Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Tombak Kecantikan - 17

$
0
0
Cerita Silat | Tombak Kecantikan | oleh Can ID | Tombak Kecantikan | Cersil Sakti | Tombak Kecantikan pdf

Rahasia Diri - Dennise Pudarnya Pesona Cleopatra - Habiburrahman El Shirazy Kapas-Kapas di Langit - Pipiet Senja Niken dan Pandu Cinderella Jakarta - Zaenal Radar

Pui Eng—gan memberikan uraiannya dengan teratur dan jelas, selama pembicaraan berlangsung, senyuman simpatik tetap tersungging dibibirnya. “Yang perlu diperhatikan adalah: Kwan Jit belum.mati, konon Me—thian-jit—seng sedang menghimpun kekuatan baru dan siap terjun berebut posisi dalam kotaraja.” Coa Keng manggut—manggut, katanya: “Oleh karena itu, perkumpulan yang masih bercokol di kotaraja saat ini tetap Khm-hong—see-yu-lou, Lak—hun—poan-tong serta Me—thian-jit—seng?” “Benar.” Pui Eng-gan mengangguk. Tiba tiba Coa Keng dengan menggunakan nada suara yang luar biasa lembutnya berkata: “Tapi pada tiga puluh tahun berselang, semua partai dan perguruan yang ada dalam dunia persilatan berada dibawah pimpin-an ayahmu, seharusnya kau adalah keturunan dari seorang pemimrpin dunia persilatan. Kau mamiliki ambisi semacam itu bukan dihati mu?” Pui Eng—gan terkesiap, sorot matanya dari rasa hormat dengan Cepat berubah jadi rasa takut, sahutnya Cepat: “Eng-gan banyak mendapat budi kebaikan dari kerajaa n, aku hanya ingin menyumbangkan tenagaku demi negara sebagai rasa terima kasihku karena dapat bertemu thaysu, mana berani aku terjun ke dalam dunia persilatan dan ikut serta masalah budi dendam.” II “Tidak juga, ujar Coa Keng sambil tertawa, kecerdikan dan keangkuhan yang tiada tertara terlihat dibalik tertawanya itu, “kumpulkan para jago berkepandaian tingi itu, agar mau bergabung dalam.pasukan perang kita, bukankah jauh lebih bangga bila dapat berbakti untuk negara?” Kemudian sambil tersenyu, ia tidak melanjutkan kembali kata katanya. Pui Eng—gan termenung sampai lama sekali, dia seolah sedang meresapi perkataan dari Coa Keng itu. Pada saat itulah seorang pengawal berlari masuk sambil memberikan laporan penting: Po Tiong—siu mati terbunuh, pelakunya Ong Siau—sik. Coa Keng segera turunkan perintah untuk mengejar Ong Siau—sik dengan sepenuh tenaga, sementara perasaan hatinya terasa kosong, sedih karena kehilangan sebuah lengan yang handal, bahkan menyesal karena sudah salah menilai Ong Siau—sik. Kejadian ini membuat Coa Keng segera meningkatkan kewas— padaannya, perasaan tak senang, pedih dan tertekan menghimpit pikirannya. Kepada Pui Eng-gan diapun bertanya: “Didalam peristiwa ini, apa pandanganmu?” “Terlepas apakah pembunuh ini dikirim Cukat Sianseng atau bukan, tanggung jawabnya adalah keselamatan seluruh anggota kerajaan yang ada dikota raja, jadi dia telah melakukan kesalahan besar, teledor didalam bertugas.” “Maksudu?” “Maaf kalau cayhe bicara terus terang, terbunuhnya perdana menteri Po, baik dalam pemerintahan maupun dalam pergaulan, pihak yang paling diuntungkan jelas adalah Cukat Sianseng.” Pui Eng—gan tahu, dia harus memberi penjelasan atas ucapan yang baru saja disampaikan: sekalipun orang sepandai Coa Keng seharusnya sudah paham dengan apa yang diaksud, tapi justru dia kelewat cerdas, maka dia wajib untuk menerangkan lebih detil. Maka ujarnya lebih jauh: “siangya dan thaysu adalah sobat kental, dengan tewasnya siangya secara mengenaskan, bagaimana pun juga mustahil thaysu akan membiarkan sang pembunuh bebas merdeka didunia luar, apalagi membiarkan musuh yang telah mencelakai siangya merasa gembira dan menikmati.” sambil mengelus jenggotnya yang panjang, Coa Keng tersenyum, perlahan ia bangkit dan berjalan menuju kesisi pagar, sambil mengawasi sebatang pohon bwee yang terbungkus salju, katanya lambat: “Cukat dan aku pun sahabat karib, antar sahabat saling membunuh, sungguh membuat kita serba salah.” Dalam hati Pui Eng-gan menyumpah: “Dasar rase tua!” Namun diluaran dia tidak memperlihatkan ekspresi apapun, kemudian dengan alasan tak mau mengganggu thaysu yang sedang sibuk bekerja, diapun mohon pamit. Sepeninggal Pui Eng—gan, Coa Keng segera mengundang masuk Liong Pat untuk mengadakan rapat rahasia. Buru buru Liong Pat masuk untuk menghadap, begitu berada dalam ruangan, ia segera jatuhkan diri berlutut sambil minta ampun, menyesal tak mampu melindungi keselamatan siangya. Ternyata Coa Keng sama sekali tidak mempermasalahkan keteledoran itu, dia hanya menanyakan situasi ketika terjadi pembu-nuhan. Serta merta Liong Pat membeberkan semua kejadian secara terperinci, akhirnya dia menambahkan: “Thaysu, menurut pendapatmu, kejadian ini .... u. II “Kita semua sudah terlalu pandang enteng Ong Siau—sik.” ujar Coa Keng dengan suara dalam, “hal ini membuat Cukat meman— faatkan kesempatan. Tak heran kalau gaya tulisan Ong Siau—sik mengambang tak pasti, ternyata dia sedang bermain sandiwara dengan kita!” “Sekarang apa yang harus kita lakukan?’ kembali Liong Pat bertanya. “Tangkap Ong Siau—sik untuk dijatuhi hukuman berat, kalian harus menangkapnya hidup hidup, dengan begitu kita baru bisa sekalian menjaring Cukat si tua bangka itu.” Kata Coa Keng uring uringan, “selain itu, besok kau ikut aku masuk istana, dihadapan Baginda, kau harus membuat surat pengaduan terhadap si tua bangka celaka itu!” Begitu mendengar hal itu, Liong Pat jadi terkejut bercampur girang, ia merasa kematian Po Tiong—siu justru membuat thaysu lebih menaruh perhatian kepadanya. “Baik.” Cepat sahutnya dengan hormat. Sambil bergendong tangan, Coa Keng berjalan berapa langkah, tiba tiba katanya lagi: “Masih ada satu urusan lagim.. II “Silahkan thaysu memberi perintah.” “Cukat berbuat beginipun malah tambah baik, kita bahkan bisa melacak seorang tokoh nomor satu .... H.” Bisik Coa Keng lirih, kemudian pesannya, “besok, kau undang datang seseorang." Liong Pat merasa sedikit sangsi. II “Maksud thaysumm.. tanyanya. “Goan Capsah—hengm.!” Tukas Coa Keng. Ia berdiri sambil bergendong tangan, alisnya berkenyit, perasaan hatinya gundah. Dengan tewasnya Po Tiong—siu, berarti setelah itu dia harus mulai mengatur strategi, yang penting adalah menyiapkan strategi ampuh yang bisa digunakan untuk beradu kekuatan dengan Cukat Sianseng. Diapun ingin memanfaatkan kejadian itu, untuk memberi pukulan telak yang mematikan terhadap lawan politiknya. Padahal kematian Po Tiong—siu baginya cukup mengun—tungkan, selama banyak tahun, dialah yang memupuk dan membina dirinya hingga berhasil, dan kini pengaruhnya makin lama semakin besar, sulit dikendalikan, sementara ilmu silat yang dimiliki cukup tangguh, terlebih sulit untuk diatasi, khususnya belakangan, seringkali secara diam—diam ia berlatih menulis kaligrafi, jelas ada niat untuk mencari muka didepan kaisar, punya niat tak wajar. Tapi kini dia telah dibunuh orang, kondisi ini justru menguntungkan sekali, dia bisa membina ulang kekuatannya, kaisar pun tak bakal mengabaikan dirinya, sebab tak ada dia, Tio Kiat tak mungkin bisa menjadi kaisar yang stabil. Cukat Sianseng mengirim.orang untuk membunuh Po Tiong—siu, dia akan manfaatkan kesempatan ini untuk mendesak Goan Capsah—heng agar tampil kembali, sebab Po Tiong—siu pernah mengangkat Goan Capsah—heng sebagai gurunya, kini orang suruhan Cukat Sianseng telah membunuh Po Tiong—siu, hal ini sama artinya dia telah membuat surat tantangan perang terhadap Goan Capsah—heng. Tentu saja, bila menginginkan Goan Capsah—heng bentrok secara lansung dengan Cukat Sianseng, dia harus menemukan “sumbu musiu”nya. Coa Keng pun segera teringat akan Thian—ie Kisu. Bab 2. Kondisi damai. Keesokan pagi, Cukat Sianseng berulang kali mengajukan permohonan untuk menghadap kaisar, walaupun kaisar Tio Kiat agak membenci Cukat Sianseng, merasa orang ini terlalu kolot, banyak adat dan kaku, tapi berhubung Cukat Sianseng sudah berulang kali selamatkan nyawanya, mempertahankan kursi tahtanya, ditambah lagi bujukan Mi kongkong, kasim yang melayani kebutuhan kaisar sehari hari, maka mau tak mau terpaksa Tio Kiat harus menerima permohonannya itu setelah bangun tidur sore. secara ringkas Cukat Sianseng melaporkan peristiwa terbunuhnya Po Tiong—siu semalam. Tentu saja Tio Kiat sangat gusar. Cukat Sianseng pun menerangkan kalau sebelumnya sang pembunuh telah berkunjung lebih dulu ke istana Sin—ho—hu, namun ketika usahanya melakukan pembunuhan gagal, sang pembunuh segera mengundurkan diri. Bahkan dalam laporan ini, Cukat Sianseng menyatakan pula, menurut keterangan dari sang pembunuh, konon dalang pembunuhan ini adalah Coa Keng. Jurus ini disebut “dengan racun melawan racun”, disebut pula “dengan Cara yang sama mengembalikan pakai Cara sama”. Tak terkirakan rasa gusar dan heran Tio Kiat mendapat laporan ini, teriaknya berulang kali: “Semua mau berontak, semua mau berontak.” Walaupun sudah lama Coa Keng berkomplot dengan Po Tiong—siu bahkan merupakan satu komplotan, namun kaisar yang bodoh dan tahunya hanya Cari kesenangan ini sama sekali tak tahu keadaan yang sesungguhnya.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>