Cerita Silat | Ksatria Panji Sakti | oleh Gu Long | Ksatria Panji Sakti | Cersil Sakti | Ksatria Panji Sakti pdf
Roro Centil - Dendam & Cinta Gila Seorang Pendekar Animorphs 18 Petualangan di planet Leera Pengemis Binal - 27. Bidadari Pulau Penyu Pendekar Hina Kelana - 36. Misteri Patung Kematian Pendekar Mata Keranjang - 26. Lembaran Kulit Naga Pertala
Ternyata Ai Thian-hok seakan tidak menyadari akan hal itu, sepanjang perjalanan dia selalu mencari kesempatan untuk menuturkan semua pengalaman dan pengetahuannya tentang dunia persilatan kepada anak muda tersebut. Suatu hari tibalah mereka di kota Cu—shia diwilayah Lu-tang, jaraknya dengan bukit Lau-san sudah tidak terlalu jauh lagi. Saat itu udara terasa hangat, aneka bunga mekar dengan indahnya, sudah hampir setahun pemuda itu meninggalkan Perguruan Tay—ki—bun. Membayangkan kembali semua pengalamannya Selama ini, Thiat Tiong—tong tidak tahu haruskah merasa sedih atau gembira, walaupun ia sudah banyak mengucurkan darah dan keringat demi perguruan, diapun tak tahu apakah semua perbuatannya bisa dimaklumi gurunya atau tidak. Bagaimana pula keadaan saudara perguruan lainnya selama setahun ini? Bagaimana pula dengan keadaan luka yang diderita Im Ceng? Biarpun ada Un Tay—tay yang melindunginya, namun ia tetap merasa amat kuatir. Apalagi dihati kecilnya masih menyimpan sebuah rahasia yang amat besar, Setiap menjelang tengah malam, disaat sepi manusia, dia seringkali bergumam seorang diri: “Waktunya sudah hampir tiba, jangan lupa....jangan sampai II lupa..... Setibanya di kota Cu-shia, walaupun dihati kecilnya Thiat Tiong—tong ingin melanjutkan kembali perjalanannya, namun lantaran kuatir Ai Thian-hok kelewat lelah, maka menjelang senja dia pun mencari tempat penginapan untuk beristirahat, berdua ia duduk terpekur sambil minum arak. Ketika malam semakin kelam, selera minum kedua orang itu makin meningkat, siapa pun enggan kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Selama ini Thiat Tiong—tong selalu berusaha untuk bicara keras, agar Ai Thian-hok dapat menangkap pembicaraannya secara jelas, akibatnya saat ini tenggorokannya benar benar sedikit agak parau. Setiap kali Ai Thian-hok tak dapat menangkap isi pembicaraan secara jelas, Thiat Tiong—tong selalu berseru sambil tertawa: “Tenggorokan siaute memang semakin parau, bayangk an, kemarin sewaktu minta air, jarak tiga meter pun orang tak mendengar teriakanku, tentu nya toako juga makin pusing bukan untuk menangkap ucapanku?” Ai Thian-hok tersenyum tanpa menjawab, lewat sesaat kemudian tiba tiba setitik air mata membasahi kelopak matanya. Melihat itu dengan terperanjat Thiat Tiong—tong bertanya: “Toa.....toako, kenapa kau bersedih hati?” Ai Thian-hok duduk tanpa bergerak, sampai lama kemudian ia baru berkata pelan: “Saudaraku yang bodoh, memangnya kau sangka toako benar benar tidak tahu?” “Toako, apa yang kau ketahui?” “Berulang kali kau minta aku membantumu, membimbingmu, padahal kau tak tega meninggalkan diriku bukan? Padahal kau kasihan kepada toako lantaran sudah buta, tuli lagi bukan?” Sekujur tubuh Thiat Tiong—tong bergetar keras, air mata kembali jatuh bercucuran, sambil memegang bahu Ai Thian-hok kuat kuat, ujarnya gemetar: “Toako, kau . . . . .. sejak kapan kau tahu akan hal ini?” “Sewaktu tiba di kaki bukit, toako sudah mengetahuinya!” sahut Ai Thian-hok sambil menghela napas. Kemudian setelah tertawa pedih, lanjutnya: “Kau tidak menyangka bukan, meski toako sudah buta lagi tuli, namun masih mampu berdiri tegak, mampu berjalan, masih punya selera makan, tidur dengan nyenyak?” Thiat Tiong—tong hanya mengawasi raut mukanya yang kaku itu dengan termangu, dia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan hatinya sekarang, dalam waktu sesaat pelbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya. Bukan saja seluruh kemewahan dan keindahan dunia tak bisa dilihat dan dinikmati lagi, kedudukan terhormat dalam dunia persilatan, nama harum diantara umat persilatan pun harus ia tinggalkan untuk selamanya. Seandainya dia hanya seseorang yang pasrah pada nasib, mungkin keadaan jauh agak mendingan, tapi dia adalah seorang jagoan sejati yang besar ambisinya dan tinggi cita citanya, mungkinkah dia sanggup menghadapi pukulan batin ini? Tapi kenyataannya sekarang, pukulan batin yang belum tentu dapat dihadapi siapa pun tidak sampai merobohkan dirinya, ia masih dapat bertahan dengan tenang, bersikap seakan tak pernah terjadi sesuatu, bukan hanya orang lain saja, bahkan Thiat Tiong—tong sendiripun tidak menyangka. Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya terdengar Ai Thian-hok berkata kembali: “saudaraku, kau jangan lupa, keteguhan batin seorang lelaki terbentuk karena tempaan penderitaan dan siksaan, biarkan saja tubuh berubah jadi cacad, biarkan saja badan dan phisikmu berubah tak berguna, yang penting hatimu belum menjadi cacad, pikiranmu masih berguna, itu semua sudah lebih dari cukup” “Aaaa, kelihatannya memang gampang, padahal sulit untuk dilakukan” pikir Thiat Tiong—tong didalam hati, “berapa orang sih di dunia ini yang sanggup melakukan hal tersebut?” Sekalipun perasaan hatinya amat pedih, namun diliputi perasaan kagum yang tak terhingga. Tiba tiba Ai Thian-hok bangkit berdiri, setelah menghela napas panjang, ujarnya: “Waktu sudah larut malam, mari kita tidur!” Sewaktu kembali, tubuhnya berjalan sangat tegak. Malam itu Thiat Tiong-tong tak dapat tidur nyenyak, hingga fajar menjelang tiba ia baru bisa terlelap tidur. Ketika ia mendusin dari tidurnya, Ai Thian-hok telah pergi dari situ sambil meninggalkan sebuah surat yang ditindihkan dibawah sebuah kotak kecil dari kayu. Tulisan diatas kertas sangat kacau dan susah dibaca, namun secara lamat lamat masih bisa terbaca: “Meski belajar pedang itu susah, ternyata mendapat kawan sejati jauh lebih susah, memperoleh seorang adik macam kau membuat aku rela mati, oleh sebab itu aku tak ingin membuat susah kau, sepanjangnya jalanan akhirnya akan tiba diujungnya juga, mungkin mulai kini aku akan berkelana ke ujung dunia dan entah sampai kapan baru bersua kembali. “sebuah kotak kayu yang sudah banyak tahun kusimpan kuberikan sebagai kenangan, semoga hiante tak usah mencariku lagi” Membaca Surat itu sambil memegang kotak kayu kecil, Thiat Tiong—tong merasakan seluruh tubuhnya gemetar keras, rasa sedih menyelimuti seluruh perasaan hatinya. Oo0oo oo0oo oo0oo Bukit Lau-san terletak di daerah Ciau-ciu (Propinsi Shoatang) yang terletak di pesisir laut, udara amat hangat, karena berada disepanjang laut, tak heran kalau banyak pelancong yang berkunjung ke situ. Setibanya dikaki bukit, Thiat Tiong—tong mulai berjalan mengelilingi seluruh tanah perbukitan, namun ia tak berhasil menemukan seorang manusiapun diseputar sana. Akhirnya ia mencari seorang penebang kayu yang dijumpainya di kaki bukit dan bertanya apakah pernah menjumpai sekelompok manusia aneh diseputar sana, tapi penebang kayu itu menjawab tak pernah dijumpai sesuatu yang aneh. Thiat Tiong—tong merasa panik bercampur kecewa, mencari hingga menjelang senja, akhirnya ia duduk termangu dibawah pohon sambil mengawasi lembayung dikaki bukit, pikirnya: “Mungkinkah dia membohongi aku? Jangan jangan mereka menuju ke barat sementara aku menuju ke timur hingga selama hidup tak akan berhasil menemukan mereka kembali?’ Belum habis ingatan tersebut melintas lewat, mendadak terdengar suara meong bergema dari sisi pepohonan, menyusul kemudian terlihat seekor kucing berbulu putih muncul dari balik semak. Kucing itu kelihatan gagah dan keren, jauh lebih gagah dari kucing biasa, sepasang matanya yang berwarna hijau seolah memancarkan cahaya api, binatang itu tak lain adalah Ping-nu, kucing kesayangan Yin Ping. Tak terkirakan rasa girang Thiat Tiong—tong menyaksikan kemunculan kucing itu, segera serunya: “Meong, apakah kau datang menjemputku?” Tampaknya Ping—nu sangat mengerti bahasa manusia, sepasang matanya yang hijau nampak memandang anak muda itu berulang kali, kemudian diiringi suara meong, kucing itu lari menuju ke atas bukit. Thiat Tiong—tong tak berani berayal, segera dia mengikuti di belakangnya. Kecepatan gerak kucing pintar itu ternyata sama cepatnya dengan gerakan tubuh seorang jago persilatan, tampak bulu putihnya yang halus memantulkan cahaya bianglala ketika tertimpa cahaya senja. Thiat Tiong—tong berlarian dengan sepenuh tenaga, ia tak berani berayal hingga ketinggalan, lebih kurang sepertanak nasi kemudian mereka telah melampaui punggung bukit dan memasuki hutan yang lebat. Angin gunung yang berhembus kencang, mendatangkan hawa dingin yang menggigit. Biarpun udara dingin, peluh sempat membasahi punggung Thiat Tiong—tong, setelah melampaui berapa tikungan bukit, lagi lagi kucing itu mengeong, kemudian menerobos masuk ke balik semak disisi dinding tebing dan melenyapkan diri. Thiat Tiong—tong tertegun, buru buru ia berlarian mendekat sambil melakukan pemeriksaan. Ternyata diantara dinding bukit itu terdapat sebuah jalan setapak selebar satu meter, jalan sempit itu tertutup oleh lebatnya semak belukar sehingga kalau tidak dicari dengan seksama, sulit untuk ditemukannya. Dengan kegirangan kembali Thiat Tiong—tong berpikir: “Dibalik celah sempit ini pastilah tempat tinggal manusia aneh itu” Tapi ingatan lain kembali melintas, pikirnya lebih jauh dengan sedih: “Berbicara dari kungfu yang kumiliki, kendatipun berhasil menemukan tempat tinggalnya, bukan berarti aku dapat menyelamatkan Leng-kong secara gampang . . . . ...” Sementara dia masih melamun, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar seseorang menegur sambil tertawa merdu: “Bocah bodoh, apa yang sedang kau tengok disitu?” Dengan perasaan terkejut Thiat Tiong—tong berpaling, entah sejak kapan dua orang gadis berambut hitam telah berdiri dibawah sinar senja yang mulai redup. Mungkin karena ia sedang melamun hingga kurang konsentrasi, maka tidak diketahui kehadiran mereka berdua. Ke dua orang gadis itu mengenakan jubah panjang terbuat dari sutera yang halus, lembut lagi longgar, satu berwarna merah yang lain berwarna hijau dan panjangnya selutut hingga nampak jelas sepasang betisnya yang putih halus, kaki mereka terbungkus oleh sepatu terbuat dari rumput yang datar dan amat sederhana. Mereka berdua tak lain adalah gadis yang pernah ikut bersama manusia aneh itu mengunjungi lembah kong-kok-san. Thiat Tiong—tong merasa terkejut bercampur girang, terkejut karena jejaknya ketahuan lawan, girang karena dugaannya ternyata tidak meleset, disitulah tempat tinggal manusia aneh itu. Dengan matanya yang jeli nona berbaju hitam itu memperhatikan wajah Thiat Tiong—tong berapa saat, kemudian tegurnya sambil tertawa: “Ternyata perhitungan kokcu tidak meleset, kau benar-benar datang kemari!” “Yaa, kalau memang sudah datang, ayohlah masuk ke dalam” sambung nona berbaju hijau itu pula, “apa lagi yang kau perhatikan?” “Darimana dia tahu kalau aku bakal kemari?” tanya Thiat Tiong—tong terperanjat. Dia sangka manusia aneh itu benar benar seorang manusia sakti yang bisa melihat masa depan, hingga apa yang bakal terjadi sudah diketahui terlebih dulu olehnya. Tentu saja dia tak mengira kalau manusia aneh itu sesungguhnya adalah seorang jagoan silat yang berbakat alam, sekalipun tak dapat meramal masa depan, namun perhitungan serta dugaannya selalu tepat. Ketika ia saksikan Yin Ping yang dihari biasa jarang meninggalkan dirinya tahu tahu keluar lembah secara diam diam, ia segera menduga kalau perempuan itu menaruh rasa cemburu terhadap Sui Leng—kong hingga sengaja memancing kedatangan Thiat Tiong—tong ke situ untuk menolong gadis tersebut. Sementara dia masih kaget bercampur ragu, kawanan gadis itu telah meluruk maju mendekat, satu menarik tangan Thiat Tiong—tong, yang lain menarik lengan bajunya sembari berseru: “Kokcu kami sudah menunggu, ayoh cepat masuk!” Tanpa membuang waktu lagi mereka menarik anak muda itu memasuki celah sempit diantara dinding bukit dan menuju ke dalam lembah. Thiat Tiong—tong hanya merasakan bau harum semerbak terendus disisi hidungnya, dia mencoba meronta namun tak berhasil. Celah sempit itu lembab, gelap lagi tertutup rapat oleh semak yang lebat, untuk melewatinya maka orang harus berjalan satu per satu, begitulah, Thiat Tiong—tong dengan diapit dua orang gadis itu, satu didepan yang lain di belakang, berjalan menelusuri jalan setapak itu hampir seperminum teh lamanya. Tiba tiba pemuda itu merasakan pandangan matanya jadi terang, ternyata pemandangan dihadapannya telah berubah jadi amat lebar dan terbuka, hembusan angin yang semilir ditambah bau harum bunga yang harum, membuat suasana disitu terasa nyaman dan mengesankan. Rupanya disudut celah yang sempit tadi merupakan sebuah lembah bukit yang luas dan lebar, lembah itu dikelilingi perbukitan disekelilingnya dengan pepohonan yang rimbun dan sebuah sungai kecil yang mengalir tenang. sepanjang sungai kecil itu penuh ditumbuhi pohon yang-liu, diantara rimbunnya dedaunan lamat lamat tampak sebuah bangunan yang indah muncul dibalik bukit. Didepan bangunan indah itu merupakan sebuah tanah lapang dengan rumput yang dipotong pendek tapi rapi, diatas hamparan rerumputan nan hijau tergeletak puluhan macam alat musik, meja catur dan lain sebagainya. Thiat Tiong—tong tidak menyangka kalau di dunia pun terdapat alam seindah nirwana, tak urung ia berdiri tertegun berapa saat lamanya. Terdengar nona berbaju merah itu berseru sambil tertawa cekikikan: “Saudara saudaraku, apa indahnya melihat ikan disungai? Cepat kemari dan lihatlah si burung bodoh ini . . . . ..” Rupanya disepanjang sungai kecil, dibalik pepohonan yang rimbun berkumpul belasan orang gadis cantik. Kawanan gadis itu hanya mengenakan kain tipis yang terbuat dari sutera, ketika berlarian terhembus angin, tampaklah dengan jelas lekukan tubuh mereka yang montok dan indah, ternyata dibalik kain sutera tipis itu, mereka berada dalam keadaan telanjang bulat. Thiat Tiong—tong hanya merasakan rangsangan yang hebat setelah melihat kawanan gadis bugil itu, buru buru dia pejamkan matanya rapat rapat dan tak berani memperhatikan lebih jauh. Dalam waktu singkat kawanan gadis itu sudah berada disisi tubuhnya, ada yang menarik bajunya, ada yang menarik lengan bajunya, bau harum yang menusuk hidung muncul dari empat arah delapan penjuru. Thiat Tiong—tong merasa gugup bercampur panik, dia mencoba
Roro Centil - Dendam & Cinta Gila Seorang Pendekar Animorphs 18 Petualangan di planet Leera Pengemis Binal - 27. Bidadari Pulau Penyu Pendekar Hina Kelana - 36. Misteri Patung Kematian Pendekar Mata Keranjang - 26. Lembaran Kulit Naga Pertala
Ternyata Ai Thian-hok seakan tidak menyadari akan hal itu, sepanjang perjalanan dia selalu mencari kesempatan untuk menuturkan semua pengalaman dan pengetahuannya tentang dunia persilatan kepada anak muda tersebut. Suatu hari tibalah mereka di kota Cu—shia diwilayah Lu-tang, jaraknya dengan bukit Lau-san sudah tidak terlalu jauh lagi. Saat itu udara terasa hangat, aneka bunga mekar dengan indahnya, sudah hampir setahun pemuda itu meninggalkan Perguruan Tay—ki—bun. Membayangkan kembali semua pengalamannya Selama ini, Thiat Tiong—tong tidak tahu haruskah merasa sedih atau gembira, walaupun ia sudah banyak mengucurkan darah dan keringat demi perguruan, diapun tak tahu apakah semua perbuatannya bisa dimaklumi gurunya atau tidak. Bagaimana pula keadaan saudara perguruan lainnya selama setahun ini? Bagaimana pula dengan keadaan luka yang diderita Im Ceng? Biarpun ada Un Tay—tay yang melindunginya, namun ia tetap merasa amat kuatir. Apalagi dihati kecilnya masih menyimpan sebuah rahasia yang amat besar, Setiap menjelang tengah malam, disaat sepi manusia, dia seringkali bergumam seorang diri: “Waktunya sudah hampir tiba, jangan lupa....jangan sampai II lupa..... Setibanya di kota Cu-shia, walaupun dihati kecilnya Thiat Tiong—tong ingin melanjutkan kembali perjalanannya, namun lantaran kuatir Ai Thian-hok kelewat lelah, maka menjelang senja dia pun mencari tempat penginapan untuk beristirahat, berdua ia duduk terpekur sambil minum arak. Ketika malam semakin kelam, selera minum kedua orang itu makin meningkat, siapa pun enggan kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Selama ini Thiat Tiong—tong selalu berusaha untuk bicara keras, agar Ai Thian-hok dapat menangkap pembicaraannya secara jelas, akibatnya saat ini tenggorokannya benar benar sedikit agak parau. Setiap kali Ai Thian-hok tak dapat menangkap isi pembicaraan secara jelas, Thiat Tiong—tong selalu berseru sambil tertawa: “Tenggorokan siaute memang semakin parau, bayangk an, kemarin sewaktu minta air, jarak tiga meter pun orang tak mendengar teriakanku, tentu nya toako juga makin pusing bukan untuk menangkap ucapanku?” Ai Thian-hok tersenyum tanpa menjawab, lewat sesaat kemudian tiba tiba setitik air mata membasahi kelopak matanya. Melihat itu dengan terperanjat Thiat Tiong—tong bertanya: “Toa.....toako, kenapa kau bersedih hati?” Ai Thian-hok duduk tanpa bergerak, sampai lama kemudian ia baru berkata pelan: “Saudaraku yang bodoh, memangnya kau sangka toako benar benar tidak tahu?” “Toako, apa yang kau ketahui?” “Berulang kali kau minta aku membantumu, membimbingmu, padahal kau tak tega meninggalkan diriku bukan? Padahal kau kasihan kepada toako lantaran sudah buta, tuli lagi bukan?” Sekujur tubuh Thiat Tiong—tong bergetar keras, air mata kembali jatuh bercucuran, sambil memegang bahu Ai Thian-hok kuat kuat, ujarnya gemetar: “Toako, kau . . . . .. sejak kapan kau tahu akan hal ini?” “Sewaktu tiba di kaki bukit, toako sudah mengetahuinya!” sahut Ai Thian-hok sambil menghela napas. Kemudian setelah tertawa pedih, lanjutnya: “Kau tidak menyangka bukan, meski toako sudah buta lagi tuli, namun masih mampu berdiri tegak, mampu berjalan, masih punya selera makan, tidur dengan nyenyak?” Thiat Tiong—tong hanya mengawasi raut mukanya yang kaku itu dengan termangu, dia tak bisa membayangkan bagaimana perasaan hatinya sekarang, dalam waktu sesaat pelbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya. Bukan saja seluruh kemewahan dan keindahan dunia tak bisa dilihat dan dinikmati lagi, kedudukan terhormat dalam dunia persilatan, nama harum diantara umat persilatan pun harus ia tinggalkan untuk selamanya. Seandainya dia hanya seseorang yang pasrah pada nasib, mungkin keadaan jauh agak mendingan, tapi dia adalah seorang jagoan sejati yang besar ambisinya dan tinggi cita citanya, mungkinkah dia sanggup menghadapi pukulan batin ini? Tapi kenyataannya sekarang, pukulan batin yang belum tentu dapat dihadapi siapa pun tidak sampai merobohkan dirinya, ia masih dapat bertahan dengan tenang, bersikap seakan tak pernah terjadi sesuatu, bukan hanya orang lain saja, bahkan Thiat Tiong—tong sendiripun tidak menyangka. Entah berapa saat sudah lewat, akhirnya terdengar Ai Thian-hok berkata kembali: “saudaraku, kau jangan lupa, keteguhan batin seorang lelaki terbentuk karena tempaan penderitaan dan siksaan, biarkan saja tubuh berubah jadi cacad, biarkan saja badan dan phisikmu berubah tak berguna, yang penting hatimu belum menjadi cacad, pikiranmu masih berguna, itu semua sudah lebih dari cukup” “Aaaa, kelihatannya memang gampang, padahal sulit untuk dilakukan” pikir Thiat Tiong—tong didalam hati, “berapa orang sih di dunia ini yang sanggup melakukan hal tersebut?” Sekalipun perasaan hatinya amat pedih, namun diliputi perasaan kagum yang tak terhingga. Tiba tiba Ai Thian-hok bangkit berdiri, setelah menghela napas panjang, ujarnya: “Waktu sudah larut malam, mari kita tidur!” Sewaktu kembali, tubuhnya berjalan sangat tegak. Malam itu Thiat Tiong-tong tak dapat tidur nyenyak, hingga fajar menjelang tiba ia baru bisa terlelap tidur. Ketika ia mendusin dari tidurnya, Ai Thian-hok telah pergi dari situ sambil meninggalkan sebuah surat yang ditindihkan dibawah sebuah kotak kecil dari kayu. Tulisan diatas kertas sangat kacau dan susah dibaca, namun secara lamat lamat masih bisa terbaca: “Meski belajar pedang itu susah, ternyata mendapat kawan sejati jauh lebih susah, memperoleh seorang adik macam kau membuat aku rela mati, oleh sebab itu aku tak ingin membuat susah kau, sepanjangnya jalanan akhirnya akan tiba diujungnya juga, mungkin mulai kini aku akan berkelana ke ujung dunia dan entah sampai kapan baru bersua kembali. “sebuah kotak kayu yang sudah banyak tahun kusimpan kuberikan sebagai kenangan, semoga hiante tak usah mencariku lagi” Membaca Surat itu sambil memegang kotak kayu kecil, Thiat Tiong—tong merasakan seluruh tubuhnya gemetar keras, rasa sedih menyelimuti seluruh perasaan hatinya. Oo0oo oo0oo oo0oo Bukit Lau-san terletak di daerah Ciau-ciu (Propinsi Shoatang) yang terletak di pesisir laut, udara amat hangat, karena berada disepanjang laut, tak heran kalau banyak pelancong yang berkunjung ke situ. Setibanya dikaki bukit, Thiat Tiong—tong mulai berjalan mengelilingi seluruh tanah perbukitan, namun ia tak berhasil menemukan seorang manusiapun diseputar sana. Akhirnya ia mencari seorang penebang kayu yang dijumpainya di kaki bukit dan bertanya apakah pernah menjumpai sekelompok manusia aneh diseputar sana, tapi penebang kayu itu menjawab tak pernah dijumpai sesuatu yang aneh. Thiat Tiong—tong merasa panik bercampur kecewa, mencari hingga menjelang senja, akhirnya ia duduk termangu dibawah pohon sambil mengawasi lembayung dikaki bukit, pikirnya: “Mungkinkah dia membohongi aku? Jangan jangan mereka menuju ke barat sementara aku menuju ke timur hingga selama hidup tak akan berhasil menemukan mereka kembali?’ Belum habis ingatan tersebut melintas lewat, mendadak terdengar suara meong bergema dari sisi pepohonan, menyusul kemudian terlihat seekor kucing berbulu putih muncul dari balik semak. Kucing itu kelihatan gagah dan keren, jauh lebih gagah dari kucing biasa, sepasang matanya yang berwarna hijau seolah memancarkan cahaya api, binatang itu tak lain adalah Ping-nu, kucing kesayangan Yin Ping. Tak terkirakan rasa girang Thiat Tiong—tong menyaksikan kemunculan kucing itu, segera serunya: “Meong, apakah kau datang menjemputku?” Tampaknya Ping—nu sangat mengerti bahasa manusia, sepasang matanya yang hijau nampak memandang anak muda itu berulang kali, kemudian diiringi suara meong, kucing itu lari menuju ke atas bukit. Thiat Tiong—tong tak berani berayal, segera dia mengikuti di belakangnya. Kecepatan gerak kucing pintar itu ternyata sama cepatnya dengan gerakan tubuh seorang jago persilatan, tampak bulu putihnya yang halus memantulkan cahaya bianglala ketika tertimpa cahaya senja. Thiat Tiong—tong berlarian dengan sepenuh tenaga, ia tak berani berayal hingga ketinggalan, lebih kurang sepertanak nasi kemudian mereka telah melampaui punggung bukit dan memasuki hutan yang lebat. Angin gunung yang berhembus kencang, mendatangkan hawa dingin yang menggigit. Biarpun udara dingin, peluh sempat membasahi punggung Thiat Tiong—tong, setelah melampaui berapa tikungan bukit, lagi lagi kucing itu mengeong, kemudian menerobos masuk ke balik semak disisi dinding tebing dan melenyapkan diri. Thiat Tiong—tong tertegun, buru buru ia berlarian mendekat sambil melakukan pemeriksaan. Ternyata diantara dinding bukit itu terdapat sebuah jalan setapak selebar satu meter, jalan sempit itu tertutup oleh lebatnya semak belukar sehingga kalau tidak dicari dengan seksama, sulit untuk ditemukannya. Dengan kegirangan kembali Thiat Tiong—tong berpikir: “Dibalik celah sempit ini pastilah tempat tinggal manusia aneh itu” Tapi ingatan lain kembali melintas, pikirnya lebih jauh dengan sedih: “Berbicara dari kungfu yang kumiliki, kendatipun berhasil menemukan tempat tinggalnya, bukan berarti aku dapat menyelamatkan Leng-kong secara gampang . . . . ...” Sementara dia masih melamun, mendadak dari belakang tubuhnya terdengar seseorang menegur sambil tertawa merdu: “Bocah bodoh, apa yang sedang kau tengok disitu?” Dengan perasaan terkejut Thiat Tiong—tong berpaling, entah sejak kapan dua orang gadis berambut hitam telah berdiri dibawah sinar senja yang mulai redup. Mungkin karena ia sedang melamun hingga kurang konsentrasi, maka tidak diketahui kehadiran mereka berdua. Ke dua orang gadis itu mengenakan jubah panjang terbuat dari sutera yang halus, lembut lagi longgar, satu berwarna merah yang lain berwarna hijau dan panjangnya selutut hingga nampak jelas sepasang betisnya yang putih halus, kaki mereka terbungkus oleh sepatu terbuat dari rumput yang datar dan amat sederhana. Mereka berdua tak lain adalah gadis yang pernah ikut bersama manusia aneh itu mengunjungi lembah kong-kok-san. Thiat Tiong—tong merasa terkejut bercampur girang, terkejut karena jejaknya ketahuan lawan, girang karena dugaannya ternyata tidak meleset, disitulah tempat tinggal manusia aneh itu. Dengan matanya yang jeli nona berbaju hitam itu memperhatikan wajah Thiat Tiong—tong berapa saat, kemudian tegurnya sambil tertawa: “Ternyata perhitungan kokcu tidak meleset, kau benar-benar datang kemari!” “Yaa, kalau memang sudah datang, ayohlah masuk ke dalam” sambung nona berbaju hijau itu pula, “apa lagi yang kau perhatikan?” “Darimana dia tahu kalau aku bakal kemari?” tanya Thiat Tiong—tong terperanjat. Dia sangka manusia aneh itu benar benar seorang manusia sakti yang bisa melihat masa depan, hingga apa yang bakal terjadi sudah diketahui terlebih dulu olehnya. Tentu saja dia tak mengira kalau manusia aneh itu sesungguhnya adalah seorang jagoan silat yang berbakat alam, sekalipun tak dapat meramal masa depan, namun perhitungan serta dugaannya selalu tepat. Ketika ia saksikan Yin Ping yang dihari biasa jarang meninggalkan dirinya tahu tahu keluar lembah secara diam diam, ia segera menduga kalau perempuan itu menaruh rasa cemburu terhadap Sui Leng—kong hingga sengaja memancing kedatangan Thiat Tiong—tong ke situ untuk menolong gadis tersebut. Sementara dia masih kaget bercampur ragu, kawanan gadis itu telah meluruk maju mendekat, satu menarik tangan Thiat Tiong—tong, yang lain menarik lengan bajunya sembari berseru: “Kokcu kami sudah menunggu, ayoh cepat masuk!” Tanpa membuang waktu lagi mereka menarik anak muda itu memasuki celah sempit diantara dinding bukit dan menuju ke dalam lembah. Thiat Tiong—tong hanya merasakan bau harum semerbak terendus disisi hidungnya, dia mencoba meronta namun tak berhasil. Celah sempit itu lembab, gelap lagi tertutup rapat oleh semak yang lebat, untuk melewatinya maka orang harus berjalan satu per satu, begitulah, Thiat Tiong—tong dengan diapit dua orang gadis itu, satu didepan yang lain di belakang, berjalan menelusuri jalan setapak itu hampir seperminum teh lamanya. Tiba tiba pemuda itu merasakan pandangan matanya jadi terang, ternyata pemandangan dihadapannya telah berubah jadi amat lebar dan terbuka, hembusan angin yang semilir ditambah bau harum bunga yang harum, membuat suasana disitu terasa nyaman dan mengesankan. Rupanya disudut celah yang sempit tadi merupakan sebuah lembah bukit yang luas dan lebar, lembah itu dikelilingi perbukitan disekelilingnya dengan pepohonan yang rimbun dan sebuah sungai kecil yang mengalir tenang. sepanjang sungai kecil itu penuh ditumbuhi pohon yang-liu, diantara rimbunnya dedaunan lamat lamat tampak sebuah bangunan yang indah muncul dibalik bukit. Didepan bangunan indah itu merupakan sebuah tanah lapang dengan rumput yang dipotong pendek tapi rapi, diatas hamparan rerumputan nan hijau tergeletak puluhan macam alat musik, meja catur dan lain sebagainya. Thiat Tiong—tong tidak menyangka kalau di dunia pun terdapat alam seindah nirwana, tak urung ia berdiri tertegun berapa saat lamanya. Terdengar nona berbaju merah itu berseru sambil tertawa cekikikan: “Saudara saudaraku, apa indahnya melihat ikan disungai? Cepat kemari dan lihatlah si burung bodoh ini . . . . ..” Rupanya disepanjang sungai kecil, dibalik pepohonan yang rimbun berkumpul belasan orang gadis cantik. Kawanan gadis itu hanya mengenakan kain tipis yang terbuat dari sutera, ketika berlarian terhembus angin, tampaklah dengan jelas lekukan tubuh mereka yang montok dan indah, ternyata dibalik kain sutera tipis itu, mereka berada dalam keadaan telanjang bulat. Thiat Tiong—tong hanya merasakan rangsangan yang hebat setelah melihat kawanan gadis bugil itu, buru buru dia pejamkan matanya rapat rapat dan tak berani memperhatikan lebih jauh. Dalam waktu singkat kawanan gadis itu sudah berada disisi tubuhnya, ada yang menarik bajunya, ada yang menarik lengan bajunya, bau harum yang menusuk hidung muncul dari empat arah delapan penjuru. Thiat Tiong—tong merasa gugup bercampur panik, dia mencoba