Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Luruh Kuncup Sebelum Berbunga - 12

$
0
0

Cerita Cinta | Luruh Kuncup Sebelum Berbunga | by Mira W | Luruh Kuncup Sebelum Berbunga | Cersil Sakti | Luruh Kuncup Sebelum Berbunga pdf

Matahari Di Batas Cakrawala - Mira W Fear Street - Bayangan Maut Merpati Tak Pernah Ingkar Janji - Mira W Monk Sang Detektif Genius - Lee Goldberg Misteri Putri Peneluh - Abdullah Harahap

erasa sudah cukup kuat. Kita harus berkejaran dengan waktu."
  "Saya cukup mampu, Dokter." Kris seperti mendengar gema suaranya sendiri, tetapi dia tidak mengenalinya lagi. "Teruskan saja."
  "Hasil pemeriksaan kami memperlihatkan adanya penyumbatan yang diakibatkan oleh tumor di otak Ari. Penyumbatan pada lintasan likwor serebrospinal is ini menyebabkan cairan otak tersebut tak dapat mengalir dengan lancar. Jika sumbatan ini tidak segera diatasi dengan membuat saluran baru, maka cairan otak yang terbendung akan semakin bertambah. Dan ini sangat berbahaya karena dapat menekan jaringan otak Ari."
  "Saya tidak rela anak saya dioperasi, Dokter! Apakah tidak ada jalan lain untuk menolongnya?"
  "Rasanya untuk saat ini kita tak dapat menghindari operasi. Pertama-tama untuk membuka sumbatan yang tadi saya katakan. Kemudian kita akan melakukan biopsi. Mengambil sedikit jaringan otak Ari, untuk diperiksa di laboratorium. Jika tumor itu ternyata ganas dan masih memungkinkan untuk diangkat, kita akan melakukan operasi lagi."
  "Berarti kepala Ari harus dibuka-tutup berkali-kali!" Kris menutup mukanya menahan tangis. Suaranya menggeletar hampir sampai ke tahap meratap. "Dia masih anak-anak! Kepalanya masih begitu kecil! Kepala anak sekecil dia sudah harus dioperasi? Dibuka? Dilubangi?"
  "Barangkali kedengarannya memang kejam bagi orang awam." Dokter Siswojo menghela napas. "Tapi itulah cara kami untuk menolong jiwa Ari."
  "Sampai kapan, Dokter? Sampai kapan?"
  "Umur manusia di tangan Tuhan. Tetapi selama Tuhan masih memberi kesempatan, bukankah kita harus berusaha untuk memperpanjang
  umurnya?"
  "Tapi tidak dengan jalan operasi, Dokter! Tidak! Saya tidak rela anak saya dioperasi! Dia masih kecil! Terlalu kecil!"
  Dokter Siswojo menghentikan pembicaraan me-
  reka ketika disadarinya suara Kris telah sampai pada taraf histeris.
  "Saudara perlu istirahat," katanya sabar. "Dalam keadaan letih dan sedih, kita memang tidak mampu berpikir. Kembalilah jika Saudara sudah memutuskan yang terbaik untuk Ari."
 
  Tetapi Kris tidak sempat berpikir lagi. Malam itu juga, Ari panas lagi. Muntah-muntah. Kejang-kejangnya pun diikuti dengan penurunan kesadaran yang cukup lama. Dokter Siswojo yang dipanggil mendadak malam itu juga, langsung menyiapkan tindakan emergency.
  "Sekarang saya tidak dapat lagi menunggu keputusan Saudara." katanya pada Kris yang masih tertegun seperti orang linglung. "Jika saya tidak bertindak sekarang juga, Ari tidak akan sempat lagi melihat matahari esok pagi!"
 
 
  ***
 
 
  Kris memang sudah menandatangani surat izin operasi. Tetapi jika dia ditanya lagi apa yang telah dilakukannya malam itu, dia pasti sudah lupa. Dia sudah tidak ingat apa-apa lagi.
 
  Yang diingatnya hanyalah dia berjalan di samping brankar Ari, yang didorong ke dalam kamar operasi. Dia memegang tangan Ari yang sudah separo tidak sadar itu, melintasi koridor panjang yang gelap dan sepi.
 
  Angin malam yang bertiup silir-silir dingin menusuk tulang. Tetapi lebih dingin lagi tangan dan kakinya. Malaikat Maut seperti telah terasa mengikuti perjalanan panjang mereka ke ruang operasi. Kelepak sayapnya yang hitam menyeramkan telah menciptakan bayang-bayang ke-matian di sekitar mereka.
 
  Dewi terus-menerus terisak di samping brankar. Tetapi tidak seorang pun berminat untuk menghiburnya. Tidak juga Kris. Bagaimana dia dapat menghibur orang lain pada saat dia sendiri perlu dihibur?
 
  Baru ketika di ambang pintu ruang operasi, Dewi tidak mau melepaskan rangkulannya dari tubuh Ari, Kris terpaksa meraih istrinya.
  "Tabahkan hatimu, Wi," bisiknya menahan tangis. "Mari kita sama-sama berdoa...."
 
  Dewi membenamkan wajahnya di dada suaminya. Dan membiarkan tangisnya pecah di sana.
 
  Sambil menatap Ari untuk terakhir kalinya sebelum pintu ruang operasi tertutup, Kris mendekap istrinya erat-erat. Lalu pintu pun tertutup sudah. Dan dunia mereka telah terpisah.
 
  Ari tertelentang seorang diri di dalam ruang operasi yang terang benderang. Menyerahkan tubuh dan nyawanya di tangan para ahli yang akan berjuang sekuat tenaga untuk merebut kembali hidupnya dari tangan Malaikat Maut.
 
  Sementara di luar sana, Kris dan Dewi bergulat dalam harapan dan keputusasaan. Dalam kegelapan
  malam yang pekat dan sepi. Mereka duduk berangkulan di depan kamar operasi. Tanpa mampu mengucapkan sepatah kata pun. Tetapi jauh di dalam hati, doa mereka seperti air bah yang tak putus-putusnya mengalir.
 
 
  ***
 
 
  Yang satu jam itu terasa setahun. Yang dua jam pun terasa seabad. Akhirnya penantian mereka berakhir. Tetapi ketegangan masih berlanjut sampai ke ruang pascabedah.
 
  Ketika melihat Ari terbaring tak bergerak-gerak, begitu kecil di tengah-tengah ruangan yang dibatasi kaca pemisah dari tempat mereka, Dewi mengira dia sudah berhadapan dengan jenazah anaknya.
 
  Wajah Ari begitu pucat. Putih seperti tembok. Matanya terpejam rapat. Kepalanya dibalut. Sebotol infus tergantung di sisi pembaringannya. Jarumnya menghunjam dalam pembuluh darah di deka t mata kaki kanannya.
 
  Dewi melekatkan mukanya pada kaca yang memisahkan mereka. Ingin melihat lebih jelas wajah anaknya. Masih hidupkah dia? Masih ber-napaskah Ari? Mengapa dia begitu diam?
 
  Ari yang lincah! Ari yang lucu! Mungkinkah dia membeku selama itu dalam kesunyian?
  Tetapi air mata yang terus-menerus merembes keluar dari matanya membasahi kaca. Membaurkan penglihatannya. Menghalangi ketajaman pandangannya. Sudah terbukakah mata Ari? Atau dia masih tetap terpejam seperti tadi?
 
  Lalu seseorang memegang bahunya. Ketika Dewi menoleh, dia melihat Kris.
  "Dokter mengizinkan seorang di antara kita masuk ke dalam," katanya parau.
 
  Dan Dewi hampir tidak mengenali suaminya sendiri. Dalam semalam saja, Kris telah demikian berubah. Tubuhnya-demikian lunglai. Punggungnya separo membungkuk, seakan-akan tulang belakangnya tidak kuat lagi menyangga beban kesedihan yang harus dipikulnya.
 
  Wajah Kris demikian pucat. Lesu. Letih. Matanya bersorot redup, antara takut dan sedih. Penampilannya demikian memilukan. Bertambah tua dan kehilangan semangat. Dia seperti sesosok patung hidup yang dapat berjalan tapi tidak bernyawa.
 
  Sebenarnya Dewi ingin sekali masuk. Menyentuh Ari. Menciumnya. Saat ini, tak ada lagi keinginan yang lebih besar dari itu.
 
  Tetapi melihat keadaan suaminya, Dewi sadar, penderitaan Kris tidak lebih ringan daripada penderitaannya sendiri. Kerinduan suaminya untuk mendekap dan menyentuh Ari pun tidak kurang. Karena itu dia mengalah.
  "Masuklah," bisiknya sambil menggigit bibir menahan tangis. "Rasanya aku tidak kuat."
 
  Seandainya Dewi dapat memutar kembali
  rekaman kehidupan ini, rasanya dia pun takkan menyesal membiarkan suaminya masuk lebih dulu. Mengambil satu-satunya kesempatan yang ditawarkan kepada mereka, yang mungkin merupakan kesempatan yang terakhir.
 
  Melalui kaca yang memisahkan mereka, Dewi melihat bagaimana Kris seperti melayang masuk ke dalam ruangan itu. Menghampiri Ari seperti seorang musafir yang kehausan menemukan sebuah mata air.
 
  Sesaat Kris seperti hendak melompat memeluk Ari. Sekujur wajahnya telah penuh bersimbah air mata. Tetapi sesampainya di sisi tempat tidur, tiba-tiba saja dia berhenti. Tangannya yang telah terulur mendadak mengejang di udara. Dia tertegun sejenak.
 
  Lalu Dewi melihat adegan yang justru lebih mengharukan. Kris tidak memeluk tubuh Ari. Tidak mencium mukanya. Dia hanya berlutut. Menyentuh kaki anaknya. Dengan hati-hati seperti menyentuh bahan peledak. Lalu dia bersimpuh. Dan menangis.
 
  Di luar, Dewi terisak sendiri. Memalingkan wajahnya. Tidak sampai hati menyaksikan suaminya menangis.
 
 
  ***
 
 
  Berapa lama lagi, Tuhan? Pertanyaan itu selalu menggema di dalam setiap doa Kris. Karena sekarang dia tahu persis apa penyakit Ari. Diagnosa dokter telah jelas. Tumor otak. Tidak ada salah diagnosa. Walaupun Kris mengharapkan sebaliknya.
 
  Dugaan Dokter Rahman terbukti benar. Yang disebutnya biji itu memang tumor. Ada daging lebih di jaringan otak Ari. Dia hanya tidak ingin menakut-nakuti Kris dan Dewi sebelum diagnosanya terbukti. Foto-foto kepala Ari dengan alat-alat yang paling mutakhir seperti CT Scan akhirnya membuktikan dugaan Dokter Rahman memang benar. Foto itu juga menunjukkan dengan tepat di mana letak tumor tersebut.
 
  Untuk menentukan jenis tumor itu dan keganasannya, dokter harus melakukan biopsi. Mengambil sedikit jaringan tumor itu untuk diperiksa di Laboratorium Patologi Anatomi.
 
  Jika ternyata tumor itu ganas, artinya Ari menderita kanker otak. Dan kepalanya harus dibedah lagi. Untuk mengangkat tumor itu seluruhnya. Secepatnya. Sebelum kanker itu ber-metastasis ke mana-mana sampai akhirnya merenggut nyawa Ari.
 
  "Kita harus berpacu dengan waktu," kata Dokter Siswojo tegas.
 
  Operasi yang dulu hanya mengeluarkan cairan. Hanya menghilangkan gejala. Tetapi operasi kali ini untuk melenyapkan sumber penyakitnya. Jadi benar-benar operasi besar. Operasi yang penuh
  risiko. Antara hidup dan mati. Dan Kris masih tetap keberatan kalau Ari harus dioperasi.
 
  Dokter memang memberikan alternatif lain. Radiasi. Penyinaran. Tapi bagaimana hasilnya, masih merupakan tanda tanya besar.
 
  Dokter tidak dapat menjamin kesembuhan Ari. Kalaupun sembuh, untuk berapa lama? Enam bulan? Satu tahun? Mampukah Ari bertahan? Jangankan setahun, enam bulan pun dokter tidak berani menjamin. Jadi penyembuhan macam apa itu?
 
  Jika memang umur Ari tidak mungkin diperpanjang lagi, mengapa tidak menggunakan saja sisa waktunya dengan sebaik-baiknya? Mengapa harus memperpendek kesempatan yang ada dengan operasi?
 
  Ketika pertama kali mendengar betapa buruknya prognosa Ari, Kris menangis tersedu-sedu seorang diri di dalam kamarnya di hotel. Ketika itu, Dewi masih di rumah sakit, menjaga Ari.
 
  Kris meratap sambil memukuli dinding, seakan-akan ingin memberontak terhadap nasib buruk yang menimpa keluarganya. Dia menjerit. Memekik. Memprotes pada Tuhan.
 
  Tetapi ketika lambat-lambat kesadaran memasuki kembali pikirannya, Kris insaf. Percuma melawan kenyataan. Dia harus menerima, bagaimanapun inginnya dia menolak.
 
  Akhirnya Kris sadar, semua ini nyata. Bukan semata-mata mimpi buruk. Dan dia tidak boleh luluh dalam kedukaan. Dia harus berusaha mempertahankan Ari. Sampai suatu titik di mana dia tidak mungkin lagi memilikinya.
 
  Dan sebelum sampai ke titik itu, Kris harus berjuang untuk mempergunakan setiap kesempatan yang ada. Memanfaatkan setiap detik yang tersisa.
  "Besok pagi aku pulang dulu, Wi," katanya malam itu, ketika menggantikan Dewi berjaga di rumah sakit. "Ambil uang."
  "Apa kata dokter tadi, Mas? Ari masih lama
  di sini?"
  "Dia harus disinar, Wi. Setiap hari. Selama sebulan. Rasanya kita butuh tambahan uang."
  "Mas pinjam lagi di kantor?"
  "Akan kuusahakan. Pokoknya aku pasti kembali membawa uang."
 
  Majikannya memang memberikan tambahan pinjaman tanpa banyak rewel. Tetapi sampai kapan? Uang itu pasti tidak cukup.
 
  Jakarta sangat mahal. Apalagi rumah sakitnya. Setiap sepuluh hari, rumah sakit minta agar administrasinya diselesaikan lebih dulu. Jika masih harus tinggal, mereka minta uang muka untuk sepuluh hari perawatan yang akan datang.
 
  Setelah sebulan disinar, kelihatannya keadaan Ari memang agak membaik. Nafsu makannya mulai timbul kembali. Gejala-gejala penyakitnya
  tak pernah kambuh lagi. Tetapi Dokter Siswojo minta agar penyinaran kepala Ari dilanjutkan setengah bulan lagi. Terpaksa Kris kembali ke rumah. D an menjual motornya.
 
  Karena Kris baru dapat kembali ke Jakarta keesokan harinya setelah menerima uang penjualan motor, Dewi-lah yang hari itu harus menggantikan tugas Kris. Mendukung Ari ke kamar penyinaran. Meminumkan obat tidur. Dan menunggu di luar sampai Ari selesai disinar.
 
  Dari terminal bus, Kris langsung ke rumah sakit. Meskipun belum waktu berkunjung, dia diizinkan masuk. Dan dia segera menuju ke kamar Ari. Separo berlari. Tetapi begitu membuka pintu, Kris merasa lemas. Ari tidak berada di sana. Kamarnya kosong! Dengan panik Kris berlari ke kantor perawat. Menyerbu satu-satunya perawat yang kebetulan ada di sana. Sore-sore begini seharusnya Ari sudah kembali dari kamar penyinaran. Dia harus sudah berada di kamar. Lalu... ke mana dia?
 
  "Suster!" sergahnya tanpa dapat mengatur napasnya lagi. "Di mana Ari? Apa yang terjadi?"
  "Dibawa Dokter Siswojo," sahut perawat itu tenang. Tanpa memindahkan


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>