Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

I am Number Four - 6

$
0
0
Cerita Misteri | I am Number Four | oleh Pittacus Lore | I am Number Four | Sakti Cersil | I am Number Four pdf

Bendera Maut - Kwee Oen Keng Tongkat Setan - Seng Kie-Su Dewa Linglung - 29. Begal dari Gunung Kidul Fear Street - Terror di Akhir Pekan Pendekar Mabuk - 90. Kematian Sang Durjana

Aku membuka dan menutup tanganku. Telapak tanganku berkeringat dan mulai memanas. Aku menarik napas dalam sekali lagi. Pandanganku mengabur. Lima menit berlalu, kemudian sepuluh. Mrs. Burton masih berbicara tapi aku tidak mendengar apa yang dia katakan. Aku mengepalkan tangan, lalu membukanya kembali. Lalu napasku tercekat. Ada sinar yang keluar dari telapak tanganku. Aku memandangnya, heran, takjub. Setelah beberapa saat, sinar itu tampak semakin terang. Aku mengepalkan tangan. Awalnya aku takut ada sesuatu yang terjadi pada salah satu dari kami. Tapi apa yang mungkin terjadi? Kami tidak bisa dibunuh secara acak. Itu akibat mantra pelindung. Tapi apakah itu berarti mereka bisa disakiti dengan cara lain? Apakah tangan kanan seseorang dipotong? Aku tidak bisa mengetahuinya. Tapi jika sesuatu terjadi, aku pasti merasakannya pada goresan di pergelangan kakiku. Lalu aku sadar. Pasti ini kemunculan Pusaka pertamaku. Aku mengeluarkan ponsel dari tas dan mengirimkan pesan berbunyi KESINN, padahal aku ingin mengetik KE SINI. Aku terlalu pusing untuk mengetikkan kata- kata lain. Aku mengepalkan tangan dan meletakkannya di pangkuan. Tanganku sangat panas dan gemetar. Aku membuka tanganku. Telapak kiriku berwarna merah terang, tangan kananku masih bersinar. Aku melirik jam di dinding. Sebentar lagi kelas berakhir. Jika aku bisa keluar dari sini, aku bisa mencari ruangan kosong dan menelepon Henri lalu bertanya apa yang terjadi. Aku mulai menghitung detik demi detik: enam puluh, lima sembilan, lima delapan. Rasanya seolah sesuatu akan meledak di tanganku. Aku berkonsentrasi menghitung. Empat puluh, tiga sembilan. Sekarang tanganku terasa geli seolah jarum-jarum kecil ditusukkan ke dalam telapak tanganku. Dua delapan, dua tujuh. Aku membuka mata dan menatap ke depan, memandangi Sarah sambil berharap itu akan membuat pikiranku teralihkan. Lima belas, empat belas. Memandang Sarah malah membuatnya semakin parah. Sekarang jarum-jarum itu terasa seperti paku. Paku yang diletakkan di atas kompor dan dipanaskan hingga berpijar. Delapan, tujuh. Bel berbunyi. Aku langsung berdiri dan keluar kelas, bergegas melewati murid-murid lain. Aku merasa pusing, kakiku goyah. Aku terus berjalan di lorong dan tidak tahu harus ke mana. Aku bisa merasakan seseorang mengikutiku. Aku mengeluarkan jadwal pelajaran dari saku belakang dan mengecek nomor lokerku. Beruntung sekali, lokerku ada di kananku. Aku berhenti dan menyandarkan kepala di pintu logam lokerku. Aku menggelengkan kepala saat sadar bahwa tas dan ponselku tertinggal di kelas karena terburu-buru keluar. Lalu seseorang mendorongku. “Ada apa, Jagoan?” Aku terdorong beberapa langkah lalu menatap balik. Mark berdiri di sana, tersenyum ke arahku. “Ada masalah?” tanyanya. “Nggak,” jawabku. Kepalaku berputar. Aku merasa seperti akan pingsan. Dan tanganku seakan terbakar. Apa pun yang kualami sekarang justru terjadi pada saat yang salah. Mark mendorongku lagi. “Nggak begitu jago tanpa guru, ya?” Kakiku terlalu goyah. Aku tersandung kakiku sendiri dan jatuh. Sarah melangkah ke depan Mark. “Jangan ganggu dia,” katanya. “Ini nggak ada hubungannya denganmu,” kata Mark. “Yang benar saja. Kau melihat anak baru bicara denganku dan kau langsung berantem dengannya. Ini salah satu alasan kenapa kita putus.” Aku berusaha berdiri. Sarah menunduk untuk membantuku. Begitu ia menyentuhku, tanganku terasa terbakar dan kepalaku seolah disambar petir. Aku berbalik dan mulai berlari ke arah yang berlawanan dari kelas astronomi. Aku tahu semua orang akan berpikir bahwa aku pengecut karena melarikan diri, tapi aku merasa seperti akan pingsan. Aku akan berterima kasih kepada Sarah, dan mengurus Mark, nanti. Sekarang aku hanya perlu mencari ruangan dengan kunci di pintu. Aku tiba di ujung lorong, yang berpotongan dengan pintu masuk utama sekolah. Aku mengingat orientasi Mr. Harris, yang termasuk lokasi berbagai ruangan di sekolah. Jika aku tidak salah ingat, auditorium, ruangan marching band, dan ruangan seni ada di ujung lorong ini. Aku berlari menuju ruangan itu secepat yang kubisa. Di belakangku terdengar Mark berteriak kepadaku, dan Sarah berteriak kepada Mark. Aku membuka pintu pertama yang kutemukan dan menutupnya. Untung ada kuncinya, yang langsung aku putar. Aku berada di kamar gelap. Pita negatif film bergantungan. Aku jatuh ke lantai. Kepalaku berputar dan tanganku terbakar. Sejak pertama kali melihat cahayanya, tanganku selalu kukepalkan. Aku memandang kedua tanganku. Tangan kananku masih berpijar dan berdenyut. Aku mulai panik. Aku duduk di lantai, keringat membakar mataku. Kedua tanganku terasa sakit luar biasa. Aku tahu bahwa Pusakaku akan muncul. Namun aku tidak tahu bahwa aku harus mengalami ini. Aku membuka tanganku. Telapak kananku bersinar terang, cahayanya mulai mengumpul. Telapak kiriku berkelap- kelip redup dan panasnya tak tertahankan. Aku harap Henri di sini. Kuharap dia sedang ke sini. Aku menutup mata dan memeluk diriku. Aku berayun ke depan dan ke belakang di lantai, seluruh tubuhku sakit. Aku tidak tahu berapa lama waktu berlalu. Satu menit? Sepuluh menit? Bel bordering, menandakan jam pelajaran berikut dimulai. Aku bisa mendengar orang berbicara di luar. Pintu bergetar beberapa kali. Namun pintu itu dikunci dan tidak ada yang bisa masuk ke dalam. Aku terus berayun dengan mata dipejamkan rapat-rapat. Pintu terus diketuk. Suara- suara teredam yang tidak bisa kupahami. Aku membuka mata dan melihat pijaran di tanganku menyebabkan seluruh ruangan terang benderang. Aku mengepalkan tangan, mencoba menghalangi cahayanya, namun cahaya terus memancar dari sela- sela jariku. Lalu pintu itu mulai berguncang. Apa yang akan mereka pikirkan mengenai cahaya di tanganku? Tidak mungkin disembunyikan. Bagaimana aku menjelaskannya? “John? Buka pintunya―ini aku,” terdengar sebuah suara. Aku dibanjiri rasa lega. Suara Henri. Satu-satunya suara di muka bumi yang ingin kudengar.AKU MERANGKAK KE PINTU DAN MEMBUKA KUNCINYA. Pintu berayun terbuka. Henri mengenakan pakaian berkebun dan berlumuran kotoran, tampaknya tadi ia membereskan bagian luar rumah. Aku begitu senang melihatnya sehingga ingin meloncat dan memeluknya. Aku memang mencoba melakukan itu, tapi terlalu pusing sehingga terjatuh kembali ke lantai. “Semua baik-baik saja?” tanya Mr. Harris yang berdiri di belakang Henri. “Segalanya baik-baik saja. Tolong tinggalkan kami sebentar,” jawab Henri. “Apa perlu kupanggilkan ambulans?” “Tidak!” Henri masuk ke kamar gelap dan menutup pintu. Ia menunduk memandang tanganku. Cahaya di tangan kananku begitu terang sedangkan yang di tangan kiriku berkelap-kelip redup seolah sedang mengumpulkan keberanian. Henri tersenyum lebar. Wajahnya bersinar bagai mercusuar. “Ahh, terpujilah Lorien,” desahnya. Lalu Henri mengeluarkan sarung tangan kulit untuk berkebun dari saku belakangnya. “Beruntung sekali aku tadi sedang sibuk bekerja di halaman. Pakai ini.” Aku memakai sarung tangan yang langsung menyembunyikan cahaya dari tanganku. Mr. Harris membuka pintu dan menjulurkan kepala ke dalam. “Mr. Smith? Apa keadaan baik-baik saja?” “Ya, segalanya baik-baik saja. Beri kami waktu tiga puluh detik,” jawab Henri, lalu kembali menatapku. “Kepala sekolahmu suka ikut campur.” Aku menarik napas dalam dan mengembuskannya. “Aku paham apa yang terjadi, tapi kenapa ini?” “Pusaka pertamamu.” “Iya, aku tahu. Tapi kenapa pakai cahaya?” “Nanti kita bahas di truk. Kau bisa jalan?” “Kurasa bisa.” Henri membantuku berdiri. Aku goyah, masih gemetar. Aku mencengkeram lengannya untuk bersandar. “Aku harus mengambil tas sebelum kita pergi,” kataku. “Di mana?” “Kutinggalkan di kelas.” “Nomor berapa?” “Tujuh belas.” “Kita ke truk, setelah itu aku akan mengambilnya.” Aku mengalungkan lengan kananku di atas bahu Henri. Henri menyokongku dengan mengalungkan lengan kirinya di pinggangku. Walaupun bel kedua sudah berbunyi, aku masih bisa mendengar suara orang-orang di lorong. “Kau harus berjalan tegak dan senormal mungkin.” Aku menarik napas dalam-dalam. Aku mencoba mengumpulkan sisa kekuatanku untuk mengatasi perjalanan panjang keluar sekolah. “Ayo,” kataku. Aku menyeka keringat dari kening dan mengikuti Henri keluar dari kamar gelap. Mr. Harris masih berdiri di lorong. “Asmanya kambuh, parah,” kata Henri kepada Mr. Harris sambil berjalan melewatinya. Sekitar dua puluh orang masih berkerumun di lorong. Sebagian besar membawa kamera di leher, menanti agar bisa masuk ke dalam kamar gelap untuk kelas fotografi. Untungnya Sarah tidak ada di antara mereka. Aku berjalan semantap yang kubisa, satu langkah demi satu langkah. Pintu keluar sekolah masih tiga puluh meter lagi. Berarti banyak sekali langkah. Orang-orang berbisik. “Dasar orang aneh.” “Apa dia sekolah di sini?” “Kuharap begitu, dia imut.” “Menurutmu ngapain dia di kamar gelap sampai mukanya merah begitu?” celetuk seseorang dan semua tertawa. Seperti kami bisa menajamkan pendengaran, kami juga bisa menulikan diri, yang cukup membantu jika ingin berkonsentrasi saat keadaan di sekeliling ribut dan kacau. Jadi aku menulikan diri dan berjalan pelan di belakang Henri. Satu langkah terasa bagai sepuluh langkah, tapi akhirnya kami sampai di pintu. Henri menahan pintu itu agar terbuka untukku. Aku berusaha berjalan sendiri ke truknya, yang diparkir di depan. Selama dua puluh langkah terakhir, aku mengalungkan lenganku di bahu Henri lagi. Henri membuka pintu truk dan aku beringsut naik ke dalam. “Kau bilang tujuh belas?” “Ya.” “Seharusnya kau terus membawanya. Kekeliruan kecil bisa berakhir pada kesalahan besar. Kita tidak boleh melakukan kekeliruan sedikit pun.” “Aku tahu. Maaf.” Henri menutup pintu dan berjalan kembali ke gedung sekolah. Aku duduk membungkuk dan mencoba memelankan napasku. Aku masih bisa merasakan keringat di keningku. Aku duduk tegak dan menurunkan pelindung matahari agar bisa bercermin. Wajahku lebih merah daripada yang kukira, mataku agar berair. Tapi walaupun merasa sakit dan lelah, aku tersenyum. Akhirnya, pikirku. Setelah bertahun- tahun menanti, setelah bertahun-tahun hanya mengandalkan kepintaran dan bersembunyi sebagai pertahanan melawan Mogadorian, akhirnya Pusaka pertamaku muncul. Henri keluar dari sekolah sambil membawa tasku. Dia berjalan mengelilingi truk, membuka pintu, dan melemparkan tasku ke kursi. “Terima kasih,” kataku. “Sama-sama.” Setelah kami keluar dari halaman sekolah, aku melepaskan sarung tangan dan mengamati tanganku. Cahaya di tangan kananku mulai berkumpul membentuk sorotan seperti senter, hanya saja lebih terang. Rasa panasnya mulai berkurang. Tangan kiriku masih berkelap-kelip redup. “Sebaiknya pakai sarung tangan itu sampai kita tiba di rumah,” kata Henri. Aku memasang sarung tangan kembali dan menatap Henri. Ia tersenyum bangga. “Penantian yang lama,” katanya. “Ha?” tanyaku. Henri balas menatapku. “Benar-benar penantian yang lama banget,” katanya lagi. “Menunggu kemunculan Pusakamu.” Aku tertawa. Dari segala hal yang Henri pelajari dan kuasai selama ini di Bumi, kata-kata semacam itu bukan salah satunya. “Penantian yang sangat lama,” aku membetulkannya. “Yeah, tadi aku bilang itu.” Henri berbelok ke jalan yang menuju rumah kami. “Jadi, selanjutnya apa? Apa ini berarti aku bisa menembakkan laser dari tanganku atau apa?” Henri menyeringai. “Pasti bagus sekali kalau begitu, tapi bukan itu.” “Lalu apa yang harus kulakukan dengan cahaya? Kalau aku dikejar, apakah aku harus berbalik dan menyorotkan cahaya ke mata mereka? Memangnya itu bakal bikin mereka takut padaku atau semacamnya?” “Sabar,” kata Henri. “Kau belum bisa memahaminya. Tunggu sampai kita di rumah.” Lalu aku teringat sesuatu yang hampir membuatku terlonjak dari tempat duduk. “Apa ini berarti kita akhirnya bisa membuka Peti itu?” Henri mengangguk dan tersenyum. “Segera.” “Keren!” kataku. Peti kayu dengan ukiran rumit itu menghantuiku seumur hidup. Peti itu adalah sebuah kotak yang tampak rapuh, dengan simbol Loric di sisi- sisinya. Dan Henri selalu merahasiakannya. Dia tidak pernah memberitahuku apa yang ada di dalam peti itu. Peti itu juga tidak mungkin dibuka, aku tahu karena sudah berkali-kali mencoba, tentunya tanpa hasil. Peti itu dikunci menggunakan gembok yang tidak memiliki lubang kunci. Saat kami tiba di rumah, aku langsung tahu bahwa tadi Henri sibuk bekerja. Tiga kursi di beranda depan sudah disingkirkan dan semua jendela sudah dibuka. Di dalam, kain penutup perabotan sudah disingkirkan dan sebagian perabotan malah sudah dibersihkan. Aku meletakkan tas di atas meja di ruang tamu dan membukanya. Gelombang frustrasi menyapuku. “Sialan,” kataku. “Apa?” “Ponselku hilang.” “Di mana?” “Pagi ini aku cekcok sedikit dengan anak bernama Mark James. Mungkin dia yang ambil.” “John, kau baru satu setengah jam di sekolah. Kok bisa-bisanya kau sudah cekcok dengan orang? Harusnya kau tahu apa yang kau lakukan.” “Namanya juga SMA. Aku anak baru. Gampang.” Henri mengeluarkan telepon genggamnya dari saku dan memutar nomorku. Lalu ia menutup telepon genggamnya. “Dimatikan,” katanya. “Pastinya.” Henri memelototiku. “Apa yang terjadi?” tanyanya dengan nada yang kukenal. Henri biasa menggunakan nada seperti itu saat merenungkan langkah selanjutnya. “Tak ada. Hanya perselisihan kecil. Mungkin ponselku terjatuh saat aku memasukkannya ke tas,” kataku, walaupun aku tahu kejadiannya bukan begitu. “Aku sedang tidak bisa berpikir jernih. Mungkin aku bisa menemukannya di bagian barang hilang.” Henri memandang berkeliling rumah dan mendesah. “Apa ada yang melihat tanganmu?” Aku menatap Henri. Matanya merah, lebih merah daripada saat mengantarku ke sekolah tadi pagi. Rambutnya berantakan. Dia juga tampak loyo seolah bakal pingsan kapan saja karena lelah. Terakhir kali Henri tidur saat di Florida, dua hari lalu. Aku tidak tahu mengapa dia masih bisa berdiri. “Tak ada.” “Kau di sekolah selama satu setengah jam. Pusaka pertamamu muncul, kau hampir berkelahi, dan kau meninggalkan tas di kelas. Itu nggak bisa disebut ‘berbaur.’” “Bukan apa-apa. Jelas bukan masalah yang cukup besar sehingga kita harus pindah ke Idaho, atau Kansas, atau ke mana pun.” Henri menyipitkan mata dan merenungkan apa yang baru dia saksikan. Dia berusaha memutuskan apakah kesalahan itu cukup besar sehingga kami harus pergi. “Ini bukan saatnya bertindak ceroboh,” katanya. “Tiap hari perbedaan pendapat selalu terjadi di sekolah mana pun. Aku jamin mereka tidak akan melacak kita hanya karena seorang murid sok jago menindas murid baru.” “Tangan si murid baru tidak menyala di setiap sekolah.” Aku mendesah. “Henri, kau tampak lelah setengah mati. Tidurlah. Kita putuskan nanti setelah kau bangun.” “Banyak yang harus kita bicarakan.” “Aku belum pernah melihat kau selelah ini. Tidurlah beberapa jam. Nanti kita bicara.” Henri mengangguk. “Tidur mungkin bagus bagiku.” * * * Henri pergi ke kamarnya dan menutup pintu. Aku berjalan keluar dan mondar-mandir di halaman sebentar. Matahari ada di balik pepohonan dan angin segar bertiup pelan. Tanganku masih ditutupi sarung tangan. Aku melepaskan sarung tangan dan memasukkannya ke saku belakangku. Tanganku masih sama seperti sebelumnya. Sebenarnya, hanya sebagian diriku yang senang karena Pusaka pertamaku akhirnya muncul setelah bertahun-tahun menanti dengan tidak sabar. Sebagian diriku yang lain merasa hancur. Kepindahan kami yang terlalu sering membuatku lelah. Dan sekarang tidak mungkin untuk berbaur atau tinggal di satu tempat selama beberapa waktu. Aku tidak mungkin memiliki teman atau setidaknya merasa berhasil menyesuaikan diri. Aku muak dengan nama-nama palsu dan berbagai kebohongan. Aku muak selalu menengok ke belakang untuk melihat apakah aku dibuntuti. Aku meraih ke bawah dan merasakan tiga goresan di pergelangan kaki kananku. Tiga lingkaran mewakili tiga yang mati. Kami terikat satu sama lain bukan hanya karena kami satu bangsa, tapi lebih dari itu. Saat meraba goresan di pergelangan kakiku, aku mencoba membayangkan siapa mereka, lelaki atau perempuan, di mana mereka tinggal, berapa usia mereka saat mereka meninggal. Aku mencoba mengingat anak-anak lain yang saat itu satu pesawat denganku, dan memberi mereka nomor. Aku berpikir seperti apa rasanya bertemu dan bergaul dengan mereka. Seperti apa rasanya jika kami semua masih di Lorien. Seperti apa rasanya jika nasib seluruh bangsa kami tidak digantungkan pada keselamatan kami yang hanya sedikit ini. Seperti apa rasanya jika kami semua tidak menghadapi musuh yang berniat menghabisi kami. Mengerikan rasanya mengetahui bahwa akulah yang berikut. Tapi kami selalu berada di depan mereka karena kami selalu pindah, melarikan diri. Walaupun aku muak dengan pelarian ini, tapi aku tahu bahwa itulah alasan mengapa kami masih tetap hidup. Jika kami berhenti, mereka akan menemukan kami. Dan karena berikutnya giliranku, pasti mereka mempercepat pencarian. Mereka pasti tahu bahwa kami semakin kuat, bahwa Pusaka kami telah muncul. Dan di pergelangan kaki satunya ada bekas luka lain. Bekas luka penanda saat kami dimantrai dengan mantra pelindung Loric secara tergesa-gesa sebelum meninggalkan Lorien. Cap yang mengikat kami semua.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>