Cerita Cinta | Tembang yang tertunda | by Mira W | Tembang yang tertunda | Cersil Sakti | Tembang yang tertunda pdf
The Spiderwick Chronicles 5 Amarah Mulgarath Berkeliling Dunia Di Bawah Laut - Jules Verne Sisi Merah Jambu - Mira W Kelelawar tanpa Sayap - Huang Ying Misteri Empat Jam Yang Hilang - L. Ron Hubbard
ras habis. Tersedot ke dalam kubangan yang sangat dalam.
"Kezia coba ya, Ma?" Kezia mengambil pon-sel ibunya walaupun Mama belum sempat menjawab. Sebenarnya itu bekas ponselnya sendiri yang dihibahkannya kepada ibunya setahun yang lalu. "Mama pencet memorinya, ya? Biar Kezia yang ngomong."
Valerina mengulurkan tangannya yang gemetar Menekan tombol nomor sembilan.
Kezia menekan tombol hijau. Dan melekatkan ponsel itu ke telinganya. Tetapi tidak terdengar bunyi apa-apa. Berkali-kali dia mencoba. Gagal.
"Kali dia ganti HP, Ma," hibur Kezia sambil menyembunyikan kecemasannya. "Atau ganti SIM card."
"Kita ke rumahnya aja, Ma," ajak Revo sama cemasnya. "Mama bilang dia punya toko di Zermart, kan?"
Tetapi di Zermatt pun Tristan tidak ada. Tokonya tutup.
"Sudah sebulan Tristan pergi," Kata pemilik toko di sebelahnya. "Sejak awal September. Kalau tidak salah, mau main ski di Austria."
Kezia dan Revo bertukar pandang dengan cemas. Mereka khawatir sekali melihat keadaan ibunya. Bercerai saja sudah merupakan trauma untuk Mama. Kini dia mendapat trauma yang lebih berat lagi!
Kekasihnya mungkin sudah tewas! "Tristan... desah Valerina pilu. "Tega kamu tinggalkan aku dengan cara seperti ini...."
Valerina melarang anak-anaknya mengikutinya. Dia ingin berada seorang diri di sana. Di Gornergrat. Di ketinggian antara bumi dan langit. Di depan puncak Matterhorn. Lambang cinta kasih mereka.
Tetapi Kezia dan Revo tidak tega membiarkan Mama pergi seorang diri. Karena itu diam-diam mereka mengikuti dari kejauhan.
Ketika Mama naik kereta api, mereka ikut menyelusup ke kereta yang sama, meskipun di gerbong yang lain. Ketika Mama turun di Stasiun Gornergrat, mereka ikut turun. Mereka terus membuntuti Mama dari kejauhan.
Tatkala Mama melangkah ke bibir tebing, Revo sudah ketakutan.
"Jangan-jangan Mama nekat!" bisiknya ce-mas"
"Mama bukan cewek kembang tahu!" sanggah Kezia mantap. "Nggak bakalan Mama terjun Jbebas!"
Dan keyakinan Kezia terbukti.
Mereka melihat Mama hanya duduk me-
renung di tepi tebing. Memandangi puncak
Matterhorn di seberang sana. Mama tidak berbuat apa-apa. Hanya tepekur.
Termenung menatap ke kejauhan. Seperti ini jugakah perasaanmu sembilan
belas tahun yang lalu, Tris, desah Valerina pilu.
Ketika kamu menyadari kita tidak mungkin
bertemu lagi?
"Aku sudah menyiapkan cincin untukmu sembilan belas tahun yang lalu. Setiap tahun selama empat tahun berturut-turut aku membawa cincin itu ke Zermatt. Ketika kamu tidak muncul juga, kutukar cincin itu dengan cincin kawin istriku. Tapi bahkan ketika sedang memakaikan cincin itu di jarinya, aku masih membayangkan dirimu."
Suara Tristan masih terdengar begitu Gaungnya seolah-olah bergema di dinding-dinding tebing terjal di sekitarnya.
Valerina menatap cincin yang sengaja di-pakainva ketika naik kereta ke sini. Dan air matanya meleleh tak tertahankan lagi.
Dia tahu Tristan sangat mencintainya. Tetapi kini. ketika dia sudah tidak ada, cintanya terasa lebih menggigit.
Tanggal dua enam bulan depan. Di hotel kita. Atau kamu lebih suka menemuiku di Gornergrat? Aku akan melamarmu sekali lagi di depan anak-anakmu."
Ciuman Tristan masih terasa di bibirnya. Begitu lembut. Begitu hangat. Begitu mesra.
"Aku akan melamarmu sekali lagi di depan anak-anakmu."
Itu janji Tristan. Janji yang tak pernah kesampaian!
Tetapi memang bukan salah Tristan. Valerina yang memusnahkan harapannya. Dia yang memutuskan hubungan mereka.
"Selamat tinggal, Sayang" itulah kata-kata Tristan yang terakhir, ketika mereka berpisah di Soekarno-Hatta. "Terima kasih untuk tembang terindah dalam hidup kita."
"Selamat jalan, Tris," Valerina mengulangi kata-katanya yang terakhir untuk kekasihnya.
"Terima kasih untuk hari-hari terindah yang telah kita lewati bersama." Lalu dia menyeka air matanya.
Zermatt masih seperti dua puluh tahun yang lalu. Ketika malam itu mereka melangkah berdua sambil berpelukan. Ketika mereka duduk saling impit mendengarkan Serenade. Ketika Tristan mencium bibirnya untuk pertama kalinya. Ketika dia melepaskan ikatan rambutnya.
Resor itu masih setemaram ketika Valerina tiba kembali di sini tiga bulan yang lalu. Turis-turis masih lalu-lalang dengan santainya. Jepretan kamera mereka masih berkilauan mengabadikan keindahan di sekitarnya.
Kafe-kafe di pinggir jalan masih ramai dipenuhi pasangan yang sedang menikmati cerahnya udara malam. Penjual bratwurst masih asyik menggoreng sosisnya.
tetapi bagi Valerina, semuanya tidak sama
lagi. Semuanya sudah berbeda. karena Tristan
sudah tidak berada di sana lagi.
"Rasanya aku ingin menunggumu di Zermatt, Siapa tahu. suatu hari aku menemukanmu di sana, sedang menggigit bratwurst di pinggir jalan. Saat itu mungkin mataku sudah lamur. Tapi aku pasti masih ingat aroma parfummu."
Saat itu. sungguh mati, Valerina tidak ingin makan. Perutnya tidak lapar.
Tetapi ketika melihat penjual bratwurst itu, dia langsung berhenti di depannya. Membeli sebuah bratwurst. Dan menggigitnya meskipun masih terasa sangat panas.
"Val?" Suara Tristan begitu jelas menerpa telinga Valerina. Dia sampai harus memejamkan matanya menahan kenyerian yang menikam jantungnya. "Valerina?"
Dia ada di sini, pikir Valerina getir. Dia ada di sini! Di tempat yang paling disukainya! Di tempat kenangan kami! Tempat yang selalu membangkitkan nostalgia.
"Jangan pergi, Tris," pinta Valerina lirih. "Temani aku di sini. Jangan biarkan aku melewati malam ini sendirian! Aku sudah me nyemprotkan parfum kesayanganmu. Kamu masih ingat kan aromanya? Katamu, biar mata mu sudah lamur sekalipun...
Dan Valerina tidak dapat melanjutkannya lagi. Air matanya meleleh tak tertahankan.
"Datanglah. Tris, desahnya pilu. lepaskan gelung rambutku. Cium leherku...."
Valerina tidak peduli jika dia dikira gila karena bicara seorang diri. Apa salahnya menjadi gila sesaat karena kesedihan yang luar biasa?
Berapa banyak orang yang bertingkah seperti gila karena ditinggal kekasih?
Valerina bukan hanya ditinggal kekasih!. Kekasihnya pergi untuk selama-lamanya. Tristan sudah tidak ada! Tristan sudah mati!
Tokonya dik unci. Tutup. Sudah beberapa kali Valerina bolak-balik ke sana. Tapi toko itu tetap terkunci.
"Sudah s ebulan Tristan pergi." Kata-kata pemilik toko sebelah ter ngiang terus di telinganya.
Sudah sebulan Tristan pergi! Tristan meninggalkannya! Tak mungkin dit emuinya lagi di sini!
Ada tangan yang men yentuh lengannya.
Pasti si penjual bratwur st. Dia mau bilang, Maaf, Nyonya. Saus tomatnya berce ceran ke bajumu!
persetan! Siapa peduli?
Valerina membuka matanya. Dan dia terenyak.
Bratwurst terlepas dari tangannya.
"Kamu betul Valerina!" desah Tristan gembira.
"Tristan?" sapa Valerina gemetar. Ditatapnya lelaki itu dengan tatapan tidak percaya.
Yang tegak dengan tongkat penyangga di ketiak kirinya itu memang Tristan Putradewa!
"Ada apa, Val?" tanya Tristan bingung. "Kenapa kamu melihatku seperti hantu?"
Valerina tidak da pat menjawab. Karena tangis segera menyerbu tenggo rokannya. Dia menghampiri Tristan. Dan memeluknya d engan hati-hati.
"Aku menyakitimu?" bisikn ya lembut. "Tidak," Tristan tertawa bahagia. "Kamu me mbuat semua rasa sakitku lenyap seketika!"
&nbs p; "Apa yang terjadi?" tanya Valerina sambil melepaska n pelukannya. Ditatapnya kekasihnya dengan cemas. " Kenapa kakimu?" "Biasa," Tristan tersenyum tipis. "Kecel akaan." "Main ski?" "Apa lagi?"
"Kapan kam u baru mau berhenti cari penyakit?"
"Seharusnya kamu bersyukur masih bisa melihatku tertawa!"
"Aku memang bersyukur," Valerina membelai pipi Tristan dengan penuh kasih sayang. "Kukira kamu berada dalam gondola yang jatuh di Tiefenbach."
"Aku tidak jadi ke sana," Tristan menyeringai lebar. "Pada saat terakhir, aku ingat kamu. Jadi aku pergi ke St. Moritz. Main ski sambil melamun."
Ya Tuhan!" Valerina memejamkan matanya mengucap syukur.
"Kamu kira aku mengalami kecelakaan? Karena itu kamu kemari? Mau menabur bunga di makamku?"
"Ke mana HP-mu?" sergah Valerina gemas. Kenapa aku tidak bisa menghubungimu?" Jatuh bersama tubuhku. Tergelincir di glasier sejauh empat ratus meter, Bedanya tubuhku ditemukan. HP-ku tidak." "Serius, Tris!"
"Kata siapa aku main-main?"
"Kamu tahu betapa takutnya aku ketika tidak bisa menghubungimu? Ketika melihat tokomu tutup dan tetanggamu bilang kamu ke Austria sebulan yang lalu?"
"Aku harus bagaimana?" Tristan menahan tawa. "Menghubungimu di Jakarta? Bilang aku tidak jadi ke Tyrol? Jadi tidak usah bawa bunga kemari?"
"Tidak ada yang berubah dalam dirimu!" gerutu Valerina gemas. "Kamu masih tetap konyol!"
Tristan mendekatkan wajahnya sambil tersenyum. Ketika dia mengendus aroma parfum kekasihnya, senyumnya melebar penuh gairah.
"Kamu tidak ingin aku berubah, kan?" bisiknya sambil menatap mesra ke mata Valerina. "Aku masih tetap mengenali parfummu biarpun mataku sudah lamur nanti!"
Valerina pura-pura melayangkan tangannya untuk menampar pipi Tristan. Tapi ketika Tristan tidak mengelak, tangan Valerina mendarat di pipinya dalam sebuah sentuhan lembut penuh kehangatan.
"Kapan sih kamu pernah serius, sekali saja?"
"Kalau aku melamarmu," sahut Tristan mesra.
"Kalau begitu," pinta Valerina lembut, selembut tatapan matanya, "lamarlah aku. Sekarang."
Mata Tristan membulat. Ditatapnya Valerina dengan tatapan tidak percaya.
"Melamarmu? Di sini?" desisnya agak bingung.
"Na und?" Ketika Tristan mendengar kata itu diucapkan Valerina persis seperti gayanya, tatapan Tristan berubah antara haru dan bahagia.
Dirangkulnya Valerina dengan mesra. Diciumnya bibirnya dengan hangat.
Ketika bibir yang dirindukannya itu menyentuh bibirnya, menyalurkan kehangatan yang tak terperi ke relung-relung hatinya, air mata Valerina menitik didesak kebahagiaan.
"Jangan pernah meninggalkanku lagi, Tris," bisiknya gemetar.
"Aku tidak pernah meninggalkanmu," sahut Tristan sambil mendekap kekasihnya dengan sebelah lengannya. "Kamu yang meninggalkanku. Tiga kali. Ingat?" "Sekarang aku tidak ingin pergi lagi." "Juga kalau kamu rindu suami dan anak-anakmu?"
"Aku sudah bercerai." "Val!" cetus Tristan antara kaget dan gembira. Dilepaskannya pelukannya. Ditatapnya kekasihnya dengan tatapan setengah tak percaya. "Bukan karena dia pacaran dengan pacar anakmu lagi, kan?"
Valerina menggeleng.
"Anak-anakmu? Ikut kamu?"
"Mereka ada di sini. Revo akan kembali ke Montreux. Kezia ingin studi di Zurich."
"Karena itu kamu kemari?"
"Tidak." sabut Valerina tegas. "Aku ke sini karena kamu."
"Karena ingin menyambangi kuburanku?"
"Karena cinta."
"Val," Tristan mengedipkan sebelah matanya dengan gembira. "Kamu tahu, nggak?"
"Jangan," cegah Valerina sambil tersenyum. Tahu apa yang akan dilakukan Tristan. "Tidak perlu meneriakkan lagi cintamu. Karena cintamu sudah menjadi milikku."
"Aku ingin semua orang tahu!"
"Tidak perlu. Yang perlu tahu cuma aku dan anak-anakku!"
"Kalau begitu aku akan berteriak di depan mereka!"
"Tidak perlu berteriak. Mereka tidak tuli." "Di mana mereka?"
"Kami di sini."
Ketika Tristan dan Valerina menoleh, mereka
melihat Kezia dan Revo tegak tidak jauh dari
tempat mereka.
Tristan sudah membuka mulutnya lebar-lebar untuk meneriakkan cintanya. tetapi Valerina keburu membekap mulutnya.
TAMAT
↧
Tembang yang tertunda - 24
↧