Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423
↧

Imam Tanpa Bayangan II - 110

$
0
0
Cerita Silat | Imam Tanpa Bayangan II | oleh Xiao Say | Imam Tanpa Bayangan II | Cersil Sakti | Imam Tanpa Bayangan II pdf

Andrea Hirata - Dwilogi 1 - Padang Bulan Andrea Hirata - Dwilogi 2 - Cinta Dalam Gelas Kisah Para Nabi Allah Ketika Cinta Bertasbih 1 - Habiburrahman El Shirazy Ketika Cinta Bertasbih 2 - Habiburrahman El Shirazy

JAGO Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei mendengus : "Huuh...! Sekali pun alat jebakan atau ngo-heng suatu alat jebakan yang luar biasa dan memiliki perubahan yang amat banyak, namun tidak lebih kesemuanya itu adalah benda mati, benda semacam itu tak mungkin bisa menangkan perubahan akal manusia, lagi pula di tengah kesempurnaan pasti terdapat pula keteledoran, apakah kau berani jamin bahwa persiapanmu itu pasti tiada keteledoran???" Pemilik Benteng Kiam-poo berdiri tertegun, ia tak menyangka kalau Jago Pedang Berdarah Dingin dengan usianya yang masih muda, ternyata memiliki pengetahuan yang sangat luas dan jauh melebihi pandangan orang lain, hatinya tercekat dan tanpa sadar muncullah suatu perasaan takut serta bergidik dalam hati kecilnya, ia merasa seolah-olah segala tindakan serta perbuatannya cukup untuk melenyapkan rencana yang telah disusun secara matang itu, maka dalam hati kecilnya segera timbul keragu-raguan, ia curiga dan merasa goyah pendiriannya... mungkinkah alat rahasia yang dimilikinya itu mampu untuk membelenggu musuh- musuhnya. "Hey Orang muda!" ujar kemudian sambil tertawa seram, "perkataanmu memang tepat sekali, aku tidak membantah bahwa pendapat yang kau miliki jauh lebih hebat dan lebih sempurna daripada pendapat kebanyakan orang, tetapi sejak aku mendirikan benteng ini hingga sekarang belum pernah terjadi peristiwa semacam ini... aku berharap kau bisa menumbangkan sejarah baru, agar aku kehilangan kepercayaanku terhadap segala macam permainan ini hingga timbul ide lain untuk menyusun rencana baru... tetapi kau harus tahu anak muda, pekerjaan itu bukanlah suatu pekerjaan yang terlalu gampang, aku percaya kau masih belum memiliki kemampuan untuk berbuat demikian..." "Lihat saja nanti bagaimana akhirnya," sahut Pek In Hoei dengan nada congkak, "siapa yang akhirnya berhasil menangkan pertarungan ini nanti toh akan ketahuan, waktu itu kau baru akan tahu bahwa jago lihay yang lebih lihay daripada dirimu masih banyak sekali dalam dunia persilatan..." "Haaaah... haaaah... haaaah... sungguh menarik, sungguh menarik..." seru pemilik Benteng Kiam-poo sambil tertawa terbahak-bahak, "Aku akan menantikan dirimu semoga tindak tandukmu jauh lebih keras dan tajam daripada selembar mulutmu itu, jangan sampai apa yang kau ucapkan hanya kentut busuk yang berhembus lewat, cuma baunya saja yang menusuk hidung namun sama sekali tak ada wujudnya... bila sampai demikian keadaannya bukankah keadaan jadi mengenaskan sekali. Pek In Hoei sama sekali tidak ambil peduli terhadap ucapan sang pemilik Benteng Kiam-poo yang sama sekali tidak pandang sebelah mata pun terhadap orang lain ini, ketika dilihatnya jago lihay yang liciknya melebihi rase tua ini menyindir dirinya terus menerus, wajahnya seketika berubah jadi dingin menyeramkan, sambil tertawa dingin serunya : "Huuuuh...! Keadaaanmu itu persis bagaikan orang buta meraba tulang... dan rabaanmu tepat sekali. Toa poocu! Kecuali segala permainan tetek bengek yang sudah bau basi ini apakah kau masih mempunyai permainan lain yang jauh lebih segar??? Kalau ada tak ada halangannya bila kau perlihatkan semua sehingga kami dapat membuka sepasang mata kami yang buta..." "Hmmm! Apa yang kau ributkan??? Sekarang kau sedang berada dalam perjalanan menuju ke alam baka, kau akan merasakan kesemuanya itu satu persatu... pokoknya kau tak usah kuatir, aku tak akan membiarkan dirimu melakukan perjalanan yang sia- sia... aku tak akan membiarkan kau merasa kecewa karena belum sempat menyaksikan raut wajah Benteng Kiam-poo yang serba rahasia dan penuh diliputi kemisteriusan ini..." Pada saat itulah Lu Kiat maju satu langkah ke depan ujarnya : "Poocu, apakah tujuan dari kedatangan kami aku rasa kau pasti sudah tahu, saudaraku dengan susah payah melakukan perjalanan sejauh beribu ribu li untuk datang kemari, maksud serta harapannya bukan lain adalah untuk berjumpa dengan ibunya, aku ras sebagai seorang putra sudah sewajarnya kalau ia menyayangi ibu kandungnya sendiri... aku rasa poocu pasti tak akan menyia-nyiakan perjalanannya yang jauh dan susah payah itu bukan?? Asal saudaraku ini dapat berjumpa muka dengan ibunya, maka kendati kau akan menyelesaikan pertikaian di antara kami dengan cara apa pun jua pasti akan kami iringi..." "Hmm...! Sayang seribu kali sayang aku tidak mempunyai hati begitu welas asih seperti hati sang Budha!" "Kenapa?" tanya Lu Kiat dengan hati mendongkol. "Bagaimana pun juga kau toh tidak sepantasnya kalau sama sekali tidak memberi muka kepada kami." Hingga detik itu Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei tak berani banyak berkutik, bukan lain karena disebabkan ia belum sempat bertemu muka dengan ibunya ia tak ingin bentrok lebih dulu dengan orang- orang dari Benteng Kiam-poo karena ia memahami benar-benar situasi yang terbentang di hadapannya, asal ia tak sanggup mempertahankan diri maka sepanjang masa ia akan kehilangan kesempatan untuk berjumpa dengan ibunya, selama hidup dalam benaknya tak akan terlintas bayangan wajah dari ibunya lagi. Setelah pemilik dari Benteng Kiam-poo mengusik serta menyindir dirinya terus menerus perasaan pemuda itu bagaikan kayu kering yang terjilat oleh kobaran api, ia tak sanggup menguasai napsu membunuh yang berkobar dalam dadanya, senyuman yang menggidikan hati mulai tersungging di ujung bibirnya. "Kau hendak paksa aku untuk turun tangan?" bentaknya dengan penuh kegusaran. Pemilik Benteng Kiam-poo agak tertegun, rupanya ia dibikin tercengang oleh sikap Pek In Hoei yang mengerikan itu, sejak ia jadi pemilik benteng seingatnya belum pernah ada orang yang berani menantangnya untuk berduel, tetapi sikap jumawa yang diperlihatkan lawannya membuat ia tak sanggup mempertahankan diri lagi. ******** Bagian 36 'HUUUH! Kau anggap dengan kedudukanmu itu sudah pantas untuk bertempur melawan diriku?" teriak pemilik Benteng Kiam-poo dengan penuh kegusaran, "Pek In Hoei pentang matamu lebar-lebar dan periksa dulu sekarang kau berada di mana? Pantaskah kau unjukkan sikap kejumawaanmu di tempat seperti ini? Hmm dengan kepandaian silat yang kau miliki itu, untuk menghadapi budak-budakku kelas tiga masih belum mampu, aku harap kau jangan memaksa diriku untuk membunuh kau terlebih dahulu." Ia berhenti sebentar kemudian dengan suara dingin ujarnya kembali : "Apakah kedudukan ibumu di dalam benteng ini pun belum sempat kau ketahui dengan jelas, kau sudah begitu berani bersikap kurang ajar dan tak tahu sopan kepada diriku, hal ini menunjukkan bahwa kau sebetulnya sama sekali tak pandang sebelah mata pun terhadap ibumu." "Kedudukan ibuku?" seru Pek In Hoei dengan wajah tertegun. "Ehmm... selama beberapa tahun terakhir kau dapat mempertahankan hidup boleh dibilang kesemuanya itu adalah berkat jasa-jasa dari ibumu, andaikata kau tidak memandang di atas wajahnya, hmmm aku yakin sedari dulu kau sudah menggeletak mati jadi mayat." Makin mendengar perkataan lawannya Pek In Hoei merasa semakin kebingungan, ia hampir saja tak mampu mengartikan kata-kata yang diucapkan oleh pemilik Benteng Kiam-poo ini, tetapi secara lapat-lapat ia berhasil memahami satu persoalan yakni pernah ada orang yang hendak membinasakan dirinya tetapi ibu kandungnya keburu mendapat kabar berita ini terlebih dulu sehingga ia mohon bantuan orang lain untuk mencegah pembunuhan itu tidak sampai terjadi. "Aku... aku tidak memahami apa yang sedang kau maksudkan," serunya dengan suara gemetar. "Hmmm! Tentu saja kau tak akan mengerti," sahut pemilik Benteng Kiam-poo dengan suara dingin, "dengarkan dulu perkataanku hingga selesai maka segera akan kau pahami maksud yang sebenarnya, Pek In Hoei! Kau cuma tahu bahwa kau ingin bertemu dengan ibumu, tahukah kau bahwa dia tidak menginginkan perjumpaan ini?" "Pertemuan antara ibu dan anak sudah sewajarnya terjadi, aku percaya di kolong langit tak ada seorang ibu yang tak menyayangi putranya sendiri," bentak Pek In Hoei dengan suara keras, "tentu saja kecuali kalau dia bukan seorang perempuan dan ia ia sudah kehilangan cinta kasihnya sebagai seorang ibu." "Ucapanmu tepat sekali, ibumu adalah termasuk perempuan semacam itu," kata pemilik Benteng Kiam- poo sambil tertawa seram. Tergetar keras hati Pek In Hoei setelah mendengar ucapan itu, suatu perasaan sakit hati dan siksaan batin yang amat sangat membuat pemuda itu hampir saja muntahkan darah segar, titik air mata mengembang di ujung kelopak matanya, ia menggeleng dan berseru : "Aku tidak percaya! Aku tak akan mempercayai perkataanmu itu, kau tak usah ngaco belo." Sepasang matanya memancarkan cahaya berkilat, dengan suara keras bentaknya : "Kau mengurung ibuku di mana?" Sikap pemilik Benteng Kiam-poo aneh sekali, seakan- akan ia sudah tak kenal apa artinya peri kemanusiaan lagi, Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei semakin tersiksa batinnya oleh ucapannya, ia merasa semakin bangga, senyuman yang menyeramkan dan memuakkan tersungging di bibirnya, ia mendongak dan tertawa seram. "Kau anggap ibumu menderita siksaan batin yang hebat selama berada di dalam Benteng Kiam-poo? Terus terang kuberitahukan kepadamu, dugaanmu itu keliru besar, bukan saja ia tak kenal apa artinya kepedihan bahkan selama ini dia merasakan apa artinya kebahagiaan hidup sebagai seorang manusia di mana pun ia berada, kedatangannya selalu disambut dengan sikap hormat dan sopan, setiap orang menghormati dirinya sebagai nyonya besar." "Pek In Hoei berusaha keras menenangkan hatinya yang bergolak keras, dengan suara gemetar ujarnya : "Bila kau benar-benar melayani serta menghormati ibuku dengan cara yang baik, suatu saat aku orang she Pek pasti akan membalas budi kebaikanmu itu, tapi aku harap apa yang kau ucapkan merupakan suatu kenyataan, janganlah sengaja kau ucapkan untuk mencari muka di hadapanku, aku harap apa yang kau katakan bukanlah suatu kata-kata bohong yang sengaja kau ucapkan untuk membohongi aku." "Kau anggap aku adalah seorang manusia macam apa?? Buat apa sih aku mesti membohongi anak kecil macam kau?? Tetapi ada satu hal kau mesti ingat, ibumu berbuat demikian kesemuanya adalah atas dasar kerelaan, aku sama sekali tiada maksud untuk memaksa dirinya berbuat demikian..." "Sebenarnya kenapa dengan ibuku itu??" tanya Pek In Hoei dengan nada tercengang. "Ia sudah kawin lagi dengan diriku, dan sekarang jadi nyonya Benteng Kiam-poo!" jawab pemilik benteng itu dengan suara bangga. Bagikan disambar guntur di siang hari bolong, Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei merasa telinganya berdengung keras, sekujur tubuhnya gemetar keras dan ia mulai ragu-ragu benarkah peristiwa itu merupakan suatu kenyataan?? Perasaan sakit hati membuat hawa darah yang bergolak dalam dadanya menyusup naik ke atas, tak ampun lagi ia muntah darah segar... "Sungguhkah ucapanmu itu..." bisiknya dengan suara gemetar. Sebelum mendapat berita mengenai ibunya ia pernah membayangkan ibunya itu sebagai seorang perempuan yang saleh dan amat mencintai dirinya, bayangannya ketika itu indah sekali... tetapi sekarang bayangan tersebut telah hancur berantakan, semua harapannya ikut musnah bersama dengan indahnya lamunan yang pernah terwujud dalam benaknya... Mimpi pun ia tak pernah menyangka kalau ibunya adalah seorang perempuan yang tak tahan diuji, perempuan berhati lemah yang ternyata sudah kawin lagi dengan orang lain... kalau kawin dengan orang lain mungkin keadaan masih agak mendingan, ternyata ia sudah kawin dengan musuh besar ayahnya... ia merasa gusar dan kecewa atas kenyataan tersebut... diam-diam ia merasa sedih bagi kematian ayahnya... Lu Kiat sendiri diam-diam ikut merasa pedih hatinya setelah mendengar perkataan itu, ketika menyaksikan Jago Pedang Berdarah Dingin muntah darah segar serta wajahnya menunjukkan penderitaan yang luar biasa hatinya jadi terkesiap, segera tegurnya : "Adikku, kenapa kau??" "Aku sangat baik," jawab Pek In Hoei sambil tertawa sedih, "toako, kau tak usah bersedih hati karena aku..." "Dalam menghadapi persoalan apa pun pandanganmu harus terbuka dan memandang ke arah depan yang luas, janganlah karena satu persoalan membuat badanmu hancur berantakan..." seru Lu Kiat memperingatkan dengan hati gelisah. "Terima kasih atas nasehatmu itu, toako. Aku bisa merawat diriku baik-baik..." kata Pek In Hoei dengan suara penuh penderitaan. Tetesan air mata mengembang pada kelopak matanya yang hitam dan jeli itu, kendati pun ia sudah berusaha keras untuk menahan air matanya sehingga tidak sampai menetes keluar, tetapi rasa sedih yang sukar dikendalikan itu membuat air matanya tanpa bisa dicegah lagi mengucur keluar dengan derasnya... Menyaksikan pemuda lawannya tersiksa, pemilik Benteng Kiam-poo merasa semakin bangga, serunya : "Hey orang muda, sekarang kau tentu sudah paham bukan??" Sorot mata berapi-api yang amat mengerikan memancar keluar dari balik mata Pek In Hoei, dengan penuh kegusaran ia membentak keras : "Enyah kau dari sini, hati-hatilah kamu... aku akan membunuh dirimu..." "Perkataan semacam itu tidak pantas diucapkan olehmu, semestinya akulah yang berkata demikian kepadamu..." ejek pemilik Benteng Kiam-poo dengan suara yang dingin. Pek In Hoei meraung semakin gusar. "Kau adalah manusia yang paling kubenci selama hidupku, aku harap kau tahu diri dan segera enyah dari tempat ini, bilamana kita sampai bentrok muka maka sulit bagimu untuk lolos dari cengkeramanku..." Pemilik Benteng Kiam-poo segera angkat kepala dan tertawa terbahak-bahak. "Haaaah... haaaah... haaaah... apakah disebabkan karena ibumu kawin lagi dengan aku, maka kau hendak membinasakan diriku??" "Sedikit pun tidak salah," jawab Pek In Hoei dengan suara ketus, "aku merasa sedih dan pedih karena dia telah memilih manusia macam kau sebagai suaminya dan aku pun merasa kecewa karena nasibnya yang begitu jelek, kau bukanlah seorang pria yang dapat bertanggung jawab... sahabat! Kau mengawini dirinya karena bukan muncul dari hati yang tulus bukan?? Kau kawini dirinya bukan dikarenakan rasa cinta bukan..." "Kau cuma menebak benar separuhnya saja," kata pemilik Benteng Kiam-poo sambil gelengkan kepalanya berulang kali, "Aku memang benar-benar mencintai ibumu, tetapi aku jauh lebih benci kepada ayahmu, hubungan yang demikian anehnya ini mungkin bisa kau pahami, disinilah dia letaknya alasan kenapa aku harus berbuat demikian..." "Jadi kau berbuat demikian karena hendak membalas dendam terhadap ayahku...??" seru Pek In Hoei setengah menjerit. "Boleh dibilang begitulah..." Dengan penuh kemarahan Pek In Hoei menuding ke arah pemilik Benteng Kiam-poo, kemudian teriaknya setengah menjerit : "Sekarang aku baru tahu bahwa kau adalah manusia yang paling jahat, manusia yang berhati binatang... aku benci kepadamu... aku dendam kepadamu dan ingin sekali membinasakan dirimu, karena kau adalah seorang manusia rendah yang tak tahu malu..." Air muka pemilik Benteng Kiam-poo berubah hebat, napsu membunuh terlintas di atas wajahnya, dengan muka menyeringai mengerikan ia berseru dingin : "Kenapa kau sampai sekarang kau belum juga turun tangan??" Jago Pedang Berdarah Dingin Pek In Hoei perlahan- lahan menggerakkan tangan kanannya meraba gagang pedang penghancur sang surya yang tersoren pada pinggangnya tetapi ia tidak langsung meloloskan senjat tersebut melainkan melotot ke arah pemilik Benteng Kiam-poo dengan pandangan penuh kegusaran, pandangan itu penuh mengandung rasa permusuhan... sedikit pun tiada hawa persahabatan yang melintasi wajahnya... Tetapi lama sekali kedua belah pihak tetap saling berpandangan tanpa seorang pun yang mulai melancarkan serangan, perlahan-lahan Pek In Hoei turunkan kembali telapaknya dan menghela napas sedih...
↧

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Latest Images

Trending Articles

<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>