tersungging satu senyuman dingin yang menggidikkan hati. Ia tertawa dingin lalu berkata : "Terhadap dua orang bocah yang tidak tahu urusan pun kalian begitu tega untuk turun tangan keji. "Hmmm1 Sungguh memalukan kalau kalian disebut kaum wanita. Aku betul-betul tidak mengerti, hati kalian sebenarnya hati manusia ataukah hati serigala..." "Heeeeh... heeeh... heeeh... kalau kami kaum wanita semuanya mempunyai perasaan belas kasih serta lemah lembut seperti kau, kaum pria yang ada di kolong langit tentu sudah menunggang di atas kepala kita semua. Justru kami berbuat demikian agar semua orang tahu bahwa kaum wanita bukanlah makhluk lemah yang bisa dipermainkan serta diinjak-injak seenaknya, sebaliknya masih mempunyai banyak bagian yang jauh lebih kuat dari kaum pria lainnya..." Didahului dengan perkataan yang masuk di akal seperti ini untuk beberapa saat lamanya Wie Chin Siang jadi gelagapan, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab perkataan orang. Tapi ia pun tahu bahwa keadaannya pada hari ini sangat berbahaya sekali, bahaya jauh lebih banyak dari kemujuran maka gadis ini pun bersiap sedia untuk melakukan penyerangan. Tapi sebelum ia sempat bergerak mendadak terdengar suara irama musik yang merdu berkumandang datang dari tempat kejauhan, sungguh tak nyana si Tangan Sakti Berbaju Biru bukan saja adalah seorang seniman yang suka akan ketenangan serta keindahan bunga, bahkan merupakan seorang ahli pula di dalam permainan kecapi. Wie Chin Siang segera pusatkan perhatiannya untuk mendengarkan irama musik itu, kemudian tanyanya : "Apakah majikan kalian sedang menjamu tetamu?" Coen Lan mendengus dingin. "Asal kau bisa menerjang keluar dari penjagaan kami, majikan kami dengan sendirinya akan menjumpai dirimu." Wie Chin Siang tertawa dingin. "Bagus, kalau demikian adanya terpaksa aku harus menyusahkan kalian semua!" serunya. Sang badan segera bergerak ke depan, pedangnya bergetar kencang menciptakan selapis cahaya dingin, yang menggidikkan hati, diiringi desiran angin tajam senjata tersebut langsung menyerang ke arah empat orang dayang itu memaksa ke-empat orang tadi terdesak mundur dua langkah ke belakang. Air muka Coen Lan kontan berubah hebat. "Aaaaah! Tidak salah kalau kau berani mencari gara- gara di atas loteng Coei Hoa Loo ini, kiranya kau pun seorang jago silat yang sangat terlatih!" Mereke semua merupakan jago-jago lihay yang telah memperoleh didikan yang sangat keras, setelah terdesak mundur oleh serangan kilat dari Wie Chin Siang tadi dengan cepat ke-empat orang itu telah membenahi diri sendiri. Dalam waktu singkat sebuah barisan yang kokoh dan kuat telah terbentuk, empat kilas cahaya pedang yang tajam dan menyilaukan mata dengan menciptakan beribu-ribu jalur cahaya yang kuat dan kokoh segera membentuk selapis dinding pertahanan yang kuat di hadapan mereka berempat. Dalam posisi yang demikian ketat serta kuatnya ini, bukan masalah yang gampang bagi Wie Chin Siang untuk menyerang masuk ke dalam barisan itu, apalagi untuk bertemu dengan si Tangan sakti berjubah biru pemilik dari loteng Coei Hoa Loo ini. Bagian 22 MASING-masing pihak saling bergebrak puluhan jurus banyaknya, tetapi menang kalah masih susah untuk ditentukan. Mendadak Wie Chin Siang membentak keras : "Tahan!" Mendengar bentakan itu dayang yang memiliki kepandaian silat paling lihay itu tampak tertegun dan tanpa sadar telah menghentikan serangannya, di saat ia masih melengak itulah Wie Chin Siang menggerakkan tubuhnya menerobos masuk ke dalam. Seraya membalingkan pedangnya di tengah udara ia berseru : "Kalian sudah menderita kalah!" Ke-empat orang dayang itu semakin tertegun, saat itulah ujung pedang lawan telah menyapu tiba. Untuk menghindar sudah tak sempat lagi, diiringi bentakan gusar di atas pakaian masing-masing orang telah bertambah dengan sebuah babatan panjang yang merobekkan baju mereka. "Hmmm, kau gunakan akal licik..." teriak Coen Lan dengan nada gusar bercampur penasaran. "Dalam suatu pertarungan, siasat licik paling diutamakan, aku tahu bahwa untuk menangkan kalian bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, oleh karena itu terpaksa aku harus gunakan sedikit siasat kecil membohongi kalian, dan sekarang kalian tertipu, hal ini harus disalahkan kalau pengalaman kalian di dalam menghadapi musuh terlalu cetek, siapa suruh kalian terlalu mempercayai perkataan lawan!" Walaupun ke-empat dayang itu merasa bahwa cara yang digunakan lawannya kurang jujur dan terlalu licik, tapi setelah merasakan bahwa ucapan dara itu memang merupakan suatu kenyataan yang tak bisa dibantah, maka mereka berempat hanya bisa saling berpandangan tanpa sanggup melakukan sesuatu perbuatan. Sebuah kain horden yang panjang dan berwarna hijau tergantung hingga menjuntai lantai, dari balik horden tersebut Wie Chin Siang merasa bahwa cahaya lampu menerangi seluruh ruangan. Di tengah sebuah ruangan yang luas, empat batang lampu lilin memancarkan cahaya terang, di balik dinding tembok terlihat pantulan cahaya yang memperlihatkan beberapa sosok bayangan manusia sedang berbicara dan tertawa dan suara yang keras. Seorang Siucay berusia pertengahan yang memakai jubah berwarna biru duduk dengan gagahnya di depan meja, waktu ia sedang minum arak dengan lahapnya, di kedua belah sisinya masing-masing mendampingi seorang gadis cantik yang berwajah genit. Pakaian sutera berwarna merah yang tipis memperlihatkan sepasang paha mereka yang putih bersih, membuat orang yang memandang terasa ikut terpesona. Wie Chin Siang hampir saja dibikin gugup dan tidak tenang hatinya setelah menyaksikan tingkah pola yang genit yang merangsang dari ke-dua orang gadis jalang itu, buru-buru ia berusaha menenangkan hatinya kemudian perlahan-lahan maju ke depan menghampiri siucay berbaju biru itu. Ketika merasakan ada orang asing yang muncul di dalam ruangan itu, ke-dua orang gadis jalang tadi segera menghentikan tingkah polanya dan bersama- sama alihkan sinar matanya ke arah tubuh Wie Chin Siang, dibalik sorot matanya yang tertera jelas sikap permusuhan yang tebal, seolah-olah mereka telah memandang gadis she Wie ini sebagai musuh besarnya yang terikat dendam sedalam lautan. "Kau kemarilah!" tampak si Tangan Sakti Berbaju Biru menggape ke arah dara she Wie itu. Ketika ke-dua orang gadis jalang itu menyaksikan majikan mereka secara tiba-tiba memanggil dara berbaju putih itu menghadap, wajah mereka segera berubah hebat, dengan wajah penuh napsu membunuh gadis gemuk yang ada di sebelah kiri segera meloncat bangun, kemudian sambil tertawa terkekeh-kekeh ujarnya kepada Wie Chin Siang : "Eeei kenapa? Adik kecil, apakah kau pun ada maksud berebutan majikan dengan kami Siang Bong Jie Kiauw..." Sembari berkata badannya melayang ke depan, jari tangannya dengan menciptakan selapis bayangan tajam langsung menyodok ke arah dada Wie Chin Siang diikuti segulung bau harum yang amat menusuk penciuman menyebar ke dalam hidungnya membuat dara itu merasa tersentak kaget. Mimpi pun Wie Chin Siang tak pernah menyangka kalau ia bakal diserang dengan cara yang begitu keji dan berat oleh seorang gadis yang baru saja ditemuinya untuk pertama kali. Dengan sebat Wie Chin Siang mengigos ke samping lalu sambil melancarkan satu serangan balasan serunya : "Eeei... sebenarnya apa maksudmu?" Perempuan itu tertawa terkekeh-kekeh, suaranya keras dan membetot sukma, terhadap pertanyaan yang diajukan Wie Chin Siang bukan saja tidak dijawab sebaliknya serangan yang dilancarkan makin lama semakin dahsyat dan hebat, semua gerakannya merupakan serangan mematikan yang mana tentu saja memaksa Wie Chin Siang jadi keteter dan hanya bisa menghindar ke sana berkelit kemari. Dalam pada itu ketika perempuan jalang tadi menyaksikan tujuh delapan buah serangannya berhasil dihindari semua oleh lawannya, napsu membunuh yang terlintas di atas wajahnya semakin menebal, suara tertawanya makin lama makin keras, sambil merangsek lebih ke depan jengeknya seraya tertawa dingin : "Ayoh balas, kenapa kau tidak membalas seranganku? Kalau cuma bisanya menghindar bukan terhitung seorang enghiong yang patut dikagumi..." Bahunya bergerak cepat, mendadak telapak kirinya mengirim satu pukulan kilat yang maha dahsyat. Sejak memasuki loteng Coei Hoa Loo tadi Wie Chin Siang sudah merasakan hatinya mangkel, mendongkol bercampuran penasaran, sekarang setelah dilihatnya perempuan jalang itu meneter dirinya terus menerus tanpa memberi kesempatan baginya untuk berbicara,hawa amarahnya kontan memuncak dan sukar dikendalikan lagi. Sambil mendengus gusar serunya : "Hmm, kau jangan anggap aku betul-betul jeri kepadamu. Nah, rasakanlah sebuah pukulan mautku!" Dengan menghimpun segenap tenaga lweekang yang dimilikinya ia segera sambut datangnya serangan lawan dengan keras lawan keras. Bluuum...! Suatu ledakan yang amat dahsyat segera menggeletar di dalam ruangan itu membuat tubuh mereka berdua sama-sama tergetar mundur tiga langkah ke belakang masing-masing pihak sama- sama merasa terkejut akan kesempurnaan tenaga lweekang orang. Sejak pertarungan mati-matian itu berlangsung hingga berakhir, si Tangan Sakti Berbaju Biru hanya menonton jalannya pertempuran itu dari samping, tak sepatah kata pun yang diucapkan. Kini secara tiba-tiba ia bangkit berdiri dan ujarnya sambil tersenyum : "Harap kalian berdua segera berhenti bertarung!" Ia merandek sejenak, kemudian sambil berjalan menghampiri Wie Chin Siang katanya lagi : "Siapa pun yang berada di loteng Coei Hoa Loo, dia terhitung sahabat karib loohu!" Sambil menarik tangan gadis she Wie itu ujarnya lagi seraya menuding ke arah gadis jalang yang baru saja bergebrak dengan dirinya : "Dia adalah loo toa dari Siang Beng Jie Kiauw, sepasang gadis ayu pembuat impian So Siauw Yan, sedang yang itu adalah sang Loo jie So Leng Yan, nona, dan kau sendiri siapa namamu?" Siang Bong Jie Kiauw tertawa dingin tiada hentinya, mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun. "Boanpwee bernama Wie Chin Siang!" dara itu memperkenalkan diri. Dengan pandangan mata tajam laksana sebilah pisau belati si Tangan Sakti Berbaju Biru menatap wajah Wie Chin Siang tajam-tajam, lalu tanyanya lagi. "Siapakah gurumu? Kalau dilihat dari gerakan ilmu silat yang kau pergunakan di dalam pertarungan tadi rupa-rupanya mirip dengan kepandaian seorang sahabat karibku..." Wie Chin Siang tersenyum.
Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana
"DI ATAS LOTENG!" sahut dayang itu dengan sikap hormat, ia segera menyingkir ke samping. Wie Chin Siang tersenyum ringan, dengan cepat ia melangkah masuk ke dalam loteng Coei Hoa Loo. Di bawah sorot cahaya lampu tampaklah sebuah permadani merah menutupi lantai dari depan pintu hingga atas loteng, di sisi pintu berdirilah empat orang dayang berbaju hijau yang menyoren pedang menghalangi jalan perginya. Wie Chin Siang tetap melangkah naik dengan sikap tenang, melihat kehadiran gadis cantik ini ke-empat orang dayang itu tunjukkan sikap tercengang, delapan sorot mata menatap wajah tetamunya tanpa berkedip, rupanya mereka merasa terpesona oleh kecantikan orang. "Tolong berilah laporan kepada majikan kalian, katakan saja boanpwee Wie Chin Siang ada persoalan hendak menjumpai dirinya..." kata gadis itu sambil tersenyum. "Majikan kami tidak suka menemui tamu," tolak seorang dayang yang berdiri di sisi Wie Chin Siang dengan nada ketus. "Kecuali kalau kau adalah satu- satu dari dua jenis manusia, maka dia baru akan menjumpai dirimu..." "Dua jenis manusia? Dua jenis yang bagaimana?" tanya gadis itu dengan wajah tertegun. Dayang tadi tertawa dingin. "Pertama adalah sahabat yang mendapat kartu undangan, dan kedua adalah gadis cantik yang datang kemari karena memperoleh pilihan! Kau termasuk jenis yang pertama atau kedua?" "Kedua-duanya bukan!" Begitu mendengar pihak lawan bukanlah rekan sealiran yang diundang datang oleh majikannya, air muka ke-empat orang dayang itu seketika diliputi oleh napsu membunuh, terdengar dayang yang buka suara tadi segera mendengus dingin dan menegur : "Bagaimana caramu memasuki tempat ini?" Setelah merandek sejenak ia berpaling ke arah rekannya dan menambahkan : "Coen Lan, cepat keluar dan periksa bocah penjaga pintu itu, kalau mereka berdua berani secara pribadi memasukkan orang luar ke dalam loteng Coei-Hoa- Loo ini, bunuh lebih dahulu kemudian baru laporkan kepada majikan..." Seorang dayang menerima perintah dan segera meloncat turun dari atas loteng, sebelum Wie Chin Siang sempat mengambil keputusan apakah ia akan menerjang masuk ke dalam secara kekerasan atau memancing kemunculan si Tangan Sakti Berbaju Biru dengan akal, dari kejauhan terdengar jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang datang, rupanya ke-dua orang bocah lelaki tadi sudah mati di tangan Coen Lan. Diam-diam Wie Chin Siang menghela napas panjang, ia tidak menyangka kalau peraturan dari si Tangan Sakti Berbaju Biru demikian ketatnya, hanya disebabkan memasukkan seseorang ke dalam wilayah mereka, ke-dua orang yang tidak bersalah itu telah dibinasakan. Dalam hati segera pikirnya : "Pada saat ini sekeliling tempat ini sudah tersebar jago lihay yang amat banyak, jejak mereka begitu rahasia dan misterius, jelas si Tangan Sakti Berbaju Biru bukanlah manusia dari kalangan lurus, sungguh tak nyana suhu bisa mengadakan hubungan dengan manusia semacam ini." Belum habis ia berpikir, tampaklah Coen Lan telah balik ke atas loteng, setelah melirik sekejap ke arah Wie Chin Siang dengan pandangan dingin dengan sikap yang sangat hormat ia menjura kepada pemimpinnya yakni si dayang berbaju hijau tadi, lapornya : "Menurut laporan dari para boach penjaga pintu, perempuan ini menerjang masuk ke dalam dengan andalkan kepandaian silatnya. Aku benci mereka berdua di hari-hari biasa terlalu lalaikan ilmu silat yang telah diwariskan kepada mereka, maka kupenggal sebuah lengan mereka..." Ucapan ini diutarakan dengan enteng dan seenaknya, sama sekali tidak ada perasaan di dalam hatinya bahwa memotong lengan orang adalah suatu perbuatan yang melanggar peri kemanusiaan, hal ini membuktikan bahwasanya ke-empat dayang ini sudah terbiasa menyaksikan perbuatan-perbuatan menyeramkan semacam itu sehingga lama kelamaan timbul pendapat dalam hati mereka bahwa berbuat demikian bukanlah suatu perbuatan yang melanggar peri kemanusiaan. Darah panas yang bergolak dalam dada Wie Chin Siang kontan bergelora dengan hebatnya, hawa napsu membunuh terlintas di atas wajahnya, bibir yang kecil segera tersungging satu senyuman dingin yang menggidikkan hati. Ia tertawa dingin lalu berkata : "Terhadap dua orang bocah yang tidak tahu urusan pun kalian begitu tega untuk turun tangan keji. "Hmmm1 Sungguh memalukan kalau kalian disebut kaum wanita. Aku betul-betul tidak mengerti, hati kalian sebenarnya hati manusia ataukah hati serigala..." "Heeeeh... heeeh... heeeh... kalau kami kaum wanita semuanya mempunyai perasaan belas kasih serta lemah lembut seperti kau, kaum pria yang ada di kolong langit tentu sudah menunggang di atas kepala kita semua. Justru kami berbuat demikian agar semua orang tahu bahwa kaum wanita bukanlah makhluk lemah yang bisa dipermainkan serta diinjak-injak seenaknya, sebaliknya masih mempunyai banyak bagian yang jauh lebih kuat dari kaum pria lainnya..." Didahului dengan perkataan yang masuk di akal seperti ini untuk beberapa saat lamanya Wie Chin Siang jadi gelagapan, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab perkataan orang. Tapi ia pun tahu bahwa keadaannya pada hari ini sangat berbahaya sekali, bahaya jauh lebih banyak dari kemujuran maka gadis ini pun bersiap sedia untuk melakukan penyerangan. Tapi sebelum ia sempat bergerak mendadak terdengar suara irama musik yang merdu berkumandang datang dari tempat kejauhan, sungguh tak nyana si Tangan Sakti Berbaju Biru bukan saja adalah seorang seniman yang suka akan ketenangan serta keindahan bunga, bahkan merupakan seorang ahli pula di dalam permainan kecapi. Wie Chin Siang segera pusatkan perhatiannya untuk mendengarkan irama musik itu, kemudian tanyanya : "Apakah majikan kalian sedang menjamu tetamu?" Coen Lan mendengus dingin. "Asal kau bisa menerjang keluar dari penjagaan kami, majikan kami dengan sendirinya akan menjumpai dirimu." Wie Chin Siang tertawa dingin. "Bagus, kalau demikian adanya terpaksa aku harus menyusahkan kalian semua!" serunya. Sang badan segera bergerak ke depan, pedangnya bergetar kencang menciptakan selapis cahaya dingin, yang menggidikkan hati, diiringi desiran angin tajam senjata tersebut langsung menyerang ke arah empat orang dayang itu memaksa ke-empat orang tadi terdesak mundur dua langkah ke belakang. Air muka Coen Lan kontan berubah hebat. "Aaaaah! Tidak salah kalau kau berani mencari gara- gara di atas loteng Coei Hoa Loo ini, kiranya kau pun seorang jago silat yang sangat terlatih!" Mereke semua merupakan jago-jago lihay yang telah memperoleh didikan yang sangat keras, setelah terdesak mundur oleh serangan kilat dari Wie Chin Siang tadi dengan cepat ke-empat orang itu telah membenahi diri sendiri. Dalam waktu singkat sebuah barisan yang kokoh dan kuat telah terbentuk, empat kilas cahaya pedang yang tajam dan menyilaukan mata dengan menciptakan beribu-ribu jalur cahaya yang kuat dan kokoh segera membentuk selapis dinding pertahanan yang kuat di hadapan mereka berempat. Dalam posisi yang demikian ketat serta kuatnya ini, bukan masalah yang gampang bagi Wie Chin Siang untuk menyerang masuk ke dalam barisan itu, apalagi untuk bertemu dengan si Tangan sakti berjubah biru pemilik dari loteng Coei Hoa Loo ini. Bagian 22 MASING-masing pihak saling bergebrak puluhan jurus banyaknya, tetapi menang kalah masih susah untuk ditentukan. Mendadak Wie Chin Siang membentak keras : "Tahan!" Mendengar bentakan itu dayang yang memiliki kepandaian silat paling lihay itu tampak tertegun dan tanpa sadar telah menghentikan serangannya, di saat ia masih melengak itulah Wie Chin Siang menggerakkan tubuhnya menerobos masuk ke dalam. Seraya membalingkan pedangnya di tengah udara ia berseru : "Kalian sudah menderita kalah!" Ke-empat orang dayang itu semakin tertegun, saat itulah ujung pedang lawan telah menyapu tiba. Untuk menghindar sudah tak sempat lagi, diiringi bentakan gusar di atas pakaian masing-masing orang telah bertambah dengan sebuah babatan panjang yang merobekkan baju mereka. "Hmmm, kau gunakan akal licik..." teriak Coen Lan dengan nada gusar bercampur penasaran. "Dalam suatu pertarungan, siasat licik paling diutamakan, aku tahu bahwa untuk menangkan kalian bukanlah suatu pekerjaan yang gampang, oleh karena itu terpaksa aku harus gunakan sedikit siasat kecil membohongi kalian, dan sekarang kalian tertipu, hal ini harus disalahkan kalau pengalaman kalian di dalam menghadapi musuh terlalu cetek, siapa suruh kalian terlalu mempercayai perkataan lawan!" Walaupun ke-empat dayang itu merasa bahwa cara yang digunakan lawannya kurang jujur dan terlalu licik, tapi setelah merasakan bahwa ucapan dara itu memang merupakan suatu kenyataan yang tak bisa dibantah, maka mereka berempat hanya bisa saling berpandangan tanpa sanggup melakukan sesuatu perbuatan. Sebuah kain horden yang panjang dan berwarna hijau tergantung hingga menjuntai lantai, dari balik horden tersebut Wie Chin Siang merasa bahwa cahaya lampu menerangi seluruh ruangan. Di tengah sebuah ruangan yang luas, empat batang lampu lilin memancarkan cahaya terang, di balik dinding tembok terlihat pantulan cahaya yang memperlihatkan beberapa sosok bayangan manusia sedang berbicara dan tertawa dan suara yang keras. Seorang Siucay berusia pertengahan yang memakai jubah berwarna biru duduk dengan gagahnya di depan meja, waktu ia sedang minum arak dengan lahapnya, di kedua belah sisinya masing-masing mendampingi seorang gadis cantik yang berwajah genit. Pakaian sutera berwarna merah yang tipis memperlihatkan sepasang paha mereka yang putih bersih, membuat orang yang memandang terasa ikut terpesona. Wie Chin Siang hampir saja dibikin gugup dan tidak tenang hatinya setelah menyaksikan tingkah pola yang genit yang merangsang dari ke-dua orang gadis jalang itu, buru-buru ia berusaha menenangkan hatinya kemudian perlahan-lahan maju ke depan menghampiri siucay berbaju biru itu. Ketika merasakan ada orang asing yang muncul di dalam ruangan itu, ke-dua orang gadis jalang tadi segera menghentikan tingkah polanya dan bersama- sama alihkan sinar matanya ke arah tubuh Wie Chin Siang, dibalik sorot matanya yang tertera jelas sikap permusuhan yang tebal, seolah-olah mereka telah memandang gadis she Wie ini sebagai musuh besarnya yang terikat dendam sedalam lautan. "Kau kemarilah!" tampak si Tangan Sakti Berbaju Biru menggape ke arah dara she Wie itu. Ketika ke-dua orang gadis jalang itu menyaksikan majikan mereka secara tiba-tiba memanggil dara berbaju putih itu menghadap, wajah mereka segera berubah hebat, dengan wajah penuh napsu membunuh gadis gemuk yang ada di sebelah kiri segera meloncat bangun, kemudian sambil tertawa terkekeh-kekeh ujarnya kepada Wie Chin Siang : "Eeei kenapa? Adik kecil, apakah kau pun ada maksud berebutan majikan dengan kami Siang Bong Jie Kiauw..." Sembari berkata badannya melayang ke depan, jari tangannya dengan menciptakan selapis bayangan tajam langsung menyodok ke arah dada Wie Chin Siang diikuti segulung bau harum yang amat menusuk penciuman menyebar ke dalam hidungnya membuat dara itu merasa tersentak kaget. Mimpi pun Wie Chin Siang tak pernah menyangka kalau ia bakal diserang dengan cara yang begitu keji dan berat oleh seorang gadis yang baru saja ditemuinya untuk pertama kali. Dengan sebat Wie Chin Siang mengigos ke samping lalu sambil melancarkan satu serangan balasan serunya : "Eeei... sebenarnya apa maksudmu?" Perempuan itu tertawa terkekeh-kekeh, suaranya keras dan membetot sukma, terhadap pertanyaan yang diajukan Wie Chin Siang bukan saja tidak dijawab sebaliknya serangan yang dilancarkan makin lama semakin dahsyat dan hebat, semua gerakannya merupakan serangan mematikan yang mana tentu saja memaksa Wie Chin Siang jadi keteter dan hanya bisa menghindar ke sana berkelit kemari. Dalam pada itu ketika perempuan jalang tadi menyaksikan tujuh delapan buah serangannya berhasil dihindari semua oleh lawannya, napsu membunuh yang terlintas di atas wajahnya semakin menebal, suara tertawanya makin lama makin keras, sambil merangsek lebih ke depan jengeknya seraya tertawa dingin : "Ayoh balas, kenapa kau tidak membalas seranganku? Kalau cuma bisanya menghindar bukan terhitung seorang enghiong yang patut dikagumi..." Bahunya bergerak cepat, mendadak telapak kirinya mengirim satu pukulan kilat yang maha dahsyat. Sejak memasuki loteng Coei Hoa Loo tadi Wie Chin Siang sudah merasakan hatinya mangkel, mendongkol bercampuran penasaran, sekarang setelah dilihatnya perempuan jalang itu meneter dirinya terus menerus tanpa memberi kesempatan baginya untuk berbicara,hawa amarahnya kontan memuncak dan sukar dikendalikan lagi. Sambil mendengus gusar serunya : "Hmm, kau jangan anggap aku betul-betul jeri kepadamu. Nah, rasakanlah sebuah pukulan mautku!" Dengan menghimpun segenap tenaga lweekang yang dimilikinya ia segera sambut datangnya serangan lawan dengan keras lawan keras. Bluuum...! Suatu ledakan yang amat dahsyat segera menggeletar di dalam ruangan itu membuat tubuh mereka berdua sama-sama tergetar mundur tiga langkah ke belakang masing-masing pihak sama- sama merasa terkejut akan kesempurnaan tenaga lweekang orang. Sejak pertarungan mati-matian itu berlangsung hingga berakhir, si Tangan Sakti Berbaju Biru hanya menonton jalannya pertempuran itu dari samping, tak sepatah kata pun yang diucapkan. Kini secara tiba-tiba ia bangkit berdiri dan ujarnya sambil tersenyum : "Harap kalian berdua segera berhenti bertarung!" Ia merandek sejenak, kemudian sambil berjalan menghampiri Wie Chin Siang katanya lagi : "Siapa pun yang berada di loteng Coei Hoa Loo, dia terhitung sahabat karib loohu!" Sambil menarik tangan gadis she Wie itu ujarnya lagi seraya menuding ke arah gadis jalang yang baru saja bergebrak dengan dirinya : "Dia adalah loo toa dari Siang Beng Jie Kiauw, sepasang gadis ayu pembuat impian So Siauw Yan, sedang yang itu adalah sang Loo jie So Leng Yan, nona, dan kau sendiri siapa namamu?" Siang Bong Jie Kiauw tertawa dingin tiada hentinya, mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun. "Boanpwee bernama Wie Chin Siang!" dara itu memperkenalkan diri. Dengan pandangan mata tajam laksana sebilah pisau belati si Tangan Sakti Berbaju Biru menatap wajah Wie Chin Siang tajam-tajam, lalu tanyanya lagi. "Siapakah gurumu? Kalau dilihat dari gerakan ilmu silat yang kau pergunakan di dalam pertarungan tadi rupa-rupanya mirip dengan kepandaian seorang sahabat karibku..." Wie Chin Siang tersenyum.