Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti
“Sampai kapan sandiwara ini baru akan berakhir?” tanya Phoa Seng—hong kemudian. “Asal kau tidak membongkar rahasiaku, setelah sampai suatu saat tertentu aku bakal muncul lagi mencarimu, waktu itu kaupun bisa kabur untuk menyelamatkan diri” Setelah dipikir punya pikir, Phoa Seng—hong merasa bahwa dengan berbuat begitu sesungguhnya tiada kerugian apa pun bagi dirinya, malah banyak manfaat dan keuntungan yang bisa diperolehnya, tentu saja diapun tak akan memikirkan sampai dimana kerugian yang bakal diderita orang lain. Walaupun ditengah halaman terdapat sekawanan centeng sedang meronda, namun kelaparan yang telah diderita banyak hari dan kini merekapun sudah makan kenyang, keadaan tersebut membuat mereka mulai terkantuk kantuk. Thiat Tiong-tong segera menarik tangan Phoa Seng—hong dan bersembunyi di belakang pembatas ruangan. Tak lama kemudian muncllah Thiat Tiong-tong dengan wajah aslinya serta Phoa Seng—hong yang kini telah berubah menjadi si kakek aneh. “Mirip tidak suaraku?” tanya Phoa Seng—hong kemudian dengan suara parau. Thiat Tiong-tong tersenyum. “Kalau suaramu lebih rendah sedikit lagi, kujamin orang lain tak bisa mengenalimu lagi” katanya. Setelah melalui berapa hari penyaruan, kulit wajahnya yang semula hitam berkilat kini terlihat sedikit putih pucat dan kusut. Phoa Seng—hong segera membetulkan letak pakaiannya lalu berbisik: “Bagaimana cara kita berhubungan dikemudian hari?” “Kita menggunakan kata Sandi “Merubah wajah” untuk melakukan kontak dan bintang bersegi tujuh sebagai tanda rahasia, setiap saat kita bisa saling berhubungan” “Baik! Kau boleh segera berangkat” Sambil tertawa Thiat Tiong-tong menggeleng. Ketika untuk pertama kalinya menyaksikan senyuman pemuda itu, Phoa Seng—hong merasakan hatinya bergetar keras, raut wajahnya yang tampan terasa memiliki daya pikat yang susah dilawan. Tanpa terasa pikirnya: “Aku sebagai seorang pria pun langsung terpikat oleh senyuman wajahnya, apalagi seorang wanita . . . . ..” Sementara itu Thiat Tiong-tong sudah melompat keluar melalui jendela Sambil berbisik: “Sementara waktu aku masih akan tetap tinggal disini!" Dengan sekali lompatan ia sudah menyusup naik ke atas wuwungan rumah. Gedung bangunan ini selain kuno dan tua, luasnya bukan kepalang, tiang penglarinya sangat lebar dan luas, cukup dapat menampung puluhan orang tanpa bisa diketahui orang yang ada dibawahnya. Diam diam Phoa Seng—hong keheranan, dia tak habis mengerti kenapa pemuda itu belum juga kabur dari situ, tapi dia tak banyak membantah dan segera duduk dengan tenang disana, karena sepak terjang serta kecerdasan otak anak muda itu benar benar telah membuat hatinya takluk. Berapa saat kemudian terdengar suara desingan angin tajam berkelebat lewat. Hek Seng-thian dan Pek Seng—bu telah berlari masuk ke dalam ruangan dengan wajah gelisah, begitu tiba dihadapan Phoa Seng—hong segera bentaknya nyaring: “Un Tay—tay berada di mana?” Thiat Tiong-tong yang mengintip dari atas tiang penglari diam diam merasa kegirangan, dia tahu Hek Seng-thian dan Pek Seng—bu telah menganggap Phoa Seng—hong sebagai dirinya. Tapi diapun sedikit terkejut bercampur keheranan setelah mendengar kalau Un Tay—tay benar benar telah pergi. Dalam pada itu Phoa Seng—hong telah menggeleng dengan wajah kaku, dia malah balik bertanya: “Ooh, jadi dia sudah pergi?” “Masa kau tidak membuat janji dengannya?” bentak Hek Seng-thian lagi. “Kenapa aku harus membuat janji dengannya?” jawab Phoa Seng—hong dengan suara yang direndahkan dan sangat parau, benar saja, logat bicaranya persis sekali dengan logat bicara Thiat Tiong-tong. Sambil menghentakkan kakinya berulang kali, kembali Hek Seng-thian berseru: “Tahukah kau, semua harta karun yang kau miliki telah dibawa lari perempuan sundal itu? Kenapaa kau tidak nampak panik?” “Aah, harta karun hanya barang keduniawian, kenapa aku mesti panik?” Hawa membunuh seketika melintas diwajah Hek Seng-thian, teriaknya penuh amarah: “Tahukah kau, semua harta karun itu menjadi milikku? Semua ini gara gara ulahmu sehingga persoalan besar jadi kacau balau!” Didalam gusarnya hampir saja dia turun tangan untuk melakukan pembunuhan. Untung saja disaat yang kritis Suto Siau telah muncul pula disana, dia memang melakukan pencarian dengan lebih seksama sehingga baliknya lebih terlambat. Melihat mimik muka Hek Seng-thian yang diliputi kegusaran, dia tahu orang itu sedang sakit hati karena kehilangan peluang untuk memiliki sejumlah harta yang tak ternilai harganya. Cepat dia menariknya ke samping Sambil berbisik: “Biarpun Un Tay-tay telah melarikan sejumlah harta karun, namun orang she-Thiat ini jauh lebih berharga lagi, bila ia bersedia bergabung dengan kita, lebih banyak keuntungan yang bakal kita peroleh, saudara Hek, kau tak boleh mencelakainya!” Hek Seng-thian tertegun berapa saat, akhirnya ia terta wa terbahak-bahak. “Hahahaha.... siaute hanya merasa sakit hati bagi kehilangan yang diderita saudara Thiat, masa harta karun sebanyak itu dilarikan seorang perempuan sundal!” “Dia tak bakal bisa kabur terlalu jauh, siaute jamin akan membantu saudara Thiat untuk menemukannya kembali” janji Suto Siau dingin, lalu setelah memandang sekejap sekeliling ruangan, tiba tiba serunya lagi dengan wajah berubah, “ke mana perginya Phoa Seng-hong?” “Dia sudah kabur!” jawab ‘Phoa Seng—hong’ Cepat. Kebetulan Hay Tay-sau sedang melangkah masuk ke dalam ruangan, mendengar itu segera teriaknya: “Dia telah kabur ke mana?” “Kalian toh tidak pernah minta aku untuk menjaganya, bagaimana mungkin aku bisa tahu ke mana kaburnya orang itu?” Dengan kening berkerut Suto Siau segera tertawa paksa, selanya: “Cayhe pun merasa bangsat ini rada aneh, kenapa . . . . . . . ..” “Aku dengar bajingan ini paling pandai menggaet kaum wanita” sela Hek Seng-thian dengan wajah berubah, “jangan jangan Un Tay—tay sudah tergaet olehnya sehingga mereka berdua kabur bersama?” Kontan Suto Siau tertawa dingin, selanya: “Biarpun Un Tay—tay jalang, dia mah tak bakalan tertarik dengan lelaki busuk macam Phoa Seng—hong, jadi saudara Hek tak perlu kuatir” ‘Phoa Seng—hong’ merasa mendongkol sekali setelah mendengar umpatan yang dialamatkan kepada dirinya itu, namun dia tak bisa berbicara apa apa karena itu rasa jengkelnya hanya disimpan didalam hati. Diluaran dia malah manggut manggut tanda setuju, katanya Sambil tertawa terkekeh kekeh: “Umpatan yang bagus! Umpatan yang sangat tepat!” Dengan geram Hay Tay—sau berseru lagi: “Mungkin bajingan itu tahu kalau aku tak akan mengampuninya, maka diam diam kabur dari sini. Bajingan keparat! Biar kau kabur ke langit atau menyusup ke dalam bumi, aku tetap akan mencarimu hingga ketemu!” Tabiat orang ini benar benar keras dan berangasan, begitu berkata akan pergi, belum lagi selesai bicara dia benar benar sudah beranjak pergi meninggalkan tempat itu. “Dalam kegelapan malam, aku rasa perempuan jalang itupun tak bakal pergi terlalu jauh” kata Suto Siau kemudian, “asal kita lakukan pengejaran bersama, delapan puluh persen kita pasti dapat menyusulnya” “Memang seharusnya begitu!” sambung Hek Seng-thian. Suto Siau segera berpaling ke arah ‘Phoa Seng—hong’ dan bertanya: “Bagaimana pendapat saudara Thiat?” Perlahan-lahan ‘Phoa Seng—hong’ bangkit berdiri, sahutnya: “Kalau bersatu kedua belah pihak sama—sama untung, kalau tercerai berai kedua belah pihak sama—sama buntung . . . . . . ..” “Aaah, saudara Thiat betul betul seorang manusia berbakat yang hebat, pandai sekali kau menilai situasi” seru Suto Siau kegirangan, “saudara Hek, saudara Pek, urusan ini tak bisa ditunda lagi, ayoh kita segera berpamitan dengan tuan rumah!” Ke tiga orang ini memang tidak membawa perbekalan apa apa, benar saja, mereka langsung berpamitan dengan tuan rumah. Meskipun dimulut Li Lok—yang berlagak menahan mereka, namun tawarannya sudah tidak sehangat semula. Thiat Tiong-tong yang bersembunyi diatas tiang penglari menengok ke bawah, dia saksikan Li Lok-yang berdiri termangu berapa saat lamanya, kemudian dengan menyeret langkah kakinya yang berat, dia padamkan lilin yang ada diseluruh ruangan. Kini didalam ruang gedung yang luas hanya tersisa sebuah lentera, cahaya lentera yang redup membuat suasana disitu terasa amat sepi dan redup. Setelah menanti beberapa saat lagi hingga sama sekali tak kedengaran ada suara, Thiat Tiong-tong baru melompat turun dari atas tiang penglari dan menyelinap keluar melalui jendela. Malam semakin kelam, tapi dia masih menanti, masih melakukan pencarian, tapi siapa yang dinantikan dan siapa pula yang dicari? Akhirnya dari sebuah sudut nun jauh disana, dibalik kegelapan malam, diantara pepohonan terdengar suara gemerisik yang lirih serta desingan angin lembut, meski suaranya lirih namun Thiat Tiong-tong tak mau melepaskannya dengan begitu saja. Terlihat sesosok bayangan manusia menyelinap keluar dari balik pepohonan, lalu dengan sigap mengawasi sekejap sekeliling tempat itu. Setelah memperhatikan sekejap suasana disitu, akhirnya orang itu munculkan diri, dia mengenakan baju berwarna hitam dengan saputangan warna hitam membungkus kepalanya, hanya sepasang matanya yang jeli nampak berkilauan. Thiat Tiong-tong menahan napas, akhirnya ia dapat melihat dengan jelas wajah bayangan itu, dia tak lain adalah Un Tay-tay. Tangan kirinya membawa sebuah kotak peti Sementara tangan kanannya membawa karung goni, baru berjalan berapa langkah kembali ia menghentikan tubuhnya Sambil memasang telinga. Diam diam Thiat Tiong-tong tertawa dingin, pikirnya: “Ternyata Un Tay—tay memang sangat pintar, sadar kalau sulit baginya kabur dari sini, dia putuskan untuk tetap tinggal di tempat ini” Dengan sangat berhati hati Un Tay—tay menyelinap keluar kemudian melompat naik ke atas wuwungan rumah, tak jauh dari tempat persembunyian Thiat Tiong-tong, Sambil mendekam diatas atap rumah, ia mengatur napasnya yang sedikit tersengkal. Waktu itu Thiat Tiong-tong sudah memilih sebuah tempat yang paling tersembunyi untuk dirinya, oleh sebab itu dia dapat mengikuti semua gerak gerik Un Tay—tay, sebaliknya Un Tay—tay sama sekali tak dapat melihat tempat persembunyiannya. Ketika napasnya yang tersengkal mulai tenang kembali, dia segera mengikat karung goni itu di punggungnya, lalu setelah membetulkan ikat pinggangnya diapun mengikat kencang sepatunya. Perlahan lahan Thiat Tiong-tong mulai menggerakkan tubuhnya, hawa murni telah dihimpun dalam lengannya, dia siap melancarkan sergapan untuk membekuk perempuan itu dalam sekali serangan. Ketika sudah selesai bebenah ternyata Un Tay—tay tidak langsung pergi dari situ, sebaliknya dia malah mengendorkan tubuhnya Sambil berbaring diatas atap, entah apa yang sedang dipikirkan. Mendadak sorot matanya memancarkan sinar kesedihan bercampur amarah yang meluap, gumamnya lirih: “Suto Siau, kau telah merusak hubunganku dengannya, aku tak akan mengampuni dirimu!” Baru bicara sampai disitu, dia seakan tersadar akan kesilafannya, buru buru perempuan itu tutup mulutnya kembali. Thiat Tiong-tong bukan orang bodoh, tentu saja ia dapat menangkap maksud dari perkataannya itu. Dia telah memperhitungkan secara tepat bahwa Un Tay—tay tak
Imam Tanpa Bayangan II - Xiao Say Pendekar Pulau Neraka - 50. Bidadari Penyambar Nyawa Ksatria Panji Sakti - Gu Long Animorphs 17 Menembus Gua Bawah Tanah Pendekar Perisai Naga - 5. Siluman Kera Sakti
“Sampai kapan sandiwara ini baru akan berakhir?” tanya Phoa Seng—hong kemudian. “Asal kau tidak membongkar rahasiaku, setelah sampai suatu saat tertentu aku bakal muncul lagi mencarimu, waktu itu kaupun bisa kabur untuk menyelamatkan diri” Setelah dipikir punya pikir, Phoa Seng—hong merasa bahwa dengan berbuat begitu sesungguhnya tiada kerugian apa pun bagi dirinya, malah banyak manfaat dan keuntungan yang bisa diperolehnya, tentu saja diapun tak akan memikirkan sampai dimana kerugian yang bakal diderita orang lain. Walaupun ditengah halaman terdapat sekawanan centeng sedang meronda, namun kelaparan yang telah diderita banyak hari dan kini merekapun sudah makan kenyang, keadaan tersebut membuat mereka mulai terkantuk kantuk. Thiat Tiong-tong segera menarik tangan Phoa Seng—hong dan bersembunyi di belakang pembatas ruangan. Tak lama kemudian muncllah Thiat Tiong-tong dengan wajah aslinya serta Phoa Seng—hong yang kini telah berubah menjadi si kakek aneh. “Mirip tidak suaraku?” tanya Phoa Seng—hong kemudian dengan suara parau. Thiat Tiong-tong tersenyum. “Kalau suaramu lebih rendah sedikit lagi, kujamin orang lain tak bisa mengenalimu lagi” katanya. Setelah melalui berapa hari penyaruan, kulit wajahnya yang semula hitam berkilat kini terlihat sedikit putih pucat dan kusut. Phoa Seng—hong segera membetulkan letak pakaiannya lalu berbisik: “Bagaimana cara kita berhubungan dikemudian hari?” “Kita menggunakan kata Sandi “Merubah wajah” untuk melakukan kontak dan bintang bersegi tujuh sebagai tanda rahasia, setiap saat kita bisa saling berhubungan” “Baik! Kau boleh segera berangkat” Sambil tertawa Thiat Tiong-tong menggeleng. Ketika untuk pertama kalinya menyaksikan senyuman pemuda itu, Phoa Seng—hong merasakan hatinya bergetar keras, raut wajahnya yang tampan terasa memiliki daya pikat yang susah dilawan. Tanpa terasa pikirnya: “Aku sebagai seorang pria pun langsung terpikat oleh senyuman wajahnya, apalagi seorang wanita . . . . ..” Sementara itu Thiat Tiong-tong sudah melompat keluar melalui jendela Sambil berbisik: “Sementara waktu aku masih akan tetap tinggal disini!" Dengan sekali lompatan ia sudah menyusup naik ke atas wuwungan rumah. Gedung bangunan ini selain kuno dan tua, luasnya bukan kepalang, tiang penglarinya sangat lebar dan luas, cukup dapat menampung puluhan orang tanpa bisa diketahui orang yang ada dibawahnya. Diam diam Phoa Seng—hong keheranan, dia tak habis mengerti kenapa pemuda itu belum juga kabur dari situ, tapi dia tak banyak membantah dan segera duduk dengan tenang disana, karena sepak terjang serta kecerdasan otak anak muda itu benar benar telah membuat hatinya takluk. Berapa saat kemudian terdengar suara desingan angin tajam berkelebat lewat. Hek Seng-thian dan Pek Seng—bu telah berlari masuk ke dalam ruangan dengan wajah gelisah, begitu tiba dihadapan Phoa Seng—hong segera bentaknya nyaring: “Un Tay—tay berada di mana?” Thiat Tiong-tong yang mengintip dari atas tiang penglari diam diam merasa kegirangan, dia tahu Hek Seng-thian dan Pek Seng—bu telah menganggap Phoa Seng—hong sebagai dirinya. Tapi diapun sedikit terkejut bercampur keheranan setelah mendengar kalau Un Tay—tay benar benar telah pergi. Dalam pada itu Phoa Seng—hong telah menggeleng dengan wajah kaku, dia malah balik bertanya: “Ooh, jadi dia sudah pergi?” “Masa kau tidak membuat janji dengannya?” bentak Hek Seng-thian lagi. “Kenapa aku harus membuat janji dengannya?” jawab Phoa Seng—hong dengan suara yang direndahkan dan sangat parau, benar saja, logat bicaranya persis sekali dengan logat bicara Thiat Tiong-tong. Sambil menghentakkan kakinya berulang kali, kembali Hek Seng-thian berseru: “Tahukah kau, semua harta karun yang kau miliki telah dibawa lari perempuan sundal itu? Kenapaa kau tidak nampak panik?” “Aah, harta karun hanya barang keduniawian, kenapa aku mesti panik?” Hawa membunuh seketika melintas diwajah Hek Seng-thian, teriaknya penuh amarah: “Tahukah kau, semua harta karun itu menjadi milikku? Semua ini gara gara ulahmu sehingga persoalan besar jadi kacau balau!” Didalam gusarnya hampir saja dia turun tangan untuk melakukan pembunuhan. Untung saja disaat yang kritis Suto Siau telah muncul pula disana, dia memang melakukan pencarian dengan lebih seksama sehingga baliknya lebih terlambat. Melihat mimik muka Hek Seng-thian yang diliputi kegusaran, dia tahu orang itu sedang sakit hati karena kehilangan peluang untuk memiliki sejumlah harta yang tak ternilai harganya. Cepat dia menariknya ke samping Sambil berbisik: “Biarpun Un Tay-tay telah melarikan sejumlah harta karun, namun orang she-Thiat ini jauh lebih berharga lagi, bila ia bersedia bergabung dengan kita, lebih banyak keuntungan yang bakal kita peroleh, saudara Hek, kau tak boleh mencelakainya!” Hek Seng-thian tertegun berapa saat, akhirnya ia terta wa terbahak-bahak. “Hahahaha.... siaute hanya merasa sakit hati bagi kehilangan yang diderita saudara Thiat, masa harta karun sebanyak itu dilarikan seorang perempuan sundal!” “Dia tak bakal bisa kabur terlalu jauh, siaute jamin akan membantu saudara Thiat untuk menemukannya kembali” janji Suto Siau dingin, lalu setelah memandang sekejap sekeliling ruangan, tiba tiba serunya lagi dengan wajah berubah, “ke mana perginya Phoa Seng-hong?” “Dia sudah kabur!” jawab ‘Phoa Seng—hong’ Cepat. Kebetulan Hay Tay-sau sedang melangkah masuk ke dalam ruangan, mendengar itu segera teriaknya: “Dia telah kabur ke mana?” “Kalian toh tidak pernah minta aku untuk menjaganya, bagaimana mungkin aku bisa tahu ke mana kaburnya orang itu?” Dengan kening berkerut Suto Siau segera tertawa paksa, selanya: “Cayhe pun merasa bangsat ini rada aneh, kenapa . . . . . . . ..” “Aku dengar bajingan ini paling pandai menggaet kaum wanita” sela Hek Seng-thian dengan wajah berubah, “jangan jangan Un Tay—tay sudah tergaet olehnya sehingga mereka berdua kabur bersama?” Kontan Suto Siau tertawa dingin, selanya: “Biarpun Un Tay—tay jalang, dia mah tak bakalan tertarik dengan lelaki busuk macam Phoa Seng—hong, jadi saudara Hek tak perlu kuatir” ‘Phoa Seng—hong’ merasa mendongkol sekali setelah mendengar umpatan yang dialamatkan kepada dirinya itu, namun dia tak bisa berbicara apa apa karena itu rasa jengkelnya hanya disimpan didalam hati. Diluaran dia malah manggut manggut tanda setuju, katanya Sambil tertawa terkekeh kekeh: “Umpatan yang bagus! Umpatan yang sangat tepat!” Dengan geram Hay Tay—sau berseru lagi: “Mungkin bajingan itu tahu kalau aku tak akan mengampuninya, maka diam diam kabur dari sini. Bajingan keparat! Biar kau kabur ke langit atau menyusup ke dalam bumi, aku tetap akan mencarimu hingga ketemu!” Tabiat orang ini benar benar keras dan berangasan, begitu berkata akan pergi, belum lagi selesai bicara dia benar benar sudah beranjak pergi meninggalkan tempat itu. “Dalam kegelapan malam, aku rasa perempuan jalang itupun tak bakal pergi terlalu jauh” kata Suto Siau kemudian, “asal kita lakukan pengejaran bersama, delapan puluh persen kita pasti dapat menyusulnya” “Memang seharusnya begitu!” sambung Hek Seng-thian. Suto Siau segera berpaling ke arah ‘Phoa Seng—hong’ dan bertanya: “Bagaimana pendapat saudara Thiat?” Perlahan-lahan ‘Phoa Seng—hong’ bangkit berdiri, sahutnya: “Kalau bersatu kedua belah pihak sama—sama untung, kalau tercerai berai kedua belah pihak sama—sama buntung . . . . . . ..” “Aaah, saudara Thiat betul betul seorang manusia berbakat yang hebat, pandai sekali kau menilai situasi” seru Suto Siau kegirangan, “saudara Hek, saudara Pek, urusan ini tak bisa ditunda lagi, ayoh kita segera berpamitan dengan tuan rumah!” Ke tiga orang ini memang tidak membawa perbekalan apa apa, benar saja, mereka langsung berpamitan dengan tuan rumah. Meskipun dimulut Li Lok—yang berlagak menahan mereka, namun tawarannya sudah tidak sehangat semula. Thiat Tiong-tong yang bersembunyi diatas tiang penglari menengok ke bawah, dia saksikan Li Lok-yang berdiri termangu berapa saat lamanya, kemudian dengan menyeret langkah kakinya yang berat, dia padamkan lilin yang ada diseluruh ruangan. Kini didalam ruang gedung yang luas hanya tersisa sebuah lentera, cahaya lentera yang redup membuat suasana disitu terasa amat sepi dan redup. Setelah menanti beberapa saat lagi hingga sama sekali tak kedengaran ada suara, Thiat Tiong-tong baru melompat turun dari atas tiang penglari dan menyelinap keluar melalui jendela. Malam semakin kelam, tapi dia masih menanti, masih melakukan pencarian, tapi siapa yang dinantikan dan siapa pula yang dicari? Akhirnya dari sebuah sudut nun jauh disana, dibalik kegelapan malam, diantara pepohonan terdengar suara gemerisik yang lirih serta desingan angin lembut, meski suaranya lirih namun Thiat Tiong-tong tak mau melepaskannya dengan begitu saja. Terlihat sesosok bayangan manusia menyelinap keluar dari balik pepohonan, lalu dengan sigap mengawasi sekejap sekeliling tempat itu. Setelah memperhatikan sekejap suasana disitu, akhirnya orang itu munculkan diri, dia mengenakan baju berwarna hitam dengan saputangan warna hitam membungkus kepalanya, hanya sepasang matanya yang jeli nampak berkilauan. Thiat Tiong-tong menahan napas, akhirnya ia dapat melihat dengan jelas wajah bayangan itu, dia tak lain adalah Un Tay-tay. Tangan kirinya membawa sebuah kotak peti Sementara tangan kanannya membawa karung goni, baru berjalan berapa langkah kembali ia menghentikan tubuhnya Sambil memasang telinga. Diam diam Thiat Tiong-tong tertawa dingin, pikirnya: “Ternyata Un Tay—tay memang sangat pintar, sadar kalau sulit baginya kabur dari sini, dia putuskan untuk tetap tinggal di tempat ini” Dengan sangat berhati hati Un Tay—tay menyelinap keluar kemudian melompat naik ke atas wuwungan rumah, tak jauh dari tempat persembunyian Thiat Tiong-tong, Sambil mendekam diatas atap rumah, ia mengatur napasnya yang sedikit tersengkal. Waktu itu Thiat Tiong-tong sudah memilih sebuah tempat yang paling tersembunyi untuk dirinya, oleh sebab itu dia dapat mengikuti semua gerak gerik Un Tay—tay, sebaliknya Un Tay—tay sama sekali tak dapat melihat tempat persembunyiannya. Ketika napasnya yang tersengkal mulai tenang kembali, dia segera mengikat karung goni itu di punggungnya, lalu setelah membetulkan ikat pinggangnya diapun mengikat kencang sepatunya. Perlahan lahan Thiat Tiong-tong mulai menggerakkan tubuhnya, hawa murni telah dihimpun dalam lengannya, dia siap melancarkan sergapan untuk membekuk perempuan itu dalam sekali serangan. Ketika sudah selesai bebenah ternyata Un Tay—tay tidak langsung pergi dari situ, sebaliknya dia malah mengendorkan tubuhnya Sambil berbaring diatas atap, entah apa yang sedang dipikirkan. Mendadak sorot matanya memancarkan sinar kesedihan bercampur amarah yang meluap, gumamnya lirih: “Suto Siau, kau telah merusak hubunganku dengannya, aku tak akan mengampuni dirimu!” Baru bicara sampai disitu, dia seakan tersadar akan kesilafannya, buru buru perempuan itu tutup mulutnya kembali. Thiat Tiong-tong bukan orang bodoh, tentu saja ia dapat menangkap maksud dari perkataannya itu. Dia telah memperhitungkan secara tepat bahwa Un Tay—tay tak