Cerita Cinta | Anugerah Bidadari | by Astrella | Anugerah Bidadari | Cersil Sakti | Anugerah Bidadari pdf
Hex Hall - Rachel Hawkins Cinta Sepanjang Amazon - Mira W Topeng Hitam Kelam - Ambhita Dyaningrum Cinta Dalam Diam - ucu supriadi Fear Street : Ciuman Maut
siap roboh sewaktu-waktu, ataupun atap rumah yang selalu bocor
dalam hujan deras.
Keadaan Altamyra saat ini jauh lebih baik daripada dulu. Dulu ia tidak punya bantal yang empuk untuk
tidur mau pun kasur yang nyaman. Kini pun ia tidak punya tetapi baju tebalnya masih dapat digunakannya
sebagai alas tidur sekaligus bantal.
Duduk di atas lantai batu dengan gaun tebal ini, Altamyra merasa seperti duduk di kursi yang agak
empuk.
Altamyra menutup matanya dan tersenyum puas. Ia ingin tahu sampai sejauh mana mereka
menelantarkannya.
Mereka tahu perannya sangat penting untuk menekan kekuasaan Raja Wolve yang kejam. Tetapi
mereka tidak tahu ia bukan sang putri bangsawan yang mereka incar itu. Ia hanya berperan sebagai dia.
Saat ini sang putri sedang bersenang-senang di pelukan keluarganya. Putri yang dikabarkan menjadi
pengganti Raja Wolve itu sangat penting bagi para pemberontak ini untuk menekan Raja Wolve, tirani
yang kejam.
Selama mereka tidak tahu siapa dia, mereka pasti tidak berani menelantarkannya. Mereka pasti tahu
menelantarkannya sama saja dengan menggagalkan rencana mereka yang bagus.
Altamyra benar-benar puas menyadari semua kunci penting dalam rencana mereka ada padanya. Ia
puas dapat dengan leluasa menumpahkan semua kemurkaannya atas kekejian mereka yang telah
membunuh pengawal-pengawalnya.
Mereka boleh saja membenci Raja Wolve, tetapi mereka tidak berhak membunuh bawahan Raja
Wolve. Para prajurit itu belum tentu menyanjung Raja sepenuhnya. Kalau bukan demi nyawa dan
keluarga, mereka pasti telah melawan Raja.
Raja Wolve memang kejam tetapi belum tentu bawahannya juga kejam. Mereka bertindak menurut
perintah Raja yang jauh lebih kejam dari serigala itu. Raja yang tega membunuh putra kandungnya
sendiri.
Altamyra tidak dapat memaafkan Erland dan teman-temannya yang ternyata sama kejamnya dengan
Raja Wolve.
Kemarahannya akan mempersulit mereka mencapai tujuannya. Altamyra tidak akan membuat segalanya
menjadi mudah bagi mereka. Tidak peduli apa pun ancaman mereka.
Suara ramai di luar membangunkan Altamyra dari tidurnya.
Udara pagi yang sejuk membuat Altamyra merasa lebih segar. Tetapi udara dingin itu tidak dapat
menyurutkan api kemarahan di dada Altamyra.
Cahaya matahari pagi menerobos jendela kecil menembus kegelapan ruang kecil yang lembab itu.
Dengan susah payah, Altamyra berusaha berdiri dan mengintip suasana di luar melalui jendela kecil yang
hanya cukup bagi sepasang mata untuk mengintip ke luar itu.
Altamyra tersenyum sinis melihat terali jendela yang rapat dan kokoh itu. "Mereka benar-benar khawatir
aku kabur," katanya sinis.
Pemandangan di luar yang dilihatnya berbeda dengan bayangannya. Orang-orang tua muda, laki-laki
wanita berlalu lalang di luar.
Yang wanita sibuk membuat sarapan dengan tungku api unggun. Sementara itu para pria menyerahkan
hewan-hewan hasil buruan mereka untuk dimasak. Anak-anak berlari-lari dengan senang.
Tenda-tenda tempat mereka tidur tampak rapuh. Peralatan masak mereka yang sederhana menunjukkan
sulitnya hidup mereka. Baju mereka kusam, compang-camping bahkan kekecilan. Semua itu
menampakkan kemiskinan mereka.
Altamyra mendesah panjang.
"Kau puas melihat mereka?"
Altamyra memalingkan kepala mendengar kata-kata sinis itu tetapi ia segera membuang pandangannya
ketika mengetahui Erland yang mengajaknya bicara. Daripada berbicara dengannya, Altamyra lebih
senang mengawasi kehidupan mereka yang jauh lebih menderita dari dirinya sendiri.
"Engkau memang keras kepala. Tidak salah kalau Jemmy tidak memberimu makan malam," kata Erland
sinis, "Aku ingin tahu sekeras apa kepalamu."
Altamyra tidak takut menghadapi ancaman itu. Ia menghadap Erland dan tersenyum manis.
"Baik," geram Erland, "Kita lihat seberapa keras dirimu."
Altamyra tidak dapat menahan tawanya mendengar ancaman itu. Baginya yang saat ini sedang murka,
ancaman itu hanya angin sepoi-sepoi yang meniup wajahnya.
Ia yakin mereka juga tidak akan menelantarkannya. Mereka cukup pintar untuk mengetahui pentingnya
dirinya dalam rencana mereka. Ia adalah pion penting untuk menskak mat Raja Wolve.
Sayangnya, mereka tidak cukup pintar untuk menyadari mereka telah tertipu.
Erland menutup pintu dengan keras dan membuat Altamyra semakin senang.
Altamyra puas bisa membuat Erland marah besar. Ia puas dapat membalaskan dendamnya.
Samar-samar Altamyra mendengar suara ribut di luar. Ia tahu orang-orang itu mengira ada yang tidak
beres dengan dirinya tetapi ia tidak peduli.
Walau ia terikat, bukan berarti ia tidak bebas untuk mengatakan apa yang ada di hatinya.
Ia dibesarkan sebagai burung yang bebas terbang ke mana saja. Ia ditempa dalam suasana yang serba
sulit. Ia dibentuk menjadi gadis kuat yang tak kenal takut.
Tidak seorang pun yang dapat mengikatnya termasuk tali kasar yang terbuat dari sabut kelapa ini.
Simpul ikatan di kaki maupun tangannya sangat erat dan terlihat sukar dibuka. Tetapi, Altamyra tidak
mau putus asa sebelum mencoba.
Dengan gerak tangannya yang terbatas, Altamyra berusaha melepaskan ikatan kakinya yang menyiksa
kulit kakinya. Tangannya terasa perih tiap kali ia menggerakkannya tetapi Altamyra tidak mau berhenti
berusaha.
Pekerjaan yang mula-mula terasa membosankan lama kelamaan mejadi kesibukan yang menyenangkan
Altamyra. Ia merasa seperti bermain dengan teka-teki yang rumit.
Kekasaran mereka padanya membuat Altamyra semakin ingin mempersulit mereka.
Altamyra merasa kepanasan. Ia menyeka keringat di dahinya. Saat itulah jeritan kecil terlontar dari
mulutnya.
Altamyra terpana melihat darah di tangannya. Usahanya untuk membuka ikatan kakinya ternyata
membuat pergelangan tangannya terluka oleh tali kasar itu.
Dipandanginya darah yang masih mengalir itu. Dalam hati ia berkata, "Mereka terlalu khawatir hingga
bertindak sekejam ini."
Saat ini yang bisa dilakukannya adalah menanti matahari yang menyinari ruangan itu mengeringkan
darahnya.
Altamyra bersandar di dinding sambil mengawasi darahnya yang perlahan-lahan mengering dan
meninggalkan noda di gaun sutranya.
Noda darah kering di kain sutra sangat sulit dihilangkan. Mereka pasti marah karenanya. Gaun yang
indah ini telah ternoda oleh darahnya.
Altamyra mengejek dirinya sendiri yang mau melakukan semua ini. Pengorbanannya yang besar ini tidak
akan mendapat hadiah apa-apa tetapi ia mau dan telah melakukannya.
Dalam keheningan itu, Altamyra menyadari keadaan di luar lebih sepi dari tadi. Ia mengintip keluar.
Matahari telah tinggi. Api-api unggun telah dimatikan. Para wanita duduk bergerombol sambil
mengerjakan sesuatu. Anak-anak bermain tiada henti. Tetapi, para pria tidak nampak seorang pun. Ia
bertanya-tanya ke mana mereka pergi.
"Inikah wanita yang berani menghina Erland?"
Altamyra membalikkan badan.
Seorang wanita cantik melotot pada Altamyra dengan penuh keangkuhan. Mata hijau kelamnya
menyiratkan rasa jijiknya. Wanita itu tampak sangat cantik dengan rambut pirang tuanya yang nyaris
coklat.
"Engkau beruntung Erland tidak membunuhmu."
"Sebaliknya," kata Altamyra tenang, "Aku merasa lebih beruntung mati daripada harus bertemu pria
sepengecut dia."
"Kau!" geram wanita itu, "Baik, aku akan menuruti permintaanmu." Kemudian pada wanita di
belakangnya ia berkata, "Bawa kembali makanannya!"
"Tapi, Cirra, kita diperintahkan &"
"Untuk apa kita khawatir," potong wanita itu tajam, "Para pria saat ini sedang berburu. Mereka akan
kembali besok bahkan mungkin lusa."
"Kita &"
Lagi-lagi wanita itu berkata tajam, "Aku bilang tidak! Aku ingin dia tahu bagaimana rasanya mati karena
kelaparan itu."
Altamyra tertawa geli. Tawanya memenuhi ruang kecil itu dan membuat wanita yang dipanggil Cirra itu
melotot sedangkan wanita satunya terheran-heran.
"Engkau akan melihat dampaknya," kata Altamyra lembut. "Pasti!"
Cirra melotot lalu pergi meninggalkan Altamyra.
2
Sinar menyilaukan yang tiba-tiba memasuki ruangan itu membuat Altamyra terjaga.
"Dasar putri bangsawan!" kata pria itu, "Kerjanya hanya tidur saja!"
Altamyra tidak menghiraukannya.
Hari ini adalah hari ketiga ia disekap dalam ruangan lembab ini dan artinya sudah dua hari ia tidak makan
dan harus menahan rasa sakit di pergelangan tangannya.
Melihat pria itu, Altamyra dapat menduga ia dan kaum pria lainnya baru tiba dari perburuan. Pria itu
masih menyandang kapak berburunya. Wajahnya tampak kotor dan lelah.
Pria itu mendekati Altamyra. "Pangeran ingin bertemu denganmu."
Saat ini Altamyra mungkin saja kehabisan tenaga. Seluruh tenaganya digunakannya untuk menahan lapar
dan sakit. Tetapi, kemarahannya belum surut. Kemarahan itulah yang membuatnya mampu menempis
tangan pria itu kuat-kuat.
"Aku tidak sudi!" kata Altamyra tajam.
"Jangan memaksaku bertindak kasar padamu, Lady."
Altamyra menatap tajam pria itu sebagai balasan atas ancamannya.
Pria itu geram dibuatnya.
"Minggir!" perintah seseorang, "Biar kutangani sendiri dia."
Pria itu menepi. "Tidak perlu, Pangeran, saya dapat mengatasinya."
Altamyra melotot mendengar pria itu memanggil Pangeran pada Erland. Dan, ia tertawa geli.
Pria itu heran tetapi Erland tidak.
"Sudah kuduga untuk mengatasinya, aku harus turun tangan sendiri," kata Erland, "Tinggalkan kami
berdua."
"Baik, Pangeran."
Sepeninggal pria itu, Erland berkata, "Sudah cukup hinaanmu itu?"
Altamyra membuang muka.
"Aku ingin berbicara denganmu."
Altamyra tidak bergeming sedikitpun.
"Sebaiknya engkau menurutiku, engkau sudah merasakan bagaimana akibatnya."
Sayangnya, Altamyra adalah gadis yang tak kenal takut.
Erland mendekati Altamyra. Ia memalingkan wajah gadis itu menghadapnya, tapi Altamyra menepisnya
kuat-kuat.
"Engkau memang setan cilik," geram Erland. Lalu Erland mengangkat Altamyra.
"Turunkan aku!" protes Altamyra, "Turunkan! Aku tidak sudi kau sentuh!"
Erland tidak mempedulikan teriakan Altamyra. Ia terus membawa Altamyra ke ruangan pribadinya di
tingkat dua.
"Turunkan aku!" seru Altamyra tanpa henti. Tangannya yang terikat erat terus memukul dada Erland dan
membuat darah segar kembali mengalir. Tetapi, Altamyra tidak peduli lagi. Ia hanya ingin Erland
menurunkannya.
Akhirnya Erland menurunkan Altamyra. Ia mendudukkan Altamyra di tepi pembaringan.
"Sekarang kita sudah jauh dari orang-orang. Di sini tidak akan ada yang mendengar kita, engkau dapat
mengatakan apa yang membuatmu terus membangkang dan tidak mau bekerja sama."
Altamyra tidak mau berbicara apa pun. Ia membuang muka.
"Kau tahu aku ingin berbicara denganmu."
"Dan aku tidak sudi," akhirnya Altamyra menyahut.
"Engkau harus," kata Erland berbahaya, "Aku akan membuatmu mau bekerja sama denganku."
"Aku tidak sudi bekerja sama dengan pengecut sepertimu!" seru Altamyra, "Daripada berbicara
denganmu, lebih baik engkau tidak memberiku makan sama sekali! Dua hari lagi tidak makan, tidak
masalah bagiku. Sebaliknya, aku senang. Aku lebih cepat mati."
Erland tiba-tiba mencengkeram kedua lengan Altamyra.
Altamyra mendorong tubuh Erland kuat-kuat. "Daripada berbicara denganmu, lebih baik aku mati!"
Mata Erland menangkap noda darah di tangan Altamyra. Ia menangkap tangan gadis itu dan terkejut
melihat darah segar di pergelangannya.
"Terkejut?" ejek Altamyra, "Mengapa terkejut melihat hasil kekasaranmu?"
Erland diam saja. Ia mengeluarkan pisau kecil dari sakunya dan memotong simpul ikatan tangan
Altamyra. Sorot matanya terlihat penuh penyesalan melihat tangan Altamyra yang terluka.
"Puas?"
"Kalau ini dapat membuatmu jera, aku puas," jawab Erland, "Tapi kau, setan cilik, engkau tidak jera,
bukan?"
Altamyra menjawabnya dengan senyum nakal.
"Tunggu di sini," kata Erland, "Kuperingatkan engkau untuk tidak kabur."
Altamyra tersenyum sinis ketika Erland meninggalkan kamar.
Bisa dipastikan pria itu sama sekali tidak tahu Cirra telah melanggar perintahya. Ia tampak terkejut
ketika ia mengatakan dua hari lagi tidak diberi makan, ia tidak apa-apa.
Altamyra melihat jendela terbuka lebar dan di bawah sana yang tampak hanya beberapa anak kecil. Ia
yakin mereka tidak akan tahu kalau saat ini ia kabur, tetapi ia tidak mau melakukannya. Pembalasan
amarahnya belum selesai.
Tak lama kemudian Altamyra mendengar langkah-langkah kaki mendekat.
"Mengapa engkau mengikatnya erat-erat, Jemmy?" terdengar Erland bertanya.
"Kata Anda, wanita ini berbahaya dan harus dijaga ketat. Saya pikir dengan diikat erat, ia tidak akan
kabur."
"Ikatanmu membuat tangannya terluka," Erland memberi tahu dengan sabar.
"Biar saja!" sahut seorang wanita.
Dari nadanya,
↧
Anugerah Bidadari - 2
↧