Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Badai-Badai Puber - 1

$
0
0

Cerita Remaja | Badai-Badai Puber | by Motinggo Busye | Badai-Badai Puber | Cersil Sakti | Badai-Badai Puber pdf

Fear Street - One Evil Summer - Musim Panas Berdarah Bintang Dini Hari - Maria A Sardjono Cinta di Dalam Gelas - Andrea Hirata Fear Street - Switched - Tukar Tubuh Burung Kertas - Billy Koesoemadinata

Badai-Badai Puber
  Motinggo Busye
  Sumber Ebook
  http://mobiku.tk
  http://inzomnia.wapka.mobi
  Ada suatu yang berat yang memusingkan kepalaku sejak bulan Januari. Tetap tidak bisa kukatakan pada seseorang pun. Bahkan tidak bisa kukatakan kepada sahabat-sahabatku yang terdekat. Apalagi kepada kedua orang tuaku. Namun karena soal ini kupendam terus, aku serasa terkurung dalam suatu kebencian dengan rahasia. Tetapi bagaimana! Aku pun harus merahasiakannya. Dan sebagai akibat merahasiakan soal inilah makanya tidak mengherankan banyak teman-temanku mengatakan aku semakin kurus. Ini memang benar.
  Aku memang semakin kurus dan itu tampak jika orang memandangku dan samping. Dan alangkah mengerikan lagi, jika dihari-hari yang akan datang ini aku menjadi semakin kurus lagi.. Memang, hampir saja aku membuka rahasia ini kepada Reni. Tetapi, ketika kusebut nama Toni dan Reni tidak melakukan reaksi apa-apa aku beranggapan Reni tidak mengetahui persoalannya.
  Hari Sabtu siang itu, pada jam istirahat, kulihat mereka berdua berdiri berhadapan dengan sikap yang menjengkelkan sekali: Toni bertopang pada tiang sekolah kami di depan aula olahraga, dan Emmy bertolak pinggang menghadap pada Toni dengan sombong. Emmy makan kacang sambil sekali-kali tertawa menyeringai, ketawa yang sangat kubenci akhir-akhir ini, dan ingin saja aku meludahi mukanya itu.
  Emmy kuakui gadis yang cantik. Kalung mutiara imitasinya yang menggantung di lehernya, rantai emas pada pergelangannya dan rambutnya yang disasak berlebih-lebihan itu, membuat aku semakin benci kepadanya.
  "Emmy seorang cross-girl", kataku kepada Imah siang itu. Imah menoleh, mengarahkan pandang kepada mereka yang Iagi asyik itu.
  "Biarin aja. Apa pusing sama mereka", kata Imah.
  "Aku sih nggak pusing. Cuma di sekolah begituan, 'kan nyolok?" kataku pada
  Imah.
  1
  "Ah, biarin aja. Lagi muslim kedongdong barangkali' kata Imah. Aku tak mengerti maksud ucapan Imah ini.
  "Musim kedongdong bagaimana?", tanyaku.
  "Ya musimnya Emmy lagi kepingin digendong" kata Imah.
  "Digendong?" tanyaku kaget.
  "Ya. Digendong", kata Imah.
  "Siapa yang digendong?" tanyaku gelisah.
  "Emmy" kata Imah tenang-tenang. "Apa kau belum dengar ceritanya, Fonnie?"
  Darahku berdesir, terasa urat-urat mukaku tegang mendengarnya.
  "Aku belum mendengarnya" kataku. "Rugi, Fonnie. Rugi", kata Imah. Aku menjadi semakin ingin mengetahui. "Imah! Ceritakan!" kataku berlagak lincah, sekalipun darahku berdebar sekali.
  "Ah, jangan berlagak pilon, dong" katanya.
  "Pilon gimana? Ceritakan siapa yang menggendong Emmy, dan dimana dia digendong" kataku mendesak.
  ATAS DESAKANKU Imah bercerita. Sudah sebulan yang lalu cerita itu. Dan terjadinya di Cibodas. Dan begitu mendengar Cibodas, aku membayangkan tempat itu, karena aku pernah ke sana. Letaknya dibagian Puncak, sebuah taman penuh kebun-kebun dan pohon-pohon lama, bahkan pohon-pohon dan abad yang silam juga ada di situ.
  Club "Tarantella" dimana Imah tergabung sebagai anggota, ketika itu sedang mengadakan piknik ke daerah yang dingin lagi sepi itu.
  2
  "Kau 'kan sudah pernah ke sana, Fonnie. Begini ceritanya. Sewaktu dan jalan raya Puncak, membelok ke kanan mau ke Cibodas, motor BMW-nya si Toni terbanting kedalam parit. Untunglah Toni dan Emmy tidak luka-luka. Cuma sedikit lecet, pada siku Emmy, dan si Toni pada dengkulnya, sehingga blue jeans nya robek.
  "Karena itu Emmy digendong", kataku cepat-cepat sebab terlalu lama menunggu.
  "Nanti dulu, dong. Ceritanya aja belon dimulai. Nah, dengar ya. Lalu, BMW punya Toni itu nggak bisa jalan. Untung ada Johan, dan Johanlah yang membetulkannya. Kata Johan: 'Udah, dah. Jalan duluan! Biar gue yang ngebetulin. Dan atas desakan teman-teman, maka Toni disuruh menggendong Emmy. Mulanya Emmy biasa malu-malu kucing. Tau-tau bukan kucing biasa, emangnya Emmy kucing bener-beneran. Coba bayangin", kata Imah pelan-pelan dengan berbisik , sehingga aku mendekat.
  "Bayangin gimana", tanyaku.
  "Coba bayangin. Maunya lagi si Toni dibudakin oleh Emmy. 'Kan dan mulai masuk kearah Cibodas sampai di kebonnya 'kan jauhnya setengah mati? Eh. Toni begitu kuatnya. Mulai saat itulah kau ingat si Toni dikasih julukan Hercules oleh teman-teman. Eh, bukan Hercules. Siapa itu, nama bintang film yang jadi Hercules?", tanya Imah padaku.
  "Steve Reeves", kataku cepat-cepat, karena buatku tidak penting julukan Hercules maupun Steve Reeves.
  "Kalau cuma digendong, nggak apa. Ini pakai ketawa dan merengek aleman, kayak udah resmi aja" Imah kemudian mengutuk.
  "Memangnya dia cross-girl" kataku menambahi.
  "Mata duitan lagi", sambut Imah.
  "Itu. Liat tuh. Pita yang dipakainya. 'kan diminta terang-terangan pada si Jim, Sebelum dia pacaran-pacaran sama si Toni. Nggak tau malu, sudah genit, bangor lagi
  3
  berani minta-minta sama lelaki. Gimana, kau lmah, apa nggak malu minta dibeliin apa-apa sama Ielaki?",tanyaku.
  "Guesih nggak doyan begituan, Fonnie", sahut Imah.
  "Bajunya yang dipakainya itu, paling-paling juga dibeliin orang. Tiap orang yang rada kaya dikit aja, diaku sebagai Oom. Tamu baru kenal satu jam datang di rumahnya, diaku Oom. Pendeknya, payah dah ngatur orang macam si Emmy itu", kataku jengkel sangat.
  "Lalu masa' cuman digendong saja?" tanyaku mendesak.
  "Ah jangan belagak goblok ya?", kata Imah menunjuk hidungku.
  "Habis, apa kau kira hidungku ini udah pinter?", tanyaku marah.
  "Bukan gitu. Soal si Emmy tadi maksudku. Kok darah tinggi? Begini, kata teman-teman orang dua itu egois. Nggak tau tata tertib organisasi Tarantella. Memang betul. Organisasi kita bukan organisasi brengsekan begitu. Musti tau aturan, musti sopan di depan orang banyak. 'Kan di Cibodas itu bukan kita anak muda melulu. Kakek-kakek juga ada." kata Imah.
  Aku terdiam. Terbayang olehku tempat yang sepi itu, pohon-pohon yang tinggi rimbun, jalan-jalan yang berputar-putar serta matahari yang tak pernah menyorot terlebih jika musim gerimis.
  "Lalu apa acara dua orang itu lagi?" tanyaku penasaran. Aku jadi benci kepada Emmy, benci betul, betul-betul benci dan betul benci sebenci-bencinya!
  "Tanya sih boleh", kata Imah melucu, "tapi jangan pake melotot mata, dong manis?"
  "Ahh, aku jelek. Bukan manis", kataku.
  "Kalau kau jelek, Fonnie, mana mungkin sampai tiga orang jatuh cinta sama
  kau!"
  4
  "Biar saja tiga orang brengsek itu jatuh cmta sama aku. Aku tokh biasa saja. Aku tokh bukan cross-girl", kataku merengut.
  Imah tertawa agak keras, sehingga kawankawan yang didalam kelas pada keluar semuanya. Tetapi, tanpa kuketahui lebih dahulu diantara yang mengerumuni kami muncul saja Emmy. Aku melirik kepada Emmy dengan sudut mataku yang penuh penasaran. Dan Emmy ketawa kepadaku. Lu jangan ngejek ya? Kataku mengutuk dalam hati.
  Lonceng berbunyi dua kali, tanda kami harus masuk kedalam kelas untuk dua mata pelajaran terakhir. Tetapi setelah ditunggutunggu selama sepuluh menit, baru kami ketahui, guru Tatabuku kami, Pak Amir, tidak masuk. Kawan-kawan yang rajin pada menggerutu mendengar berita tidak masuknya pak Amir, tetapi mereka yang pemalas membuat pekerjaan di rumah, pada berkumpul semuanya. Aku mencoba ingin mengetahui, siapa yang mempelopori berkumpulnya teman-teman itu. Aku mendekat dan mendengarkan apa yang dikatakan oleh Toni.
  "Siapa yang mau ikut, nunjuk", kata Toni.
  Semuanya menunjuk. Aku tidak. Kulihat dengan gemas, Toni menghitung-
  hitung:
  "Satu, dua, tiga, empat lu ikut juga monyong? lima, enam tujuh, delapan sembilan, wah berabe nih, kantong gua bisa bolong. Semuanya sebelas dan Fonnie? Fonnie nggak ikut dengan kita?"
  "Ikut apa?" tanyaku.
  "Ikut nonton di Menteng" kata Toni.
  "Nggak!" kataku pendek dan mantep.
  "Nggak!", terdengar olehku ada yang menyahuti dengan nada yang mengejek.
  Duabelas orang itu, termasuk Imah, pergi menonton ke Menteng untuk melihat film siang dihari Sabtu itu. Aku hanya duduk-duduk di didalam klas karena
  5
  Kemungkinan pak Amir datang. Dan memang betul, pak Amir tahu-tahu muncul tidak lama seteIah dua belas orang itu pergi. Dan pak Amir tampaknya tidak perduli kelas telah berkurang dua belas manusia. Ia Iangsung menyuruh Somad ke papan tulis untuk membuat pekerjaan di rumah.
  Sambil cukil gigi, pak Amir melihat-lihat kepada bangku-bangku yang kosong.
  "Semua pada pergi, pak", kataku tiba-tiba.
  "Kemana? Nonton?", tanya pak Amir.
  "Betul", sahut Nafsiah.
  Aku menoleh ke belakang, karena Nafsiah memang duduk di belakang. Nafsiah mengerdip kepadaku dan aku membalas kerdipannya.
  "Fonnie nggak ikut menonton?" tanya pak Amir tiba-tiba, mengejutkanku.
  "Saya pak?" tanyaku.
  "Iya, kamu!", kata pak Amir.
  Aku hanya tertawa saja kepada guruku. Dalam hati aku membayangkan, bahwa hari Senin mereka semua pasti dijemur di panas siang han oleh Pak Amir.
  Dan memang betul, keduabelas orang yang membolos hari Sabtu itu, pada hari Senin telah distrap oleh Pak Amir di lapangan volley sekolah kami. Dalam hati aku bersorak: Rasainlu Emmy, rasain lu Toni, nggak ada ampun dari pak Amir. Tetapi ada suatu hal yang membikin aku terkejut sepulang dan sekolah. Seperti biasanya, aku selalu menaiki sepedaku agak kepinggir trotoir, tetapi han Senin itu aku merasa ada sepeda Yankee yang mendesakku lebih ke pinggir. Aku pelajari penuh tulisan pada spatboardnya, tentu ini sepeda si Emmy.
  Dugaanku tidak salah.
  "Jangan mendesak gituan, Emmy.., kataku.
  6
  "Rupanya ada rasa juga kamu ya?" kata Emmy.
  Sepeda kami jadi seiring dan Emmy tidak mendesak lagi tapi hatiku tiba-tiba merasa was-was juga.
  "Jadi orang, kok suka mengadu?" terdengar olehku suara Emmy, karena aku tak berani memandangnya.
  "Betul 'kan, kamu yang bilang sama pak Amir kami yang selosin itu membolos?", terdengar suara Emmy.
  "Betul", jawabku.
  "Mau ambil muka ya?", terdengar suara Emmy. "Bukan", kataku pelan.
  "Habis? Kalau bukan ambil muka? Ambil hati pak Amir", kata Emmy, menyebabkan aku memberanikan diri menoleh ke kanan menentang pandangannya.
  "Jangan galak dong, bing, "kan pak Amir cakep wajahnya. Mirip Rock Hudson, mayan 'kan?".
  "Adalah gila jika murid mencintai guru". kataku menjawab. "Habis, tujuannya apa ngambil muka?" tanya Emmy. "Tujuanku baik", kataku.
  "Orang kepanasan, ubun-ubun hampir ngelotok, apa itu baik?", tanyanya. "Terserah", kataku.
  'Terimakasih", katanya lalu mengayuh pedal sepedanya kencang-kencang memotong jalan, dan hampir saja Emmy disikat oleh mobil jeep yang cepat melintas.
  Aku bersyukur seketika, sebab aku selamat dan bahaya perkelahian di tengah
  jalan.
  7
  Ia, aku ingat cerita Nafsiah dulu, bahwa tangannya pernah dipelintir oleh Emmy sewaktu kedua mereka bertengkar di tengah jalan. Biarpun tidak ada orang yang melihat tetapi Emmy dengan galaknya telah membikin Nafsiah terjatuh karena dipelintir itu.
  Dari Nafsiah aku tahu bahwa Emmy pandai main yudo.
  Aku tidak gembira sebenarnya karena keduabelas temanku dijemur di lapangan volley sekolah kami disiang bolong tadi itu. Aku malah menyesal, bahwa aku telah dicap oleh Emmy sebagai gadis yang busuk hati, tukang adu, dan pengambil muka. Namun kebencianku terhadap Emmy dan Toni tidak berkurang. Maka karena itu, ketika malam itu aku menghafal pelajaran sejarah, pelajaran itu tidak masuk sedikitpun dalam kepalaku.
  Rupa-rupanya, keadaanku diketahui oleh Fizzy, kakak perempuanku yang duduk di bangku universitas.
  'Kau ini kerjanya ngelamun saja!" sentak kakakku, menyebabkan aku menjadi malu dan wajahku merah padam.
  "Mikiri pacar?" tanyanya lagi, mendekat kepadaku. Dan aku lebih malu lagi, sebab di ruang tengah itu ada pula ayah dan ibu.
  Aku hanya diam saja.
  Tapi hatiku sedikit dongkol dan memaki-makinya dalam hati.
  Dalam makian di hati itu kukatakan. "Kau perawan tua, nggak pernah pacar-pacaran, jadi benci kalau melihat orang sedang ngelamun!"
  Sebenarnya Fizzy bukan perawan tua. Usianya baru saja 24 tahun pada tanggal 21 Agustus tahun lalu. Tetapi kalau aku benar-benar jengkel dan berkelahi dengan dia, selalu kuejek dia dengan sebutan perawan tua.
  Dan malam ini aku kembali berkelahi dengan Fizzy, sebab ketika aku menyalin sebuah sajak Chairil Anwar yang berjudul Cintaku Jauh di pulau, dikatakannya akan kukirimkan pada teman lelaki di sekolahku.
  8
  Kugulung kertas dan kulempar ke kepalanya. Dia juga membalas. Aku juga membalas
  Dia menggetok kepalaku. Aku juga membalas mengetok kepalanya dengan rol 30 centimeter. Direbutnya rol itu, lalu digetoknya kepalaku lagi. Aku tidak mau kalah. Kukejar ia, dan sambil menjerit aku berteriak: "Perawan tua", kugigit tangannya,
  Dia jug


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423