Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Goosebumps - Masalah Besar II Pendekar Gila - 39. Ajian Canda Birawa Joko Sableng - 42. Rahasia Darah Kutukan Rajawali Emas - 26. Tumbal Nyawa Perawan I am Number Four - Pittacus Lore
“Jadi kau ingin bekerja sama denganku untuk menghadapi mereka?” “Tepat sekali, bila ingin mengandalkan kekuatan masing masing untuk menghadapi mereka, jelas kepandaian kita belum mampu mengungguli, terpaksa aku harus bekerja sama denganmu, dengan begitu baru ada kesempatan untuk meraih kemenangan” “Bagaimana mungkin aku bisa bekerja sama denganmu?” “Kenapa tak mungkin? Kau bisa manfaatkan kecerdasan dan kelicikanku sementara aku bisa memanfaatkan kekuatan dan ilmu silatmu, tapi kau mesti ingat baik baik, kita hanya saling memanfaatkan, sama sekali tak ada ikatan perasaan apapun, tatkala urusan sudah selesai, kau boleh pergi menurut keinginanmu dan akupun akan lewat melalui jalanku” Im Ceng kembali berdiri termangu, jelas dia sangat ragu dan tak berani mengambil keputusan. Melihat itu Un Tay-tay segera tertawa dingin. “Kenapa? Apa lagi yang kau pikirkan? Tidak berani?” “Siapa bilang aku takut!” “Hmmm, mana aku tahu apa yang kau takuti?” ejek perempuan itu makin ketus. Dengan geram Im Ceng berteriak: “Asal bisa membunuh Suto Siau, lalu menangkap hidup hidup murid murtad dari Perguruan Tay-ki-bun, agar aku bisa menyaksikan dia mati mengerikan dibawah hukuman siksaan..... mati seperti.... seperti toako ku dulu, apa pun tak perlu kutakuti, apa pun akan kulakukan” Kelihatannya dia tak pernah bisa melupakan toakonya mati ditarik dengan lima ekor kuda, terlebih terhadap Thiat Tiong-tong yang mendapat perintah untuk menjadi algojo, rasa bencinya serasa merasuk hingga ke tulang sumsum. “Nah, begitulah baru tampang seorang lelaki bernyali” puji Un Tay-tay sambil tersenyum. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” “Kesempatan pasti akan datang, bila kesempatan sudah tiba, tak sedikit yang mesti dilakukan” Thiat Tiong—tong yang bersembunyi diluar jendela diam diam tersenyum geli. Pertama ia merasa yakin bahwa investasi yang ditanamkan pada diri Un Tay—tay bukanlah penanaman modal yang sia sia.... paling tidak Un Tay-tay sudah menunjukkan sikapnya untuk menganggap Suto Siau sebagai musuh dan siap melawannya dengan sepenuh tenaga. Kedua dia merasa berterima kasih sekali kepada Un Tay-tay karena bersedia mengemukakan sikapnya terhadap Im Ceng, dengan didampingi Un Tay—tay yang licik paling tidak Im Ceng yang berangasan akan peroleh banyak bantuan, satu hal yang membuatnya sangat lega. Mengenai perasaan Un Tay—tay terhadap dirinya, Thiat Tiong—tong tak ingin membahasnya lebih jauh, diam diam ia melompat turun dari wuwungan rumah. Mendadak ia saksikan ada sesosok bayangan manusia menyelinap mendekat dengan kecepatan tinggi. Dalam terkejutnya dia mengira jejak mereka sudah ketahuan oleh Suto Siau beserta komplotannya, cepat dia melompat naik lagi ke atas wuwungan rumah. Bayangan manusia itu kelihatan membalikkan tubuhnya, ternyata dia tak lain adalah si bocah pincang, murid Kiu-cu Kui-bo.. Dengan kening berkerut Thiat Tiong—tong segera berpikir: “Ternyata setan cilik inipun bukan manusia yang bisa dipercaya” Maka dia pun menggapai ke arahnya sambil membalikkan badan dan bergerak menjauhi bangunan kuil. Baru tiba diluar pagar, bocah pincang itu sudah menyusul tiba, tegurnya dengan mata melotot: “Kenapa kau berkerut kening, mau apa mencari aku?” Thiat Tiong—tong menghela napas panjang. “Aaai, bukankah kau sudah menyanggupi Un Tay—tay? Tidak seharusnya kau datang mengintip” Bocah pincang itu tertegun, mendadak dia mengebaskan tangannya perlahan. Thiat Tiong—tong segera mengendus bau harum yang semerbak menerpa hidungnya, kontan kepalanya terasa pening kemudian roboh terjungkal ke tanah, tidak sadarkan diri. Dengan satu gerakan cepat bocah pincang itu melepaskan ikat pinggangnya dan mengikat tubuh Thiat Tiong—tong ku at kuat, gumamnya: “Jangan salahkan aku berbuat begitu kepadamu, kalau mau disalahkan, salahkan dirimu sendiri kenapa tahu kelewat banyak” Selesai mengikat tubuh Thiat Tiong—tong, dia panggul tubuh pemuda itu dipunggungnya, lalu bergumam lagi: “Jika kau beritahu Un Tay—tay kalau aku datang mengintip, dia pasti tak akan suka kepadaku lagi, aku harus mencari akal agar kau tak berani mengatakannya” Tapi diapun tak tahu siapakah anak muda ini dan darimana asal usulnya, dia tak berpikir kenapa pemuda itu bisa mengetahui begitu banyak persoalannya. Oleh sebab ragu maka ia tak berani turun tangan keji. Dengan membopong Thiat Tiong—tong yang lemas, secepatnya dia melesat pergi menjauhi tempat itu. Tempat itu terletak diluar kota, Setelah menembusi hutan tibalah ia disebuah tanah pertanian yang luas. Berhubung dia harus membawa seseorang, bocah pincang itu tak berani kembali ke tempat gurunya, sementara otaknya berpikir keras bagaimana caranya mengatasi soal orang yang diculik, langkah kakinya bergerak tiada hentinya. Setelah berjalan berapa saat, perasaan hatinya makin lama semakiin bertambah gelisah, akhirnya tibalah ditepi ladang pertanian, disitu terbentang Sebuah jalan kecil menuju ke arah tiga buah rumah Pondok. Dalam rumah Pondok itu bukan saja ada cahaya lentera bahkan terdengar suara gesekan roda penggiling yang berisik, tampaknya rumah itu adalah Sebuah kedai kecil yang menjual cairan kedele. Setelah ragu sesaat akhirnya bocah pincang itu berpikir: “Baiklah, biar kuteguk dulu semangkuk susu kedele dan makan dua potong tahu panas sebelum melanjutkan perjalanan” Dengan langkah lebar dia mendekati bangunan rumah itu. Didepan rumah Pondok terdapat sebuah tenda yang amat sederhana, dibawah tenda tersedia dua tiga buah meja kursi yang lapuk. Sebuah lentera yang tidak terlalu terang tergantung ditengah tenda, menyinari wajah seorang kakek berambut putih, berbadan bungkuk dan mengenakan pakaian amat sederhana, saat itu dia sedang menggiling kedele dengan ogah ogahan. “Apakah ada yang dijual?” bocah pincang itu segera bertanya lantang. “Susu kelede yang harum, tahu yang hangat, butuh berapa pun kami tersedia” “Kalau begitu cepat hidangkan” seru si bocah sambil membanting tubuh Thiat Tiong—tong ke tanah, kemudian sengaja gumamnya lagi, “pencuri ini sungguh berat, Setelah digelandang ke kantor polisi, aku harus menghajarnya berapa kali” “Ooh, rupanya tuan kecil adalah seorang opas” sapa si kakek sambil memicingkan matanya dan tertawa. “Benar, benar, dugaanku tepat sekali!” buru buru bocah pincang itu menyahut. Kakek itu segera berpaling seraya berseru: “Toa-nio, ada tuan opas ingin minum susu kedele, cepat ambilkan mangkuk yang agak bersih” Dari dalam guduk terdengar seseorang menyahut, lalu terlihat seorang nyonya muda bergaun hijau, berikat kepala hijau dengan menggendong bayinya yang masih merah berjalan keluar. Dia membawa Sebuah mangkuk porselen yang bersih, menuangnya dengan susu kedele lalu disodorkan ke hadapan bocah pincang itu. Melihat perempuan itu sembari menggendong bayi harus bekerja melayaninya, bocah pincang itu merasa rikuh sendiri, baru saja dia hendak bangkit membantu, tiba tiba teringat olehnya kalau dia adalah seorang ‘opas’, sepantasnya seorang opas tidak berlaku sopan, akhirnya diapun duduk kembali dengan santainya. Kelihatannya nyonya bergaun hijau itupun merasa takut sekali berhadapan dengan opas, kepalanya tertunduk sangat rendah, sambil berdiri dihadapan bocah pincang itu tanyanya lembut: “Apakah thayjin masih ada perintah lain?” “Siapkah dua potong tahu panas” jawab bocah pincang itu sengaja memperberat nadanya. Nyonya bergaun hijau itu mengiakan dan segera berlalu, ia membisikkan sesuatu ke sisi telinga si kakek. Sambil tertawa kakek itupun berkata: “Nyonya kami bilang koanjin pasti sudah amat lelah karena memburu buronan, karena itu harus dilayani dengan istimewa, dia suruh aku tambahkan berapa macam bumbu dalam tahu ini” Diam diam bocah pincang itu tertawa geli, pikirnya: “Tak nyana ada gunanya juga mengaku sebagai seorang opas” Dengan membawa semangkuk tahu kakek itu masuk ke dalam Pondoknya, tak lama kemudian ia sudah muncul kembali seraya berkata: “Koanjin, cobalah semangkuk tahu ini” Sambil berkata ia sodorkan semangkuk tahu yang masih panas ke hadapan bocah pincang itu, benar saja, tahu itu sudah diberi berapa bahan penyedap dan gorengan minyak hingga baunya harum semerbak. Dalam hati kecilnya bocah pincang itu bertambah geli, pikirnya: “Tampakya mereka sangat takut kepadaku, mungkin menagih uang pun tak berani.....” Maka dengan lahapnya dia makan semangkuk tahu itu hingga ludas bersih. “Bagaimana rasanya?” tanya kakek itu kemudian. “Bagus, bagus sekali” “Semangkuk tahu itu memang semuanya bagus, hanya ada satu hal yang kurang bagus” kakek itu berkata lagi sambil tertawa. “Apanya yang kurang bagus?” “Siapa yang sudah makan tahu itu berarti dia bakal kehilangan nyawa” Berubah paras muka bocah pincang itu, sambil mendorong meja dia melompat bangun dan melompat ke hadapan kakek itu, teriaknya sambil mencengkeram baju kakek itu kuat kuat: “Jadi kedai ini Sebuah kedai gelap?” Kakek itu hanya menatapnya sambil tertawa tergelak, sama sekali tidak berbicara. Bocah pincang itu segera merasakan kepalanya mulai pening dan pandangan matanya berkunang kunang, ke empat anggota badannya lemas tak bertenaga, ia sadar keadaan tidak beres, dengan penuh kegusaran sebuah pukulan langsung dilontarkan ke tubuh kakek itu. Dengan cekatan si kakek mengigos ke samping lalu mendorongnya perlahan, bocah pincang itu langsung roboh terjungkal ke lantai. Tatkala tubuhnya terjungkal, dengan penuh rasa dendam pikirnya: “Tak nyana aku sebagai anggota perguruan kiu-cu-kui-bo akhirnya harus roboh terjungkal ditangan orang” Belum lagi ingatan itu selesai melintas, ia sudah jatuh tak sadarkan diri. “Roboh kamu, roboh kamu . . . . . . . .. II seru si kakek sambil bertepuk tangan, kemudian sambil berpaling tanyanya dengan senyuman masih menghiasi wajahnya, “nona, sebenarnya siapakah orang ini? Kenapa kau merobohkan dirinya?” “Aku sendiri juga kurang tahu siapakah dia” jawab perempuan bergaun hijau itu, “tapi aku kenal dengan orang yang ditangkapnya itu, cepat kita gotong masuk ke dua orang itu!” Dibawah cahaya lentera yang redup, tampak wajah cantiknya sama sekali tak berbedak maupun bergincu, sekalipun pakaian yang dikenakan amat sederhana namun tidak menutupi kecantikan wajahnya yang menawan. Sikap maupun tingkah laku kakek itupun kelihatan menaruh hormat terhadap si nona, ia tak berani banyak bertanya lagi dan segera menggotong masuk Thiat Tiong—tong serta bocah pincang itu. Biarpun wajahnya sudah penuh keriput, usianya sudah agak lanjut, namun kekuatan lengannya masih hebat, biarpun sekaligus harus menggotong tubuh dua orang, dia tampak tak kepayahan. Perabot yang ada dalam ruang Pondok itu amat sederhana, tapi suasana amat bersih, tak nampak ada setitik debu pun. Sambil menggendong bayinya, nyonya bergaun hijau itu mengikuti di belakangnya, sambil menuding ke arah Thiat Tiong—tong ujarnya: “Coba kau periksa orang itu, apakah tertotok jalan darahnya atau pingsan karena dicekoki obat pemabuk” “Siangkong ini nampak lemas seperti kapas, kelihatannya ia roboh karena obat pemabuk” jawab si kakek Setelah memeriksanya secepat, saat ini sorot matanya tajam sekali. Setelah membaringkan bayinya diatas ayunan, perempuan berbaju hijau itu mengambil semangkuk air dingin dan mencoba dilolohkan ke mulut Thiat Tiong—tong, siapa tahu pemuda itu tetap tak sadarkan diri, bahkan ketika kepalanya diguyur air dingin pun sang pemuda tetap pingsan. “Lihay betul obat pemabuk ini!” gumam kakek itu deng an kening berkerut. Perempuan bergaun hijau itu menghela napas panjang, ujarnya:
Goosebumps - Masalah Besar II Pendekar Gila - 39. Ajian Canda Birawa Joko Sableng - 42. Rahasia Darah Kutukan Rajawali Emas - 26. Tumbal Nyawa Perawan I am Number Four - Pittacus Lore
“Jadi kau ingin bekerja sama denganku untuk menghadapi mereka?” “Tepat sekali, bila ingin mengandalkan kekuatan masing masing untuk menghadapi mereka, jelas kepandaian kita belum mampu mengungguli, terpaksa aku harus bekerja sama denganmu, dengan begitu baru ada kesempatan untuk meraih kemenangan” “Bagaimana mungkin aku bisa bekerja sama denganmu?” “Kenapa tak mungkin? Kau bisa manfaatkan kecerdasan dan kelicikanku sementara aku bisa memanfaatkan kekuatan dan ilmu silatmu, tapi kau mesti ingat baik baik, kita hanya saling memanfaatkan, sama sekali tak ada ikatan perasaan apapun, tatkala urusan sudah selesai, kau boleh pergi menurut keinginanmu dan akupun akan lewat melalui jalanku” Im Ceng kembali berdiri termangu, jelas dia sangat ragu dan tak berani mengambil keputusan. Melihat itu Un Tay-tay segera tertawa dingin. “Kenapa? Apa lagi yang kau pikirkan? Tidak berani?” “Siapa bilang aku takut!” “Hmmm, mana aku tahu apa yang kau takuti?” ejek perempuan itu makin ketus. Dengan geram Im Ceng berteriak: “Asal bisa membunuh Suto Siau, lalu menangkap hidup hidup murid murtad dari Perguruan Tay-ki-bun, agar aku bisa menyaksikan dia mati mengerikan dibawah hukuman siksaan..... mati seperti.... seperti toako ku dulu, apa pun tak perlu kutakuti, apa pun akan kulakukan” Kelihatannya dia tak pernah bisa melupakan toakonya mati ditarik dengan lima ekor kuda, terlebih terhadap Thiat Tiong-tong yang mendapat perintah untuk menjadi algojo, rasa bencinya serasa merasuk hingga ke tulang sumsum. “Nah, begitulah baru tampang seorang lelaki bernyali” puji Un Tay-tay sambil tersenyum. “Apa yang harus kulakukan sekarang?” “Kesempatan pasti akan datang, bila kesempatan sudah tiba, tak sedikit yang mesti dilakukan” Thiat Tiong—tong yang bersembunyi diluar jendela diam diam tersenyum geli. Pertama ia merasa yakin bahwa investasi yang ditanamkan pada diri Un Tay—tay bukanlah penanaman modal yang sia sia.... paling tidak Un Tay-tay sudah menunjukkan sikapnya untuk menganggap Suto Siau sebagai musuh dan siap melawannya dengan sepenuh tenaga. Kedua dia merasa berterima kasih sekali kepada Un Tay-tay karena bersedia mengemukakan sikapnya terhadap Im Ceng, dengan didampingi Un Tay—tay yang licik paling tidak Im Ceng yang berangasan akan peroleh banyak bantuan, satu hal yang membuatnya sangat lega. Mengenai perasaan Un Tay—tay terhadap dirinya, Thiat Tiong—tong tak ingin membahasnya lebih jauh, diam diam ia melompat turun dari wuwungan rumah. Mendadak ia saksikan ada sesosok bayangan manusia menyelinap mendekat dengan kecepatan tinggi. Dalam terkejutnya dia mengira jejak mereka sudah ketahuan oleh Suto Siau beserta komplotannya, cepat dia melompat naik lagi ke atas wuwungan rumah. Bayangan manusia itu kelihatan membalikkan tubuhnya, ternyata dia tak lain adalah si bocah pincang, murid Kiu-cu Kui-bo.. Dengan kening berkerut Thiat Tiong—tong segera berpikir: “Ternyata setan cilik inipun bukan manusia yang bisa dipercaya” Maka dia pun menggapai ke arahnya sambil membalikkan badan dan bergerak menjauhi bangunan kuil. Baru tiba diluar pagar, bocah pincang itu sudah menyusul tiba, tegurnya dengan mata melotot: “Kenapa kau berkerut kening, mau apa mencari aku?” Thiat Tiong—tong menghela napas panjang. “Aaai, bukankah kau sudah menyanggupi Un Tay—tay? Tidak seharusnya kau datang mengintip” Bocah pincang itu tertegun, mendadak dia mengebaskan tangannya perlahan. Thiat Tiong—tong segera mengendus bau harum yang semerbak menerpa hidungnya, kontan kepalanya terasa pening kemudian roboh terjungkal ke tanah, tidak sadarkan diri. Dengan satu gerakan cepat bocah pincang itu melepaskan ikat pinggangnya dan mengikat tubuh Thiat Tiong—tong ku at kuat, gumamnya: “Jangan salahkan aku berbuat begitu kepadamu, kalau mau disalahkan, salahkan dirimu sendiri kenapa tahu kelewat banyak” Selesai mengikat tubuh Thiat Tiong—tong, dia panggul tubuh pemuda itu dipunggungnya, lalu bergumam lagi: “Jika kau beritahu Un Tay—tay kalau aku datang mengintip, dia pasti tak akan suka kepadaku lagi, aku harus mencari akal agar kau tak berani mengatakannya” Tapi diapun tak tahu siapakah anak muda ini dan darimana asal usulnya, dia tak berpikir kenapa pemuda itu bisa mengetahui begitu banyak persoalannya. Oleh sebab ragu maka ia tak berani turun tangan keji. Dengan membopong Thiat Tiong—tong yang lemas, secepatnya dia melesat pergi menjauhi tempat itu. Tempat itu terletak diluar kota, Setelah menembusi hutan tibalah ia disebuah tanah pertanian yang luas. Berhubung dia harus membawa seseorang, bocah pincang itu tak berani kembali ke tempat gurunya, sementara otaknya berpikir keras bagaimana caranya mengatasi soal orang yang diculik, langkah kakinya bergerak tiada hentinya. Setelah berjalan berapa saat, perasaan hatinya makin lama semakiin bertambah gelisah, akhirnya tibalah ditepi ladang pertanian, disitu terbentang Sebuah jalan kecil menuju ke arah tiga buah rumah Pondok. Dalam rumah Pondok itu bukan saja ada cahaya lentera bahkan terdengar suara gesekan roda penggiling yang berisik, tampaknya rumah itu adalah Sebuah kedai kecil yang menjual cairan kedele. Setelah ragu sesaat akhirnya bocah pincang itu berpikir: “Baiklah, biar kuteguk dulu semangkuk susu kedele dan makan dua potong tahu panas sebelum melanjutkan perjalanan” Dengan langkah lebar dia mendekati bangunan rumah itu. Didepan rumah Pondok terdapat sebuah tenda yang amat sederhana, dibawah tenda tersedia dua tiga buah meja kursi yang lapuk. Sebuah lentera yang tidak terlalu terang tergantung ditengah tenda, menyinari wajah seorang kakek berambut putih, berbadan bungkuk dan mengenakan pakaian amat sederhana, saat itu dia sedang menggiling kedele dengan ogah ogahan. “Apakah ada yang dijual?” bocah pincang itu segera bertanya lantang. “Susu kelede yang harum, tahu yang hangat, butuh berapa pun kami tersedia” “Kalau begitu cepat hidangkan” seru si bocah sambil membanting tubuh Thiat Tiong—tong ke tanah, kemudian sengaja gumamnya lagi, “pencuri ini sungguh berat, Setelah digelandang ke kantor polisi, aku harus menghajarnya berapa kali” “Ooh, rupanya tuan kecil adalah seorang opas” sapa si kakek sambil memicingkan matanya dan tertawa. “Benar, benar, dugaanku tepat sekali!” buru buru bocah pincang itu menyahut. Kakek itu segera berpaling seraya berseru: “Toa-nio, ada tuan opas ingin minum susu kedele, cepat ambilkan mangkuk yang agak bersih” Dari dalam guduk terdengar seseorang menyahut, lalu terlihat seorang nyonya muda bergaun hijau, berikat kepala hijau dengan menggendong bayinya yang masih merah berjalan keluar. Dia membawa Sebuah mangkuk porselen yang bersih, menuangnya dengan susu kedele lalu disodorkan ke hadapan bocah pincang itu. Melihat perempuan itu sembari menggendong bayi harus bekerja melayaninya, bocah pincang itu merasa rikuh sendiri, baru saja dia hendak bangkit membantu, tiba tiba teringat olehnya kalau dia adalah seorang ‘opas’, sepantasnya seorang opas tidak berlaku sopan, akhirnya diapun duduk kembali dengan santainya. Kelihatannya nyonya bergaun hijau itupun merasa takut sekali berhadapan dengan opas, kepalanya tertunduk sangat rendah, sambil berdiri dihadapan bocah pincang itu tanyanya lembut: “Apakah thayjin masih ada perintah lain?” “Siapkah dua potong tahu panas” jawab bocah pincang itu sengaja memperberat nadanya. Nyonya bergaun hijau itu mengiakan dan segera berlalu, ia membisikkan sesuatu ke sisi telinga si kakek. Sambil tertawa kakek itupun berkata: “Nyonya kami bilang koanjin pasti sudah amat lelah karena memburu buronan, karena itu harus dilayani dengan istimewa, dia suruh aku tambahkan berapa macam bumbu dalam tahu ini” Diam diam bocah pincang itu tertawa geli, pikirnya: “Tak nyana ada gunanya juga mengaku sebagai seorang opas” Dengan membawa semangkuk tahu kakek itu masuk ke dalam Pondoknya, tak lama kemudian ia sudah muncul kembali seraya berkata: “Koanjin, cobalah semangkuk tahu ini” Sambil berkata ia sodorkan semangkuk tahu yang masih panas ke hadapan bocah pincang itu, benar saja, tahu itu sudah diberi berapa bahan penyedap dan gorengan minyak hingga baunya harum semerbak. Dalam hati kecilnya bocah pincang itu bertambah geli, pikirnya: “Tampakya mereka sangat takut kepadaku, mungkin menagih uang pun tak berani.....” Maka dengan lahapnya dia makan semangkuk tahu itu hingga ludas bersih. “Bagaimana rasanya?” tanya kakek itu kemudian. “Bagus, bagus sekali” “Semangkuk tahu itu memang semuanya bagus, hanya ada satu hal yang kurang bagus” kakek itu berkata lagi sambil tertawa. “Apanya yang kurang bagus?” “Siapa yang sudah makan tahu itu berarti dia bakal kehilangan nyawa” Berubah paras muka bocah pincang itu, sambil mendorong meja dia melompat bangun dan melompat ke hadapan kakek itu, teriaknya sambil mencengkeram baju kakek itu kuat kuat: “Jadi kedai ini Sebuah kedai gelap?” Kakek itu hanya menatapnya sambil tertawa tergelak, sama sekali tidak berbicara. Bocah pincang itu segera merasakan kepalanya mulai pening dan pandangan matanya berkunang kunang, ke empat anggota badannya lemas tak bertenaga, ia sadar keadaan tidak beres, dengan penuh kegusaran sebuah pukulan langsung dilontarkan ke tubuh kakek itu. Dengan cekatan si kakek mengigos ke samping lalu mendorongnya perlahan, bocah pincang itu langsung roboh terjungkal ke lantai. Tatkala tubuhnya terjungkal, dengan penuh rasa dendam pikirnya: “Tak nyana aku sebagai anggota perguruan kiu-cu-kui-bo akhirnya harus roboh terjungkal ditangan orang” Belum lagi ingatan itu selesai melintas, ia sudah jatuh tak sadarkan diri. “Roboh kamu, roboh kamu . . . . . . . .. II seru si kakek sambil bertepuk tangan, kemudian sambil berpaling tanyanya dengan senyuman masih menghiasi wajahnya, “nona, sebenarnya siapakah orang ini? Kenapa kau merobohkan dirinya?” “Aku sendiri juga kurang tahu siapakah dia” jawab perempuan bergaun hijau itu, “tapi aku kenal dengan orang yang ditangkapnya itu, cepat kita gotong masuk ke dua orang itu!” Dibawah cahaya lentera yang redup, tampak wajah cantiknya sama sekali tak berbedak maupun bergincu, sekalipun pakaian yang dikenakan amat sederhana namun tidak menutupi kecantikan wajahnya yang menawan. Sikap maupun tingkah laku kakek itupun kelihatan menaruh hormat terhadap si nona, ia tak berani banyak bertanya lagi dan segera menggotong masuk Thiat Tiong—tong serta bocah pincang itu. Biarpun wajahnya sudah penuh keriput, usianya sudah agak lanjut, namun kekuatan lengannya masih hebat, biarpun sekaligus harus menggotong tubuh dua orang, dia tampak tak kepayahan. Perabot yang ada dalam ruang Pondok itu amat sederhana, tapi suasana amat bersih, tak nampak ada setitik debu pun. Sambil menggendong bayinya, nyonya bergaun hijau itu mengikuti di belakangnya, sambil menuding ke arah Thiat Tiong—tong ujarnya: “Coba kau periksa orang itu, apakah tertotok jalan darahnya atau pingsan karena dicekoki obat pemabuk” “Siangkong ini nampak lemas seperti kapas, kelihatannya ia roboh karena obat pemabuk” jawab si kakek Setelah memeriksanya secepat, saat ini sorot matanya tajam sekali. Setelah membaringkan bayinya diatas ayunan, perempuan berbaju hijau itu mengambil semangkuk air dingin dan mencoba dilolohkan ke mulut Thiat Tiong—tong, siapa tahu pemuda itu tetap tak sadarkan diri, bahkan ketika kepalanya diguyur air dingin pun sang pemuda tetap pingsan. “Lihay betul obat pemabuk ini!” gumam kakek itu deng an kening berkerut. Perempuan bergaun hijau itu menghela napas panjang, ujarnya: