Cerita One Evil Summer | Musim Panas Berdarah | Serial fear street | Musim Panas Berdarah | Cersil Sakti | Musim Panas Berdarah pdf
Vampire Academy 2 : Frostbite - Richelle Mead Lupus Kecil - Hilman Hariwijaya Anak Kos Dodol - Dewi Rieka Aku Sudah Dewasa! - And Baby Makes Two - Dyan Sheldon Anugerah Bidadari - Astrella
One evil summer
musim panas berdarah
serial fear street
Chapter 1
Satu Kata Jahanam
Amanda conklin menggulingkan badannya di atas tempat tidur. Dibukanya matanya dan pelan-pelan diregangkannya otot-ototnya.
Apakah aku lupa mengangkat baju renangku dari jemuran semalam? tanya Amanda dalam hati. Ternyata ya. Terpaksa deh, pakai bikini saja. Kuharap masih ada waktu untuk berenang sebelum berangkat sekolah.
Amanda menoleh untuk melihat jam yang ada di atas meja di samping tempat tidur. Kalau aku bangun sekarang, mungkin aku masih sempat berenang dulu, pikirnya dengan pikiran yang belum sepenuhnya jernih.
"Ha?" Amanda mengerjap-ngerjapkan mata. Tidak ada meja. Tidak ada kamar tidur.
Matanya memandang ke sana kemari dengan liar. Begitu pandangannya tertumbuk pada langit-langit dari semen berwarna abu-abu itu, baru ia ingat di mana ia berada.
Dan pada semua yang telah terjadi.
Tangannya mencengkeram selimut kasar yang menutupi badannya dan menyentakkannya ke atas hingga menutupi kepala, lalu meringkuk seperti bola. Aku tidak mau mengingat-ingatnya. Pokoknya tidak mau! pikirnya.
Samar-samar tercium bau segar cairan antiseptik di bawah selimut. Amanda merasa bau itu seolah sudah sejak dulu bercokol di dalam rongga hidungnya.
Terdengar bunyi pegas-pegas besi tempat tidur berderit. Para gadis lain di ruangan itu mulai terbangun.
Selamat pagi, teman-temanku sesama psikopat, tawa Amanda dalam hati, pahit.
Tak-tok, tak-tok, tak-tok.
Amanda mengenali suara langkah-langkah kaki di atas lantai yang keras itu. Ia tidak membutuhkan waktu lama untuk tahu bahwa hanya penjaga yang langkah kakinya kedengaran. Orang lain memakai sepatu kain warna hijau yang lunak dan tidak menimbulkan bunyi. Mereka yang ditempatkan di bagian khusus untuk "para pelanggar hukum yang memiliki masalah kejiwaan" ini tidak diperbolehkan memiliki benda-benda yang keras atau tajam. Bahkan sepatu pun tidak boleh.
Tentu saja, Amanda tahu ia tidak boleh menyebut para wanita yang kasar dan berisik itu "penjaga".
Seharusnya ia memanggil mereka dengan menyebut nama. Ms. Macbain. Mrs. Garcia.
Amanda nekat memanggil mereka "penjaga".
"Bangun, Conklin! Cepat!" bentak Mrs. Garcia, seorang wanita gembrot berambut cokelat pendek dan bermata hitam bulat.
Amanda tahu, ia harus bangun. Peraturan di Rumah Tahanan Anak-anak Maplewood ini sangat ketat.
Sehelai handuk abu-abu usang tersampir di ranjang besi Amanda. Disambarnya handuk itu, sementara kedua kakinya dijejalkan ke dalam sepatu kain hijau yang merupakan seragam resmi di Rumah Tahanan Anak-anak Maplewood. Termasuk juga gaun tidurnya, hijau dan tanpa saku. Amanda mengucek-ucek mata dan melipat kedua tangannya di dada.
"Ayo baris," perintah Mrs. Garcia. Cewek-cewek berdiri membentuk barisan di depan pintu. Amanda berjalan mengikuti mereka menyusuri lorong berwarna kuning mustard dingin, menuju kamar mandi.
Sambil berjalan, mata Amanda menerawang ke luar melalui jendela-jendela yang berteralis besi. Ternyata di luar hujan lebat! Jendela- jendela itu tampak bagai disiram berember-ember air. Mendadak terdengar suara geledek menggelegar, membuat Amanda terlonjak.
Aku rela melakukan apa saja asal bisa berhujan-hujan di luar sana, pikir Amanda dengan perasaan merana. Kebebasan---bahkan kebebasan untuk main hujan dan menggigil kedinginan---masih lebih menyenangkan daripada dikurung di tempat ini.
Apa saja masih lebih mendingan daripada terkungkung di sini.
Mereka sampai di depan kamar mandi. Empat orang sekaligus masuk untuk mandi. Ketika tiba giliran Amanda, ia masuk bersama tiga cewek lain yang berwajah masam. Sesama "pelanggar hukum yang memiliki masalah kejiwaan" seperti dirinya.
Tampangku mungkin juga sama jeleknya dengan mereka, pikir Amanda. Diliriknya cewek-cewek itu dari sudut matanya. Semua cewek psikopat bertampang sama.
Di dalam kamar mandi yang lampunya terang menyilaukan, Amanda mencipratkan air ke wajahnya. Diamatinya bayangannya di dalam cermin.
Jelek, Amanda, katanya dalam hati pada bayangannya. Tampangmu mengerikan! Matanya yang cokelat besar itu dihiasi lingkaran hitam di bagian bawahnya. Kulitnya yang semula cokelat karena terbakar matahari sekarang mulai menguning---kelihatan tidak sehat, seperti warna dinding-dinding itu.
Dan rambutku kenapa? tanyanya dalam hati sambil menarik-narik rambut ikalnya yang sekarang kuyu dan lemas. Dalam waktu tiga hari rambutnya telah mati.
Selama itulah aku berada di neraka ini, pikir Amanda. Baru tiga hari. Tapi rasanya sudah seperti tiga tahun.
Amanda mengeluh. Lebih baik aku berusaha membetah-betahkan diri, soalnya aku bakal lama mendekam di tempat ini.
Ia ingat waktu kebetulan mendengar pengacaranya memberitahu kedua orangtuanya bahwa ia tidak diizinkan pulang bersama mereka. "Pembunuhan merupakan pelanggaran hukum yang sangat berat," kata pengacaranya itu.
"Tentu saja!" Amanda tertawa sendiri sambil menyikat rambut cokelatnya.
Cewek di wastafel sebelah mengangkat kepala dan meliriknya dengan tajam.
Amanda membuang muka. Hebat, jadi aku sekarang mulai mengoceh sendirian. Benar-benar sinting. Mungkin aku memang cocok berada di sini, tambahnya dalam hati.
"Yang di dalam sana cepat," teriak Ms. Macbain dari ambang pintu. Penjaga itu bertubuh besar dan wajahnya berbedak tebal. "Conklin, setelah sarapan, kau harus langsung menemui Dr. Miller. Jadi cepatlah."
Amanda merasa ngeri. Aku ogah menemui Dr. Miller lagi! Kemarin dokter itu menanyainya macam-macam, sampai kepalanya berdenyut-denyut. Bagaimana kejadiannya? Apa yang ia pikirkan saat itu? Bagaimana perasaannya waktu itu?
Amanda tidak mau bicara lagi dengan dokter itu. Untuk apa berpanjang-panjang kalau semuanya bisa disimpulkan hanya dalam satu kata? Satu kata jahanam...
Chrissy!
Chapter 2
Chrissy
"SELAMAT tinggal, Fear Street. Seahaven, kami datang!" sorak Amanda sewaktu ayahnya memundurkan mobil keluar halaman. Dari dalam mobil keluarganya yang menderu pergi, dilihatnya rumahnya semakin lama semakin mengecil.
Amanda mengeluarkan ikat rambut kuning dari saku celana pendek warna khaki yang dipakainya, lalu mengikat rambut cokelatnya yang panjang. Ditendangnya sandal kulit warna cokelat dari kakinya, lalu digulungnya lengan kaus oblongnya yang tipis dan berwarna kuning. Ia menyandarkan punggungnya di kursi mobil dan tersenyum pada dua bocah yang duduk di sebelah kanannya. Adik lelakinya, Kyle, berumur delapan tahun, dan adik perempuannya, Merry, tiga tahun.
Sebentar saja kursi mobil itu sudah terasa panas dan basah oleh keringat. "Bisakah AC mobilnya dinyalakan?" pinta Amanda pada kedua orangtuanya.
"Sudah dinyalakan, kok," seru Mr. Conklin.
"Tapi tidak terasa!" erang Kyle.
"Aku kedinginan!" keluh Merry yang suka tampil beda.
Amanda melayangkan pandangannya ke rumah-rumah tua yang diteduhi bayang-bayang pepohonan. Pada siang hari, Fear Street tampak biasa-biasa saja, pikirnya. Tapi kalau malam...
Ia bergidik. Mengapa aku justru memikirkan hal itu sekarang? Kami toh akan pergi meninggalkan tempat ini!
Amanda lega karena tidak harus terkungkung di Shadyside selama musim panas. Ia akan berlibur bersama keluarganya di Seahaven, sebuah kota yang terletak di tepi pantai. Di sana orangtuanya menyewa sebuah rumah, tidak jauh dari laut. Mereka akan bekerja sekaligus berlibur.
Ayahnya berprofesi sebagai pengacara di sebuah lembaga bantuan hukum. Tugasnya membela orang-orang yang tidak mampu menyewa pengacara sendiri. Beliau telah mengajukan permohonan untuk tidak menangani sidang pada musim panas ini supaya bisa menyelesaikan tugas-tugas administrasinya yang selama ini terbengkalai.
Mrs. Conklin bekerja sebagai wartawati. Sekarang ia sedang ditugaskan menulis artikel mengenai "Tekanan yang Dialami oleh Generasi Muda Masa Kini". Isinya berupa laporan mengenai tekanan-tekanan hidup yang dialami oleh generasi muda dalam kehidupan yang serbamodern seperti sekarang. Beliau bermaksud menyelesaikan artikelnya itu di Seahaven.
Sewaktu mobil mereka mulai meluncur di jalan tol, Mrs. Conklin menoleh ke belakang. "Amanda?" panggilnya dengan nada serius. "Menurutmu apa yang merupakan sumber stres terbesar bagimu?"
Oh, tidak! erang Amanda dalam hati. Masa sudah mulai tanya-tanya, sih! Ogah, ah! Tolonglah kasihani aku!
"Bagaimana?" desak Mrs. Conklin sambil memakai sebuah bando kulit di rambut cokelat gelapnya yang dipotong pendek model bob. "Aku tahu kau banyak mengalami stres dalam hidupmu. Tapi manakah yang menurutmu merupakan tekanan paling besar?" Kadang-kadang Amanda merasa seakan menjadi kelinci percobaan untuk artikel-artikel ibunya.
"Duduk di samping dua anak bandel ini!" jawab Amanda sebal sambil mengangguk ke arah Kyle dan Merry. Saat itu Merry sedang iseng mengoleskan selai anggur rotinya ke kaus Kyle.
"Hei---jangan!" teriak Kyle.
Merry hanya cekikikan, rambut keriting cokelatnya bergerak-gerak riang saat ia menyapukan rotinya ke rambut Kyle yang lurus dan pirang. "Aku menyicir rambutmu!" pekiknya kegirangan.
"Kubilang jangan!" teriak Kyle.
"Mom lihat sendiri, kan?" jerit Amanda.
"Kok kau yang mengeluh, padahal aku yang terjepit di tengah-tengah, dan badanku kotor semua," gerutu Kyle.
Mrs. Conklin mengulurkan tangan dan dengan lembut menepiskan tangan Merry. Lalu ia berusaha membersihkan kaus Kyle dari selai.
Merry mengulurkan tangan ke bagian belakang mobil station wagon mereka dan menyentakkan kain penutup sangkar burung-burung kenari. Amanda memberi nama kedua burung itu Garam dan Merica. Yang seekor memiliki bercak putih di ekornya yang kuning, sementara ujung sayap burung yang satunya berwarna hitam.
Karena kain penutupnya dibuka, burung-burung itu kontan mulai berkicau. Kucing Amanda yang gendut dan berwarna oranye, Mr. Jinx, serta-merta langsung mengeong dari kandangnya yang dijejalkan di lantai mobil, di antara Amanda dan Kyle.
"Tenanglah, Jinxie," kata Amanda. Dengan lembut diangkatnya kucing gendut itu dari kandangnya dan didudukkannya di pangkuan. Mr. Jinx menjilat tangannnya, lalu dengan nyaman bergelung di pangkuannya.
"Ini serius, Amanda. Apa yang membuatmu paling stres?" tanya Mrs. Conklin lagi.
Aku nggak suka ditanya-tanya seperti ini! jawab Amanda dalam hati. Tapi ia tahu, ibunya tidak bakal menyerah sebelum mendengar jawabannya.
"Aljabar," jawab Amanda.
Senyum Mrs. Conklin langsung lenyap. Tak tampak lagi kilatan gembira di matanya yang hitam besar.
Kenapa aku menjawab begitu? tanya Amanda dalam hati. Pintar benar! Gara-gara jawabanku itu, kedua orangtuaku jadi ingat kalau aku tidak lulus Aljabar II.
Padahal sepanjang pagi ini mereka sama sekali belum mengungkit-ungkit masalah itu!
Oh, dasar goblok, keluh Amanda sambil menggaruk-garuk belakang telinga Mr. Jinx. Sekarang aku tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengubahnya. Walaupun begitu, aku tetap merasa tidak enak, karena Mom dan Dad terpaksa menyewa penjaga anak untuk mengawasi Kyle dan Merry selagi mereka bekerja. Padahal aku sudah telanjur berjanji akan menjaga mereka. Sekarang tidak bisa, karena aku harus mengikuti summer school (Di Amerika, bila seorang murid mendapat nilai jelek dalam suatu mata pelajaran sehingga tidak lulus dalam mata pelajaran itu, maka agar tetap bisa setingkat dengan teman-temannya yang lain, murid yang bersangkutan bisa mengulang pelajaran tersebut selama libur musim panas untuk memperbaiki nilainya.) di Seahaven High selama setengah hari.
"Semoga ada orang bisa diandalkan yang menanggapi iklanku di Seahaven Daily dan melamar menjadi penjaga anak," keluh Mrs. Conklin sambil membalikkan badannya, menghadap ke depan. "Artikelku harus selesai pada akhir bulan Juli. Sekarang saja banyak yang belum kukerjakan."
Amanda mengeluh dan duduk merosot di kursinya. Dasar tolol, kenapa harus ngomong begitu tadi?
"Pasti ada," hibur Mr. Conklin. Embusan angin dingin dari AC mengacak-acak rambut ayahnya yang pirang. "Jangan khawatir."
Dua jam kemudian, Amanda melihat papan penunjuk jalan bertuliskan Seahaven di gerbang keluar tol. Mereka keluar dari jalan tol dan selama setengah jam, mobil meluncur menyusuri jalan Old Sea Road yang sempit dan berkelok-kelok.
Amanda menempelkan wajahnya di kaca mobil sewaktu kota pantai Seahaven muncul di depan mata. "Indah sekali kotanya," komentar Amanda saat mobil melaju melewati deretan galeri seni, restoran dengan atap pelindung, toko olahraga, dan sebuah toko serba ada yang sudah kuno.
"Lihat itu!" pekik Ky
↧
Musim Panas Berdarah - 1
↧