Cerita Silat | Imam Tanpa Bayangan II | oleh Xiao Say | Imam Tanpa Bayangan II | Cersil Sakti | Imam Tanpa Bayangan II pdf
Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti
"Kereta Kencana Pembawa Maut telah tiba, kalian berdua segeralah berangkat..." Air muka si huncwee gede Ouw-yang Gong berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, sinar matanya segera menatap kereta kencana itu tajam-tajam, sementara rasa seram, ngeri dan ketakutan yang amat sangat perlahan-lahan mulai menjulur di atas wajahnya dan makin lama perasaan itu tercermin semakin tebal. "Aaaah! Kereta Kencana Pembawa Maut..." bisiknya dengan suara gemetar. "Setelah dunia persilatan hidup tenang selama tiga puluh tahun, sungguh tak nyana kereta itu munculkan diri kembali... Aaaaai semakin tak pernah kubayangkan bahwa akulah orang pertama yang bakal mati di tangan Kereta Kencana Pembawa Maut itu..." Haruslah diketahui, pada tiga puluh tahun berselang Kereta Kencana Pembawa Maut dari Tang Hay Mo Kiong telah menciptakan beratus-ratus kejadian, peristiwa berdarah yang amat mengerikan, setiap kali di dalam dunia persilatan terlihat munculnya kereta kencana tersebut maka suatu peristiwa berdarah yang menyeramkan segera akan berlangsung, semua korbannya rata-rata mati di dalam kereta itu dan kemudian mayat mereka dikirim ke suatu tempat yang tak diketahui namanya... Kebalikan dari keadaan Ouw-yang Gong, maka bagi Pek In Hoei baru pertama kali ini ia mendengar nama seram kereta pembawa maut itu, ia tidak tahu kekuatan misterius apakah yang tersimpan di balik ruang kereta yang berwarna hitam dengan disepuh emas itu. Diam-diam si anak muda itu tertawa dingin, mendadak badannya bergerak dan langsung melayang ke atas kereta tersebut. Ouw-yang Gong yang menyaksikan perbuatan pemuda itu jadi amat terperanjat, teriaknya dengan suara gemetar : "Hey, bocah, kau jangan bertindak gegabah!" Si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tak tahu sampai di manakah kelihayan dari orang yang berada di dalam kereta, ia segera melayang naik ke atas kereta dan tangan kirinya mendadak menjangkau ke depan dan menarik selapis kain horden yang menutupi ruang kereta itu. Siapa tahu belum sampai ujung tangannya menyentuh horden tersebut, tiba-tiba dari balik kereta muncul sebuah telapak tangan yang putih dan lembut, dan gerakan yang cepat laksana kilat langsung mencengkeram pergelangan tangannya. Pek In Hoei melengak, ia tidak menyangka di saat perhatiannya sedang terpecah, telapak tangan yang putih mulus itu, laksana kilat telah mencengkeram tiba, hatinya jadi bergetar keras, sebelum ia sadar apa yang telah terjadi, tubuhnya sudah tertarik masuk ke dalam kereta oleh lawannya. Si huncwee gede Ouw-yang Gong jadi amat terperanjat menyaksikan peristiwa itu, teriaknya : "Hey, bocah cilik, kenapa kau?" Suasana di dalam kereta kencana sunyi senyap tak kedengaran sedikit suara pun, seakan-akan pemuda itu telah mati secara mendadak, suara dari Pek In Hoei tak kedengaran lagi menggema di udara. Dalam pada itu Kereta Kencana Pembawa Maut telah memutar arah dan berlari menuju ke arah bukit yang misterius itu. Terdengar dara muda berbaju biru itu berkata dengan suara dingin : "Ia telah melanggar pantangan yang terbesar dari istana Mo Kiong kami, dan kini oleh Kereta Kencana Pembawa Maut telah dikirim menuju ke tempat Kiong cu kami itu! Hey, kakek tua bangka, sekarang kau masih membangkang untuk pergi menghadap Kiong cu kami? Apakah kau baru mau berangkat setelah disambut sendiri oleh Kiong cu?..." Dalam keadaan begini si h gede Ouw-yang Gong tak bisa berbuat lain kecuali tertawa sedih. "Nona silahkan berangkat," katanya, "selembar nyawa dari aku si ular asap tua telah kusingkirkan ke belakang batok kepalaku..." Ke-empat orang dara itu pun tidak berbicara lagi, badannya bagaikan segumpal kapas melayang naik ke atas punggung kuda kemudian diiringi suara derap kaki yang ramai berangkatlah mereka tinggalkan tempat itu. Ouw-yang Gong membungkam dalam seribu bahasa tanpa menunjukkan komentar apa pun jua, ia ikut berlalu dari situ membuntuti di belakang gadis-gadis muda itu. Dalam pada itu Pek In Hoei yang terbetot masuk ke dalam ruang kereta, sepanjang perjalanan ia sendiri pun tidak tahu saat itu sedang berada di mana, ia cuma takut pada saat badannya meloncat naik ke atas Kereta Kencana Pembawa Maut itu, tiba-tiba dari balik kereta muncul sebuah telapak tangan yang putih dan halus membetot badannya masuk ke dalam ruang kereta. Dengan termangu-mangu pemuda itu berdiri seorang diri di situ, ia jumpai ruang kereta tersebut kosong melompong tak nampak sesosok bayangan manusia pun, sedang telapak putih yang membetot badannya tadi pun lenyap tak berbekas. Hatinya jadi amat terperanjat, saking kagetnya sampai keringat dingin mengucur keluar membasahi tubuhnya. Ia tidak tahu dari mana datangnya telapak putih yang aneh itu dan ke mana perginya telapak tersebut setelah membetot badannya masuk ke dalam. Suasana dalam ruang kereta itu gelap gulita tidak nampak sedikit cahaya pun, buru-buru ia tarik horden di hadapannya, siapa tahu jari tangannya segera membentur dinding kereta yang keras dan kuat bagaikan baja, begitu sempurna dinding kereta itu hingga dari tempat luaran sama sekali tak terlihat kalau sekeliling kereta tersebut terbuat dari baja murni. Saking gusar dan mendongkolnya Pek In Hoei meraung keras, teriaknya : "Sungguh misterius kereta ini!" "Hmmm!" mendadak dari balik kereta berkumandang keluar suara dengusan dingin. "Belum pernah ada orang yang bisa keluar dari Kereta Kencana Pembawa Maut ini dalam keadaan hidup-hidup, meskipun kau adalah sahabat yang diundang Kiong cu tetapi Kiong cu tidak akan melepaskan pula dirimu, setiap orang yang berani mengintip atau mencari tahu rahasia dari Kereta Kencana Pembawa Maut dia tak akan diperkenankan melanjutkan hidupnya..." Perkataan tadi muncul dari suatu tempat yang sukar ditemukan, seolah-olah berkumandang dari empat arah delapan penjuru, si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei jadi terkesiap, dengan segenap kemampuannya ia berusaha untuk menemukan letak tempat persembunyian orang itu. Diam-diam ia tertawa dingin, sekilas ingatan dengan cepatnya berkelebat di dalam benaknya, ia berpikir : "Meskipun Kereta Kencana Pembawa Maut ini amat misterius, tetapi masih belum mampu untuk membelenggu diriku, kenapa aku tidak gunakan segenap kemampuan yang kumiliki untuk menghancurkan kereta yang seringkali mencelakai jiwa manusia ini..." Ingatan tersebut dengan cepatnya berkelebat lewat dalam benak pemuda itu, diam-diam seluruh hawa murni yang dimilikinya disalurkan ke dalam telapak kanan siap melancarkan sebuah pukulan dahsyat secara mendadak. "Siapa kau?" "Haaaah... haaaah... haaaah... aku adalah kusir yang mengendalikan Kereta Kencana Pembawa Maut ini..." suara yang dingin kaku itu tiba-tiba tertawa lengking. "Hmmm!..." menggunakan kesempatan di kala orang itu sedang berbicara, Pek In Hoei membentak keras, telapak kanannya laksana kilat diangkat dan melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke arah dinding kereta. "Blaaaam...!" suara benturan keras bergeletar memecahkan kesunyian, tetapi dinding kereta itu ternyata sama sekali tidak rusak atau pun cedera. Meskipun pukulan yang digunakan dengan mengerahkan segenap kekuatan itu boleh dibilang mencapai kekuatan ratusan kati namun sang kereta sedikit pun tidak goyang atau pun gemilang, dengan gerakan yang tenang dan kalem meneruskan perjalanannya ke depan. "Hmmm!" suara yang misterius itu mendengus dingin. "Sampai di manakah kekuatan yang kau miliki sehingga sanggup untuk menghancurkan Kereta Kencana Pembawa Maut?" Dalam keadaan terkejut bercampur gusar si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tak bisa berbuat lain, kecuali hardiknya : "Kau tunggu saja nanti!" Setelah menyaksikan hawa pukulannya sama sekali tak berguna, diam-diam si anak muda itu tertawa dingin, ia segera mencabut keluar pedang sakti penghancur sang suryanya, cahaya pedang segera berkilauan memencar ke empat penjuru, ruangan kereta itu jadi terang benderang dan terlihat dengan amat nyata. Tampaklah ruang tersebut diatur dengan amat megah dan indah, semuanya terdiri dari emas murni, dan di atap kereta secara lapat-lapat terlihat empat huruf besar berwarna merah darah yang berbunyi : "Kereta Kencana Pembawa Maut." Sepasang mata Pek In Hoei si Jago Pedang Berdarah Dingin itu berkilat tajam, senyuman dingin mulai tersungging di ujung bibirnya, sambil melirik sekejap ke arah sekeliling ruang kereta itu ujarnya tertawa : "Kalau kau tak mau unjukkan diri lagi, jangan salahkan kalau aku segera akan menghancurkan kereta ini..." "Kau berani?" Sang kusir yang bersembunyi di tempat kegelapan rupanya mengetahui juga kelihayan dari pedang mestikanya itu, suara bentakan gusar segera berkumandang datang, bayangan putih berkelebat lewat laksana kilat dan sebuah telapak tangan yang putih mulus tahu-tahu sudah menyambar datang mengancam urat nadi di atas pergelangan Pek In Hoei. Si anak muda itu mendengus dingin. "Hmm, masih berani menakut-nakuti diriku?" bentaknya. Kali ini Pek In Hoei memang ada maksud untuk melihat macam apakah orang yang menyembunyikan diri di tempat kegelapan itu, tangan kanannya segera membabat ke samping dan laksana kilat balik mencengkeram telapak tangan lawan. "Hmm," dengusnya dingin, "kau masih mampu menyembunyikan diri ke mana lagi?" Bayangan manusia tercengkeram tangannya dan tampaklah seorang gadis muda berbaju serba putih dengan pandangan kaget bercampur tercengang mengawasi wajah Pek In Hoei tanpa berkedip lalu dengan suara yang ketus gadis itu menegur. "Kepandaian silatmu jauh di luar dugaanku, ternyata lebih tinggi dan hebat daripada apa yang kuduga semula." "Hheehmmm, tidak berani, tidak berani," sahut Pek In Hoei ketus. "Apakah nona berasal dari istana iblis?" "Sedikit pun tidak salah, dan sekarang kau sedang berada di perjalanan menuju ke istana Mo Kiong, mulai saat ini gerak-gerikmu berada di dalam kekuasaanku, karena itu aku berharap agar kau suka mendengarkan perintah serta perkataanku tanpa membantah..." Habis berkata ia putar badan siap berlalu begitu saja, Pek In Hoei tidak sudi melepaskan mangsanya dengan begitu saja, laksana kilat lengannya berkelebat mencengkeram lengan tangan lawan kemudian menariknya sehingga tertunduk di sisi tubuhnya. "Kau pun tak boleh meninggalkan tempat ini," katanya dingin. "Kalau ingin keluar maka kita harus keluar bersama-sama..." Tatkala secara tiba-tiba dilihatnya dia harus duduk berdempetan dengan seorang pemuda ganteng di dalam ruang kereta yang sempit, gadis muda berbaju putih itu segera merasakan jantungnya berdebar keras, wajahnya berubah jadi merah jengah dan sikapnya yang malu-malu dan tersipu-sipu itu cukup membuat jantung Pek In Hoei ikut berdebar. Memang dalam kenyataan, apalagi seorang gadis muda yang belum pernah bersentuhan badan dengan pria lain, secara mendadak badannya harus duduk berdempetan dengan seorang pemuda yang berwajah tampan rasa kejut dan girang yang timbul dalam hatinya sukar dilukiskan dengan kata-kata, apalagi ilmu silat serta tabiat lawannya merupakan pilihan yang sukar ditemukan. "Kau... kau..." serunya gelagapan. "Nona! Kau tak usah gelagapan," ujar Pek In Hoei hambar. "Siapa namamu?" Karena malunya dara muda berbaju putih itu tertunduk rendah-rendah, sahutnya lirik : "Aku bernama Coei Coei!" Ingin sekali dia bertanya namanya tapi tak ada keberanian untuk berbuat demikian, cuma dalam hati kecilnya gadis itu merasa kejut, girang dan bimbang, ia hanya berharap perjalanan bisa berlangsung lebih lama sehingga kesempatan untuk duduk berdampingan dapat berjalan lebih lama. "Coei Coei?" seru Pek In Hoei, mendadak ia tertawa ringan. "Indah nian namamu itu! Sungguh indah dan manis!" Mendadak... Kereta Kencana Pembawa Maut itu bergetar keras, putaran roda kereta yang kencang tiba-tiba berhenti diikuti suara langkah kaki yang nyata berkumandang datang, seolah-olah berjalan mendekati kereta tersebut. Air muka Coei Coei seketika berubah hebat, ia berseru pelan dan bisiknya, "Aduuuh, celaka!" Si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tidak mengerti apa maksudnya gadis itu berseru 'Celaka', sementara otaknya masih berputar memikirkan maksud kata-kata itu, serentetan suara teguran yang kasar dan keras telah menggema tiba. "Siapakah utusan yang mengendalikan kereta ini?" terdengar seorang pria berseru. Air muka Coei Coei berubah pucat pias bagaikan mayat, keadaannya seakan-akan seorang terhukum yang telah dijatuhi hukuman mati, sekujur tubuhnya gemetar keras. Dengan alis berkerut kencang dan cepat-cepat membenahi pakaiannya yang kusut ia menyahut : "Aku!" Kreeek! Pintu kereta terbuka, Pek In Hoei dengan gerakan tubuh yang paling cepat bersama Coei Coei telah meloncat keluar. Seorang kakek tua bercambang dan berwajah seram berdiri di luar kereta dan menatap wajah gadis itu tajam. Perlahan-lahan Coei Coei turun dari kereta, lalu menjura dan berkata : "Utusan Peronda Gunung, budak menanti perintah di sini..." Kakek tua itu mendengus dingin. "Hmmm! Apa jabatanmu?" "Mengendalikan Kereta Kencana Pembawa Maut, menghantar dan menjemput sukma-sukma yang gentayangan," sahut Coei Coei dengan sekujur badan gemetar keras. Utusan peronda gunung itu tertawa dingin. "Kau sebagai salah satu gadis di antara tujuh puluh dua orang gadis istana Mo Kiong, kenapa begitu sudi menurunkan derajatmu dengan bersembunyi di dalam kereta bersama-sama seorang keparat tanpa nama, apakah kau sudah bosan hidup..." Dengan ketakutan Coei Coei tundukkan kepalanya rendah-rendah. "Budak mengerti dosa!" Sebaliknya si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei yang mendengar hinaan itu kontan naik pitam, hawa amarahnya segera berkobar di dalam dadanya, sambil enjotkan badannya melayang ke depan teriaknya dengan suara dingin : "Hmmm, kau manusia macam apa? Berani benar menghina aku!" "Bocah keparat, ayoh minggir ke samping, jangan banyak bacot di sini..." seru Utusan Peronda Gunung ketus. Dengan wajah penuh penghinaan ia tertawa sinis lalu berpaling ke arah lain, sinar matanya yang dingin dan tajam ditujukan ke atas tubuh Coei Coei, dara muda berbaju putih itu, seolah-olah dengan pandangan yang tajam itu ia berusaha untuk menembusi rahasia hati gadis tersebut. Buru-buru Coei Coei tundukkan kepalanya, tak sepatah kata pun yang berani ia ucapkan keluar. "Apakah kau telah jatuh cinta dengan bajingan cilik ini?" kembali Utusan Peronda Gunung menjengek dengan nada sinis. "Sebelum kejadian aku hendak memberitahukan kepadamu terlebih dahulu, gadis- gadis dari istana Mo Kiong bukanlah seorang gadis yang bebas merdeka lagi, kau harus berhati-hati..." Mendadak ia mendongak dan tertawa terbahak- bahak, suaranya tajam dan amat menusuk pendengaran, tambahnya : "Aku rasa dosa bersekongkol dengan orang asing tak akan sanggup kau atasi..."
Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti
"Kereta Kencana Pembawa Maut telah tiba, kalian berdua segeralah berangkat..." Air muka si huncwee gede Ouw-yang Gong berubah jadi pucat pias bagaikan mayat, sinar matanya segera menatap kereta kencana itu tajam-tajam, sementara rasa seram, ngeri dan ketakutan yang amat sangat perlahan-lahan mulai menjulur di atas wajahnya dan makin lama perasaan itu tercermin semakin tebal. "Aaaah! Kereta Kencana Pembawa Maut..." bisiknya dengan suara gemetar. "Setelah dunia persilatan hidup tenang selama tiga puluh tahun, sungguh tak nyana kereta itu munculkan diri kembali... Aaaaai semakin tak pernah kubayangkan bahwa akulah orang pertama yang bakal mati di tangan Kereta Kencana Pembawa Maut itu..." Haruslah diketahui, pada tiga puluh tahun berselang Kereta Kencana Pembawa Maut dari Tang Hay Mo Kiong telah menciptakan beratus-ratus kejadian, peristiwa berdarah yang amat mengerikan, setiap kali di dalam dunia persilatan terlihat munculnya kereta kencana tersebut maka suatu peristiwa berdarah yang menyeramkan segera akan berlangsung, semua korbannya rata-rata mati di dalam kereta itu dan kemudian mayat mereka dikirim ke suatu tempat yang tak diketahui namanya... Kebalikan dari keadaan Ouw-yang Gong, maka bagi Pek In Hoei baru pertama kali ini ia mendengar nama seram kereta pembawa maut itu, ia tidak tahu kekuatan misterius apakah yang tersimpan di balik ruang kereta yang berwarna hitam dengan disepuh emas itu. Diam-diam si anak muda itu tertawa dingin, mendadak badannya bergerak dan langsung melayang ke atas kereta tersebut. Ouw-yang Gong yang menyaksikan perbuatan pemuda itu jadi amat terperanjat, teriaknya dengan suara gemetar : "Hey, bocah, kau jangan bertindak gegabah!" Si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tak tahu sampai di manakah kelihayan dari orang yang berada di dalam kereta, ia segera melayang naik ke atas kereta dan tangan kirinya mendadak menjangkau ke depan dan menarik selapis kain horden yang menutupi ruang kereta itu. Siapa tahu belum sampai ujung tangannya menyentuh horden tersebut, tiba-tiba dari balik kereta muncul sebuah telapak tangan yang putih dan lembut, dan gerakan yang cepat laksana kilat langsung mencengkeram pergelangan tangannya. Pek In Hoei melengak, ia tidak menyangka di saat perhatiannya sedang terpecah, telapak tangan yang putih mulus itu, laksana kilat telah mencengkeram tiba, hatinya jadi bergetar keras, sebelum ia sadar apa yang telah terjadi, tubuhnya sudah tertarik masuk ke dalam kereta oleh lawannya. Si huncwee gede Ouw-yang Gong jadi amat terperanjat menyaksikan peristiwa itu, teriaknya : "Hey, bocah cilik, kenapa kau?" Suasana di dalam kereta kencana sunyi senyap tak kedengaran sedikit suara pun, seakan-akan pemuda itu telah mati secara mendadak, suara dari Pek In Hoei tak kedengaran lagi menggema di udara. Dalam pada itu Kereta Kencana Pembawa Maut telah memutar arah dan berlari menuju ke arah bukit yang misterius itu. Terdengar dara muda berbaju biru itu berkata dengan suara dingin : "Ia telah melanggar pantangan yang terbesar dari istana Mo Kiong kami, dan kini oleh Kereta Kencana Pembawa Maut telah dikirim menuju ke tempat Kiong cu kami itu! Hey, kakek tua bangka, sekarang kau masih membangkang untuk pergi menghadap Kiong cu kami? Apakah kau baru mau berangkat setelah disambut sendiri oleh Kiong cu?..." Dalam keadaan begini si h gede Ouw-yang Gong tak bisa berbuat lain kecuali tertawa sedih. "Nona silahkan berangkat," katanya, "selembar nyawa dari aku si ular asap tua telah kusingkirkan ke belakang batok kepalaku..." Ke-empat orang dara itu pun tidak berbicara lagi, badannya bagaikan segumpal kapas melayang naik ke atas punggung kuda kemudian diiringi suara derap kaki yang ramai berangkatlah mereka tinggalkan tempat itu. Ouw-yang Gong membungkam dalam seribu bahasa tanpa menunjukkan komentar apa pun jua, ia ikut berlalu dari situ membuntuti di belakang gadis-gadis muda itu. Dalam pada itu Pek In Hoei yang terbetot masuk ke dalam ruang kereta, sepanjang perjalanan ia sendiri pun tidak tahu saat itu sedang berada di mana, ia cuma takut pada saat badannya meloncat naik ke atas Kereta Kencana Pembawa Maut itu, tiba-tiba dari balik kereta muncul sebuah telapak tangan yang putih dan halus membetot badannya masuk ke dalam ruang kereta. Dengan termangu-mangu pemuda itu berdiri seorang diri di situ, ia jumpai ruang kereta tersebut kosong melompong tak nampak sesosok bayangan manusia pun, sedang telapak putih yang membetot badannya tadi pun lenyap tak berbekas. Hatinya jadi amat terperanjat, saking kagetnya sampai keringat dingin mengucur keluar membasahi tubuhnya. Ia tidak tahu dari mana datangnya telapak putih yang aneh itu dan ke mana perginya telapak tersebut setelah membetot badannya masuk ke dalam. Suasana dalam ruang kereta itu gelap gulita tidak nampak sedikit cahaya pun, buru-buru ia tarik horden di hadapannya, siapa tahu jari tangannya segera membentur dinding kereta yang keras dan kuat bagaikan baja, begitu sempurna dinding kereta itu hingga dari tempat luaran sama sekali tak terlihat kalau sekeliling kereta tersebut terbuat dari baja murni. Saking gusar dan mendongkolnya Pek In Hoei meraung keras, teriaknya : "Sungguh misterius kereta ini!" "Hmmm!" mendadak dari balik kereta berkumandang keluar suara dengusan dingin. "Belum pernah ada orang yang bisa keluar dari Kereta Kencana Pembawa Maut ini dalam keadaan hidup-hidup, meskipun kau adalah sahabat yang diundang Kiong cu tetapi Kiong cu tidak akan melepaskan pula dirimu, setiap orang yang berani mengintip atau mencari tahu rahasia dari Kereta Kencana Pembawa Maut dia tak akan diperkenankan melanjutkan hidupnya..." Perkataan tadi muncul dari suatu tempat yang sukar ditemukan, seolah-olah berkumandang dari empat arah delapan penjuru, si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei jadi terkesiap, dengan segenap kemampuannya ia berusaha untuk menemukan letak tempat persembunyian orang itu. Diam-diam ia tertawa dingin, sekilas ingatan dengan cepatnya berkelebat di dalam benaknya, ia berpikir : "Meskipun Kereta Kencana Pembawa Maut ini amat misterius, tetapi masih belum mampu untuk membelenggu diriku, kenapa aku tidak gunakan segenap kemampuan yang kumiliki untuk menghancurkan kereta yang seringkali mencelakai jiwa manusia ini..." Ingatan tersebut dengan cepatnya berkelebat lewat dalam benak pemuda itu, diam-diam seluruh hawa murni yang dimilikinya disalurkan ke dalam telapak kanan siap melancarkan sebuah pukulan dahsyat secara mendadak. "Siapa kau?" "Haaaah... haaaah... haaaah... aku adalah kusir yang mengendalikan Kereta Kencana Pembawa Maut ini..." suara yang dingin kaku itu tiba-tiba tertawa lengking. "Hmmm!..." menggunakan kesempatan di kala orang itu sedang berbicara, Pek In Hoei membentak keras, telapak kanannya laksana kilat diangkat dan melancarkan sebuah pukulan dahsyat ke arah dinding kereta. "Blaaaam...!" suara benturan keras bergeletar memecahkan kesunyian, tetapi dinding kereta itu ternyata sama sekali tidak rusak atau pun cedera. Meskipun pukulan yang digunakan dengan mengerahkan segenap kekuatan itu boleh dibilang mencapai kekuatan ratusan kati namun sang kereta sedikit pun tidak goyang atau pun gemilang, dengan gerakan yang tenang dan kalem meneruskan perjalanannya ke depan. "Hmmm!" suara yang misterius itu mendengus dingin. "Sampai di manakah kekuatan yang kau miliki sehingga sanggup untuk menghancurkan Kereta Kencana Pembawa Maut?" Dalam keadaan terkejut bercampur gusar si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tak bisa berbuat lain, kecuali hardiknya : "Kau tunggu saja nanti!" Setelah menyaksikan hawa pukulannya sama sekali tak berguna, diam-diam si anak muda itu tertawa dingin, ia segera mencabut keluar pedang sakti penghancur sang suryanya, cahaya pedang segera berkilauan memencar ke empat penjuru, ruangan kereta itu jadi terang benderang dan terlihat dengan amat nyata. Tampaklah ruang tersebut diatur dengan amat megah dan indah, semuanya terdiri dari emas murni, dan di atap kereta secara lapat-lapat terlihat empat huruf besar berwarna merah darah yang berbunyi : "Kereta Kencana Pembawa Maut." Sepasang mata Pek In Hoei si Jago Pedang Berdarah Dingin itu berkilat tajam, senyuman dingin mulai tersungging di ujung bibirnya, sambil melirik sekejap ke arah sekeliling ruang kereta itu ujarnya tertawa : "Kalau kau tak mau unjukkan diri lagi, jangan salahkan kalau aku segera akan menghancurkan kereta ini..." "Kau berani?" Sang kusir yang bersembunyi di tempat kegelapan rupanya mengetahui juga kelihayan dari pedang mestikanya itu, suara bentakan gusar segera berkumandang datang, bayangan putih berkelebat lewat laksana kilat dan sebuah telapak tangan yang putih mulus tahu-tahu sudah menyambar datang mengancam urat nadi di atas pergelangan Pek In Hoei. Si anak muda itu mendengus dingin. "Hmm, masih berani menakut-nakuti diriku?" bentaknya. Kali ini Pek In Hoei memang ada maksud untuk melihat macam apakah orang yang menyembunyikan diri di tempat kegelapan itu, tangan kanannya segera membabat ke samping dan laksana kilat balik mencengkeram telapak tangan lawan. "Hmm," dengusnya dingin, "kau masih mampu menyembunyikan diri ke mana lagi?" Bayangan manusia tercengkeram tangannya dan tampaklah seorang gadis muda berbaju serba putih dengan pandangan kaget bercampur tercengang mengawasi wajah Pek In Hoei tanpa berkedip lalu dengan suara yang ketus gadis itu menegur. "Kepandaian silatmu jauh di luar dugaanku, ternyata lebih tinggi dan hebat daripada apa yang kuduga semula." "Hheehmmm, tidak berani, tidak berani," sahut Pek In Hoei ketus. "Apakah nona berasal dari istana iblis?" "Sedikit pun tidak salah, dan sekarang kau sedang berada di perjalanan menuju ke istana Mo Kiong, mulai saat ini gerak-gerikmu berada di dalam kekuasaanku, karena itu aku berharap agar kau suka mendengarkan perintah serta perkataanku tanpa membantah..." Habis berkata ia putar badan siap berlalu begitu saja, Pek In Hoei tidak sudi melepaskan mangsanya dengan begitu saja, laksana kilat lengannya berkelebat mencengkeram lengan tangan lawan kemudian menariknya sehingga tertunduk di sisi tubuhnya. "Kau pun tak boleh meninggalkan tempat ini," katanya dingin. "Kalau ingin keluar maka kita harus keluar bersama-sama..." Tatkala secara tiba-tiba dilihatnya dia harus duduk berdempetan dengan seorang pemuda ganteng di dalam ruang kereta yang sempit, gadis muda berbaju putih itu segera merasakan jantungnya berdebar keras, wajahnya berubah jadi merah jengah dan sikapnya yang malu-malu dan tersipu-sipu itu cukup membuat jantung Pek In Hoei ikut berdebar. Memang dalam kenyataan, apalagi seorang gadis muda yang belum pernah bersentuhan badan dengan pria lain, secara mendadak badannya harus duduk berdempetan dengan seorang pemuda yang berwajah tampan rasa kejut dan girang yang timbul dalam hatinya sukar dilukiskan dengan kata-kata, apalagi ilmu silat serta tabiat lawannya merupakan pilihan yang sukar ditemukan. "Kau... kau..." serunya gelagapan. "Nona! Kau tak usah gelagapan," ujar Pek In Hoei hambar. "Siapa namamu?" Karena malunya dara muda berbaju putih itu tertunduk rendah-rendah, sahutnya lirik : "Aku bernama Coei Coei!" Ingin sekali dia bertanya namanya tapi tak ada keberanian untuk berbuat demikian, cuma dalam hati kecilnya gadis itu merasa kejut, girang dan bimbang, ia hanya berharap perjalanan bisa berlangsung lebih lama sehingga kesempatan untuk duduk berdampingan dapat berjalan lebih lama. "Coei Coei?" seru Pek In Hoei, mendadak ia tertawa ringan. "Indah nian namamu itu! Sungguh indah dan manis!" Mendadak... Kereta Kencana Pembawa Maut itu bergetar keras, putaran roda kereta yang kencang tiba-tiba berhenti diikuti suara langkah kaki yang nyata berkumandang datang, seolah-olah berjalan mendekati kereta tersebut. Air muka Coei Coei seketika berubah hebat, ia berseru pelan dan bisiknya, "Aduuuh, celaka!" Si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tidak mengerti apa maksudnya gadis itu berseru 'Celaka', sementara otaknya masih berputar memikirkan maksud kata-kata itu, serentetan suara teguran yang kasar dan keras telah menggema tiba. "Siapakah utusan yang mengendalikan kereta ini?" terdengar seorang pria berseru. Air muka Coei Coei berubah pucat pias bagaikan mayat, keadaannya seakan-akan seorang terhukum yang telah dijatuhi hukuman mati, sekujur tubuhnya gemetar keras. Dengan alis berkerut kencang dan cepat-cepat membenahi pakaiannya yang kusut ia menyahut : "Aku!" Kreeek! Pintu kereta terbuka, Pek In Hoei dengan gerakan tubuh yang paling cepat bersama Coei Coei telah meloncat keluar. Seorang kakek tua bercambang dan berwajah seram berdiri di luar kereta dan menatap wajah gadis itu tajam. Perlahan-lahan Coei Coei turun dari kereta, lalu menjura dan berkata : "Utusan Peronda Gunung, budak menanti perintah di sini..." Kakek tua itu mendengus dingin. "Hmmm! Apa jabatanmu?" "Mengendalikan Kereta Kencana Pembawa Maut, menghantar dan menjemput sukma-sukma yang gentayangan," sahut Coei Coei dengan sekujur badan gemetar keras. Utusan peronda gunung itu tertawa dingin. "Kau sebagai salah satu gadis di antara tujuh puluh dua orang gadis istana Mo Kiong, kenapa begitu sudi menurunkan derajatmu dengan bersembunyi di dalam kereta bersama-sama seorang keparat tanpa nama, apakah kau sudah bosan hidup..." Dengan ketakutan Coei Coei tundukkan kepalanya rendah-rendah. "Budak mengerti dosa!" Sebaliknya si Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei yang mendengar hinaan itu kontan naik pitam, hawa amarahnya segera berkobar di dalam dadanya, sambil enjotkan badannya melayang ke depan teriaknya dengan suara dingin : "Hmmm, kau manusia macam apa? Berani benar menghina aku!" "Bocah keparat, ayoh minggir ke samping, jangan banyak bacot di sini..." seru Utusan Peronda Gunung ketus. Dengan wajah penuh penghinaan ia tertawa sinis lalu berpaling ke arah lain, sinar matanya yang dingin dan tajam ditujukan ke atas tubuh Coei Coei, dara muda berbaju putih itu, seolah-olah dengan pandangan yang tajam itu ia berusaha untuk menembusi rahasia hati gadis tersebut. Buru-buru Coei Coei tundukkan kepalanya, tak sepatah kata pun yang berani ia ucapkan keluar. "Apakah kau telah jatuh cinta dengan bajingan cilik ini?" kembali Utusan Peronda Gunung menjengek dengan nada sinis. "Sebelum kejadian aku hendak memberitahukan kepadamu terlebih dahulu, gadis- gadis dari istana Mo Kiong bukanlah seorang gadis yang bebas merdeka lagi, kau harus berhati-hati..." Mendadak ia mendongak dan tertawa terbahak- bahak, suaranya tajam dan amat menusuk pendengaran, tambahnya : "Aku rasa dosa bersekongkol dengan orang asing tak akan sanggup kau atasi..."