Cerita Silat | Imam Tanpa Bayangan II | oleh Xiao Say | Imam Tanpa Bayangan II | Cersil Sakti | Imam Tanpa Bayangan II pdf
Goosebumps - Masalah Besar II Pendekar Gila - 39. Ajian Canda Birawa Joko Sableng - 42. Rahasia Darah Kutukan Rajawali Emas - 26. Tumbal Nyawa Perawan I am Number Four - Pittacus Lore
"persoalan apa pun bisa dipalsukan, tetapi urusan punya anak tak mungkin bisa dipalsukan, seandainya sudah sampai waktunya dan ia belum berhasil juga melahirkan anak, bukankah waktu itu..." "Perkataanmu sedikit pun tidak salah," kata Lu Hujin sambil menghela napas panjang, "dalam sedih dan murungnya adikku itu segera berangkat kemari menggunakan kesempatan di kala Pek Tiang Hong sedang kembali ke dalam perguruannya, diam-diam mengajak aku merundingkan persoalan ini serta berusaha untuk mencari jalan keluar untuk memecahkan kesulitan ini, sungguh kebetulan sekali di tempat ini ada seorang perempuan sedang mengandung tua, karena anaknya sudah terlalu banyak dan kehidupannya amat sengsara ia rela menyerahkan putra yang bakal dilahirkan itu kepada orang lain!" Berbicara sampai di sini ia berhenti sebentar dan melirik ke arah Pek In Hoei, lalu terusnya : "Untuk memenuhi dari ayahmu itu maka ibumu lantas mengajak perempuan itu untuk berunding, ia berharap setelah anak itu dilahirkan se era dikirim ke rumah Pek. Tentu saja perempuan itu menyanggupi dengan senang hati, lewat tiga bulan kemudian perempuan itu benar-benar telah melahirkan seorang anak lelaki dan bayi itu segera diserahkan kepada ibumu. Maka ibumu pun segera berpura-pura melahirkan, ternyata sandiwaranya itu berhasil mengelabui ayahmu, waktu itu Pek Tiang Hong segera mengadakan perjamuan besar untuk merayakan kejadian yang maha besar itu bahkan memberi pula nama Pek In Hoei kepada bayi lelaki tadi!" "Aah...! Jadi bocah lelaki itu adalah aku?" seru Pek In Hoei tertahan. "Sedikit pun tidak salah!" jawab Lu Hujin sambil tertawa getir, "bila kau akan merasa pula bahwa siksaan batin yang terberat bagi seorang perempuan adalah kemandulan yang membuat ia tak dapat melahirkan anak, penderitaan semacam ini tak dapat dirasakan oleh siapa pun juga..." "Sebenarnya rahasia ini tak diketahui oleh siapa pun jua, ibumu mengira perbuatannya sanggup mengelabui ayahmu untuk selamanya, siapa sangka bencana muncul dari langit, sepatah kata-kata yang muncul tanpa sengaja membuat mereka berdua jadi cekcok sehingga akhirnya terjadilah persoalan ini..." "Aaaah... kenapa? Apakah Pek Tiang Hong mengetahui akan rahasia ini??" seru Lu Kiat tertahan. "Tidak, sebenarnya Pek Tiang Hong tak tahu akan rahasia ini, suatu malam ketika sepasang suami istri itu sedang bercakap-cakap di dalam kebun bunga, adikku itu merasa bahwa perbuatannya amat tidak pantas, ia anggap di antara suami istri seharusnya tak boleh ada urusan yang saling merahasiakan, akhirnya ia pun lantas menceritakan duduk perkara yang sebenarnya, setelah Pek Tiang Hong mengetahui akan peristiwa ini hawa amarahnya seketika berkobar, malam itu juga terjadi percekcokan yang sangat ramai membuat adikku itu akhirnya meninggalkan rumah dan untuk selamanya tidak kembali lagi..." Pek In Hoei berdiri menjublak mendengar kisah cerita tersebut, bagaikan disambar petir di siang bolong ia berdiri menjublak tanpa berkutik barang sedikit pun jua, air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, ia tak berani mempercayai kejadian itu, ia pun tidak percaya kalau asal usulnya begitu rumit dan di luar dugaan, tetapi kenyataan sudah di depan mata, tak mungkin Lu Hujin menceritakan kisah tersebut tanpa didasari alasan yang kuat, maka kendati ia tak mau percaya pun terpaksa harus mempercayainya juga. "Sekarang ibuku berada di mana?" bisik Pek In Hoei sambil menahan air mata yang jatuh bercucuran. "Setelah ibumu berlalu dalam kesedihan, ia cuku rambut jadi nikouw dan akan mengasingkan diri dari pergaulan dunia ramai, Pek Tiang Hong jadi menyesal hati setelah mengetahui kejadian ini, ia merasa tidak sepantasnya persoalan kecil yang sama sekali tak ada artinya itu diurusi, maka pada malam itu juga ia berangkat mencari ibumu, tetapi ibumu keburu sudah ditangkap pergi oleh seorang musuh besar dari ayahmu, sejak peristiwa itulah hingga kini kabar beritanya lenyap tak berbekas..." "Siapakah orang itu?" tanya Pek In Hoei dengan hati bergetar keras. Lu Hujin tertawa getir. "Setelah aku melakukan penyelidikan yang seksama selama banyak tahun dengan susah payah perbuatan itu ternyata adalah hasil perbuatan dari pemilik Kiam poo, berhubung tingkah laku orang-orang benteng pedang di dalam melakukan tugasnya sangat rahasia dan jarang sekali berhubungan dengan orang-orang kangouw maka jarang sekali jago Bu lim yang mengetahui tentang manusia pemilik dari benteng Kiam poo ini, sebaliknya aku meski ada niat pergi menolong jiwa ibumu, sayang sekali tenagaku masih tak cukup untuk bertindak secara gegabah... maka aku pun terpaksa membungkam diri..." "Benteng Kiam poo...! benteng Kiam poo..." bisik Lu Kiat dengan wajah tertegun, "rasanya aku pernah mendengar akan nama ini... tapi kapan? Dan di mana????" "Lu heng!" seru Pek In Hoei dengan penuh emosi, "tolong selidikilah di mana letaknya benteng Kiam poo itu? Aku ingin menolong ibuku dalam waktu yang sesingkat-singkatnya... aku rasa dia orang tua sudah cukup lama hidup dalam kesengsaraan..." "Nak kau tak boleh bertindak secara gegabah," hibur Lu Hujin sambil gelengkan kepalanya berulang kali, "orang-orang di dalam benteng Kiam poo memiliki rangkaian ilmu silat yang sangat lihay dan ampuh sekali, meskipun Pek Tiang Hong memiliki keberanian yang luar biasa pun hampir boleh dibilang ia tak berani menyerbu ke dalam benteng secara gegabah, aku lihat lebih baik nantikanlah hingga kesempatan yang sangat baik telah tiba!" "Oooh... apakah ayahku tidak tahu kalau ibuku berada di dalam benteng Kiam poo?" Lu hujin menghela napas panjang. "Aaai... kabar berita ini pernah tersiar ke dalam telinganya, tetapi ia tak punya jalan yang baik untuk membuktikan kebenaran dari berita tersebut, berhubung ilmu silat yang dimiliki pihak lawan terlalu lihay, maka Pek Tiang Hong sendiri pun tak berani menerjang masuk ke dalam benteng yang serba misterius itu secara gegabah." Sorot matanya dengan tajam menatap pemuda itu, setelah berhenti sebentar, tanyanya kembali: "Apakah ayahmu masih hidup dengan sehat walafiat?" Sekujur tubuh Pek In Hoei gemetar keras, dalam benaknya terlintas kembali bayangan pemandangan di kala ayahnya mati secara mengerikan di puncak gunung Cing-shia, ia menggenggam kepalannya kencang-kencang kemudian sahutnya dengan sedih: "Ayahku teluh meninggal dunia." "Apa?" jerit Lu Hujin terperanjat, "ayahmu telah menemui ajalnya?" Sorot mata berapi-api memancar keluar dari balik mata jago pedang berdarah dingin Pek In Hoei, titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, dengan penuh kepedihan ia merintih : "Benar ayahku telah menemui ajalnya." Lu Hujin menghela napas sedih, rasa pedih muncul dalam hati kecilnya, setelah termangu-mangu sesaat lamanya ia berbisik: "Kejadian di dalam kolong langit memang sukar untuk diduga, sungguh tak nyana seorang jago lihay yaug tersohor namanya di kolong langit demikian cepatnya telah tutup usia, aaai... nak ilmu silat yang dimiliki Pek Tiang Hong merupakan intisari dari pelajaran ilmu silat partai Thiam cong tak mungkin ia tutup usia tanpa suatu peristiwa..... " "Aaaaai..." suara elahan napas berat bergema memenuhi seluruh ruangan; dengan sedih Pek In Hoei mengangguk, "benar ayahku telah dikerubuti banyak orang sewaktu ada di puncak gunung Cing-shia, ia mati karena tak mampu menghadapi kerubutan orang yang jumlahnya amat banyak." "Oooh, apakah kau sudah selidiki siapa-siapa saja yang terlibat dalam pengeroyokan itu ?" Pek In Hoei menggeleng. "Meskipun boanpwe berhasil merebut nama kosong di dalam dunia persilatan tetapi terhadap teka teki yang menyelimuti soal kematian ayahku hingga kini masih belum juga menemukan suatu pertanda apa pun, kejadian ini kalau dibicarakan memang menyedihkan, tetapi cara kerja yang dilakukan orang-orang itu amat bersih dan rapi ternyata tiada jejak barang sedikit pun yang tertinggal...." "Hmmm !" Aku sih bisa menduga perbuatan siapakah itu..." seru Lu Hujin sambil mendengus dingin. "Siapa?" dengan emosi yang meluap-luap Pek In Hoei mencekal lengan perempuan itu erat-erat, "cianpwe, beritahukanlah kepadaku perbuatan siapakah itu ?" Dengan pandangan dalam Lu Hujin menatap sekejap wajah pemuda itu... kemudian menjawab dengan suara sedih: "Benteng Kiam po, pastilah perbuatan dari mereka... In Hoee! Ditinjau dari peristiwa ini kau harus melakukan suatu kunjungan ke Benteng Kiam-poo, temukan dahulu ibumu... aku percaya dia pasti mengetahui akan persoalan ini... Nak ! Perlihatkanlah keberanianmu untuk menghadapi kenyataan yang terbentang di depan mata." "Aku tak peduli pukulan batin macam apa pun aku tetap akan pergi ke sana." "Nak! Sekarang pergilah beristirahat sejenak menanti lukamu telah sembuh, berangkatlah mengunjungi Benteng Kiam-poo !" "Baik... baik..." jawab jago pedang berdarah dingin dengan bibir gemetar. Dengan suara berat ia menghela napas panjang lalu geleng kepala dengan penuh kepedihan, perlahan- lahan ia putar badan dan bergeser dari situ... di bawah bimbingan seorang dayang berlalulah pemuda itu dari ruangan tersebut. Hanya di dalam beberapa menit yang singkat, jago muda yang penuh kegagahan ini secara mendadak telah berubah jadi makin tua, perasaan membuat ia jauh lebih loyo dan lunglai. "lbu !" ujar Lu Kiat kemudian setelah bayangan punggung Pek In Hoei lenyap dari pandangan, "dari mana kau bisa tahu duduknya perkara demikian jelas ?" Lu Hujin tak dapat membendung rasa sedihnya lagi dan menangis tersedu-sedu, "Nak, akulah perempuan yang telah melahirkan dirinya... Akulah ibu kandungnya," ujar nyonya iiu dengan suara gemetar, "Anak Kiat, apakah kau masih belum tahu bahwa Pek In Hoei sebetulnya adalah saudara kandungmu sendiri? Aaai...! Nak apa yang harus kulakukan dalam persoalan ini !" Dengan air mata bercucuran Lu Hujin mengangguk. "Sekarang kau tentu sudah paham bukan? Setelah ia dilahirkan di kolong langit maka aku memberi nama Pek In Hoei, sengaja kucantumkan kata In agar aku selalu ingat padanya, tentang peristiwa ini ayahmu mengetahui dengan jelas." "Ibu kalau begitu sepantasnya kau beritahukan hal ini kepadanya!" seru Lu Kiat dengan nada tegang. Namun Lu Hujin gelengkan kepala, "Tentang peristiwa ini aku tak dapat memberitahukan kepadanya, ia sudah cukup menderita dan tersiksa, anak Kiat kau adalah toakonya dalam urusan apapun juga kau harus baik-baik merawat dirinya, dalam perjalanan menuju ke benteng Kiam poo kali ini aku serahkan dirinya kepadamu, bila ia mengalami suatu kejadian yang tidak diingini, aku akan minta pertanggungan jawab darimu..."
Goosebumps - Masalah Besar II Pendekar Gila - 39. Ajian Canda Birawa Joko Sableng - 42. Rahasia Darah Kutukan Rajawali Emas - 26. Tumbal Nyawa Perawan I am Number Four - Pittacus Lore
"persoalan apa pun bisa dipalsukan, tetapi urusan punya anak tak mungkin bisa dipalsukan, seandainya sudah sampai waktunya dan ia belum berhasil juga melahirkan anak, bukankah waktu itu..." "Perkataanmu sedikit pun tidak salah," kata Lu Hujin sambil menghela napas panjang, "dalam sedih dan murungnya adikku itu segera berangkat kemari menggunakan kesempatan di kala Pek Tiang Hong sedang kembali ke dalam perguruannya, diam-diam mengajak aku merundingkan persoalan ini serta berusaha untuk mencari jalan keluar untuk memecahkan kesulitan ini, sungguh kebetulan sekali di tempat ini ada seorang perempuan sedang mengandung tua, karena anaknya sudah terlalu banyak dan kehidupannya amat sengsara ia rela menyerahkan putra yang bakal dilahirkan itu kepada orang lain!" Berbicara sampai di sini ia berhenti sebentar dan melirik ke arah Pek In Hoei, lalu terusnya : "Untuk memenuhi dari ayahmu itu maka ibumu lantas mengajak perempuan itu untuk berunding, ia berharap setelah anak itu dilahirkan se era dikirim ke rumah Pek. Tentu saja perempuan itu menyanggupi dengan senang hati, lewat tiga bulan kemudian perempuan itu benar-benar telah melahirkan seorang anak lelaki dan bayi itu segera diserahkan kepada ibumu. Maka ibumu pun segera berpura-pura melahirkan, ternyata sandiwaranya itu berhasil mengelabui ayahmu, waktu itu Pek Tiang Hong segera mengadakan perjamuan besar untuk merayakan kejadian yang maha besar itu bahkan memberi pula nama Pek In Hoei kepada bayi lelaki tadi!" "Aah...! Jadi bocah lelaki itu adalah aku?" seru Pek In Hoei tertahan. "Sedikit pun tidak salah!" jawab Lu Hujin sambil tertawa getir, "bila kau akan merasa pula bahwa siksaan batin yang terberat bagi seorang perempuan adalah kemandulan yang membuat ia tak dapat melahirkan anak, penderitaan semacam ini tak dapat dirasakan oleh siapa pun juga..." "Sebenarnya rahasia ini tak diketahui oleh siapa pun jua, ibumu mengira perbuatannya sanggup mengelabui ayahmu untuk selamanya, siapa sangka bencana muncul dari langit, sepatah kata-kata yang muncul tanpa sengaja membuat mereka berdua jadi cekcok sehingga akhirnya terjadilah persoalan ini..." "Aaaah... kenapa? Apakah Pek Tiang Hong mengetahui akan rahasia ini??" seru Lu Kiat tertahan. "Tidak, sebenarnya Pek Tiang Hong tak tahu akan rahasia ini, suatu malam ketika sepasang suami istri itu sedang bercakap-cakap di dalam kebun bunga, adikku itu merasa bahwa perbuatannya amat tidak pantas, ia anggap di antara suami istri seharusnya tak boleh ada urusan yang saling merahasiakan, akhirnya ia pun lantas menceritakan duduk perkara yang sebenarnya, setelah Pek Tiang Hong mengetahui akan peristiwa ini hawa amarahnya seketika berkobar, malam itu juga terjadi percekcokan yang sangat ramai membuat adikku itu akhirnya meninggalkan rumah dan untuk selamanya tidak kembali lagi..." Pek In Hoei berdiri menjublak mendengar kisah cerita tersebut, bagaikan disambar petir di siang bolong ia berdiri menjublak tanpa berkutik barang sedikit pun jua, air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, ia tak berani mempercayai kejadian itu, ia pun tidak percaya kalau asal usulnya begitu rumit dan di luar dugaan, tetapi kenyataan sudah di depan mata, tak mungkin Lu Hujin menceritakan kisah tersebut tanpa didasari alasan yang kuat, maka kendati ia tak mau percaya pun terpaksa harus mempercayainya juga. "Sekarang ibuku berada di mana?" bisik Pek In Hoei sambil menahan air mata yang jatuh bercucuran. "Setelah ibumu berlalu dalam kesedihan, ia cuku rambut jadi nikouw dan akan mengasingkan diri dari pergaulan dunia ramai, Pek Tiang Hong jadi menyesal hati setelah mengetahui kejadian ini, ia merasa tidak sepantasnya persoalan kecil yang sama sekali tak ada artinya itu diurusi, maka pada malam itu juga ia berangkat mencari ibumu, tetapi ibumu keburu sudah ditangkap pergi oleh seorang musuh besar dari ayahmu, sejak peristiwa itulah hingga kini kabar beritanya lenyap tak berbekas..." "Siapakah orang itu?" tanya Pek In Hoei dengan hati bergetar keras. Lu Hujin tertawa getir. "Setelah aku melakukan penyelidikan yang seksama selama banyak tahun dengan susah payah perbuatan itu ternyata adalah hasil perbuatan dari pemilik Kiam poo, berhubung tingkah laku orang-orang benteng pedang di dalam melakukan tugasnya sangat rahasia dan jarang sekali berhubungan dengan orang-orang kangouw maka jarang sekali jago Bu lim yang mengetahui tentang manusia pemilik dari benteng Kiam poo ini, sebaliknya aku meski ada niat pergi menolong jiwa ibumu, sayang sekali tenagaku masih tak cukup untuk bertindak secara gegabah... maka aku pun terpaksa membungkam diri..." "Benteng Kiam poo...! benteng Kiam poo..." bisik Lu Kiat dengan wajah tertegun, "rasanya aku pernah mendengar akan nama ini... tapi kapan? Dan di mana????" "Lu heng!" seru Pek In Hoei dengan penuh emosi, "tolong selidikilah di mana letaknya benteng Kiam poo itu? Aku ingin menolong ibuku dalam waktu yang sesingkat-singkatnya... aku rasa dia orang tua sudah cukup lama hidup dalam kesengsaraan..." "Nak kau tak boleh bertindak secara gegabah," hibur Lu Hujin sambil gelengkan kepalanya berulang kali, "orang-orang di dalam benteng Kiam poo memiliki rangkaian ilmu silat yang sangat lihay dan ampuh sekali, meskipun Pek Tiang Hong memiliki keberanian yang luar biasa pun hampir boleh dibilang ia tak berani menyerbu ke dalam benteng secara gegabah, aku lihat lebih baik nantikanlah hingga kesempatan yang sangat baik telah tiba!" "Oooh... apakah ayahku tidak tahu kalau ibuku berada di dalam benteng Kiam poo?" Lu hujin menghela napas panjang. "Aaai... kabar berita ini pernah tersiar ke dalam telinganya, tetapi ia tak punya jalan yang baik untuk membuktikan kebenaran dari berita tersebut, berhubung ilmu silat yang dimiliki pihak lawan terlalu lihay, maka Pek Tiang Hong sendiri pun tak berani menerjang masuk ke dalam benteng yang serba misterius itu secara gegabah." Sorot matanya dengan tajam menatap pemuda itu, setelah berhenti sebentar, tanyanya kembali: "Apakah ayahmu masih hidup dengan sehat walafiat?" Sekujur tubuh Pek In Hoei gemetar keras, dalam benaknya terlintas kembali bayangan pemandangan di kala ayahnya mati secara mengerikan di puncak gunung Cing-shia, ia menggenggam kepalannya kencang-kencang kemudian sahutnya dengan sedih: "Ayahku teluh meninggal dunia." "Apa?" jerit Lu Hujin terperanjat, "ayahmu telah menemui ajalnya?" Sorot mata berapi-api memancar keluar dari balik mata jago pedang berdarah dingin Pek In Hoei, titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, dengan penuh kepedihan ia merintih : "Benar ayahku telah menemui ajalnya." Lu Hujin menghela napas sedih, rasa pedih muncul dalam hati kecilnya, setelah termangu-mangu sesaat lamanya ia berbisik: "Kejadian di dalam kolong langit memang sukar untuk diduga, sungguh tak nyana seorang jago lihay yaug tersohor namanya di kolong langit demikian cepatnya telah tutup usia, aaai... nak ilmu silat yang dimiliki Pek Tiang Hong merupakan intisari dari pelajaran ilmu silat partai Thiam cong tak mungkin ia tutup usia tanpa suatu peristiwa..... " "Aaaaai..." suara elahan napas berat bergema memenuhi seluruh ruangan; dengan sedih Pek In Hoei mengangguk, "benar ayahku telah dikerubuti banyak orang sewaktu ada di puncak gunung Cing-shia, ia mati karena tak mampu menghadapi kerubutan orang yang jumlahnya amat banyak." "Oooh, apakah kau sudah selidiki siapa-siapa saja yang terlibat dalam pengeroyokan itu ?" Pek In Hoei menggeleng. "Meskipun boanpwe berhasil merebut nama kosong di dalam dunia persilatan tetapi terhadap teka teki yang menyelimuti soal kematian ayahku hingga kini masih belum juga menemukan suatu pertanda apa pun, kejadian ini kalau dibicarakan memang menyedihkan, tetapi cara kerja yang dilakukan orang-orang itu amat bersih dan rapi ternyata tiada jejak barang sedikit pun yang tertinggal...." "Hmmm !" Aku sih bisa menduga perbuatan siapakah itu..." seru Lu Hujin sambil mendengus dingin. "Siapa?" dengan emosi yang meluap-luap Pek In Hoei mencekal lengan perempuan itu erat-erat, "cianpwe, beritahukanlah kepadaku perbuatan siapakah itu ?" Dengan pandangan dalam Lu Hujin menatap sekejap wajah pemuda itu... kemudian menjawab dengan suara sedih: "Benteng Kiam po, pastilah perbuatan dari mereka... In Hoee! Ditinjau dari peristiwa ini kau harus melakukan suatu kunjungan ke Benteng Kiam-poo, temukan dahulu ibumu... aku percaya dia pasti mengetahui akan persoalan ini... Nak ! Perlihatkanlah keberanianmu untuk menghadapi kenyataan yang terbentang di depan mata." "Aku tak peduli pukulan batin macam apa pun aku tetap akan pergi ke sana." "Nak! Sekarang pergilah beristirahat sejenak menanti lukamu telah sembuh, berangkatlah mengunjungi Benteng Kiam-poo !" "Baik... baik..." jawab jago pedang berdarah dingin dengan bibir gemetar. Dengan suara berat ia menghela napas panjang lalu geleng kepala dengan penuh kepedihan, perlahan- lahan ia putar badan dan bergeser dari situ... di bawah bimbingan seorang dayang berlalulah pemuda itu dari ruangan tersebut. Hanya di dalam beberapa menit yang singkat, jago muda yang penuh kegagahan ini secara mendadak telah berubah jadi makin tua, perasaan membuat ia jauh lebih loyo dan lunglai. "lbu !" ujar Lu Kiat kemudian setelah bayangan punggung Pek In Hoei lenyap dari pandangan, "dari mana kau bisa tahu duduknya perkara demikian jelas ?" Lu Hujin tak dapat membendung rasa sedihnya lagi dan menangis tersedu-sedu, "Nak, akulah perempuan yang telah melahirkan dirinya... Akulah ibu kandungnya," ujar nyonya iiu dengan suara gemetar, "Anak Kiat, apakah kau masih belum tahu bahwa Pek In Hoei sebetulnya adalah saudara kandungmu sendiri? Aaai...! Nak apa yang harus kulakukan dalam persoalan ini !" Dengan air mata bercucuran Lu Hujin mengangguk. "Sekarang kau tentu sudah paham bukan? Setelah ia dilahirkan di kolong langit maka aku memberi nama Pek In Hoei, sengaja kucantumkan kata In agar aku selalu ingat padanya, tentang peristiwa ini ayahmu mengetahui dengan jelas." "Ibu kalau begitu sepantasnya kau beritahukan hal ini kepadanya!" seru Lu Kiat dengan nada tegang. Namun Lu Hujin gelengkan kepala, "Tentang peristiwa ini aku tak dapat memberitahukan kepadanya, ia sudah cukup menderita dan tersiksa, anak Kiat kau adalah toakonya dalam urusan apapun juga kau harus baik-baik merawat dirinya, dalam perjalanan menuju ke benteng Kiam poo kali ini aku serahkan dirinya kepadamu, bila ia mengalami suatu kejadian yang tidak diingini, aku akan minta pertanggungan jawab darimu..."