Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

I am Number Four - 4

$
0
0
Cerita Misteri | I am Number Four | oleh Pittacus Lore | I am Number Four | Sakti Cersil | I am Number Four pdf

Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana

KAMI BERHENTI UNTUK MEMBELI MAKANAN, bensin, dan ponsel baru. Kami berhenti di tempat pemberhentian truk. Di sana kami makan meatloaf, juga macaroni and cheese, salah satu dari sedikit hal yang menurut Henri jauh lebih baik daripada apa yang kami makan di Lorien. Saat kami makan, Henri membuat dokumen-dokumen baru di laptopnya, menggunakan nama baru kami. Ia akan mencetak dokumen-dokumen itu begitu kami tiba. Lalu tiba-tiba saja kami akan menjadi orang yang kami ciptakan itu. “Kau yakin dengan John Smith?” tanyanya. “Yeah.” “Kau lahir di Tuscaloosa, Alabama.” Aku tertawa. “Kau dapat ide itu dari mana?” Henri tersenyum dan member isyarat ke arah dua orang perempuan yang duduk beberapa meja dari kami. Keduanya tampak seksi. Salah satunya mengenakan kaus bertuliskan WE DO IT BETTER IN TUSCALOOSA. “Dan itu tujuan kita berikutnya,” kata Henri. “Mungkin kedengaran aneh, tapi kuharap kita tinggal di Ohio untuk waktu yang lama.” “Oh, ya? Kau suka Ohio?” “Aku suka dengan gagasan memiliki teman, pergi ke sekolah yang sama selama lebih dari beberapa bulan, dan mungkin memiliki kehidupan yang sesungguhnya. Aku mulai melakukan itu di Florida. Rasanya hebat. Dan untuk pertama kalinya sejak kita tiba di Bumi, aku merasa hampir normal. Aku ingin menemukan satu tempat dan tinggal di tempat itu seterusnya.” Henri tampak merenung. “Apa kau sudah melihat goresanmu hari ini?” “Belum, kenapa?” “Karena ini bukan tentang kau. Ini tentang keselamatan hidup bangsa kita, yang hampir sepenuhnya lenyap. Dan ini tentang menjagamu agar tetap hidup. Setiap kali salah satu dari kita mati―setiap kali salah satu dari kalian, para Garde, mati―kesempatan kita berkurang. Kau Nomor Empat. Kau yang berikutnya. Kau diburu oleh seluruh bangsa pembunuh kejam. Kita pergi begitu ada pertanda bahaya, tanpa banyak tanya.” Henri menyetir sepanjang waktu. Selain saat istirahat dan membuat dokumen-dokumen baru, perjalanan itu memakan waktu tiga puluh jam. Aku menghabiskan sebagian besar waktu dengan tidur atau bermain video game. Karena refleksku, aku bisa menguasai sebagian besar permainan itu dengan cepat. Paling lama, satu permainan kutaklukan dalam waktu satu hari. Aku paling suka permainan di ruang angkasa dan perang melawan alien. Aku berpura-pura berada di Lorien, melawan para Mogadorian, memotong-motong mereka, dan membuat mereka menjadi abu. Henri pikir itu aneh dan dia selalu berusaha mengecilkan hatiku. Dia bilang kita seharusnya hidup di dunia nyata, tempat perang dan kematian itu nyata, bukan pura-pura. Setelah menamatkan game terakhirku, aku menengadah. Aku bosan duduk di truk. Jam di dasbor menunjukkan 7:58. Aku menguap, menggosok mata. “Masih jauh?” “Hampir sampai,” kata Henri. Di luar gelap, tapi ada cahaya pucat di barat. Kami melewati pertanian dengan kuda dan ternak, lalu padang tandus, dan setelah itu, hanya pepohonan sejauh mata memandang. Ini tepat seperti yang Henri inginkan. Tempat yang sepi sehingga kami tidak menarik perhatian. Seminggu sekali Henri menjelajahi Internet selama enam, tujuh, atau delapan jam untuk memperbaharui daftar rumah sewaan di negara ini yang memenuhi kriterianya: terasing, di pedesaan, dapat langsung ditempati. Katanya ia harus menelepon empat kali―satu ke South Dakota, satu ke New Mexico, satu ke Arkansas―hingga akhirnya berhasil mendapatkan rumah kontrakan di tempat yang kami tuju. Beberapa menit kemudian kami melihat sekumpulan cahaya. Itu kota yang kami tuju. Kami melewati papan tanda yang bertuliskan: SELAMAT DATANG DI PARADISE, OHIO JUMLAH PENDUDUK 5.234 “Wow,” kataku. “Tempat ini lebih kecil daripada tempat tinggal kita di Montana.” Henri tersenyum. “Menurutmu ini paradise ‒ surga―bagi siapa?” “Sapi, mungkin? Orang-orangan sawah?” Kami melewati satu pom bensin tua, satu tempat cuci mobil, dan satu tempat pemakaman. Lalu rumah- rumah mulai terlihat. Rumah-rumah terbuat dari kayu dan berjarak sekitar sepuluh meter antara satu dengan lainnya. Dekorasi Halloween tergantung di jendela sebagian besar dari rumah-rumah itu. Trotoar membentang di depan pekarangan yang mengarah ke pintu depan. Bundaran lalu lintas berada di tengah kota. Di bagian tengahnya berdiri sebuah patung orang yang sedang duduk di atas kuda sambil memegang pedang. Henri berhenti. Kami memandang patung itu dan tertawa. Kami tertawa karena kami harap tidak ada orang lain dengan pedang yang akan muncul di tempat ini. Henri kemudian menjalankan mobil mengitari bundaran itu. Saat kami melewatinya, sistem navigasi GPS di dasbor member tahu kami untuk berbelok. Kami mengarah ke barat, ke luar kota. Kami berkendara sejauh enam setengah kilometer lalu belok kiri memasuki jalan berkerikil. Kemudian kami melewati lading yang baru dipanen―yang mungkin penuh dengan jagung pada musim panas―dan melintasi hutan lebat sejauh kira-kira satu setengah kilometer. Lalu kami menemukannya, di balik tumbuhan lebat, sebuah kotak surat berwarna perak yang sudah berkarat dengan huruf-huruf hitam di salah satu sisinya dan berbunyi 17 OLD MILL RD. “Rumah terdekat jaraknya 3 kilometer,” kata Henri sambil berbelok masuk. Rumput liar tumbuh di sepanjang jalan berkerikil, yang dipenuhi kubangan air berwarna kuning kecokelatan. Henri menghentikan truk dan mematikannya. “Mobil siapa itu?” tanyaku, menganggukkan kepala ke arah SUV hitam di depan kami. “Mungkin milik si agen properti.” Rumah itu dinaungi pepohonan. Dalam kegelapan, rumah itu tampak mengerikan, seolah siapa pun yang dulu tinggal di sana ketakutan hingga pergi, atau diusir, atau melarikan diri. Aku keluar dari truk. Mesin masih berdetak dan aku bisa merasakan panasnya. Aku mengambil tas dari truk dan berdiri sambil memegangnya. “Bagaimana menurutmu?” tanya Henri. Rumah itu hanya satu lantai. Terbuat dari kayu. Sebagian besar cat putihnya sudah mengelupas. Salah satu jendela depan rusak. Atapnya ditutupi oleh sirap hitam yang tampak bengkok dan rapuh. Kursi-kursi reyot bergelimpangan di atas tiga anak tangga yang mengarah ke beranda kecil. Halaman depannya sendiri panjang dan tampak berantakan. Pasti sudah lama sejak terakhir kali rumput dipotong. “Tampak seperti Paradise,” kataku. Kami berjalan bersama. Lalu seorang wanita pirang seusia Henri dan berpakaian rapi keluar dari pintu. Dia mengenakan setelan bisnis dan memegang papan kecil serta map. Blackberry digantungkan di bagian pinggang roknya. Perempuan itu tersenyum. “Mr. Smith?” “Ya,” jawab Henri. “Nama saya Annie Hart, agen dari Paradise Realty. Kita sudah bicara di telepon. Saya mencoba menghubungi Anda tadi, tapi tampaknya telepon genggam Anda dimatikan.” “Oh, benar. Baterainya habis dalam perjalanan kemari.” “Ah, saya benci jika itu terjadi,” kata perempuan itu. Dia berjalan ke arah kami dan menjabat tangan Henri. Perempuan itu menanyakan namaku dan aku memberitahunya, walaupun seperti biasanya sebenarnya aku tergoda untuk menjawab “Empat.” Saat Henri menandatangani kontrak, perempuan itu bertanya berapa usiaku. Lalu dia mengatakan bahwa dia memiliki seorang anak perempuan seusiaku yang bersekolah di SMA di tempat itu. Perempuan itu sangat ramah, bersahabat, dan jelas sangat suka mengobrol. Henri menyerahkan kontrak itu kembali. Kemudian kami bertiga masuk ke dalam rumah. Di dalam, sebagian besar perabotan ditutupi kain putih. Perabotan yang tidak ditutupi kain diselimuti lapisan debu tebal dan serangga mati. Kain kasa di jendela tampak rapuh jika disentuh dan tembok rumah itu ditutupi oleh papan tripleks murah. Ada dua kamar tidur, satu dapur berukuran sedang dengan lantai keramik berwarna hijau limau, serta satu kamar mandi. Ruang tamunya besar dan berbentuk persegi, terletak di bagian depan rumah. Ada perapian di ujung sana. Aku masuk dan melemparkan tasku ke atas tempat tidur di kamar yang kecil. Di kamar itu ada sebuah poster besar yang sudah pudar. Dalam poster itu tampak seorang pemain American football dengan seragam oranye cerah. Ia sedang melemparkan bola, dan tampaknya akan diremukkan oleh seorang lelaki raksasa berseragam hitam dan emas. Tulisannya BERNIE KOSAR, QUARTERBACK, CLEVELAND BROWNS. “Kemari dan ucapkan selamat jalan kepada Mrs. Hart,” teriak Henri dari ruang tamu. Mrs. Hart berdiri di pintu bersama Henri. Dia berkata bahwa aku harus menemui anaknya di sekolah, mungkin kami bisa berteman. Aku tersenyum dan berkata ya, itu pasti menyenangkan. Setelah Mrs. Hart pergi, kami langsung mengosongkan truk. Tergantung seberapa cepat kami meninggalkan suatu tempat, kami biasanya bepergian dengan tanpa membawa banyak barang―maksudnya hanya baju di badan, laptop Henri, dan Peti Loric berukir rumit yang selalu kami bawa ke mana pun kami pergi―atau dengan membawa sejumlah barang―biasanya komputer cadangan dan peralatan Henri, yang dia gunakan untuk membuat garis pertahanan dan mencari berita serta peristiwa yang mungkin berkaitan dengan kami di web. Kali ini kami membawa Peti Loric, dua komputer bertenaga besar, empat TV monitor, dan empat kamera. Kami juga membawa sejumlah pakaian, walaupun pakaian kami di Florida hanya sedikit yang sesuai dengan kehidupan di Ohio. Henri membawa Peti Loric ke kamarnya. Lalu kami mengangkut semua peralatan ke ruang bawah tanah. Henri akan memasangnya di sana sehingga tidak terlihat tamu. Setelah semua barang dimasukkan, Henri mulai memasang kamera dan menyalakan monitor. “Tidak ada saluran Internet sampai besok pagi. Tapi jika kau mau pergi ke sekolah besok, aku bisa mencetak semua dokumen barumu.” “Jika aku tinggal apakah itu artinya aku harus membantumu membersihkan dan merapikan tempat ini?” “Ya.” “Kalau begitu aku ke sekolah,” kataku. “Kalau begitu sebaiknya malam ini kau tidur yang nyenyak.”

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>