Cerita remaja | Dakwaan Dari Alam Baka | by Mira W | Dakwaan Dari Alam Baka | Cersil Sakti | Dakwaan Dari Alam Baka pdf
Tembang yang tertunda - Mira W Sang Penyihir Beraksi - Vivian Vande Velde Animorphs 27 : Menyelamatkan Pesawat Pemalite Cinta di Awal Tiga Puluh - Mira W Come Away With Me - Kristen Proby
knya meremang....
Tiba-tiba saja peristiwa tiga puluh tahun yang lalu itu seperti film yang berputar kembali di depan matanya....
Seorang bayi tanpa lengan dilahirkan di WC sekolah. Bayi yang bersama ibunya dirawat di rumah Pak Iksan... Jadi diakah bayi tanpa lengan itu? Bayi Rindang? Anak...?
"Saya perlu uang, pak! untuk merawat anak kita!"
Anak kita, kata Rindang, anak kita! jadi inilah anak itu! dia tidak mati. dia hidup! dan kini dia tengah menuntutnya. seperti sedang mewakili ibunya....
"Saya cuma menuntut sebagian hak saya!"
Tiba-tiba saja Pak Sabdono merasa lemas. Seluruh pembelaannya kandas seperti cermin dibanting ke batu. Dia bukan lagi menghadapi tuntutan manusia. Dia menghadapi gugatan orang yang sudah mati! Dia melawan dakwaan dari alam baka!
Tak ada harapan lagi. Hari ini, semua saksi seperti datang mengurungnya. Tak ada jalan lagi untuk lolos. Dia sudah terjebak. Terperangkap dalam kubangan dosanya sendiri. Kalau waktu itu dia menerima saja hukumannya yang hanya tujuh bulan...
Tapi kini semua sudah terlambat! Dengan ketakutan dia menoleh ke belakang. Dan matanya terbelalak cemas.
Ada tiga orang lagi yang dikenalnya di sana. Pak Anwar. Bekas kepala sekolahnya. Dia juga datang untuk memberikan kesaksian?
Lalu... Halimah. Mantan istrinya! Apa yang hendak diungkapkannya? Foto seorang murid yang bunuh diri dengan anaknya yang cacat?
Dan... astaga! Siapa orang yang ketiga itu? Yang duduk dengan wajah beku dan tatapan dingin bagai es?
Rindang? Rindang...? RINDANG! Datang jugakah dia ke sidang ini untuk memberikan kesaksian?
Aku sudah gila! Rindang sudah mati! Dia tidak mungkin hadir di sini! Mustahil dia datang dari alam baka untuk mendakwa diriku!
Pak Sabdono mengucek-ngucek matanya dengan panik. Keringat dingin bercucuran di wajahnya.
"Aku sudah gila." erangnya berkali-kali. "Rindang tidak mungkin datang kemari! Dia sudah mati! Mati!"
Sia-sia pembelanya menenangkannya. Mental Pak Sabdono sudah ambruk! Sidang harus diskors sementara atas permintaan pembelanya.
Tetapi ketika sidang dibuka kembali, Pak Sabdono tetap belum pulih dari shocknya. Dan kesaksian demi kesaksian yang memberatkannya semakin membuat posisinya terpojok.
"Kelakuan Pak Sabdono memang mencurigakan," ungkap Pak Anwar dalam kesaksiannya. "Dia tidak pernah menjenguk Rindang di rumah sakit ketika dia melahirkan. Dia menghilang ketika mayat Rindang ditemukan. dan dia mendadak mengajukan permohonan mengundurkan diri."
"Ketika melihat foto gadis yang membunuh diri itu, saya sudah curiga," Halimah memberikan kesaksiannya dengan mantap. tanpa memandang sekilas pun kepada Pak Sabdono yang menatap
nya dengan nanar.
"Mengapa gadis itu mengirim an foto dirinya dan bayinya kepada suami saya? Foto itu dikirim hanya beberapa hari sebelum mayatnya ditemukan."
Pak Sabdono mendadak menggigil seperti diserang malaria. Foto yang sudah dibakar habis itu terbayang lagi di depan matanya. Rindang menggendong anaknya yang cacat. Matanya menatap getir. Wajahnya mendung disaput penderitaan.
"Suami saya mendadak mengajak pindah ke Surabaya. Di sana kami hidup tenang. Sampai suatu hari, dua bulan sesudah saya melahirkan anak bungsu saya, salah seorang muridnya datang ke rumah kami sambil menangis...."
Halimah menolak menyebutkan identitas murid itu. Karena pengadilan juga tidak mendesaknya untuk menyebutkan namanya. Yunisar boleh menarik napas lega.
"Saat itu saya tidak tahan lagi. Saya minta cerai. Karena saya punya perasaan, dia melakukan perbuatan cabul itu setiap kali saya sedang melahirkan."
Pak Sabdono teringat kembali kepada gadis itu. Kalau tidak salah, namanya Yunisar. Dia sangat cantik. Anggun. Dari keluarga berada
Dia mengancam Yunisar agar tidak membeberkan rahasia mereka... Dan tampaknya. Yunisar
sendiri tidak mau memberi aib pada keluarganya. Menjatuhkan martabat ayahnya.
Tetapi dua bulan kemudian dia datang ke rumahnva sambil menangis. Dia hamil. Dan saat itu Halimah ada di rumah....
Untung dia bisa mengusir anak itu sebelum Diinterogasi Halimah, Untung dia keburu membawa anak itu untuk menggugurkan kandungannya. Untung saat itu tidak ada yang tahu. Tidak ada yang mencurigainya. Kecuali istrinya. Dan untung. Halimah tetap menutup mulutnya. Menyimpan rahasianya. Mungkin demi anak-anak mereka. Sampai hari ini...
Hari ini keadilan telah datang menjenguknya meskipun telah menghilang selama tiga puluh tahun! Dan dia tidak punya tempat untuk bersembunyi lagi!
LEMBAR PENUTUP
"MEMERHATIKAN pasal-pasal dari undang-undang serta peraturan lain yang bersangkutan.
Mengadili: Menerima permohonan banding dari terdakwa Sabdono Lesmono tersebut.
"Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal sekian, nomor sekian, dalam perkara yang dibanding sedemikian rupa. sehingga berbunyi:
"Menyatakan terdakwa tersebut di atas terbukti dengan sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana,
"Perbuatau cabul berulang-ulang dengan anak didiknya yang belum dewasa,
"Menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama tiga tahun, menetapkan mencabut hak terdakwa sebagai guru dan pegawai negeri, serta menghukum terdakwa membayar biaya perkara sebesar..."
Dari kursinya Farida menatap ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Dia sedang menyeka keringatnya. Wajahnya memucat. Bibirnya bergetar.
Dan seperti merasakan tatapan Farida, dia menoleh. Matanva menatap Farida dengan dingin. Ada sebongkah kebencian bersorot di sana.
Seharusnya dulu aku membunuhmu. Kalau dapat bicara, barangkali mata itu berkata demikian. Kamu bayi laknat, anak haram jadah yang t idak punya hak hidup!
Tetapi... bukankah dia sudah berusaha mengenyahkannya ketika bayi itu masih berada dalam kandungan? Berapa banyak obat peluntur yang sudah diberikannya kepada ibunya? Tapi dia tidak mati juga! Dia hanya lahir cacat!
Di seberang sana, Farida sedang memandang ayah kandungnya dengan getir
itukah ayahku, pikir Farida sedih. hanya Ibu yang tahu.
Pengadilan memang tidak minta kesaksian medis untuk membuktikan hubungan darah mereka. kesaksian beberapa orang yang diajukan penuntut umum dianggap telah cukup. hakim menganggap dakwaan primer telah cukup untuk menjatuhkan putusan banding.
Jadi sampai saat ini pun Farida tetap tidak tahu orang itu ayahnya atau bukan. Tetapi kalau benar orang itu ayahnya, dari tempatnya yang jauh di akhirat sana, Ibu telah datang untuk menolongnya menggiring laki-laki itu ke penjara. Di sana dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Perasaan sedih dan lega berkecamuk di hati Farida. Sedih karena telah menjebloskan ayah kandungnya sendiri ke penjara. Membuat ayahnya tampak begitu benci padanya. lega karena dia telah berhasil menjalankan tugasnya. Tetapi perasaan apa pun yang mengharu biru hatinya, satu hal yang pasti, dia tidak pernah menyesali keputusannya.
Ayah angkatnya datang memeluknya ketika sidang telah selesai. Pak Iksan tidak berkata apa-apa. Tetapi Farida tahu semua yang ingin dikatakannya.
"Sudah puas?" Sambil menuntun motornya, Sultan menghampiri Farida. dia baru saja mengantarkan ayahnya ke seberang jalan. Pak Iksan dan
istrinya pulang bersama Faisal. "Mau minta kasasi? Supaya dia dihukum dua belas tahun penjara?"
Hukuman seumur hidup pun tidak dapat lagi mengembalikan Ibu dan tanganku, pikir Farida sedih. Tapi paling tidak, tak ada lagi sekolah yang mau menerima Pak Sabdono sebagai guru. Dia tidak mungkin lagi mengulangi perbuatan maksiatnya.
"Pulang? Atau ke kantor dulu? Ada sebuah kasus perkosaan lagi yang sedang menunggu uluran tangan emasmu."
"Sejak lahir saya tidak punya tangan. Apalagi yang terbuat dari emas."
"Tapi apa yang kamu lakukan lebih banyak daripada orang yang punya tangan."
"Saya berjanji akan melakukan lebih banyak lagi," bisik Farida sambil menengadah, menatap puncak atap pengadilan di seberang sana. Tidak ada patung malaikat keadilan di sana. Tetapi Farida tetap membayangkan, malaikat iru berada di hatinya.
"Naik ke motorku," Sultan menunjuk boncengan motornya dengan tegas. "Kuantarkan pulang."
Farida tertegun. tidak menyangka Sultan berani menyuruhnya, biasanya dia cuma berani mengajak.
"Terima kasih," katanya menggagap. "Ucapkan terima kasihmu nanti saja," balas Sultan mantap. "Sekarang naik ke boncengan motorku. Atau kuangkat kamu ke sana."
Selagi Farida melongo keheranan, Sultan mengulurkan tangannya untuk meraih pinggangnya. Tergesa-gesa Farida naik ke boncengan motornya tanpa membantah lagi.
Sambil tersenyum Sultan menghidupkan mesin motornya. Dan motor itu meluncur mulus ke jalan raya.
TAMAT
↧
Dakwaan Dari Alam Baka - 19
↧