Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ksatria Panji Sakti - 55

$
0
0
Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf

Goosebumps - Masalah Besar II Pendekar Gila - 39. Ajian Canda Birawa Joko Sableng - 42. Rahasia Darah Kutukan Rajawali Emas - 26. Tumbal Nyawa Perawan I am Number Four - Pittacus Lore

Baru bicara sampai disitu, dia seakan tersadar akan kesilafannya, buru buru perempuan itu tutup mulutnya kembali. Thiat Tiong—tong bukan orang bodoh, tentu saja ia dapat menangkap maksud dari perkataannya itu. Dia telah memperhitungkan secara tepat bahwa Un Tay-tay tak bakalan berani kabur disaat seperti itu, maka dia sengaja menunggunya disitu, rencananya akan dia tangkap perempuan itu bahkan mungkin menghabisi nyawanya sambil mengambil balik harta karun itu. Tapi Sekarang, secara tiba tiba dia berganti haluan. “Harta karun yang ada disini paling banter Cuma satu bagian dari seluruh harta yang ada, bagian ini merupakan bagianku, kenapa tidak kuserahkan sementara waktu kepadanya, agar dia bisa menggunakan harta tadi untuk menghadapi Suto Siau sekalian? Dengan kepintaran serta ketelengasannya, ditambah dengan kecantikan wajahnya, bukankah dia justru merupakan musuh paling tangguh bagi Suto Siau?” Ternyata dia telah membagi harta karun itu menjadi sepuluh bagian, diantaranya tiga bagian dia sisihkan sebagai beaya dari sebuah misi rahasia..... apakah misi rahasia itu? Tak ada yang tahu kecuali dia sendiri, sebab hal ini merupakan masalah paling rahasia yang dia miliki. Dua bagian yang lain dia sisihkan untuk Im Ceng, agar dia bisa menggunakan beaya tersebut untuk balas dendam. Sui Leng-kong juga memperoleh dua bagian, gadis ini pernah menjaga harta karun itu, pernah merawat dan menemani kakek yang cacad lagi kesepian, sudah sewajarnya bila dia peroleh bagian itu. Untuk darah daging keluarga Im yang masih dalam rahim Leng Cing—peng, diapun sisihkan satu bagian, sementara sisanya yang satu bagian akan dia berikan kepada Tio Ki—kong yang telah selamatkan jiwanya serta jiwa Im Ceng. Akhirnya Un Tay-tay bangkit berdiri dan melesat turun dari wuwungan rumah, wanita memang tak pernah lebih sabar dari kaum pria, walaupun saat itu dia merasa lapar, letih dan lemah namun gerakan tubuhnya tetap lincah dan gesit. Tak selang berapa saat kemudian ia sudah meninggalkan gedung perkampungan dan menyusup masuk ke dalam hutan. Thiat Tiong—tong menguntil dari kejauhan, walaupun dia tak menyesal telah menyerahkan harta tersebut kapadanya, namun sebenarnya diapun telah menyerahkan sebuah tugas besar kepada perempuan itu. Kini dia ingin menyaksikan semua tingkah lakunya, apakah dia memang mampu memikul tanggung jawab besar itu? Setibanya didalam hutan Un Tay-tay baru memperlambat langkahnya dan menghembuskan napas panjang. Baru saja dia akan beristirahat sejenak, mendadak terlihat sesosok bayangan manusia melompat turun dari atas pohon, melayang turun persis dihadapannya dan mengawasi perempuan itu sambil tertawa. Dalam terkejut dan gugupnya, paras muka Un Tay-tay berubah hebat. Bayangan manusia itu membawa sebuah buntalan ditangan kirinya, dalam buntalan terlihat cahaya hijau yang berkilauan, dengan wajah cengar cengir orang itu sedang mengawasi wajahnya tanpa berkedip. setelah berhasil mengendalikan diri, Un Tay-tay baru dapat melihat jelas wajah orang itu, ternyata dia tak lain adalah si bocah pincang, anak murid Kiu-cu Kui—bo. Tak kuasa lagi dia segera menegur: “Bukankah kalian sudah pergi semua? Kenapa kau masih berada di sini?” Bocah pincang itu tertawa terkekeh, sambil menuding bungkusan ditangan kirinya dia menyahut: “Mereka semua memang sudah pergi, aku datang untuk mengumpulkan kembali mutiara hijau yang tergantung disekitar hutan” “setelah semua mutiara hijau diambil, sudah sepantasnya kau segera pulang” kata Un Tay-tay sambil menarik napas dalam, “kenapa masih ada disini? Tidak kuatir dicari suhumu?” Bocah pincang itu hanya mengawasi payudara Un Tay-tay yang montok tanpa berkedip, sementara senyuman masih menghiasi bibirnya. “Ciss.... tak tahu malu” umpat Un Tay-tay sambil tertawa, “hey setan cilik, berapa usiamu tahun ini?’ “Empat belas” “Wouw, baru berusia empat belas sudah pandai melihat perempuan, siapa yang mengajari mu?” sambil membesut ingus dari hidungnya, bocah pincang itu kembali tertawa terkekeh. “Masa melihat wanita cantik pun harus diajari orang?” “Aku dengar kau mempunyai banyak suci yang cantik cantik, seharusnya kau segera pulang untuk menengok mereka, kenapa masih menghalangi perjalananku disini?” Dengan wajah bersungguh sungguh bocah pincang itu menghela napas panjang. “Betul, aku memang mempunyai banyak suci, tapi mereka semua masih kanak kanak, bukan wanita beneran” “Ooh, jadi perempuan macam aku baru terhitung wanita beneran?” kata Un Tay-tay sambil tertawa. Menggunakan kesempatan itu kembali si bocah pincang mengamati payudara Un Tay-tay yang montok, teriaknya sambil bertepuk tangan: “Waah, semuanya asli dan bukan bohong bohongan, kau memang seorang wanita yang seratus persen asli dan mantap!” Kontan saja Un Tay-tay tertawa terpingkal pingkal. “Tak kusangka dengan usia sekecil ini, kau pandai juga menilai seorang wanita, sayang usiamu masih kelewat muda” “Siapa bilang aku kelewat muda?” teriak bocah pincang itu dengan mata mendelik, “sekalipun usiaku baru empat belas, namun kondisi tubuhku tak beda jauh dengan lelaki berusia dua puluh empat” Dengan lembut Un Tay-tay meraba pipinya, lalu berbisik: “Ketika kau sudah berusia dua puluh empat, mungkin aku sudah tua sekali, lebih baik lihatlah sekarang!” “Betul, aku memang akan memperhatikan mu baik baik” Benar saja, bocah itu langsung mengawasi perempuan itu dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, bahkan mengamatinya berulang kali. Thiat Tiong-tong yang menyaksikan kejadian itu dari dalam hutan diam diam merasa mendongkol bercampur geli. Bocah pincang itu tampaknya memang aneh dan nakal, biar kecil orangnya tapi banyak akalannya, sampai Un Tay-tay yang biasanya bertabiat anehpun dibuat tertawa terpingkal pingkal. setelah memperhatikan wanita itu berapa saat, tiba tiba bocah pincang itu gelengkan kepalanya berulang kali sambil menghela napas panjang, gumamnya: “Aaai, aku menyesal kenapa perjumpaan ini tidak terja di disaat aku sudah dewasa nanti, yaa, apa lagi yang bisa kukatakan!” Un Tay-tay tak kuasa menahan rasa gelinya lagi, dia tertawa cekikikan, lama kemudian baru serunya: “sudah cukup belum kalau melihat? Sekarang biarkan aku pergi!” setelah menghela napas lagi, bocah pincang itu manggut manggut dan beranjak pergi, tapi baru berapa langkah ia sudah berpaling seraya berkata: “Barusan aku melihat Im kongcu mu itu” “Dia berada di mana?” tanya Un Tay-tay dengan wajah berubah. “Kau ingin kuajak menjumpainya?” “Kau tahu dia berada dimana sekarang?” “Tentu saja tahu!” “Kau akan mengajakku ke sana?” kembali Un Tay-tay bertanya sambil mempermainkan biji matanya. Seketika si bocah pincang itu berkerut kening. “Kalau soal ini . . . . . . .. tapi . . . . . ..” “Tapi kenapa?” umpat Un Tay-tay sambil tertawa, “bukankah kau yang akan mengajakku ke sana? Memangnya Sekarang jadi tak berani? Sungguh memalukan!” “Kenapa aku tak berani mengajakmu?” si bocah pincang itu segera membusungkan dadanya, “asal aku diperbolehkan menciummu sekali saja, kita segera berangkat” Un Tay-tay benar benar terpingkal dibuatnya, sambil menuding bocah itu umpatnya: “Dasar setan cilik . . . . . . .. dasar setan cilik . . . . . ..” Saking terpingkalnya, dia sampai tak sanggup melanjutkan perkataannya. “Apa yang kau tertawakan? Kalau tidak mau yaa sudah” seru bocah pincang itu sambil menarik muka. “Baik, baiklah, cici akan membiarkan kau menciumku!” “Sungguh?” Teriak bocah itu kegirangan. sambil setengah memejamkan matanya Un Tay-tay m enyodorkan wajahnya ke hadapan bocah itu, serunya sambil tertawa: “Ayohlah!” Mendadak bocah pincang itu menarik kembali senyumannya, setelah meletakkan buntalan itu ke tanah dan menarik napas panjang, dia pentang tangannya lebar lebar dan segera memeluk tubuh Un Tay-tay dengan kencangnya. Dengan napas tersengkal sengkal seru Un Tay-tay: “Setan cilik! Perlahan sedikit . . . . .. perlahan sedikit.... aduh, kau.....” Tiba tiba ia dorong tubuh bocah itu sementara paras mukanya berubah jadi merah padam. Thiat Tiong—tong yang berada dalam hutan kembali menghela napas panjang, pikirnya: “Un Tay-tay memang seorang perempuan cantik yang sangat langka, jangan lagi lelaki dewasa, sampai bocah cilik pun terpikat oleh II kecantikan wajahnya . . . . .. Dia tidak tahu, justru semakin muda bocah itu apalagi disaat menginjak usia puber, napsu birahinya semakin berkobar, apalagi bertemu dengan wanita matang yang begitu cantik dan montok. Dengan sempoyongan bocah pincang itu mundur berapa langkah lalu berdiri termangu mangu, sepasang matanya menatap kosong ke tempat kejauhan, dia seakan akan jadi bodoh secara mendadak. Sebaliknya Un Tay-tay mulai membenahi rambutnya yang kusut. Mendadak terdengar bocah pincang itu tertawa tergelak, kemudian setelah bersalto beberapa kali di udara teriaknya keras keras: “Aku telah menciumnya, aku telah menciumnya, ooh..... dia sungguh harum!” “Hey setan cilik, kau sudah gila!” umpat Un Tay-tay sambil tertawa. “Betul, aku sudah gila, aku sudah gila..... aku benar benar sudah gila!” jerit bocah pincang itu sambil tertawa dan melompat—lompat. “Bila kau bersedia mengabulkan satu permintaanku, aku akan mengijinkan kau untuk mencium sekali lagi” “Sungguh?” bocah itu tertegun dan tergagap./ “Adik cilik, kapan cici pernah membohongimu?” “Cepat katakan, cepat katakan” teriak bocah pincang itu sambil mencak mencak, “asal aku diijinkan mencium lagi, apa pun permintaanmu pasti akan kukabulkan!” “Kau harus berjanji mau membawaku ke sana, tapi kau tak boleh ikut masuk, dan kaupun harus berjanji tak akan menceritakan persoalan ini kepada siapa pun” “Jangan lagi hanya permintaan begitu, sepuluh kali lipat lebih sulitpun tetap akan kukabulkan” “Bocah manis . . . . . ..” seru Un Tay-tay sambil tertawa merdu, ia segera maju mendekat, memeluknya dan menciumi wajahnya yang burik berulang kali. Menanti Un Tay-tay melepaskan pelukannya, tiba tiba bocah pincang itu roboh terjungkal ke tanah. “Hey, kenapa kau?” jerit Un Tay-tay kaget. Belum habis ia berteriak, bocah pincang itu sudah melompat bangun lagi sambil berjumpalitan berapa kali, teriaknya sambil tertawa: “Dalam tiga bulan mendatang, bila aku cuci muka maka aku adalah seorang telur busuk” “Tiga bulan tidak cuci muka? Waaah... seperti apa baunya” Un Tay-tay terkekah. “Kalau aku bilang tidak mencuci, aku tak akan mencuci” sambil berteriak bocah pincang itu mengambil kembali buntalannya dan menarik lengan Un Tay-tay sambil berseru, “ayoh kita berangkat!” Thiat Tiong—tong yang menyaksikan semua kejadian merasa terkejut bercampur gusar, pikirnya: “Mau apa perempuan busuk ini mencari jite? Jangan jangan dia akan mencelakainya lagi. Tapi...... bukankah ia sudah berpisah dengan Suto Siau, rasanya tak mungkin dia akan mencelakai jite, tapi jite begitu mencintainya, bila ia balik ke sana, dengan watak jite, hubungan mereka berdua bisa jadi akan terjalin kembali. Biarpun perempuan ini belum tentu akan mencelakai jite, tapi dengan tabiatnya yang cabul dan nakal, cepat atau lambat dia bakal melukai hati jite lagi . . . . .. lagipula . . . . . ..” Dalam pada itu si bocah pincang itu sudah menarik Un Tay-tay untuk pergi meninggalkan tempat itu. “Aku tak boleh berpangku tangan dalam persoalan ini” akhirnya Thiat Tiong—tong mengambil keputusan, dengan cepat ia menyusul dari belakang. Bocah pincang itu menarik tangan Un Tay-tay menuju ke tengah hutan, arah yang dituju bukan ke arah kota besar tapi tempat yang makin lama semakin terpencil dan sepi. Lebih kurang setengah li kemudian, bocah pinc ang itu baru menghentikan langkahnya. “sudah sampai?” tanya Un Tay-tay. “Yaa, sudah sampai” dengan termangu bocah itu mengangguk. Un Tay-tay mengawasi sekejap sekeliling tempat itu, namun diseputar sana hanya terlihat berapa batang pohon yang rimbun, tak sesosok bayangan manusia pun yang terlihat disana. “Dimana?” tanya perempuan itu lagi dengan kening berkerut. “Di depan sana” “Kalau masih didepan sana, kenapa kau berhenti?” Bocah pincang itu termangu berapa saat lamanya, mendadak ia menghela napas panjang. “setelah kepergianmu kali ini, aku tak tahu apakah masih berkesempatan untuk bertemu lagi denganmu” “Bocah bodoh, jangan mengucapkan kata kata dungu” bujuk Un Tay-tay sambil tertawa, “aku toh bukan pergi untuk mati, tentu saja kita masih bisa bertemu lagi” Bocah pincang itu gelengkan kepalanya berulang kali. “Sekalipun bisa bertemu lagi, akupun tak tahu akan terjadi di bulan dan tahun berapa” “Bila kau ingin bertemu aku, setiap saat kau boleh datang mencariku” “Perduli berada di mana pun kau bersedia memberitahukan jejakmu itu kepadaku?” seru si bocah kegirangan. Un Tay-tay manggut manggut. “Adikku sayang, perduli cici berada dimana pun pasti akan kuberitahukan kepadamu, ayoh, tertawalah untuk cici” Bocah pincang itu benar benar tertawa lebar, sambil membangkitkan kembali semangatnya ia berseru: “Ayoh kita berangkat!” “Tunggu sebentar berulang kali. kali ini Un Tay-tay gelengkan kepalanya “Kau sungguh aneh. . . . . . ..” “Apanya yang aneh?” Un Tay-tay menghela napas panjang, “terus terang kuberitahu, cici memang seorang manusia aneh, selain aneh juga kesepian dan penuh derita . . . . . ..” Ia mendongakkan kepalanya dan memandang ke angkasa dengan pandangan sendu. Bocah itu ikut menghela napas. “Kau begitu cantik, entah berapa banyak lelaki didunia ini yang menyukaimu, kenapa kau bisa kesepian? Aku benar benar tidak mengerti” “Aku sangat membenci semua orang yang mencintaiku, tapi orang yang kucintai justru tak suka kepadaku, bagaimana mungkin aku tidak kesepian? Oleh sebab itu aku harus berupaya dengan segala cara untuk menghilangkan rasa kesepian ini” “Bukankah Im kongcu amat mencintaimu?” “Bukan, bukan dia orangnya” Un Tay-tay menggeleng. “Lalu siapakah dia?” Lama sekali Un Tay-tay termenung, akhirnya sambil tertawa paksa ujarnya: “Sudahlah, tak usah dibicarakan lagi, Sekarang aku bukan saja sudah tidak mencintainya bahkan membencinya setengah mati” “Tidak masalah, bukankah masih ada aku yang mencintaimu” teriak bocah pincang itu lantang. Un Tay-tay balas tertawa. “Aku pun menyukaimu, itulah sebabnya Sekarang aku bersedia meneanimu, kau adalah lelaki ke dua yang pernah kucintai sepanjang hidupku ini” “Sungguh?” berkilat sepasang mata bocah pincang itu. Dengan lembut Un Tay-tay mengelus lagi wajahnya, katanya halus: “Sayang kau hanya seorang bocah, sedang aku sudah hampir tua, aku hanya bisa menyukaimu sebagai seorang adik, mengerti?” Dengan pandangan bodoh bocah pincang itu mengangguk, tiba tiba teriaknya: “Bagaimanapun juga, setelah aku dewasa nanti, jika kau belum juga kawin dengan orang lain, aku tetap akan menikaimu” Ia tidak berbicara lagi, sambil menarik baju Un Tay-tay segera melanjutkan kembali perjalanannya. Thiat Tiong—tong yang berdiri dibalik kegelapan hanya berdiri termangu Berapa saat lamanya, ia mulai bertanya kepada diri sendiri: “Benarkah dia sangat aneh?” Ketika mendongakkan kembali kepalanya, terlihat ke dua orang itu sudah mulai menyusup masuk ke dalam hutan. Thiat Tiong—tong tidak ragu lagi, ia segera menyusul dari belakang.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>