Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Merpati Tak Pernah Ingkar Janji - 16

$
0
0

Cerita Cinta | Merpati Tak Pernah Ingkar Janji | by Mira W | Merpati Tak Pernah Ingkar Janji | Cersil Sakti | Merpati Tak Pernah Ingkar Janji pdf

Bidadari Menara Ketujuh - Yasmi Munawwar The Hunger Games - Suzanne Collins Vampire Academy I - Richelle Mead The Chronicles Of Narnia : The Silver Chair (Kursi perak) The Spiderwick Chronicles 4 - Pohon Besi

gi?"
  "Dengan pertimbangan-pertimbangan tertentu, ya," sahut Suster Cecilia tegas. "Tapi saya tetap menyuruh Maria untuk minta izin pada Bapak."
  "Pertimbangan-pertimbangan tertentu!" geram Pak Handoyo sambil mengatupkan rahangnya, menahan marah. "Ternyata Suster Cecilia sendiri juga ikut menyebabkan kaburnya Maria!"
  "Bukan saya," bantah Suster Cecilia tegas. "Bukan pula orang lain. Tapi Bapak sendiri yang telah salah mendidiknya!"
  "Saya?" belalak Pak Handoyo sengit. "Suster sendiri yang telah mengizinkan Maria pergi ke pesta gila-gilaan ini! Dan bertemu dengan anak-anak muda rongsokan yang tidak bermoral!"
  "Saya percaya pada anak-anak didik saya," sahut Suster Cecilia mantap. "Mereka mungkin nakal. Tapi tidak sejahat yang Bapak kira."
  "Dan pesta gila ini?!"
  "Itu cuma pesta ulang tahun, Pak Handoyo. Setiap gadis boleh menyelenggarakannya. Dansa cuma bumbu dalam pesta muda-mudi. Dan pesta hanya salah satu romantika kehidupan remaja. Jika para pelakunya gadis-gadis yang terdidik dan bermoral baik seperti murid-murid saya, saya yakin pesta mereka bukan pesta gila-gilaan."
  "Suster terlalu lemah! Terlampau memberi kebebasan pada mereka! Ini akibatnya! Anak saya yang jadi korban! Saya menyesal menyekolahkan Maria di sini!"
  "Pak Handoyo-lah yang harus belajar dari pengalaman. Maria lari karena terlalu dikekang! Kita sebagai orang tua memang tidak boleh memberi kebebasan yang berlebihan kepada anak-anak kita. Tapi kalau kita memberi mereka tanggung jawab dan kepercayaan, mereka tidak akan mengecewakan kita."
  "Untuk Maria semuanya berbeda! Sejak lahir dia sudah milik Tuhan! Dia tidak boleh bergaul dengan segala macam penyakit begini! Hhh, saya yakin, Suster, dia pasti kabur bersama pemuda ini! Saya harus mencarinya! Suster tahu di mana alamatnya?"
  "Teman-teman Maria pasti tahu. Tapi Pak
  Handoyo, jangan sembarangan menuduh sebelum ada buktinya!"
 
  ***
 
  Begitu Suster Cecilia masuk ke dalam kelas, Elita langsung mengirim tatapan kilat pada teman-temannya. Dan Nurul membaca nada penuh ancaman di mata itu.
  "Awas, kalau ada yang tahu Maria ada di rumahku," ancam Elita tadi. "Pokoknya yang tahu cuma kita berlima. Nurul, Nike, Endang, Tina, dan aku. Rena sengaja tidak kuberi tahu dulu. Dia dekat sama Luna. Dan anak itu masih kuragukan itikad baiknya terhadap Maria!"
  "Maria tidak pulang ke rumah sejak kema rin siang," kata Suster Cecilia setelah dia tegak di muka kelas. Wajahnya sangat muram. "Ada yang tahu di ma na dia berada?"
  Sepi. Seluruh kelas sunyi seperti kuburan. Teman-teman sekelas Maria saling pandang dengan bingung.
  Suster Cecilia melayangkan tatapannya ke seluruh kelas. Dan tatapannya berhenti di wajah Elita. Gadis itu membalas tatapannya dengan berani.
  Tetapi Suster Cecilia yang berpengalaman telah membaca sesuatu di dalam mata itu. Nalurinya mengatakan, Elita pasti merahasiakan sesuatu.
  "Kamu juga tidak tahu, Elita?" desak Suster Cecilia tajam.
  "Tidak, Suster," sahut Elita tegas.
  "Baiklah," gumam Suster Cecilia sabar. "Kalau ada yang tahu di mana Maria berada, jangan ragu-ragu menghubungi saya. Mungkin kalian ingin
  berbuat baik pada Maria. Tapi percayalah, saya tahu yang terbaik untuknya."
  Apa yang terbaik untuk Maria, Suster? pekik Elita dalam hati. Pulang ke rumah untuk dimarahi ayahnya? Dipukuli dan dikurung di dalam kamar?
  Dapatkah Suster merasakan ketakutannya? Kesedihannya? Mengapa orang tua selalu menindas anak-anaknya seperti seorang penguasa? Siapa yang mengatakan orang tua berhak melakukan apa saja terhadap anaknya?
  "Rena," cetus Suster Cecilia tiba-tiba.
  "Ya, Suster?" Rena membalas tatapan Kepala Sekolah dengan dada berdebar-debar. Dia benar-benar tidak tahu di mana Maria berada. Apa Suster Cecilia tidak percaya?
  "Kamu juga tidak tahu di mana Maria sekarang?" Rena menggeleng dengan sungguh-sungguh. "Tapi kamu pasti tahu di mana alamat pemuda ini."
  Suster Cecilia mengeluarkan cabikan foto yang membuat paras Rena langsung memucat. Nurul melirik kilat ke arah Elita. Tetapi Elita cuma menyeringai puas.
  Silakan cari di rumah Guntur! Mudah-mudahan ayah Maria sempat merepotkan pemuda itu. Biar rasa dia!
  "Kamu mengundangnya waktu pesta ulang tahunmu. Mustahil kamu tidak tahu alamatnya."
  Rena mengerling teman-temannya dengan bingung. Seakan-akan mencari dukungan. Tapi dia tidak menemukan jawaban apa-apa di mata mereka. Tina malah sudah membuang muka ke tempat lain. Endang pura-pura tidak melihat.
  "Di mana rumahnya, Rena?" desak Suster Cecilia tegas. "Kamu tahu, bukan?"
  "Tahu, Suster," sahut Rena ragu-ragu. "Tapi saya lupa...."
  Elita bertukar pandang dengan Nurul sambil mengulum senyum.
  "Bagus sekali," kata Suster Cecilia sabar. "Nah, bagaimana caramu mengundang dia ke pestamu?"
  "Kami bertemu di Balai Sidang, Suster," sahut Rena spontan.
  Teman-temannya tersenyum geli.
  "Dan kamu tidak punya buku catatan alamatnya?"
  Suster Cecilia tersenyum dingin. "Baiklah. Sekarang kamu boleh pulang. Jangan kembali ke sekolah sebelum kamu menemukan alamatnya."
  "Saya punya, Suster!" sela Luna tiba-tiba.
  Suster Cecilia langsung menoleh ke arah suara itu.
  "Punya apa, Luna?"
  "Buku catatan alamat teman-teman."
  "Bagus sekali. Kamu tahu siapa pemuda ini?"
  "Namanya Guntur, Suster," sahut Luna lantang.
  Rena membelalak kesal ke arah Luna. Teman-temannya pun mulai ikut menggerutu. Cuma Elita, Nurul, Nike, Tina, dan Endang yang tetap tenang.
  "Alamatnya?"
  "Ada di sini, Suster." Luna menyodorkan sebuah buku kecil.
  "Terima kasih, Luna. Kerja samamu hari ini akan selalu saya ingat."
  "Huu!" Rista mencibir sinis setelah Suster Cecilia keluar dari dalam kelas. "Mau dialem kamu, Na!"
  "Cari muka, ya?!" gerutu Firda gemas.
  "Lho, kalian tidak menyesal kalau biarawati kita
  diculik si Guntur?" belalak Luna, pura-pura marah.
  "Diculik atau tidak, pokoknya Guntur sudah game sama kamu, Na!" menyeringai Nurul. "Mendingan cari obyek baru deh!"
  Seperti teman-temannya, Nurul pun tahu, Luna adalah gadis Guntur tahun yang lalu. Meskipun sekarang mereka sudah tak pernah berjalan bersama-sama lagi, Nurul tahu dalam hatinya Luna masih mengharapkan Guntur.
  Luna begitu kecewa ketika mengetahui Guntur menaruh perhatian pada Maria, gadis yang tidak pernah dianggap saingannya. Gadis yang kecantikannya di bawah nilai rata-rata itu yang kini mengalahkannya!
 
 
 
  BAB IX
 
 
 
  Mendengar suaranya saja Guntur sudah tahu siapa yang datang. Siapa lagi kalau bukan teman-temannya. Naik motor dengan knalpot terbuka. Bisingnya bukan main. Seolah-olah orang lain tidak punya telinga. Atau tidak berhak menikmati ketenangan. Padahal baru pukul lima sore.
  Mungkin tetangga sebelah masih enak-enak tidur. Atau sedang santai menikmati secangkir teh sambil membaca majalah. Atau cuma mendengarkan alunan lagu-lagu yang tenang dari radio.
  Tapi mereka memang tidak peduli. Siapa yang dapat melarang mereka, warga negara kelas satu, remaja penuh harapan yang akan menjadi ahli-ahli waris republik ini?
  Lihat saja bagaimana cara mereka mengendarai motornya. Atau menyeberang jalan kalau pulang sekolah. Semua pemakai jalan yang lain harus mengalah, seolah-olah cuma mereka yang bayar pajak.
  Malas-malasan Guntur melemparkan bukunya. Dan melangkah ke luar.
  "Halo, Boss!" sapa Gatot begitu melihat Guntur. "Sudah siap?"
  "Ayo, Tur! Cabut!" seru Rusman dari atas motornya. Mesin motornya menderu-deru menyakitkan telinga.
  "Nggak jadi pergi," sahut Guntur sambil duduk di teras depan rumahnya. "Besok ada EHB. Ujian kan tinggal dua bulan lagi."
  "Eh, kamu sakit. Tur?!" Hariman langsung mematikan mesin motornya dengan heran. "Tumben betah di rumah."
  "Biarawatimu ada di dalam, ya?" goda Rusman sinis.
  "Sejak malam itu nggak pernah ketemu dia lagi."
  "Jadi kamu sakit apa, Tur? Ngapain tunggu rumah? Wah. punya acara sendiri nih!"
  "Huu, dasar congek! Sudah dibilang mau belajar!"
  "Kayak bukan kamu yang ngomong, Tur!" cetus Hariman keheran-heranan. "Sejak kapan sore-sore begini kamu belajar?"
  "Udeh deh jangan berisik!" potong Guntur tidak sabar. "Pokoknya hari ini aku nggak mau pergi! Habis perkara!"
  "Tapi malam ini ada acara syuur di rumah Hans Item! Dia punya cewek-cewek baru buat kita! Yan g satu Indo, Tur! Katanya bintang film!"
  "Ah, nanti aku nonton filmnya saja di video."
  "Kamu sakit apa sih, Tur?"
  "Apa lagi kalau bukan malaria tropikangcn!" ejek Gatot sinis. "Doinya sudah masuk biara kali!"
  "Wah, dibandingkan cewek-eewek koleksinya si Hans Item, biarawatimu nggak ada apa-apanya, Tur!"
  "Pergi deh! Aku sudah bosan lihat tampang kalian!
  "Kau serius tidak mau pergi, Tur?" desak Tiar penasaran.
  "Eh, mesti diusir ya?!"
  "Nanti kamu menyesal, Tur!"
  "Pokoknya aku nggak minta ganti rugi sama kalian! Sana deh pergi!"
  "Eh, Tur! Ada yang cari kamu nih! Kamu ngutang belum bayar, ya?" teriak Hariman mengatasi kebisingan deru mesin motor teman-temannya.
  "Siapa lagi sih?!" Guntur mengangkat kepalanya dan menoleh ke pintu halaman dengan malas. Tetapi matanya langsung menyipit begitu dia mengenali laki-laki itu.
  Sudah kuduga, pikir Pak Handoyo geram. Pemuda-pemuda berandal seperti inilah yang membawa kabur Maria!
  Tanpa memberi kesempatan pada Guntur untuk menyapa, Pak Handoyo sudah langsung membentak dengan kasar,
  "Di mana Maria?!"
  "Buset!" Gatot pura-pura mengurut dada. "Galak amat! Kamu ngutang berapa duit sih, Tur?"
  "Jangan main-main!" geram Pak Handoyo bengis. "Di mana anak saya?"
  "Astaga!" Rusman menyeringai masam. "Kamu melarikan anak gadis orang, Tur?"
  "Wah, pantas saja dia tidak mau pergi!" Tiar tertawa dengan kurang ajar sekali. "Bah, punya simpanan dia rupanya! Ada yang perlu dijaga di dalam, Tur?"
  "Maria... pergi lagi?" desah Guntur tanpa menghiraukan seloroh teman-temannya.
  "Jangan pura-pura!" Pak Handoyo menghampiri Guntur dengan marah. "Lekas katakan, di mana kamu sembunyikan anak saya?!"
  "Saya tidak tahu di mana Maria, Pak," sahut Guntur bingung. "Saya malah tidak tahu dia pergi lagi...."
  "Bohong! Kamu berandal yang merusak anak saya!"
  "Ciii! Anak siapa yang kaurusak, Tur?" ejek Tiar sambil tertawa terkekeh-kekeh.
  "Jangan main-main!" bentak Pak Handoyo sengit ke arah Tiar. "Kalian tahu apa hukuman pemuda-pemuda berandal yang melarikan anak gadis orang?!"
  "Tidak, Pak," sahut Tiar dengan gaya yang menyebalkan. "Tapi saya juga tidak tahu siapa anak Bapak!"
  "Kami tidak tahu ke mana Maria pergi, Pak," sambung Guntur sabar. "Tapi kami akan ikut mencarinya. Kapan Maria pergi?"
  "Dia menghilang sejak kemarin," geram Pak Handoyo berang. "Dan saya menemukan ini di kamarnya!"
  Dengan kasar Pak Handoyo melemparkan cabi-kan-cabikan foto ke muka Guntur. Potongan-potongan itu jatuh ke lantai. Dan Guntur langsung memungutnya. Mukanya segera berubah begitu mengenali foto itu.
  "Kamu yang merusak anakku! Sekarang pasti kamu pula yang mengajaknya kabur!"
  "Buset! Siapa sih ni orang, Tur?" geram Rusman yang mulai naik darah. "Galak amat!" "Calon mertuaku," sahut Guntur asal saja.
  Meledak kemarahan Pak Handoyo. Sebelum teman-teman Guntur sempat tertawa, dia telah mengepal tinjunya. Dan menjotos Guntur dengan berang.
  Melihat Guntur terhuyung-huyung mundur, Gatot tak dapat menahan dirinya lagi. Dia langsung mencabut pistol ayahnya yang sering dibawanya ke mana-mana. Dikokangnya pelatuknya. Dibidikkan-nya ke arah Pak Handoyo. Tentu saja maksudnya cuma untuk menggertak. Kalau sedang bergaya begini, dia sering merasa dirinya tiba-tiba menjadi Clint Eastwood.
  Tetapi Pak Handoyo tidak dapat ditakut-takuti. Apalagi oleh seorang bocah. Bukannya mundur, dia malah maju menghampiri laras pistol Gatot.
  "Tembaklah kalau berani," tantangnya sengit. "Biar aku punya alasan untuk menjebloskan kalian ke dalam penjara!"
  Sekejap teman-temannya melihat pancaran berbahaya keluar dari mata Gatot. Dan Rusman yang berdiri paling dekat terlambat untuk mencegah. Jari Gatot yang memeluk pelatuk telah bergerak.
  Pada saat yang kritis itu, Guntur melompat dan menerjang Pak Handoyo dengan nekat. Hanya terdengar sekali letusan. Sesudah itu semuanya menjadi hening. Guntur jatuh tersungkur bersama Pak Handoyo.
 
  ***
 
  "Malam ini kamu mesti tidur di kamarku, Mar," kata Elita setelah mereka selesai makan malam. "Kamar tamu mau dipakai oleh teman abangku.
  Malam ini mereka pulang dari Bandung. Si Gareng kuliah di ITB."
  "Gareng?" Maria mengangkat alisnya dengan heran. "Kok namanya begitu?"
  "Nama panggilan."
  "Kenapa dipan


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>