Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Matahari Di Batas Cakrawala - 6

$
0
0

Cerita Cinta | Matahari Di Batas Cakrawala | by Mira W | Matahari Di Batas Cakrawala | Cersil Sakti | Matahari Di Batas Cakrawala pdf

Bidadari Menara Ketujuh - Yasmi Munawwar The Hunger Games - Suzanne Collins Vampire Academy I - Richelle Mead The Chronicles Of Narnia : The Silver Chair (Kursi perak) The Spiderwick Chronicles 4 - Pohon Besi

an itu kudengar dari mulut suamiku sendiri. Kalau Mas Irwan belum gila, pengakuan itu pasti benar. Dia telah menggugurkan kandungan Aisah. Tapi kenapa? Kenapa dia melakukan sesuatu yang bahkan kepadaku pun dia tidak berani melakukannya?
  Berbagai pikiran buruk datang ke kepalaku. Berbagai kecurigaan silih berganti mampir di otakku. Anaknyakah anak itu? Adakah alasan lain yang lebih kuat?
  Oh, Mas Irwan! Mas Irwan yang lembut! Mas Irwan yang polos! Mungkinkah dia sekotor itu?
  "Membunuh bayi yang tidak bersalah itu dosa, Wita," katanya tujuh tahun yang lalu, ketika aku berniat menggugurkan bayi Darius. Tapi sekarang? Mungkinkah dia membunuh bayi Aisah, apa pun alasannya? Membunuh dengan tangannya sendiri, siapa pun ayah anak itu?
  Dan aku tidak sabar lagi. Aku bisa gila kalau terus-menerus begini. Kalau Mas Irwan tidak mau
  57
  berteras terang. Aisah-lah yang harus bicara. Dialah
  satu-satunya kunci dalam kegelapan ini. Bagaimanapun, aku harus menemuinya. Dan aku tidak sabar menunggu matahari besok pagi.
  Aisah memang manis. Dengan kesederhanaan dan I keluguannnya sebagai gadis desa, dia malah ber- I tambah menarik. Lebih-lebih buat lelaki muda seperti Mas Irwan.
  Tidak heran sejak hari pertama diperkenalkan I padanya, aku sudah merasa tidak enak. Lho, bukan I cemburu buta! Bukan! Bukan pula karena tidak I percaya pada Mas Irwan.
  Aku percaya suamiku lelaki baik-baik. Setia. Sayang pada istri. Dokter pula. Orang terhormat I di desa ini. Mesti menjaga nama. Tapi di mana I pun, gadis cantik adalah anugerah Tuhan. Sekaligus | umpan setan. Apalagi kalau gadis itu adalah Aisah. I Perawan yang lagi mekar-mekarnya. Bunga desa. J Anak camat pula. Hampir tiap hari dia bertemu I dengan Mas Irwan di rumahnya ayahnya. Sampai j kapan Mas Irwan tidak tergoda melihat senyumnya j yang ayu itu?
  Memang hampir sepanjang hari Mas Irwan sibuk 1 dengan pasien-pasiennya. Kalau tidak repot di puskes-masnya, dia tentu berkeliling desa bersama beberapa I orang pemuka desa itu. Mengajari membuat WC j
  sehat. Memberi ceramah tentang gizi. Atau melayani
  vaksinasi keliling. Hampir tidak ada waktu luang untukku. Malam
  pun dia kadang-kadang mesti menghadiri rapat di kantor kecamatan. Atau sekadar omong-omong di
  rumah Pak Camat.
  Larut malam, Mas Irwan baru pulang dalam ke-adaaan sangat letih. Nah, mana ada lagi tenaga
  dan perhatian yang masih tersisa untukku?
  Tambah lagi keadaan di kampung ini jauh berbeda dengan Jakarta. Jangankan dapat hiburan, tidak mati kesepian saja sudah bagus.
  Tidak tahan hidup di tempat terpencil ini, pada bulan yang kedua aku kabur ke Jakarta. Kubawa Nike mengungsi ke rumah orangtuaku. Apa boleh buat. Terpaksa menebalkan muka. Lebih baik malu pada orangtua daripada gila sendirian di pelosok sana.
  Tentu saja aku tidak bermaksud meninggalkan Mas Irwan untuk selama-lamanya. Aku cinta padanya. Aku tidak sampai hati meninggalkannya seorang diri di sana. Siapa yang mengurus keperluannya sehari-hari kalau bukan aku?
  Mas Irwan sudah terlalu letih bekerja. Kasihan kalau mesti mengurus dirinya sendiri. Aku hanya ingin bertukar suasana di sini. Katakanlah, semacam hiburan. Santai barang sebulan-dua bulan di rumah orangtuaku. Tak ada salahnya toh?
  Lebih-lebih perkawinan di ambang tahun ketiga memang sudah mulai membosankan. Sekali-sekali ada selingan kan boleh. Apa salahnya berlibur 4y
  rumah orangtua? Nanti toh aku pulang juga ke sisi suamiku.
  Syukur kalau Mas Irwan mau menjemputku. Tanda cintanya padaku. Rindu pada istri dan anaknya. Tapi ketika sampai hampir dua bulan Mas Irwan tidak juga menjemputku, aku masih dapat menghibur diri. Dia pasti repot. Tidak bisa meninggalkan tegasnya. Jadi aku kembali tanpa prasangka apa-apa.
  Mas Irwan menyambut kedatangan kami dengan gembira. Dia sudah rindu sekali padaku. Lebih-lebih pada Nike. Tapi dia tak dapat menghindarkan diri dari keterkejutan yang amat sangat waktu malam itu, sepulangnya ke rumah, dia menemukan aku di kamar.
  "Wita!" desisnya kaget. Matanya terbelalak heran. "Kau... sudah... pulang?"
  "Sst!" Kuletakkan telunjukku di mulut sambil melirik Nike yang sudah tidur pulas di sisiku. "Dari tadi Nike menunggumu! Dia sudah kangen."
  "Aku...aku tidak tahu kalian pulang," katanya gugup.
  ."Dari mana?" tanyaku tanpa curiga apa-apa. Meskipun dari tempatku, sudah tercium betapa wanginya parfum yang dipakai Mas Irwan. "Keterlaluan. Mentang-mentang istri nggak di rumah, begini malam baru pulang."
  Tentu saja aku hanya bergurau. Tapi reaksi Mas Irwan benar-benar tidak wajar.
  "Ada pesta kawin di rumah Pak Lurah," sahutnya menggagap.
  "Hm." Aku tersenyum mengejek. "Bukan di rumah Pak Camat?"
  Saat itu aku betul-betul hanya main-main. Biasanya Mas Irwan senang bergurau. Jadi tidak kuacuhkan sikapnya yang aneh itu.
  "Enak makanannya?" tanyaku setelah memindahkan Nike ke kamarnya sendiri.
  Sudah dua bulan aku tidur dengan Nike. Malam ini aku ingin tidur dengan suamiku. Hanya dengan suamiku. Tapi Mas Irwan bukannya menyambut kerinduanku itu. Dia malah duduk di pojok sana sambil menyeka keringatnya dengan gelisah.
  "Tak ada send ok," katanya gugup. "Kikuk makan dengan tangan saja. Nasinya jatuh lagi jatuh lagi ke piring."
  Ak u tertawa geli. Betul-betul tertawa. Bukan menyindir.
  "Rasakan," godaku. "Siapa suruh tidak mau b elajar dulu."
  Malam itu Mas Irwan tidak m enyentuhku. Beberapa kali kucoba menarik perhatianny a. Mencoba merangsang gairahnya. Sekali-sekali dia m emang terangsang. Tapi tidak mampu membangkitkan gairahnya. Sekali lagi aku tetap tidak bercuriga apa-apa . Kupikir dia lelah. Kecurigaan baru tumbuh ketika keesokan paginya
  kutemui Mas Irwan di tempat tidurku. Tidak biasanya dia bangun sepagi ini. Biasanya dia tidak pernah bangun lebih dulu daripadaku. Apa yang telah membangunkannya?
  Cepat-cepat aku merayap turun dari tempat tidur. Aku harus membuatkan kopi untuknya. Barangkali Mas Irwan sedang mandi. Jadi aku mesti buru-buru ke dapur. Barangkali ada urusan yang harus dikerjakannya sepagi mungkin.
  Sambil membetulkan rambutku yaang masih acak-acakan, kus eret sandalku ke dapur. Dan mataku yang masih separ o mengantuk jadi terbelalak melihat Mas Irwan sedang bicara cepat-cepat dengan seseorang.
  "Pa gi ini kau tidak perlu masak di sini lagi. Wita sudah pula ng."
  Orang yang diajaknya bicara itu tertut up tubuh Mas Irwan, sehingga aku tak dapat melihatny a Tetapi ketika mendengar suara sandalku, Mas Irwan membalik. Dan sekarang, tak ada lagi yang menghalan gi pandanganku. Aku tidak perlu melihat dua kali untuk memastikan siapa dia. Orang yang sedang cepat-cepat menyelinap keluar itu adalah Aisah.
  "Wita," tegur Mas Irwan gelagapan. "Kok sudah bangun?"
  "Pertanyaan yang sama bisa kuajukan padamu," sahutku dingin. "Dan tambah satu pertanyaan lagi, kenapa dia buru-buru pulang? Tidak mau mengucapkan selamat datang padaku?"
  "Wita," kata Mas Irwan tanpa ditanya. "Aisah cuma datang untuk memasakkan makananku."
  "O, ya?" Entah seperti apa rupanya senyumku. Yang jelas, melihat senyum itu, Mas Irwan jadi tambah salah tingkah. "Kalau begitu, aku mesti mengucapkan terima kasih padanya."
  Sesudah itu, aku tidak bertanya apa-apa lagi. Kubiarkan Mas Irwan dengan pikirannya sendiri. Dan rupanya caraku itu tepat. Semakin kudiamkan, semakin tersiksa dia didera perasaan bersalahnya.
  Malamnya, sesudah Nike tidur, dia langsung menghampiriku di tempat tidur.
  "Kami tidak berbuat apa-apa, Wita," katanya tanpa kata pendahuluan lagi. "Dia cuma datang untuk masak."
  Aku diam saja. Tetap berpura-pura membaca majalah yang kubawa dari Jakarta. Padahal jangankan membaca, melihat gambarnya saja tidak.
  Lambat-lambat Mas Irwan duduk di tepi pembaringanku. Begitu hati-hatinya sampai dia tidak berani menyingkirkan kakiku yang hampir didudukinya. Dia cuma duduk tepekur di ujung tempat tidur. Menunggu aku menoleh padanya. Tapi aku masih tetap asyik dengan majalahku.
  "Baru tadi malam aku berani pergi bersama-sama dengannya."
  Tidak kusahuti, Mas Irwan melirikku sekilas. Lalu menunduk kembali.
  "Sumpah, Wita! Itu baru yang pertama kali."
  Sepi. Dia masih menunggu. Ketika tak ada jawaban juga, pelan-pelan dia mengangkat wajahnya. Ditatapnya aku dengan marah.
  "Kami cuma bergandengan tangan."
  Kugigit bibirku menahan perasaan. Suamiku bergandengan tangan dengan perempuan lain? Astaga!
  Kalau tahu, tidak bakal kutinggalkan dia sendirian di sini! Salahku juga. Salahku. Siapa suruh kutinggalkan dia di tempat sepi ini?
  Tapi aku tetap menutup mulut. Dan ketegangan saraf Mas Irwan meledaklah sudah.
  "Bicaralah!'' bentaknya kesal. "Katakan sesuara!"
  Kulemparkan majalah itu ke samping. Kutatap dia dengan berang.
  "Apa yang mesti kukatakan?" balasku sama sengitnya "Terima kasih pada Nona Aisah yang telah bermurah hati mau menemani suamiku?"
  "Paling tidak kau bisa menanyakan apa yang telah kami lakukan!"
  "Perlukah itu? Kau sendiri sudah bilang, dia cuma masak!"
  "Tapi kau tidak percaya!"
  "Syukur kalau kau merasa!"
  "Wita!" tiba-tiba saja Mas Irwan menyambar lenganku. Kucoba menepis tangannya. Sia-sia. Dia malah menggenggam lenganku erat-erat. Dihelanya tubuhku lebih dekat. Lalu dicondongkannya badannya ke hadapanku. Wajah kami jadi hanya berjarak beberapa senti saja. "Tanyakanlah, Wita. Supaya dapat kujelaskan padamu."
  "Tidak perlu!" sahutku ketus. Kuempaskan tangannya. Tapi tangan itu masih melekat erat di lenganku.
  "Kau tidak percaya padaku."
  "Nah, buatlah aku percaya." '
  "Aku menciumnya, Wita."
  Hampir tidak percaya aku pada telingaku sendiri. Kutatap Mas Irwan dengan nanar. Berharap semoga
  dia cuma bergurau. Atau menggertak. Atau mengejek. Atau membuatku cemburu. Atau... persetan! Apa saja! Pokoknya dia berdusta! Dia tidak mencium Aisah. Tidak!
  Tetapi Mas Irwan menatapku dengan rasa bersalah. Suaranya demikian tertekan ketika mengaku terus terang.
  "Tadi malam, Wita. Hanya satu kali."
  "Tidaaaak!!" teriakku histeris.
  Dadaku meledak-ledak hendak pecah. Sakit sekali rasanya. Sakit!
  Kubanting diriku ke tempat tidur. Ketika cengkeraman Mas Irwan terlepas, kubuang tubuhku ke lantai. Aku ingin lantai di bawah sana terbuka dan menelan lenyap tubuhku. Aku ingin mati.
  "Wita!" Panik dan gugup Mas Irwan coba meraih bahuku.
  Tapi aku mengelak dengan kasar. Sambil menangis menjerit-jerit, aku berguling-guling di lantai.
  Suamiku mencium perempuan lain! Alangkah jijiknya! Bibirnya telah dicicipi perempuan lain! Oh, aku ingin mati saja!
  Kubenturkan kepalaku ke dinding. Tapi Mas Irwan keburu menangkapku. Dia memegangiku erat-erat. Ketika aku masih meronta-ronta dengan histeris, ia terpaksa menampar pipiku.
  Rasanya sakit mengembalikan kesadaranku.
  " oil menangis tersedu-sedu aku terkulai dalam pelukannya.
  "Wita," bisik Mas Irwan getir. Air mata menggenangi matanya., "Maafkan aku, Wita. Aku menyakitimu." Dibelainya punggungku dengan rasa bersalah. "Aku khilaf, Wita. Dua bulan aku kehilanganmu. Selama itu Aisah selalu di dekatku. Tapi aku tetap bertahan, Wita. Aku menunggumu, Aku cinta padamu...."
  Ketika tangisku mulai mereda, dengan lembut didukungnya aku ke tempat tidur. Lalu ia membungkukkan tubuhnya di atas tubuhku. Mendekatkan wajahnya ke wajahku. Lalu mengangkat daguku dengan hati-hati.
  Kubiarkan air mata meleleh ke pipiku. Mas Irwan menyekanya dengan ujung jarinya.
  "Sumpah, Wita. Hanya sekali itu. Dan tidak lebih dari itu."
  Kupalingkan wajahku ke samping. Tidak mau membalas tatapannya Tapi Mas Irwan memalingkan-nya kembali. Terpaksa aku menatapnya.
  "Wita..." Matanya demikian sedih memandangku. "Maafkan aku, Wita. Maukah kau? Aku bersumpah takkan mengulanginya lagi."
  Ketika aku diam saja, Mas Irwan menundukkan kepalanya lebih dalam. Dan mencoba mencium bibirku. Tapi cepat-cepat kumiringkan wajahku menghindari kecupannya.
  Baru setelah kuhindari bibirnya aku sadar, aku telah menyinggung perasaannya. Mas Irwan tampak demikian terpukul.
  "Maaf," desisnya tersendat. Lekas-lekas ia bangkit. Meninggalkanku menuju ke pintu.
  "Mas...," panggilku separo terpaksa. Tidak tega melihatnya tersiksa begitu.
  Kalau dia bersalah, dia telah menyesal. Kalau dia perlu dihukum, dia telah merasakan sendiri hukumannya. Dan kalau semua ini terjadi, sebagian pun karena kesalahanku juga.
  Dua bulan aku meninggalkan suamiku. Dan di sisinya, ada seorang perempuan yang menarik! Dia toh cuma manusia biasa. Manusia yang terdiri atas darah dan daging. Bukan dewa.
  Mas Irwan berhenti melangkah. Dia menoleh. Dan sekali lagi aku membaca kepedihan dalam matanya.
  "Mau ke mana?"
  "Kau jij


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>