Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Matahari Di Batas Cakrawala - 4

$
0
0

,Cerita Cinta | Matahari Di Batas Cakrawala | by Mira W | Matahari Di Batas Cakrawala | Cersil Sakti | Matahari Di Batas Cakrawala pdf

Bidadari Menara Ketujuh - Yasmi Munawwar The Hunger Games - Suzanne Collins Vampire Academy I - Richelle Mead The Chronicles Of Narnia : The Silver Chair (Kursi perak) The Spiderwick Chronicles 4 - Pohon Besi

di dadanya yang masih bersimbah peluh.
  Tak ada bulu-bulu hitam yang menyemak di sana seperti yang selalu kuidam-idamkan dalam diri pria idolaku. Tapi nyamannya meletakkan kepalaku di atas dadanya, hanya aku yang dapat menikmatinya!
  Segala terasa aman. Damai. Tenteram setiap kali dia merangkulku dengan lengannya yang kuat. Sementara tangan yang lain menyulut sebatang
  rokok.
  Mas Irwan memang selalu merokok. Dalam setiap kesempatan. Bangun tidur merokok. Habis makan merokok. Bahkan sampai-sampai di WC pun dia merokok! Terhadap kebiasaan yang satu ini, omelanku pun tidak mempan.
  "Aku selalu merokok kalau puas."
  "Ah, alasan!" gerutuku pura-pura marah. Tentu saja. Mana bisa sungguh-sungguh marah pada Mas Irwan.
  "Lagi ngambek pun Mas Irwan merokok! Seharusnya lubang hidungmu itu menghadap ke atas, supaya persis cerobong asap!" "Ha-ha-ha," dia tertawa geli. Ketika tertawa, dadanya berguncang-guncang. Membuat seluruh tubuhku ikut b ergoyang. Lalu dengan jailnya, tangannya akan mengg elitik tubuhku. , "Jangan ah!" Aku menggelinjang kegeli an. "Iseng amatsfer
  Kupukul tangannya. Te ntu saja dengan pukulan sayang. Kalau sudah begitu, bi asanya dia sendiri akan memadamkan rokoknya di das ar asbak. Lalu memelukku dengan mesra.
  "Katamu dulu, aku lebih keren kalau merokok, kan? Kau selalu mengagumi gayaku kalau sedang merokok!"
  Tapi tidak terus-terusan! Nanti paru-parumu bi sa bolong!"
  "Kalau paru-paruku bolong, kau masih mau padaku?"
  "Mh! Jangan ngomong begitu ah! Dikasih tahu betul-betul malah main-main. Mas Ir kan dokter. Mestinya lebih tahu bahayanya rokok!"
  "Cuma sedikit kok."
  "Satu pak sehari sedikit?"
  "Nanti akan kukurangi."
  "lapan?"
  "Kapan?" Dia berlagak berpikir. Menyeringai separo bergurau. "Kalau sudah punya anak."
  "Kalau sudah punya anak, kau tidak akan kuberikan kesempatan merokok lagi."
  "Kalau begitu, harus kuajarkan anak kita mencuri
  rokok dari lacimu. Begitu dia bisa memegang, permainannya yang pertama adalah rokok! Supaya bisa menyelundupkan rokok padaku kalau kau
  sedang marah-marah!"
  "Heh!" Kupukul pahanya dengan gemas. "Masih kecil sudah diajari yang bukan-bukan! Mas Ir mau anak kita serusak bapaknya?"
  Lalu kami sama-sama tertawa geli. Membayangkan betapa lucunya anak kami nanti. Betapa nakalnya dia. Dan kami terus tertawa sampai kesadaran yang menyakitkan itu menghentikan tawa kami.
  Sekejap kami saling pandang. Kemudian senyum memudar di bibir kami. Dan tak tahan lagi tangisku meledak. Mas Irwan mendekap kepalaku erat-erat di dadanya.
  "Jangan nangis, Sayang," bisiknya lembut. "Jangan robek-robek hatiku. Tahu bagaimana sakitnya melihatmu menangis?"
  "Kapan, Mas?" isakku di sela-sela tangis yang tertahan. "Kapan semua itu bisa terjadi?"
  "Percayalah pada Tuhan, Wita. Segalanya mungkin terjadi kalau dikehendaki Tuhan. Marilah kita minta pada-Nya. Tuhan mengasihi umat-Nya yang sabar dan tawakal."
  ***
  Dan memang. Pada tahun perkawinan kami yang
  kedua, mukjizat itu pun terjadilah. Aku hamil. Hampir tak dapat kupercaya. Haidku telah terlambat setengah bulan. Aku menunggu dengan berdebar-debar. Tapi harapan itu kupendam sendiri dalam hati.
  Sudah beberapa kali aku mengecewakan Mas Irwan. Beberapa kali haidku terlambat. Ia sudah gembira setengah mati. Tahu-tahu aku dapat haid lagi. Dan hanya dapat menangis di bah unya.
  Oh. kalau kau pernah merindukan k ehadiran seorang bayi seperti yang kualami, kau baru t ahu kecewanya mendapat haid.
  Tapi kali i ni tampaknya berbeda. Barangkali Tuhan sudah menga mpuni dosaku dan memberiku kesempatan sekali lagi u ntuk menjadi ibu.
  Saat itu Mas Irwan suda h lulus menjadi dokter. Dia sedang sibuk mengurus pen empatannya di sebuah puskesmas terpencil di salah sat u pelosok Sumatera.
  Supaya tidak tambah merepotkan dia, diam-diam aku pergi sendiri memeriksakan air seniku. Dan hasilnya benar-benar mengejutkan.
  Aku hamil! Ya Tuhan! Aku hamil! Ada seorang bayi lagi dalam rahimku. Persis seperti tiga tahun yang lalu. Tapi kali ini, bayi yang sangat kudambakan. Buah kasih sayangku dengan Mas Irwan. Benih laki-laki yang kucintai! Oh, hampir saja kucium tangan dokter yang memeriksa itu! j
  Aku pulang dengan selengah berlari. Tak sabar menunggu sampai Mas Irwan pulang. Ingin membagi kebahagiaan ini bersamanya. Kalau dia belum pulang, lebih baik kususul ke Depkes.
  38
  Tapi ketika tak disangka-sangka aku menjumpai Mas Irwan di ruang makan rumah kami, aku mendadak tidak tahu mesti mulai dari mana. Dan melihatku tertegun begitu rupa di ambang pintu, Mas
  Irwan langsung menegur.
  "Wita," sapanya heran. "Ada apa?"
  "Mas... Mas Ir su... sudah pulang?" balasku gugup.
  Melihatku menggagap begitu, senyum segera merekah di bibirnya. Kurang ajar. Orang sedang bingung malah ditertawakan.
  "Kok kayaknya kaget amat melihatku," sindirnya separo bergurau. "Orang pulang buru-buru bukannya disambut malah dipelototi."
  "Kok siang begini sudah pulang, Mas?"
  "Lho, kenapa? Kalau siang, ini rumahku juga, kan?"
  "Iya, siang-malam rumahmu," sahutku gemas. Orang sedang serius begini tetap saja diajak
  bercanda Dasar Mas Irwan!
&n bsp; "Cuma kok tumben begini hari sudah pulang."
  "Surprise" Dia masih tetap bercanda. "Kepingin t ahu, sedang apa kau di rumah."
  "Atau Mas yang sudah bosan nongkrong di Depkes. Tidak ada bara ng baru lagi?"
  "Aku malah curiga sama tet angga baru di sebelah. Orang Medan. Bukan Darius?"
  "Ah!" Dengan gemas kupukul. punggungnya. Tetapi dia malah menangkap lenganku. Dan sambil tert awa, memaksaku duduk di pangkuannya.
  "Dengar, Manis," bisiknya lembut. "Aku punya kabar jelek untukmu."
  "Kenapa? Ijazahmu palsu?"
  "Aku ditempatkan di Sumatera. Di sebuah tempat terpencil yang tidak terdapat dalam peta. Kusebut-kan namanya pun percuma. Kau pasti tidak tahu di mana letaknya."
  Tetapi hari itu aku sedang gembira. Ditempatkan di mana pun aku tidak peduli. Ke mana pun dia pergi, aku pasti ikut.
  "Puskesmasnya pun belum jadi. Apalagi rumah dokternya. Barangkali kita harus menunggu enam bulan lagi." "Jadi?"
  "Ada tambahan info lagi. Penduduk kecamatan itu cuma tiga puluh ribu orang. Tidak kenal dokter. Dan tidak ada listrik."
  "Jadi?"
  Mas Irwan menghela napas. Senyumnya mulai mengembang.
  "Aku tidak tega membawamu ke sana, Wita. Kau tahu, istri si Joko baru saja kabur kembali ke rumah orangtuanya. Tidak tahan mendampingi Joko di daerah." "Jadir
  "Tempatku lebih jelek lagi dari tempat Joko." . "Jadir
  "Kalau kau mau tetap tinggal di Jakarta selama aku bertugas..."
  "Akan kaukembalikan aku ke rumah orangtua-kur
  "Tidak," potongnya tegas. "Kau istriku. Aku tetap akan membiayai hidupmu di sini,"
  40
  "Dari mana? Kau tahu berapa gaji seorang dokter inpres? Dan berapa bulan sekali gaji itu baru Mas terima?"
  "Wita," keluh Mas Irwan putus asa. Diremas-remasnya kedua belah tanganku dalam genggamannya. "Aku tidak mungkin memulangkanmu pada
  orangtuamu. Aku malu." "Kalau begitu, bawalah aku." "Bawa kau?" belala k Mas Irwan kaget. "Ke
  mana?"
&nbs p; "Ke tempat pertapaanmu itu." "Tapi, Wita... mustahil k au tahan!" "Aku istrimu, Mas."
  Dia menatap ku dengan tatapan tidak percaya, kubalas tatapannya s ambil tersenyum. Sekarang giliranku mempermainkann ya.
  "Mas tidak percaya aku istrimu?"
  "Bukan itu! Aku tidak percaya kau tahan hidup di sana!"
  "Tapi itu risikoku sebagai istrimu, Mas!" "Jadi?"
  "Jadi?" Kutatap matanya samb il menahan tawa. "Aku ikut kau!"
  "Wita!" Mas Irwan memelukku dengan mesra. Ada kelegaan dalam suaranya. "Kau tahu. hidup macam apa yang akan kita jumpai di sana?"..
  "Pasti bukan hidup yang gampang."
  "Mereka belum menghargai seorang dokter sebagaimana yang kita harapkan, Wita."
  "Tidak disuntik berarti tidak bayar," gurauku ,tik. "Apa boleh buat. Aku akan belajar jadi asistenmu. Mengisikan obat ke dalam jarum suntik. Menggerus pil jadi bubuk. Membalut luka... asal jangan borok saja Mas. Wita jijik..!1*.
  "Mereka belum tentu membayar dengan uang, Wita. Daerah itu termasuk minus. Barangkali mereka akan membayarku dengan ayam...."
  "Kalau begini kita akan beternak ayam. Dan aku harus belajar membuat rupa-rupa masakan ayam." "Kita akan kekurangan uang, Wita...." "Aku akan memberi les Inggris. Taruhan, di sana pasti tidak ada guru yang lebih pintar dari aku." Tentu saja aku hanya bergurau.
  'Tapi janji dulu!" Senyum Mas Irwan mulai mengembang lagi. "Apa?"
  "Muridmu cuma anak-anak di bawah umur s,*, puluh tahun dan kakek-kakek di atas tujuh puluh." "Astaga! Yang sudah pikun semua?" "Ya" Mas Irwan tertawa geli. "Kalau tidak, aku tidak bisa tenang memeriksa pasienku."
  "Apa boleh buat." Kuangkat tangan kananku memberi hormat "Kau yang bos."
  Lalu kami sama-sama tertawa lebar dan saling berpelukan. Desah napas Mas Irwan terasa hangat menggelitik leherku. Memberi kehangatan yang membelai-belai hatiku. "Wita...," bisiknya sungguh-sungguh. "Kau se"Sama seriusnya seperti berita yang akan kusiar-kan ini, Mas." "Berita apa?"
  Mas Irwan menahan kepalaku dengan tangannya
  dan menatap tajam langsung ke bola mataku. Ah, asyiknya mempermainkan lelaki yang sedang
  serius ini! "Coba terka."
  Dia berpikir sebentar. Matanya berkedip-kedip
  menatapku.
  "Kau dapat beasiswa ke Amerika."
  "Dari mana?" Aku menahan tawa. "Dari nenekmu?"
  "Kau lulus sarjana muda IKIP bahasa Ingggris."
  "Ngaco!"
  "Jadi apa dong?"
  "Terka lagi."
  "Kau hamil." Dia menatapku dengan mesra dan mencium telingaku.
  Dari caranya menatap, aku tahu Mas Irwan tidak sungguh-sungguh. Dia cuma main-main. Tapi kubalas ciumannya dengan suatu pelukan yang hangat dan lama.
  Kulekatkan bibirku di telinganya. Kemudian dengan lembut kubisikkan kata-kata yang telah lama kurindukan, "Mas benar. Aku hamil.'* .
  Mas Irwan tersentak kaget. Begitu kerasnya dia menyentakkan tubuhku sampai aku menjerit tertahan. Ah, seharusnya aku tidak perlu begini terkejut. Bukankah sudah kuduga, Mas Irwan bakal terkejut setengah mati?
  "Wita..." Mas Irwan mencengkeram bahuku kuat-kuat. Seakan-akan hendak meremukkan bahuku dengan kedua belah tangannya. "Kau..."
  Kubalas tatapannya dengan mesra. Heran. Kenapa tidak ada rasa sakit di bahuku? Yang terasa hanya gelepar-gelepar kemesraan dan kebahagiaan yang hampir meledak di dada sini. Hampir tak kuat rasanya menahan kebahagiaan ini seorang diri.
  Tetapi Mas Irwan masih terpaku menatapku. Dengan tatapan yang itu-itu juga. Tatapan tidak percaya yang sangat menegangkan sekujur otot-otot wajahnya.
  "Wita... Wita...," rintihnya berulang-ulang. "Kau hamil...?"
  Pelan-pelan kuanggukan kepalaku. Tanpa melepaskan tatapanku sekejap pun dari matanya.
  "Dokter bilang positif, Mas," kataku menahan tangis keharuan yang hampir meledak. "Kita akan punya anak...."
  "WitaP Kali ini Mas Irwan meraihku ke dalam pelukannya Dan mendekapkan tubuhku kuat-kuat ke dadanya. "Wita! O, Wita! Aku ingin menjerit, Wka! Ingin melompat. Ingin berteriak! Aku cinta padamuv Wita! Aku cinta padamu!" Dan entah apa lagi yang diserukannya. Mas Irwan begitu gembira sampai lupa aku bukan boneka yang bisa diangkat-angkat dan digendong-gendong semaunya. Dia merangkulku. Menciumku. Menggendongku sampai aku kewalahan sendiri. "Mas, sudah, Mas! Turunkan aku," pintaku manja.
  Seperti baru sadar dari pukau yang membius j dirinya, Mas Irwan menuru nkanku dengan hati-hati dari gendongannya.
&nbs p; 44
  "Sakit, Wita?" tanyanya cemas. "Perut mu sakit?" Dibelai-belainya perutku dengan hati-hati. Be gitu hati-hatinya sampai aku tak dapat lagi menahan ta wa.
  "Aku tidak apa-apa," sahutku geli. "Cu ma takut jatuh."
  Hati-hati Mas Irwan mem bimbingku ke kursi. Tangannya masih mebSlai-belai per utku sampai aku menggeliat-geliat kegelian.
&nbs p; "Sudah, ah!" Kusingkirkan tangannya dengan mesra. " Geli."
  "Mulai sekarang kau tidak boleh terlalu capek."
  Nah, mulailah dia mengaturku. Dasar dokter. Istri mau disamakan dengan pasien.
  "Biar aku yang ngepel kamar. Memompa air..."
  "Dan berhenti merokok," potongku cepat.
  "Akan kukurangi sedikit demi sedikit. Buat beli popok."
  Aku tersenyum haru. Trenyuh melihat sikapnya.
  "Tidak usah, Mas. Aku masih punya simpanan kalau cuma buat beli popok sih."
  "Ke pasar tidak perlu jauh-jauh. Yang dekat saja. Biar mahalan sedikit. Masak tidak perlu yang repot-repot. Untukku cukup kalau ada daging dan sayur."
  "Masak sih tidak berat, Mas. Kalau diam saja juga tidak baik, kan."
  "Setiap sore kita jalan-jalan," katanya tanpa mengacuhkan protesku.
  Ah, sudahlah. Atur saja terus. Percuma mencegahnya.
  45
  mesti banyak makan vitamin. Prenatal care-mu harus teratur. Besok kita ke dokter." "> "Lho, aku baru saja pulang dari dokter!"
  "Besok kita ke Dokter Siregar. Dok


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Latest Images

Trending Articles

<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>