Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 52

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti

“Hahahaha.... urusan telah berkembang jadi begini, buat apa kau membohonginya lagi?” kembali Suto Siau berkata sambil tertawa. Sambil tersenyum ia segera menggapai ke luar hutan, Hek Seng—thian, Pek Seng—bu serta Phoa Seng-hong segera bermunculan dari balik pepohonan. Kembali Suto Siau melanjutkan sambil tertawa: “Bagaimana pun juga, semua orang yang berada disini adalah orang orang kita, apalagi yang mesti kau takuti?” “Benar” sambung Pek Seng—bu sambil tertawa pula, “asal kita habisi nyawanya, didunia ini tak bakal ada orang yang mengetahui rahasiamu lagi, dan kau tetap bisa menjadi mata mata dalam Perguruan Tay-ki-bun!” Dengan penuh kemarahan dan rasa dendam Thiat Tiong—tong menggigit bibir sambil menutup rapat mulutnya, ia sadar, fitnahan ini tak mungkin bisa dibantah dengan alasan apa pun. Dalam pada itu Im Ceng telah mengepal tinjunya kencang kencang, setelah menyapu sekejap sekeliling tempat itu mendadak teriaknya: “Thiat Tiong—tong, aku beritahu padamu, sekalipun harus pertaruhkan nyawa aku tetap akan berusaha kabur dari sini!” “Huuh, murid Perguruan Tay—ki-bun juga bisanya kabur?” ejek Hek Seng-thian sambil tertawa dingin. “Aku harus kabur dari sini karena aku ingin menyiarkan penghianatannya ke seluruh dunia, agar semua orang tahu akan perbuatan busuk yang dia lakukan” jerit Im Ceng makin gusar. Begitu selesai bicara, ia langsung menerjang ke arah Pek Seng-bu. Dari kejauhan Suto Siau segera memberi kerdipan mata kepada Pek Seng—bu, tampaknya Pek Seng-bu memahami rencana rekannya..... saat itulah kepalan Im Ceng telah menyodok tiba. Saat ini dia hanya berniat meloloskan diri secepatnya, tak heran kalau tenaga pukulan yang dilontarkan sangat dahsyat, dengan tangan kiri melindungi dada, kepalan kanannya menyodok ke iga Pek Seng—bu, belum lagi serangannya tiba, angin pukulan yang kuat sudah mengibarkan ujung baju lawan. Cepat Pek Seng-bu mengayunkan tangannya dan langsung membabat urat nadi di pergelangan tangan lawan. Siapa tahu serangan dari Im Ceng itu hanya serangan tipuan, baru sampai setengah jalan, kepalan kirinya mendadak memutar keluar dari bawah ketiak kanannya dan menghantam dagu Pek Seng-bu dengan jurus sik-po-thian-keng (batu hancur langit bergetar). Agaknya Pek Seng-bu tidak menyangka kalau dia akan mengubah jurus serangannya secepat itu, Sementara dia masih kaget dan gugup, Im Ceng telah melancarkan serangkaian tendangan berantai, tiga jurus serangan seakan dilancarkan hampir berbareng. Diantara deruan angin tendangan dan bayangan pukulan, tubuh Pek Seng-bu terdorong maju sejauh berapa langkah, seolah termakan oleh pukulan dari Im Ceng, langkahnya jadi gontai hingga terpaksa harus menyingkir ke samping dan memberi jalan lewat. Pertarungan antara ke dua orang itu berlangsung hanya sekejap mata, tujuan utama Im Ceng memang ingin cepat lolos dari kepungan, dia tak mau bertarung lebih jauh, setelah berputar di tengah udara secepat kilat tubuhnya melesat keluar dari hutan. Suto Siau dan Hek Seng-thian serentak membentak nyaring: “Kejar! Mau kabur ke mana kau!” Tubuh mereka berdua tetap berdiri menggencet disamping Thiat Tiong—tong, biar teriakannya nyaring, kaki mereka sama sekali tak bergeser. Ketika Im Ceng sudah pergi jauh, Pek Seng-bu baru berkata sambil tertawa tergelak: “Hahahaha.... bagaimana dengan lagakku pura pura kalah? sudah cukup persis belum?” “Betul betul mirip, betul betul hebat” puji Suto Siau sambil bertepuk tangan. “Tapi sejujurnya, gerak serangan bajingan itu cukup tangguh!” “Sehebat secanggih apapun gerak serangannya, memang dia benar benar mampu kabur dari sergapan saudara Pek hanya dalam tiga gebrakan?” tukas Suto Siau sambil tertawa. Ke tiga orang itu saling berpandangan sambil tertawa tergelak, suara tertawa mereka penuh diliputi perasaan bangga dan puas. Sesaat kemudian Suto Siau baru berpaling ke arah Thiat Tiong—tong, katanya: “Tahukah kau, apa sebabnya kami bertiga tidak menghabisi nyawa Im Ceng, sebaliknya malah membiarkan dia kabur?” II “Hmm. Kau memang berniat mengadu domba kami berdua Tiong—tong sinis. dengus Thiat Sekali lagi Suto Siau tertawa terbahak—bahak. “Hahahaha . . . . .. tepat, tepat sekali” katanya, “dengan membiarkan dia melarikan diri kali ini, sama artinya aku telah menciptakan seorang musuh bebuyutan untukmu, selama hidup jangan harap dia bisa melepaskan dirimu dengan begitu saja” Dalam hati kecilnya Thiat Tiong—tong merasa sedih sekali, namun diluaran sahutnya dengan ketus: “Hmmm, kami adalah sesama saudara seperguruan, sekalipun timbul kesalahan paham, akhirnya toh akan beres dengan sendirinya” “Benarkah?” jengek Suto Siau sambil tertawa licik, “mendengarkan perkataanmu saja tak sudi, bahkan dalam pikirannya hanya ingin menghabisi nyawa murid murtad secepatnya, mana mungkin kesalahan paham ini bisa diselesaikan begitu saja” Hampir meledak rasa mendongkol Thiat Tiong—tong set elah mendengar perkataan itu, tak tahan teriaknya: II “Bajingan laknat, kau . . . . . .. “Betul, aku memang bajingan laknat” tukas Suto Siau lagi sambil tertawa, “tapi bila dibandingkan nama busukmu dikemudian hari, mungkin posisiku jauh lebih mendingan ketimbang kau” Kemudian setelah berhenti sejenak, lanjutnya: “Saudara Thiat, sekarang kau sudah menjadi murid murtad dari Perguruan Tay-ki-bun, bukan saja Im Ceng ingin membunuhmu, gurumu pasti akan berusaha menjalankan peraturan perguruan, kalau dugaanku tak salah, kawanan jago persilatan yang menganggap diri mereka sebagai para pendekar sejati pun tak bakalan melepaskanmu dengan begitu saja. Hahahaha..... mulai sekarang kau akan menghadapi ancaman dari mana mana, tak ada tempat lagi bagimu untuk tancapkan kaki dalam dunia persilatan, saudara Thiat, aku pikir kau pasti menyadari akan hal ini bukan” “Sekalipun begitu, tak ada urusannya denganmu!” Kembali Suto Siau tertawa dingin. “Seharusnya hengtay tahu diri, dengan situasi yang kau hadapi sekarang semestinya paling cocok bila bergabung dengan kami semua, kalau tidak . . . . ..” “Kalau tidak kenapa?” tukas Thiat Tiong-tong. “Hahahaha..... kalau tidak bakal terjadi apa, masa hengtay sendiripun tidak tahu?” “Betul” sambung Hek Seng-thian pula sambil tertawa, “lebih baik kau ambil keluar semua harta karun yang diperoleh dari dalam gua dan bersama kami membangun satu usaha besar, tindakan ini jauh lebih menggembirakan daripada harus menerima tekanan dari Perguruan Tay-ki-bun” “Jangan didesak terus” cegah Pek Seng-bu cepat, “apa salahnya kalau kita beri kesempatan lagi untuk saudara Thiat agar bisa dipertimbangkan kembali usulan ini!” “Betul, betul sekali” seru Phoa Seng-hong pula sambil tertawa keras, “lebih baik kita balik dulu ke gedung keluarga Li sambil menikmati hidangan dan arak, urusan lain toh bisa kita bicarakan perlahan-lahan” Ke empat orang ini benar benar telah menggunakan semua cara mengancam, membujuk, merayu maupun memaksa untuk menggiring pemuda itu masuk ke dalam perangkap. Tapi sikap Thiat Tiong—tong justru berubah makin dingin, kaku, tanpa sedikit perasaaanpun, siapa pun tak dapat menduga apa gerangan yang sedang dia pikirkan. “Hengtay, mari kita pergi!” kata Suto Siau kemudian sambil merangkul bahu pemuda itu. Thiat Tiong—tong tak bisa menyingkir, terpaksa dia keluar dari dalam hutan mengikuti ke empat orang itu dan menuju ke gedung keluarga Li. Diluar pintu gerbang terlihat ada sesosok bayangan manusia berkelebat lewat, agaknya Un Tay—tay sedang berdiri didepan pintu sambil mengawasi situasi diseputar sana. Sambil menuding bayangan manusia itu seru Suto Siau seraya tersenyum: “Sekarang kita sudah menjadi orang sendiri, siaute pun tak ingin merahasiakan sesuatu lagi kepadamu, tahukah hengtay siapa sebenarnya Un Tay—tay ini?” Tidak menunggu jawaban dari lawan, dia segera menambahkan: “Un Tay—tay sebenarnya adalah istri simpananku, tapi bila hengtay memang berminat dengannya, siaute bersedia segera putus hubungan dengan perempuan ini!” Sementara pembicaraan masih berlangsung, Un Tay—tay sudah melompat keluar dari balik pintu dan mendekati mereka semua, ketika melihat Thiat Tiong—tong berjalan berdampingan dengan Suto Siau, bahkan mereka tampak berhubungan begitu akrab, perempuan itu seketika menghentikan langkahnya dan berdiri termangu, saking tertegunnya sampai perkataan yang hampir terucap keluar pun segera ditelan kembali. Sambil tertawa terbahak-bahak Suto Siau segera berkata: “Un Tay—tay, mulai sekarang saudara Thiat adalah orang sendiri, kau tak dilarang untuk berhubungan mesrah dengannya sekalipun berada dihadapanku” Un Tay—tay mengangkat wajahnya, memandang Thiat Tiong—tong dengan termangu. Sorot mata Thiat Tiong-tong sama sekali tanpa emosi, tiba tiba Un Tay—tay menutupi wajah sendiri dan lari masuk ke dalam sambil menangis tersedu sedu, pakaian yang dikenakan kelihatan bergelombang kencang ketika tertimpa cahaya malam. “Hahahaha.... bagus, bagus sekali!” kembali Suto Siau tertawa terbahak bahaka, “tak kusangka ternyata dia benar benar sudah jatuh hati kepada saudara Thiat, benar-benar satu peristiwa yang patut dirayakan” Sekalipun gelak tertawanya nyaring, namun tak dapat menutupi rasa cemburunya yang meluap. Perlu diketahui, dia sama sekali tak pernah menyukai Un Tay—tay namun diapun enggan ditinggalkan perempuan itu, apalagi membiarkan dia jatuh cinta kepada lelaki lain. Tapi berhubung dia sendiri yang memutuskan untuk meninggalkan Un Tay—tay, tentu saja tak besar penderitaan yang dialami dalam hatinya . . . . .. inilah keegoisan seorang lelaki, lelaki mana pun tak akan tahan menghadapi penderitaan karena ditinggalkan perempuan, bahkan seringkali dia lebih suka membiarkan penderitaan tersebut dirasakan oleh perempuan itu sendiri.... menikmati penderitaan orang lain, bagi orang tertentu justru merupakan semacam kenikmatan. Ditengah gelak tertawa nyaring, cahaya lentera segera menerangi seluruh ruangan, Li Lok—yang dan Li Kiam-pek berdua muncul dari balik pintu. Bi-lek-hwee dan Hay Tay-sau mengikuti dibelakangnya, hampir semua orang tampil dengan wajah tegang, senjata masih terhunus, tampaknya mereka belum tahu kalau kepungan diluar telah dibubarkan. Ketika menyaksikan sikap Suto Siau sekalian yang tampak begitu santai, Li Lok—yang tertegun, tanyanya keheranan: “Apakah hengtay sekalian tidak apa apa?” “Kalau disini ada saudara Thiat, semua urusan tentu akan beres dengan sendirinya” sahut Suto Siau sambil tertawa nyaring. “Mana Kiu—cu Kui-bo?” “Mungkin saat ini sudah berada setengah li dari sini” Wajah Li Lok—yang yang tegang pun perlahan—1ahan mengendor kembali, namun sorot matanya yang tajam masih diliputi tanda tanya besar dan mengawasi wajah Suto Siau serta Thiat Tiong—tong tanpa berkedip, jelas dia berharap bisa mendengarkan kisah kejadian yang sebenarnya. Namun Suto Siau sengaja tidak bicara, sementara Thiat Tiong—tong pun seakan sudah menjadi orang bisu, tak sepotong perkataanpun yang diutarakan. Hanya Pek Seng—bu yang berkata sambil tersenyum: “Kiu-cu Kui—bo pasti mempunyai alasan yang kuat untuk memberi muka kepada kita semua, toh sekarang orangnya sudah pergi, buat apa saudara Li banyak bertanya lagi” Benar saja, Li Lok—yang tidak bertanya lagi, tapi dia semakin menaruh curiga terhadap asal usul Thiat Tiong—tong, dengan kening berkerut dia persilahkan tamunya untuk masuk ke dalam ruangan. Gedung keluarga Li yang semula sunyi senyap pun dalam waktu singkat muncul kembali kehidupan..... perasaan hati yang selama ini tertekan oleh bayang bayang kematian, dalam waktu singkat telah hilang tak berbekas. Perasaan sedih dan iba seringkali merupakan ungkapan perasaan yang paling nyata dalam setiap peristiwa..... disaat manusia menghadapi rasa takut dan ngeri dalam menghadapi kematian, biasanya perasaan mereka akan jadi kaku dan hilang rasa, tapi sekarang semua orang mulai merasa sedih dan iba terhadap rekan rekannya yang tewas, mulai merasa betapa berharganya nyawa yang

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Latest Images

Trending Articles



Latest Images

<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>