Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Dakwaan Dari Alam Baka - 14

$
0
0

Cerita remaja | Dakwaan Dari Alam Baka | by Mira W | Dakwaan Dari Alam Baka | Cersil Sakti | Dakwaan Dari Alam Baka pdf

Matahari Di Batas Cakrawala - Mira W Fear Street - Bayangan Maut Merpati Tak Pernah Ingkar Janji - Mira W Monk Sang Detektif Genius - Lee Goldberg Misteri Putri Peneluh - Abdullah Harahap

akan sering-sering mengunjungi Bapak dan Ibu di rumah. Saya masih ingat kok rumah Bapak."
  "Saya sudah tidak tinggal di sana lagi."
  Farida tertegun. Ditatapnya dosennya dengan bingung.
  Sekali lagi senyum pahit itu bermain di bibirnya.
  "Kami telah bercerai."
  "Pak!" cetus Farida kaget.
  "Apa sudah tidak ada jalan lain?"
  "Setelah berpisah, kami semakin yakin, perkawinan itu sudah tidak dapar dipertahankan lagi. Lebih baik kami berpisah sebelum ada anak."
  "Saya menyesal mendengarnya. Pak," ketika mengucapkan kata-kata itu, air mata Farida berlinang lagi. Hatinya terasa sakit. Benar-benar nyeri. Dia seperti dapat merasakan penderitaan Pak Hans. Tapi... benarkah dia menderita? Benarkah perceraian itu membuatnya sedih... bukan lega?
  "Mudah-mudahan masih ada jalan untuk rujuk, Pak Saya tahu Bapak dan Ibu saling mencintai." Senyum Pak Hans mengembang lebih lebar. "Dari mana kamu tahu?"
  "Kalau tidak cinta, Bapak tidak akan menikah, kan?"
  "Waktu itu, saya hanya terpikat pada kecantikannya."
  Tidak salah. Tapi kalau Bapak tidak mencintainya, mustahil ada pernikahan."
  Saya tidak tahu, benarkah itu cinta. Atau cuma kekaguman belaka."
  "Saya yakin, Pak. dan saya yakin, ketidak cocokan bapak dan ibu cuma karena perbedaan profesi."
  "Rasanya kamu cocok jadi pengacara perceraian."
  "Saya memilih menjadi pembela kaum saya yang tersiksa. Perempuan miskin yang tertindas karena buta hukum dan tidak mampu membayar pengacara."
  "Atau penuntut umum yang menyeret orang yang menganiaya wanita ke depan meja hijau?" Pak Hans tersenyum pahit.
  "Tapi jangan harapkan imbalan yang tinggi!"
  "Kalau boleh usul, Pak, mengapa Bapak tidak mencoba mendekati Ibu lagi?" Farida kembali ke topik semula.
  "Rasanya sudah terlambat," sahut Pak Hans jemu.
  "Kadang-kadang cinta lebih terasa sesudah berpisah, Pak." Sesudah mengucapkan kata-kata itu, Farida menggigit bibirnya kuat-kuat. Dia sudah kelepasan bicara lagi. Nanti Pak Hans salah paham. Mengapa hati ini seperti lancang mengungkapkan apa yang dirasakannya?
  "Bagaimana kalau sesudah berpisah saya malah tidak merindukannya?" balas Pak Hans lesu.
  "Cobalah sekali lagi. Pak! Bawa Ibu ke tempat-tempat yang punya kenangan manis. Kalau perlu, ajak Ibu ke Belanda! Seperti pacaran hgl Pak."
  "Ida!" panggil Endang yang sedang tergopoh-gopoh mendatangi. "Lekas! Acaranya hampir mulai!" Dan matanya terbeliak lebar melihat bekas dosennya. "Eh, Pak Kapan datang, Waduh, Bapak tambah keren saja nih!"
  "Baru kemarin," sahut Pak Hans sambil tersenyum cerah. Semua bekas-bekas kemuraman lenyap seketika dari parasnya.
  "Khusus untuk melihat mahasiswi-mahasiswi terbaik saya diwisuda."
  "Terima kasih, Pak!" Endang tertawa gembira.
  "Tapi lulusan terbaik si Ida ini, Pak! Dia benar-benar tidak mengecewakan dosen-dosennya!"
  "Dan membuat saya bangga," sambung Pak Hans tulus.
  "Mari masuk, Pak. Acaranya hampir mulai. Ida harus memberikan kata sambutan."
  "Permisi dulu, Pak," kata Farida sambil memutar tubuhnya.
  "Ida," panggil Pak Hans lembut ketika Farida hampir berlalu.
  Endang juga mendengar panggilan itu. Dan merasa heran mendengar lembutnya suara
  Pak Hans. rasanya itu bukan panggilan seorang dosen lagi. tapi dia tidak mau menoleh. dan tidak mau berhenti melangkah.
  Hanya Farida yang menoleh. dan tatapannya bertemu dengan tatapan pak Hans yang hangat dan lembut. Saat itu Farida terkenang pada pertemuan mereka yang pertama di ruang kuliah. Saat itulah mata mereka untuk pertama kali bertemu. Dan sekarang Farida sadar, saat itu juga sebenarnya dia sudah jatuh cinta.
  "Terima kasih atas nasihatmu. Akan saya pertimbangkan lagi."
  "Mudah-mudahan Bapak berhasil membina kembali rumah tangga yang bahagia," tukas Farida tulus walaupun hatinya terasa nyeri.
  Ketika sedang melangkah tertatih-tatih akibat libatan kain yang cukup ketat di balik toga hitamnya, tak henti-hentinya Farida bertanya kepada dirinya sendiri.
  Mengapa aku sanggup berkata begitu? Inikah cinta yang sesungguhnya? Cinta yang tidak ingin memiliki orang yang kucintai untuk diriku sendiri? Cinta yang hanya memikirkan kebahagiaan orang yang kucintai, meskipun aku terpaksa harus memendam rindu seumur hidup?
  Kepada orangtua kami dan para dosen yang telah mendukung kami meraih cita-cita." suara Farida terdengar lirih di akhir kata sambutannya, "perkenankanlah kami menghaturkan terima kasih. Jasa Bapak dan Ibu tak mungkin terlupakan.
  Kami hanya dapat membalasnya dengan berjanji, kami akan menjadi abdi hukum yang menjunjung tinggi keadilan.
  Tepuk tangan bergemuruh dari seluruh ruangan. Kilat blitz menyala dari sana-sini.
  "Contoh terbaik yang harus diteladani oleh para penyandang cacat kata Rektor dalam kata sambutannya. "Dia yang tidak punya lengan sejak lahir, mampu membiayai sendiri kuliahnya, bahkan berhasil lulus dengan nilai terbaik!"
  Di deretan kursi terdepan, ayah Farida menyusut air matanya. Istrinya menggenggam tangannya dengan terharu.
  Akhirnya perjuangan mereka tidak sia-sia. Anak sulung mereka berhasil meraih gelar sarjana.
  Rasanya masih terbayang jelas bayi mengenaskan tanpa lengan itu. Tergolek tak berdaya mengharapkan belas kasihan siapa pun yang melihatnya.
  Masih terbayang jelas anak perempuan kecil yang pulang sambil menangis karena diejek anak-anak lain. anak perempuan malang yang bahkan tidak berani melihat cermin.
  Anak yang ditolak masuk sekolah umum karena tidak punya tangan.
  "Dengan apa dia mau menulis?" kata kepala sekolah itu sedih.
  Ayah Farida membawa anaknya pulang dengan sebongkah tekad di hatinya.
  Kamu pasti bisa menulis, Ida. Kalau bukan dengan tangan, pasti dengan mulut! Atau dengan kaki!
  Dan kini anak itu tegak di depan sana. Mengenakan toga hitam seorang sarjana, yang bahkan orang yang tidak cacat pun belum tentu mampu memakainya!
  Farida tidak pulang bersama orangtuanya karena masih banyak yang harus dikerjakannya di kampus. Sebagai wakil para wisudawan, dia direpotkan oleh berbagai masalah yang timbul setelah acara wisuda.
  Lama sesudah teman-temannya meninggalkan kampus, Farida baru bisa pulang. Dan selagi dia melangkah keluar dari gerbang kampus, sebuah motor lewat dan berhenti di sampingnya.
  "Pulang?" tanya Sultan dengan seuntai senyum ramah tersungging di bibirnya.
  "Mau kuantarkan?"
  Sesaat Farida tertegun. Ingat masa-masa kuliahnya dulu, ketika Sultan selalu mengajukan pertanyaan yang sama.
  "Terima kasih," Farida tersenyum lugu.
  "Apa artinya terima kasihmu itu? Mau ikut atau tidak?"
  "Terima kasih untuk ajakannya."
  "Aku bersedia menerima terima kasih yang kedua."
  "Untuk apa?"
  "Mengantarkanmu pulang." Tidak usah. Terima kasih."
  "Aku harus menunggu terima kasihmu yang ketiga?"
  Farida tertawa lunak mendengar rentetan jawaban yang sama itu. Sultan ikut tertawa gelak-gelak
  "Kamu masih tetap tidak berubah, Ida!"
  "Haruskah saya berubah?"
  "Jangan. Dunia akan menangis kalau kamu berubah!"
  "Kalau begitu mengapa masih mengajak saya pulang?"
  "Karena sekarang kita teman seprofesi. Dan aku ingm menawarkan pekerjaan padamu."
  "Di tempat Kak Sultan bekerja?"
  "Di mana lagi? Tempat yang sesuai dengan angan-anganmu. menolong orang-orang buta hukum yang tidak mampu membayar mahal seorang pengacara."
  "Terima kasih untuk tawarannya, Kak. Tapi
  apa tempat kerja Kak Sultan mau menerima sarjana hukum yang cacat seperti saya?" "Kenapa tidak kamu tanyakan sendiri?"
  "Kak Sultan mau mengajak saya ke sana?"
  "Kalau kamu tidak repot. Dan mau kuboncengi motor." Farida tersenyum.
  "Kapan?"
  "Besok? Jahitanmu bisa menunggu?"
  Ketika Farida sedang menjahit malam itu, Endang duduk di dekatnya. Begitu dia duduk, Farida sudah merasa, ada sesuatu yang ingin ditanyakannya. Sesuatu yang serius. Yang tidak biasa.
  "Kamu naksir Pak Hans, Da?" tanya Endang langsung ke sasaran. Farida tersenyum pahit.
  "Siapa sih yang nggak naksir dosen seganteng dia? Kamu sendiri juga, kan?"
  "Aku serius, Da. Kulihat caramu bicara dengan dia tadi. Dan aku merasa, sikapmu terhadapnya berbeda dengan sikapmu pada Sultan."
  "Tentu saja. Yang satu dosen. Yang satu kakak tingkat!"
  "Kamu tahu persis maksudku!"
  "Tidak Aku tidak mengerti."
  "Pak Hans sudah bercerai. Jika kalian serius, tidak ada yang menyalahkanmu."
  "Memangnya siapa aku ini, Dang?" Farida tertawa dibuat-buat.
  "Gadis buntung yang mengharapkan cinta seorang pria seganteng Pak Hans? Seperti pungguk merindukan bulan!"
  "Cinta itu buta, Da! Kadang-kadang tuli, sekaligus gila!"
  "Itu cinta yang irasional."
  "Mana ada cinta yang rasional? Memangnya matematis Cinta itu tidak pakai logika, Da! Bisa saja lelaki secakep Pak Hans jatuh cinta padamu!"
  "Itu namanya kelainan."
  "Karena lain cinta jadi terasa lebih indah, kan?"
  "Ah, itu cuma pendapatmu! Dewi cinta yang kesasar!"
  "Kamu terlalu lugu, Da. tapi aku lebih pengalaman. aku bisa merasakan kalau orang sedang jatuh cinta dengan hanya melihatnya saja!"
  "Tahu! kamu memang punya bakat paranormal!"
  "Tapi kalau boleh usul, aku lebih suka kamu memilih Sultan."
  "Karena dia lebih sesuai untukku?"
  "Kalian lebih cocok. Sultan masih muda. Belum menikah...."
  Dan tidak setampan Pak Hans! Farida tersenyum pedih. Bahkan sahabat karibnya memandang rendah padanya! Tapi... memandang rendahkah berkata jujur? Mungkin Endang yang benar. Sultan lebih cocok untuknya. Kalau dia
  mencintainya...
  "Mana mau dia pacaran sama gadis cacat macam aku, Dang? Dia kan sempurna. Pria yang tadinya buta saja mencampakkanku begitu bisa melihat!"
  "Itu kan dulu!"
  "Apa bedanya? Sampai sekarang aku masih tetap buntung!"
  "Sekarang kamu sarjana hukum!"
  "Pria ingin menikah dengan seorang wanita, Dang! Bukan dengan sarjana hukum'"
  "Tapi Sultan beda!"
  "Kenapa sih kamu ngotot sekali menjodohkan aku dengan Kak Sultan?"
  "Karena aku tahu dia sudah lama naksir kamu!"
  Tapi aku tidak pernah mencintainya, pikir Farida resah. Jika di hatiku pernah merekah sekuntum cinta, kuntum itu bukan untuk Sultan!
  PALEMBANG
  1988
  BAB XV
  Untuk mengejar karier, setelah lulus, Farida menetap di Jakarta. Dan dia memutuskan untuk mengembangkan kariernya sebagai seorang penuntut umum.
  Dia memang telah berhasil meraih cita-citanya. Menjadi sarjana hukum. Sekaligus penjahit yang desain baju-bajunya mulai dicari orang.
  Beberapa majalah dan surat kabar yang memuat kisahnya ikut mempopulerkan namanya. Farida telah menjadi orang terkenal. Tetapi dia tidak pernah berubah.
  Dia masih tetap Farida yang lugu. Rendah hati. Dan seorang diri. Bahkan rumahnya masih tetap rumah kontrakan yang dulu. Kumal, kecil
  berkamar dua yang hampir tidak muat lagi menampung tumpukan baju.
  Endang masih bersamanya, tetapi dia sekarang tidak perlu memasang kancing. Dia menjadi wakil Farida. Mengawasi enam orang buruh jahit yang membantu mereka.
  Sudah berapa kali Endang mengusulkan mengontrak rumah yang lebih besar. Rumah itu sudah terlalu sempit. Tetapi Farida masih betah di sana.
  "Di rumah ini kita mulai usaha kita, Dang," katanya separo bercanda.
  "Rumah ini membawa rezeki!"
  "Kamu cuma tidak bisa meninggalkan Bu Tri, kan?" Endang tersenyum penuh pengertian.
  "Kamu tidak pernah melupakan orang-orang yang pernah berjasa padamu."
  Endang benar. Tapi bukan hanya Bu Tri. Farida juga tidak melupakan Paman Ismail dan keluarganya. Dia selalu membantu kalau pamannya sedang terimpit kesulitan ekonomi. Nani dan Yani sudah menikah. mereka sudah pindah dan ikut suaminya masing-masing.
  Tetapi Doni masih tinggal bersama orangtuanya. Farida lah yang membiayai kuliahnya di Fakultas Teknik sipil.
  Farida juga tidak pernah melupakan orangtuanya. Setiap tahun dia selalu mengambil cuti untuk menengok mereka. Sekarang dia juga yang menanggung ekonomi keluarga. Dia melarang ayahnya bekerja lagi.
  Tentu saja ayahnya merasa lega. Dia tinggal menikmati sisa hidupnya dengan tenang. Tetapi masih ada satu hal yang mengganjal hatinya.
  "Sudah saatnya kamu memikirkan masa depanmu, Ida," katanya setiap kali Farida pulang.
  Tentu saja Farida tahu apa maksud ayahnya. Tetapi dia selalu berlagak bodoh.
  "Saya tahu, Pak. Suatu saat saya harus memilih. Jadi pengacara atau desainer."
  "Bukan itu maksud Bapak." Ayahnya menghela napas panjang. "Umurmu sudah hampir terlambat untuk menikah. Adik-adikmu sudah dua orang yang mendahuluimu. Masa kamu mau menunggu sampai adik bungsumu melewatimu juga?"
  "Saya masih ingin meniti karier, Pak. Dan ingin menggantikan Bapak memikul beban rumah tangga. Biaya hidup sekarang kan berar, Pak."
  "Bapak tahu. Dan Bapak menghargai niatmu. Kamu memang anak yang berbakti. Bapak bangga padamu. Tapi kamu juga


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>