Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Goosebumps - Masalah Besar II Pendekar Gila - 39. Ajian Canda Birawa Joko Sableng - 42. Rahasia Darah Kutukan Rajawali Emas - 26. Tumbal Nyawa Perawan I am Number Four - Pittacus Lore
Perasaan sedih dan iba seringkali merupakan ungkapan perasaan yang paling nyata dalam setiap peristiwa..... disaat manusia menghadapi rasa takut dan ngeri dalam menghadapi kematian, biasanya perasaan mereka akan jadi kaku dan hilang rasa, tapi sekarang semua orang mulai merasa sedih dan iba terhadap rekan rekannya yang tewas, mulai merasa betapa berharganya nyawa yang dimiliki. Cara kerja keluarga kenamaan ini memang luar biasa, tidak sampai berapa saat kemudian semua jenasah telah dikubur, bahan makanan yang dibutuhkan pun sudah didatangkan, bahkan pintu gerbang yang semula kotor oleh darah pun kini sudah berkilat dan bersih sekali. Sayang nyawa yang terlanjur melayang tetap melayang, selamanya tak bisa kembali lagi. Selama ini Suto Siau, Hek Seng—thian serta Pek Seng—bu tak pernah bergeser setengah inci pun dari sisi Thiat Tiong—tong. Hay Tay-sau dengan matanya yang tajam bagai elang juga mengawasi terus gerak gerik Phoa Seng-hong. Bi-lek-hwee sambil bergandong tangan sebentar dudu, sebentar berdiri, dia nampak tak tenang, sedangkan Li Lok—yang dan putranya meski nampak sangat repot namun keningnya berkerut kencang, agaknya ada masalah berat yang mengganjal hati mereka. Tiba tiba Hay Tay-sau tertawa dingin sambil menyindir: “Ada sementara orang walaupun kelihatannya pintar, padahal gobloknya setengah mati, semestinya ada peluang untuk diam diam kabur, ia justru hingga sekarang masih bercokol disini” Phoa Seng—hong sengaja berpaling ke arah lain, dia berlagak seperti tidak mendengar perkataan itu. Sebaliknya Bi-lek—hwee tak bisa menahan diri, segera tegurnya: “Siapa yang hengtay maksudkan?” “Biarpun pertempuran sudah berlalu tapi biang kerok yang menimbulkan musibah ini justru masih bercokol dengan tenangnya, orang semacam ini masa kita biarkan berlagak terus?” Paras muka Phoa Seng-hong berubah hebat, Bi-lek-hwee pun kelihatan mulai naik pitam, dengan penuh amarah dia berpaling ke arah Hek Seng—thian dan Pek Seng—bu lalu hardiknya: “Betul, pertempuran sudah lewat, pertikaian diantara kitapun sudah saatnya untuk diselesaikan!” “Kita toh sesama saudara sendiri” ujar Hek Seng—thian sambil tersenyum, “kalau memang ada persoalan, mari kita bicarakan baik baik” “Kembalikan dulu muridku sebelum berbicara!” bentak Bi—lek-hwee nyaring. “Bila hengtay mengajak aku ribut dalam suasana dan situasi seperti ini, rasanya kaulah yang bakal rugi” ujar Hek Seng—thian dengan tenangnya, kemudian sambil tersenyum dan berpaling ke arah Suto Siau, lanjutnya, “bukan begitu saudara Suto?” “Kelihatannya memang begitu” jawab Suto Siau sambil tersenyum. Berubah paras muka Bi—lek—hwee. “Jadi saudara Suto akan membantunya?” Suto Siau hanya tersenyum tanpa menjawab, orang ini nyaris sepanjang hari hanya menampilkan senyuman hambarnya, membuat orang susah menebak arti sesungguhnya dari senyuman itu. Bi—lek—hwee mencoba memandang sekejap sekeliling tempat itu, agaknya berusaha mencari bantuan, tapi anak buahnya sudah keburu pergi dari situ sedang orang lain pun sama sekali tak berminat untuk mencampuri urusan ini. Diam diam ia menghela napas, selain kecewa hatinya panas dan marah. Untunglah pada saat itu Li Lok—yang muncul kembali dengan langkah lebar, dengan nyaring dia berseru: “Jika kalian masih ada urusan lain, silahkan dilanjutkan setelah mengisi perut!” Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya: “Waktu itu akupun ada berapa patah kata yang ingin kusampaikan kepada kalian semua” Tak lama kemudian diatas meja telah ditata hidangan yang meski tidak terlampau lezat namun cukup mengenyangkan perut. Dalam keadaan situasi seperti ini, biarpun dia seorang peminum juga tak ada selera untuk minum arak, biarpun dia banyak masalah pun untuk sesaat semuanya dikesampingkan dulu, hidangan sudah berada didepan mata, sementara waktu mereka tak ingin mengurusi hal yang lain kecuali mengisi perut secepatnya. Sejak dulu hingga sekarang, kelaparan merupakan musuh paling besar bagi umat manusia, sehebat dan setangguh apapun seorang enghiong, tak nanti dia sanggup melawan rasa lapar. Kini suara yang terdengar dalam ruangan hanyalah suara orang bersantap, selang sesaat kemudian tiba tiba Hek Seng—thian meletakkan kembali sumpitnya seraya berteriak kaget: “Aduh celaka!” paras mukanya ikut berubah. “Ada apa?” cepat Suto Siau bertanya. “Ada seseorang yang tidak ikut bersantap!” “Benarkah . . . . ..ooh” Li Lok—yang mengernyitkan alis matanya, setelah melirik Thiat Tiong—tong sekejap, serunya sambil berpaling, “Kiam-pek, kenapa kau tidak mengundang..... nyonya II itu untuk ikut bersantap . . . . .. Belum selesai dia berkata, Hek Seng—thian sudah lari keluar. “Sungguh aneh” gumam Hay Tay-sau dengan kening berkenyit, “sejak kapan dia mencemaskan bini orang yang tidak ikut bersantap, ini namanya kaisar tidak gelisah justru sang thaykam yang panik” Siapa tahu belum selesai dia berkata, Pek Seng—bu sudah ikut berlarian pula meninggalkan ruangan. Suto Siau meeski lebih dapat mengendalikan diri dan sama sekali tak bergerak dari tempat duduknya, namun kelihatan sekali kalau wajahnya berubah. Tentu saja ke tiga orang ini kuatir Un Tay—tay dengan membawa harta karun melarikan diri terlebih dulu, sementara Bi-lek—hwee dan Hay Tay-sau sekalian sama sekali tidak tahu duduknya persoalan, tentu saja mereka sangat keheranan setelah melihat kegugupan ke tiga orang itu. setelah mendeham berapa kali, Suto Siau berbisik ke sisi telinga Thiat Tiong—tong: “Saudara Thiat, harta karun itu apakah kau gembol dalam sakumu?” Thiat Tiong—tong termenung sampai lama sekali, kemudian baru ujarnya ketus: “Bila kau jadi aku, akan kau simpan dimana barang barang itu? Mana ada tempat yang jauh lebih aman daripada disisi diri sendiri?” Suto Siau tertegun, akhirnya sambil menghentakkan kakinya ia berseru: “Waah, kalau begitu runyam sudah urusannya!” Buru buru dia beranjak dari tempat duduknya dan ikut lari keluar dari ruangan. Tapi baru setengah jalan, ia sudah menghentikan kembali langkahnya. Melihat itu Thiat Tiong—tong segera berseru: “Aku sudah tak punya tempat untuk dituju, rasanya kau tak perlu menjaga disisiku lagi” Suto Siau segera mengerdipkan matanya memberi kode kepada Phoa Seng-hong, kemudian baru melanjutkan kembali perjalanannya keluar dari ruangan. Perlu diketahui, ke tiga orang ini menganggap harta karun adalah segala galanya, oleh sebab itu persoalan yang lain mereka anggap sudah tidak penting lagi. Li Lok—yang dan Hay Tay-sau sekalian hanya bisa saling berpandangan dengan mulut melongo. sambil menggebrak meja Bi-lek—hwee kontan mengumpat: “Permainan busuk apa yang sebenarnya sedang mereka bertiga lakukan? Benar benar bikin hatiku mendongkol!” “Kalau memang pingin tahu, kenapa tidak segera menyusul mereka untuk memeriksa sendiri?” sela Thiat Tiong—tong. “Aaah, benar juga! Lohu memang seharusnya menyusul ke sana!” seru Bi-lek-hwee. Tanpa sadar Hay Tay-sau ikut pula beranjak pergi. Tiba tiba Thiat Tiong—tong menghela napas panjang, gumamnya: “Manusia mati karena harta, burung mati karena makanan, harta karun ku itu nampaknya akan merenggut beberapa lembar nyawa manusia lagi” Berubah hebat paras muka Li Lok—yang, cepat dia melompat bangun sambil berseru: “sudah terlalu banyak manusia yang kukubur hari ini, aku tak ingin terjadi pembunuhan lagi ditempat ini, Kiam—pek, ayoh ikut aku!” Belum selesai bicara, tubuhnya sudah melangkah keluar dari ruangan. Li Kiam-pek melirik Thiat Tiong—tong dan Phoa Seng-hong sekejap kemudian buru buru keluar dari situ, ketika tiba diluar pintu, dia membisikkan sesuatu ke telinga anak buahnya, mungkin dia minta anak buahnya untuk memperhatikan gerak gerik ke dua orang itu. Maka saat ini dalam ruangan hanya tersisa Thiat Tiong—tong dan Phoa Seng—hong dua orang. “Jadi kau diperintahkan mereka untuk mengawasi aku?” tanya Thiat Tiong-tong kemudian. “Cayhe hanya ingin menemani hengtay” “Hmm, sekarang kau menjual tenaga untuk mereka, tunggu saja ketika mereka berkeinginan untuk melenyapkan biang keladi dari semua peristiwa ini, aku kuatir tak ada orang lagi yang mau menjual tenaga untukmu” Phoa Seng-hong tersenyum. “Aaah, belum tentu begitu” Jelas antara dia dengan Hek Seng—thian, Pek Seng—bu sekalian sudah ada perjanjian khusus sehingga dia nampak begitu tenang. “Jangan lupa” kata Thiat Tiong—tong lagi, “Kiu—cu Kui-bo sedang menunggumu setiap saat, kau pun jangan lupa kalau aku memiliki kekuatan yang bisa mengundurkan kekuatan Kiu—cu Kui—bo dari sini” Phoa Seng-hong tertunduk sambil termenung, tapi wajahnya sudah sedikit berubah, lewat sejenak kemudian tiba tiba dia mendongak sambil berkata: “Apa yang kau inginkan dariku? Coba dijelaskan lebih dulu” “Jika kau bersedia bekerja sama denganku, bukan saja selanjutnya tak ada ancaman jiwa bahkan dengan kesempatan ini kau bisa mendapat nama serta keuntungan materi secara bersamaan” “Benarkah ada keuntungan semacam ini didunia ini? Apa yang harus kulakukan?” “Asal kau bersedia mengenakan topeng kulit manusia yang kubeli dengan harga mahal ini, kemudian mengenakan juga pakaianku, persoalan yang lain bisa dihadapi menurut keadaan” “Apa yang harus kuperbuat?” tanya Phoa Seng-hong dengan mata terbelalak lebar. “Perawakan tubuhmu sembilan puluh persen mirip tubuhku, asal kau bisa mengatakan alasan yang tepat, enggan melepaskan topengmu, mereka pasti tak dapat mengenalimu lagi” “Perawakan badan boleh mirip, tapi suaraku . . . . . . ..” Thiat Tiong—tong segera tersenyum. “Padahal logat suaraku sekarangpun bukan suara asli, karena sudah kubuat buat, jadi setiap orang dapat menirukannya. Lagipula aku memang tak suka bicara, asal kau kurangi pembicaraan yang tak penting maka semuanya akan beres” Phoa Seng-hong kembali tertawa dingin, katanya: “Dengan menyamar jadi kau, meski aku berhasil mengelabuhi mereka semua namun apa keuntungannya bagiku? Hmm keuntungan bagimu jauh lebih banyak ketimbang bagiku” “Siapa bilang tak ada manfaatnya? Dengan menyamar jadi aku berarti manusia yang bernama Phoa Seng-hong telah lenyap, orang orang yang datang mencari balas harus pergi ke mana untuk menemukan Phoa Seng—hong?” “Apakah masih ada manfaat lain?” tanya Phoa Seng-hong setelah berpikir sejenak. “setelah kau menyamar jadi Thiat Tiong—tong, mereka pasti akan berusaha membaikimu karena mereka memang ingin memperalat Thiat Tiong—tong, menggunakan kesempatan ini kau bisa ‘mengaduk air menangkap ikan', aku percaya kau pasti sudah sangat terbiasa dengan perbuatan semacam ini” Akhirnya sekulum senyuman menghiasi ujung bibir Phoa Seng-hong. “Pada masa itu kau bahkan bisa menyelidiki banyak rahasia, bukan Cuma kau bisa mengancam mereka bahkan kau pun bisa peroleh banyak keuntungan dariku” kembali Thiat Tiong—tong berkata. Meski Phoa Seng-hong belum menjawab, namun dari senyuman diwajahnya dapat disimpulkan kalau dia sudah mulai tertarik. “secara garis besar itulah yang kumaui” ujar Thiat Tiong—tong lebih jauh, “tentu saja dalam perkembangan nanti masih terdapat beribu macam perubahan, aku percaya dengan kecerdasanmu semua masalah pasti bisa teratasi, jadi akupun tak usah menerangkan lebih jauh” “sampai kapan sandiwara ini baru akan berakhir?” tanya Phoa Seng-hong kemudian. “Asal kau tidak membongkar rahasiaku, setelah sampai suatu saat tertentu aku bakal muncul lagi mencarimu. waktu itu kaupun bisa
Goosebumps - Masalah Besar II Pendekar Gila - 39. Ajian Canda Birawa Joko Sableng - 42. Rahasia Darah Kutukan Rajawali Emas - 26. Tumbal Nyawa Perawan I am Number Four - Pittacus Lore
Perasaan sedih dan iba seringkali merupakan ungkapan perasaan yang paling nyata dalam setiap peristiwa..... disaat manusia menghadapi rasa takut dan ngeri dalam menghadapi kematian, biasanya perasaan mereka akan jadi kaku dan hilang rasa, tapi sekarang semua orang mulai merasa sedih dan iba terhadap rekan rekannya yang tewas, mulai merasa betapa berharganya nyawa yang dimiliki. Cara kerja keluarga kenamaan ini memang luar biasa, tidak sampai berapa saat kemudian semua jenasah telah dikubur, bahan makanan yang dibutuhkan pun sudah didatangkan, bahkan pintu gerbang yang semula kotor oleh darah pun kini sudah berkilat dan bersih sekali. Sayang nyawa yang terlanjur melayang tetap melayang, selamanya tak bisa kembali lagi. Selama ini Suto Siau, Hek Seng—thian serta Pek Seng—bu tak pernah bergeser setengah inci pun dari sisi Thiat Tiong—tong. Hay Tay-sau dengan matanya yang tajam bagai elang juga mengawasi terus gerak gerik Phoa Seng-hong. Bi-lek-hwee sambil bergandong tangan sebentar dudu, sebentar berdiri, dia nampak tak tenang, sedangkan Li Lok—yang dan putranya meski nampak sangat repot namun keningnya berkerut kencang, agaknya ada masalah berat yang mengganjal hati mereka. Tiba tiba Hay Tay-sau tertawa dingin sambil menyindir: “Ada sementara orang walaupun kelihatannya pintar, padahal gobloknya setengah mati, semestinya ada peluang untuk diam diam kabur, ia justru hingga sekarang masih bercokol disini” Phoa Seng—hong sengaja berpaling ke arah lain, dia berlagak seperti tidak mendengar perkataan itu. Sebaliknya Bi-lek—hwee tak bisa menahan diri, segera tegurnya: “Siapa yang hengtay maksudkan?” “Biarpun pertempuran sudah berlalu tapi biang kerok yang menimbulkan musibah ini justru masih bercokol dengan tenangnya, orang semacam ini masa kita biarkan berlagak terus?” Paras muka Phoa Seng-hong berubah hebat, Bi-lek-hwee pun kelihatan mulai naik pitam, dengan penuh amarah dia berpaling ke arah Hek Seng—thian dan Pek Seng—bu lalu hardiknya: “Betul, pertempuran sudah lewat, pertikaian diantara kitapun sudah saatnya untuk diselesaikan!” “Kita toh sesama saudara sendiri” ujar Hek Seng—thian sambil tersenyum, “kalau memang ada persoalan, mari kita bicarakan baik baik” “Kembalikan dulu muridku sebelum berbicara!” bentak Bi—lek-hwee nyaring. “Bila hengtay mengajak aku ribut dalam suasana dan situasi seperti ini, rasanya kaulah yang bakal rugi” ujar Hek Seng—thian dengan tenangnya, kemudian sambil tersenyum dan berpaling ke arah Suto Siau, lanjutnya, “bukan begitu saudara Suto?” “Kelihatannya memang begitu” jawab Suto Siau sambil tersenyum. Berubah paras muka Bi—lek—hwee. “Jadi saudara Suto akan membantunya?” Suto Siau hanya tersenyum tanpa menjawab, orang ini nyaris sepanjang hari hanya menampilkan senyuman hambarnya, membuat orang susah menebak arti sesungguhnya dari senyuman itu. Bi—lek—hwee mencoba memandang sekejap sekeliling tempat itu, agaknya berusaha mencari bantuan, tapi anak buahnya sudah keburu pergi dari situ sedang orang lain pun sama sekali tak berminat untuk mencampuri urusan ini. Diam diam ia menghela napas, selain kecewa hatinya panas dan marah. Untunglah pada saat itu Li Lok—yang muncul kembali dengan langkah lebar, dengan nyaring dia berseru: “Jika kalian masih ada urusan lain, silahkan dilanjutkan setelah mengisi perut!” Kemudian setelah berhenti sejenak, tambahnya: “Waktu itu akupun ada berapa patah kata yang ingin kusampaikan kepada kalian semua” Tak lama kemudian diatas meja telah ditata hidangan yang meski tidak terlampau lezat namun cukup mengenyangkan perut. Dalam keadaan situasi seperti ini, biarpun dia seorang peminum juga tak ada selera untuk minum arak, biarpun dia banyak masalah pun untuk sesaat semuanya dikesampingkan dulu, hidangan sudah berada didepan mata, sementara waktu mereka tak ingin mengurusi hal yang lain kecuali mengisi perut secepatnya. Sejak dulu hingga sekarang, kelaparan merupakan musuh paling besar bagi umat manusia, sehebat dan setangguh apapun seorang enghiong, tak nanti dia sanggup melawan rasa lapar. Kini suara yang terdengar dalam ruangan hanyalah suara orang bersantap, selang sesaat kemudian tiba tiba Hek Seng—thian meletakkan kembali sumpitnya seraya berteriak kaget: “Aduh celaka!” paras mukanya ikut berubah. “Ada apa?” cepat Suto Siau bertanya. “Ada seseorang yang tidak ikut bersantap!” “Benarkah . . . . ..ooh” Li Lok—yang mengernyitkan alis matanya, setelah melirik Thiat Tiong—tong sekejap, serunya sambil berpaling, “Kiam-pek, kenapa kau tidak mengundang..... nyonya II itu untuk ikut bersantap . . . . .. Belum selesai dia berkata, Hek Seng—thian sudah lari keluar. “Sungguh aneh” gumam Hay Tay-sau dengan kening berkenyit, “sejak kapan dia mencemaskan bini orang yang tidak ikut bersantap, ini namanya kaisar tidak gelisah justru sang thaykam yang panik” Siapa tahu belum selesai dia berkata, Pek Seng—bu sudah ikut berlarian pula meninggalkan ruangan. Suto Siau meeski lebih dapat mengendalikan diri dan sama sekali tak bergerak dari tempat duduknya, namun kelihatan sekali kalau wajahnya berubah. Tentu saja ke tiga orang ini kuatir Un Tay—tay dengan membawa harta karun melarikan diri terlebih dulu, sementara Bi-lek—hwee dan Hay Tay-sau sekalian sama sekali tidak tahu duduknya persoalan, tentu saja mereka sangat keheranan setelah melihat kegugupan ke tiga orang itu. setelah mendeham berapa kali, Suto Siau berbisik ke sisi telinga Thiat Tiong—tong: “Saudara Thiat, harta karun itu apakah kau gembol dalam sakumu?” Thiat Tiong—tong termenung sampai lama sekali, kemudian baru ujarnya ketus: “Bila kau jadi aku, akan kau simpan dimana barang barang itu? Mana ada tempat yang jauh lebih aman daripada disisi diri sendiri?” Suto Siau tertegun, akhirnya sambil menghentakkan kakinya ia berseru: “Waah, kalau begitu runyam sudah urusannya!” Buru buru dia beranjak dari tempat duduknya dan ikut lari keluar dari ruangan. Tapi baru setengah jalan, ia sudah menghentikan kembali langkahnya. Melihat itu Thiat Tiong—tong segera berseru: “Aku sudah tak punya tempat untuk dituju, rasanya kau tak perlu menjaga disisiku lagi” Suto Siau segera mengerdipkan matanya memberi kode kepada Phoa Seng-hong, kemudian baru melanjutkan kembali perjalanannya keluar dari ruangan. Perlu diketahui, ke tiga orang ini menganggap harta karun adalah segala galanya, oleh sebab itu persoalan yang lain mereka anggap sudah tidak penting lagi. Li Lok—yang dan Hay Tay-sau sekalian hanya bisa saling berpandangan dengan mulut melongo. sambil menggebrak meja Bi-lek—hwee kontan mengumpat: “Permainan busuk apa yang sebenarnya sedang mereka bertiga lakukan? Benar benar bikin hatiku mendongkol!” “Kalau memang pingin tahu, kenapa tidak segera menyusul mereka untuk memeriksa sendiri?” sela Thiat Tiong—tong. “Aaah, benar juga! Lohu memang seharusnya menyusul ke sana!” seru Bi-lek-hwee. Tanpa sadar Hay Tay-sau ikut pula beranjak pergi. Tiba tiba Thiat Tiong—tong menghela napas panjang, gumamnya: “Manusia mati karena harta, burung mati karena makanan, harta karun ku itu nampaknya akan merenggut beberapa lembar nyawa manusia lagi” Berubah hebat paras muka Li Lok—yang, cepat dia melompat bangun sambil berseru: “sudah terlalu banyak manusia yang kukubur hari ini, aku tak ingin terjadi pembunuhan lagi ditempat ini, Kiam—pek, ayoh ikut aku!” Belum selesai bicara, tubuhnya sudah melangkah keluar dari ruangan. Li Kiam-pek melirik Thiat Tiong—tong dan Phoa Seng-hong sekejap kemudian buru buru keluar dari situ, ketika tiba diluar pintu, dia membisikkan sesuatu ke telinga anak buahnya, mungkin dia minta anak buahnya untuk memperhatikan gerak gerik ke dua orang itu. Maka saat ini dalam ruangan hanya tersisa Thiat Tiong—tong dan Phoa Seng—hong dua orang. “Jadi kau diperintahkan mereka untuk mengawasi aku?” tanya Thiat Tiong-tong kemudian. “Cayhe hanya ingin menemani hengtay” “Hmm, sekarang kau menjual tenaga untuk mereka, tunggu saja ketika mereka berkeinginan untuk melenyapkan biang keladi dari semua peristiwa ini, aku kuatir tak ada orang lagi yang mau menjual tenaga untukmu” Phoa Seng-hong tersenyum. “Aaah, belum tentu begitu” Jelas antara dia dengan Hek Seng—thian, Pek Seng—bu sekalian sudah ada perjanjian khusus sehingga dia nampak begitu tenang. “Jangan lupa” kata Thiat Tiong—tong lagi, “Kiu—cu Kui-bo sedang menunggumu setiap saat, kau pun jangan lupa kalau aku memiliki kekuatan yang bisa mengundurkan kekuatan Kiu—cu Kui—bo dari sini” Phoa Seng-hong tertunduk sambil termenung, tapi wajahnya sudah sedikit berubah, lewat sejenak kemudian tiba tiba dia mendongak sambil berkata: “Apa yang kau inginkan dariku? Coba dijelaskan lebih dulu” “Jika kau bersedia bekerja sama denganku, bukan saja selanjutnya tak ada ancaman jiwa bahkan dengan kesempatan ini kau bisa mendapat nama serta keuntungan materi secara bersamaan” “Benarkah ada keuntungan semacam ini didunia ini? Apa yang harus kulakukan?” “Asal kau bersedia mengenakan topeng kulit manusia yang kubeli dengan harga mahal ini, kemudian mengenakan juga pakaianku, persoalan yang lain bisa dihadapi menurut keadaan” “Apa yang harus kuperbuat?” tanya Phoa Seng-hong dengan mata terbelalak lebar. “Perawakan tubuhmu sembilan puluh persen mirip tubuhku, asal kau bisa mengatakan alasan yang tepat, enggan melepaskan topengmu, mereka pasti tak dapat mengenalimu lagi” “Perawakan badan boleh mirip, tapi suaraku . . . . . . ..” Thiat Tiong—tong segera tersenyum. “Padahal logat suaraku sekarangpun bukan suara asli, karena sudah kubuat buat, jadi setiap orang dapat menirukannya. Lagipula aku memang tak suka bicara, asal kau kurangi pembicaraan yang tak penting maka semuanya akan beres” Phoa Seng-hong kembali tertawa dingin, katanya: “Dengan menyamar jadi kau, meski aku berhasil mengelabuhi mereka semua namun apa keuntungannya bagiku? Hmm keuntungan bagimu jauh lebih banyak ketimbang bagiku” “Siapa bilang tak ada manfaatnya? Dengan menyamar jadi aku berarti manusia yang bernama Phoa Seng-hong telah lenyap, orang orang yang datang mencari balas harus pergi ke mana untuk menemukan Phoa Seng—hong?” “Apakah masih ada manfaat lain?” tanya Phoa Seng-hong setelah berpikir sejenak. “setelah kau menyamar jadi Thiat Tiong—tong, mereka pasti akan berusaha membaikimu karena mereka memang ingin memperalat Thiat Tiong—tong, menggunakan kesempatan ini kau bisa ‘mengaduk air menangkap ikan', aku percaya kau pasti sudah sangat terbiasa dengan perbuatan semacam ini” Akhirnya sekulum senyuman menghiasi ujung bibir Phoa Seng-hong. “Pada masa itu kau bahkan bisa menyelidiki banyak rahasia, bukan Cuma kau bisa mengancam mereka bahkan kau pun bisa peroleh banyak keuntungan dariku” kembali Thiat Tiong—tong berkata. Meski Phoa Seng-hong belum menjawab, namun dari senyuman diwajahnya dapat disimpulkan kalau dia sudah mulai tertarik. “secara garis besar itulah yang kumaui” ujar Thiat Tiong—tong lebih jauh, “tentu saja dalam perkembangan nanti masih terdapat beribu macam perubahan, aku percaya dengan kecerdasanmu semua masalah pasti bisa teratasi, jadi akupun tak usah menerangkan lebih jauh” “sampai kapan sandiwara ini baru akan berakhir?” tanya Phoa Seng-hong kemudian. “Asal kau tidak membongkar rahasiaku, setelah sampai suatu saat tertentu aku bakal muncul lagi mencarimu. waktu itu kaupun bisa