Cerita Remaja | Badai-Badai Puber | by Motinggo Busye | Badai-Badai Puber | Cersil Sakti | Badai-Badai Puber pdf
Vampire Academy 2 : Frostbite - Richelle Mead Lupus Kecil - Hilman Hariwijaya Anak Kos Dodol - Dewi Rieka Aku Sudah Dewasa! - And Baby Makes Two - Dyan Sheldon Anugerah Bidadari - Astrella
", tanyaku lembut.
Tigor memandangku dengan pandangan yang menggetarkanku. Lalu ia berkata: "Fonnie. Aku kadang-kadang membuat perbandingan yang aneh. Aku membayangkan diriku seperti anak semut dalam sebuah lubang yang gelap. Semut kecil itu mencari ibu bapaknya yang tewas. Dan ia melihat sekeliling, menyeru kepada Tuhan: Berilah kepadaku kegembiraan, aku masih muda!"
Aku tak mengerti arah kata-katanya itu. Tetapi aku merasakan, kira-kira apa maksudnya. Tiba-tiba berkata Tigor: "Tapi dengan kau, Fonnie, hatiku yang membeku dalam sajak, cair kembali".
Dipegangnya lenganku dengan lembut, tanpa paksa, sehingga, ketika ada orang berpasangpasangan berlalu di depan kami, kami pun tertunduk malu.
"Apa yang kau maksudkan, bersama denganku engkau yang berhati membeku lantas cair kembali?" tanyaku sembari menghindarkan elusan-elusan tangannya yang menegakkan bulu romaku.
"Maksudku, kau telah mendorong semangatku hari-hari ini. Aku merasa hidup kembali hari ini, Fonnie", katanya.
Dielusnya kembali jari-jariku dengan jari-jari tangannya. Terkadang aku merasa geli-gelian, bila bulu-bulu tangannya yang menebal itu menyentuh-nyentuh kulitku sehingga bangunlah seluruh bulu di permukaan kulitku karenanya. Ingin rasanya aku disentuh-sentuh demikian itu perlahan-lahan dan berkali-kali, karena aku bisa menerima kelembutan dan seseorang yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Suasana rimbunnya pohon-pohon yang merlap sekitar taman Istiqlal, redupnya cahaya, sejuknya perasaan ketika itu, menyebabkan aku menunggu Tigor akan mendekapku.
Di rumah, digarage mobil rumahku, sewaktu kami berdua saja di garage dadaku terasa penuh sesak. Serasa ada alunan gelombang yang menerjuni dadaku ini. Tapi Tigor tak mengelusku, tak mendekapku. Agaknya ia takut aku akan menolaknya,
30
sekalipun kutunggu, kutunggu, dengan memandang matanya lama-lama sambil dua tiga kali menarik nafasku dalam-dalam.
Namun pelukan itu tak terjadi.
Tidak terasa, bahwa waktu telah berjalan perlahan-lahan. Tidak terasa bahwa Tigor yang semula akan menjadi teman rapatku menurut perhitunganku nyata-nyatanya sehari demi sehari malahan semakin menjauhiku. Aku kadang-kadang tak mengerti. Bulan April yang lalu, ketika kuberikan selamat karena ia menjadi pemenang Lomba Deklamasi seluruh Jakarta, Ia menyambut salamku dengan dingin. Karena itu aku tak memikirkannya Iagi. Dan pernah Tigor menjadi marah sangat kepada Reni suatu kali, karena Reni bertanya kepadanya: "Nggak mendekapi Fonnie lagi, Gor?!"
Aku mendengar ejekan Reni itu. Dan aku khawatir kalau-kalau Tigor mengira bahwa aku menambah-nambahi pengalamanku sewaktu ia mengelus-elus lenganku di taman Istiqlal dahulu. Setelah Tigor pergi sehabis marah itu, aku mendekati Reni.
"Kau jangan bergurau begitu", kataku.
"Habis! Punya pacar seniman, lu bisa payah. Gampang ngambek. Nggak ingat riwayat Khairil Anwar yang diceritakan pak Guru?", kata Reni.
"Masa'?" tanyaku.
"Mangkanya cari pacar yang normal dong. Seniman 'kan nggak normal. Sudah bagus dulunya kamu dengan Tom, ditinggalin lagi! Akibatnya Toni 'pan kewalahan sekarang", kata
Rem.
"Toni kewalahan bagaimana?" tanyaku.
"Itu........, waktu pesta ulang tahun kakakmu Fizzy, 'kan dia datang", cerita
Reni.
"Betul", kataku "Lantas?"
31
"Bagaimana? Betul Toni gondok sama kau?", tanya Reni.
Aku heran akan cerita Reni ini.........Tanyaku:
"Apa Toni ceritakan?"
Akh! Mau disumpahnya. Katanya kau sok milih", sambung Reni. Aku terdiam mengenangkan.
Reni berkata lagi: "Kalau gue, gue terima ajalah nasib. Sekarang, dua-duanya bernasib jelek", kata Reni lagi.
"Gue nggak pernah merasa nasib gue jelek, Reni!" kataku.
"Eh, jangan melohok gitu dong, manis! Maksud gue yang punya nasib jelek bukan kamu. Si Toni sama si Emmy. Lu tau, si Toni digampar oleh si Emmy?"
'Digampar?"
'Ya. Digampar. Banyak Yang liat. Dekat kakus sekolah, kata orang. Emmy cemburu, katanya Toni memburu-.buru kamu, Fonnie! Si Toni sih, tukang jual omong. Jadi lelaki, mentang-mentang dimauin seribu gadis jadinya sok. Sekarang baru dia tau rasa. Broken-heart. Emmy juga nggak bakalan mau lagi sama lelaki yang suka gampar-gamparin cewek!".
"Emangnya dia pernah gamparin cewek?" tanyaku.
"Kata orang begitu, Fonnie. Tetapi sama si Emmy sebaliknya, dia diduluin kena gampar."
Setelah berkata begitu, Reni sekonyong.. konyong senyum-senyum kecil tertahan-tahan seperti ada yang menggelitik ketiaknya. Rupa-rupanya ada yang mendesak hatinya maka Reni seperti orang kena gelitik demikian itu! Katanya:
"Si Kherman naksir tuh!"
"Naksir sama kamu. Tapi lu kok diem-diem melulu?!", tanyanya kemudian.
32
"Gue segen sama si Plato!", kataku.
Biarpun bibirku membilang "segen", tetapi hatiku gemuruh bertanya-tanya: Apakah benar? Apakah benar? Apakah benar? Benar atau bohong? Betul atau benar? Ah, itu hanya ajukan-ajukan si Reni saja! Tiba-tiba anganku melayang pada potongan-potongan tubuh Toni. Potongan tubuh Tigor, Potongan tubuh Kherman. Tom tampangnya sedikit halus, tapi matanya kelihatan seperti mau menelan. Tigor terlalu suka berkhayal, Kherman kasar, tetapi justru pandai berbicara serta menarik sekali kata-katanya. Pernah aku terlambat memulangkan bukunya yang kupinjam, Kherman berkata: "Emangnya buku gue mau dipeties-in?".
Kata-kata itu pedih buatku sebagai seorang gadis. Dan kadang-kadang Kherman tak kusukai karena sok menonjolkan diri didalam kelas. Mentang-mentang pak guru mengatakan bahwa Ia seorang pintar seperti Plato. Namun, sekali waktu guru Tatanegara kami pernah berkata:
"Kau boleh merasa dirimu seperti Plato, Kherman. Tetapi kepalamu jangan terlalu besar lebih besar dari kepala Plato, maksud bapak besar kepala. Karena bagaimanapun jua kamu adalah murid di kelas ini!"
"Ya pak. Saya tidak boleh berdebat lagi pak?" tanya Kherman dengan muka merah padam
"Kau mengatakan, bahwa, kenapa kita harus kagum kepada jaman gemilang Ga-jahniada. Katamu: Itu hanya sejarah yang sudah liwat. Baiklah, Kherman, sementara bapak terima pendapatmu, bahwa kerajaan-kerajaan dulu hanya melakukan ekspansi demi sang Raja, bukan demi sang Rakyat. Tetapi itu bukan imperialisme, Kherman", kata guru Tata negara kami.
"Buat saya, sama saja, pak. Ekpansi sama juga dengan imperialisme pak!".
"Boleh saja kau berkata begitu. Dalam kelas ini saya adalah gurunya: Saya tidak mengajarkan politik di kelas ini. Saya mengajar Tatanegara. Khususnya tadi saya mengatakan perbedaan monarchi di Eropah dan Kerajaan di Indonesia. Saya gurumu di kelas ini Itu harus kamu ingat!"
33
Kherman menjawab: "Saya tahu pak, bapak lebih pintar dan saya. Tetapi bapak yang pernah mengajarkan perbedaan diktatur dan demokrasi telah menekan hak mendebat saya, sehingga bapak seakan-akan seorang diktator. Saya berani mendebat bapak karena bapak pula yang berkata, bahwa Indonesia negara demokrasi. Bahkan bapak berkata, kelas kita ini sebuah micro-negara, dimana demokrasi pun memberikan kesempatan pada murid-murid untuk bertanya".
Kami di kelas menjadi gelisah karena debat ini.
"Tapi kau bersikap liar di kelas ini!" kata guru kami marah.
"Saya hanya tanya secara sopan, pak, bukan bikin gaduh".
'Tapi kau tafsirkan demokrasi dengan hak bicara asal bicara, hak mendebat asal mendebat. Bukan merupakan wakil sikap dan murid-murid. Kau termasuk anarchie, bukan demokrasi! ", kata guru Tata negara kami.
"Kalau saya teriak-teriak, itu memang betul, pak. Tapi 'kan bapak dengar sendiri, saya bertanya dengan suara sopan?"
"Tapi kau sok pintar. Kau masih bocah ingusan', kata guru Tata negara.
"Karena bapak lebih dahulu lahir dan kami saja, soalnya. Katagori 'ingusan' dalam hal mi karena saya dilahirkan belakangan dan bapak. Teman-teman yang lain tidak mendebat karena takut ponten-ponten Tata negara mereka nanti dapat angka merah", kata Kherman berani.
"Apa kamu kepingin saya perintahkan keluar dan kelas ini?" tanya guru kami kemudian.
Kherman menggerutu sendirian. Dan ini didengar oleh guru Tatanegara kami. "Kau ngomong apa di belakang?"
"Karena bapak tak memperbolehkan saya bicara tentu saya menggerendeng sendirian di belakang", kata Kherman lebih berani.
34
"Kamu keluar, Kherman!"
Kherman keluar dan kelas, tanpa tunggu waktu. Banyak teman-teman jadi benci kepada Kherman pada mulanya. Tapi lama-lama teman-teman itu berbicara, bahwa memang guru Tatanegara kami bertindak seperti diktator. Dan aku yang merasa, bahwa setiap murid berhak bertanya, Ialu bersimpati kepada Kherman. Ketika keluar istirahat, aku mendekati Kherman. Berkatalah Kherman: "Kalau pak guru kita jadi pemimpin, berbahaya!"
"Kenapa?" tanyaku.
"Kalau dia jadi pemimpin, dia akan paksa setiap orang harus berfikir seperti dia", kata Kherman.
"Makanya lebih baik kau lain kali berdiam diri saja", kataku.
"Memang, Fonnie. Aku tak pernah minta dijuluki Plato", katanya.
"Ya, betul. Itu julukan guru sejarah kita, bukan?", bujukku.
"Tapi gue merasa sedih sekarang, nih. Jiwaku merasa kena tekan seakan-akan kemerdekaan berbicara gue diinjak-injak. Aku akan pindah saja dan sekolah ini", katanya.
"Kenapa kau ambil keputusan begitu terburu?", tanyaku. "Kau keberatan?" tanya Kherman.
"Aku sangat keberatan. Teman-teman mengatakan, kau yang benar. Kelas akan jadi sepi kalau kau tak ada", kataku.
Mungkin karena aku adalah yang pertama memberikan simpati kepadanya,.. maka sejak hari itu Kherman sering-sering datang ke rumahku. "Ternyata kemudian olehku bahwa Kherman pun seorang yang lembut. Aku ingin juga berkenalan dengan adiknya yang diceritakannya kepadaku. Juga sangat. lngin berkenalan dengan ibu bapaknya. Barangkali demikianlah semua perasaan gadis remaja. Seorang gadis remaja senantiasa membayangkan dirinya sudah dekat diambang rumahtangga, sehingga sering
35
membayangkan bapak dan ibu lelaki yang disimpatikannya adalah Calon-calon mertuanya. Atauk ah perasaan seperti ini hanya ada pada diriku seorang? Aku tak tahu. Tetapi harapan-harapanku untuk berken alan dengan dekat pada orang tuanya itu tak terkabulk an, karena Kherman keberatan.
'Kenapa?" tanyaku.
"Kedua orangtuaku sama saja seperti guru Tatanegara kita. Berbakat untuk menjadi diktator", kata Kherman.
"Itu mungkin perasaanmu saja", kataku.
"Tidak. Itu memang kenyataannya. Aku ini anaknya yang sudah kebal. Kena gampar, biasa. Ditempeleng dan disepak, biasa. Apalagi dibentak, adal ah makanan kami sehari-hari. Ayahku bukan pemabuk, tetapi setiap ia pulang agak larut, selalu Ia marah-mar ah. Ibuku pun akhir-akhir ini pemarah sekali. Jadi henda knya kau jangan kecil hati jika aku keberatan, jika kau ingin berkenalan dengan mereka. Nanti kau kecewa", kata Kherman.
"Kau tak suka pada ayahmu?" tanyaku.
"Entahlah. Namun bagaimanapun juga dia ayahku. Apa boleh buat. Tetapi aku berpendapat, uang yang diperdapatnya dengan gampang, menyebabkan ayah menjadi seorang yang tidak menghargai orang lain. Kenapa aku harus menceritakan perihal yang buruk tentang ayahku sendiri? Karena ayah seperti menjadi anak kecil kembali. Tidak boleh satupun diantara kami, termasuk abangku yang sulung mendekat dia. Lebih-lebih jika abang menyelidiki soal-soal yang berhubungan dengan kebun-kebunnya dan tentang darimana ayah mempunyaj uang sebanyak itu, kontan saja ayah jadi marah", kata Kherman.
Tapi rasa ingin tahu pada akhirnya membuat aku mendatangi rumah Kherman. Banyak sekali mobil di luar, dan terdengar suara orang tertawa terkekeh-kekeh gembira di beranda. Lalu aku membatalkan maksudku. Tiba-tiba di belakangku sudah terdengar saja suara Kherman:
"Fonnie! Fonnie."
36
Aku menoleh dan berbalik belakang.
"Oh, kau, Kherman", kataku, "Kulihat rumahmu penuh tamu, sehingga aku tak jadi masuk."
"Untung tak jadi. Pernah Tigor datang ke rumahku, tepat dalam keadaan demikian. Dia dibentak oleh ayahku. Ayah berkata ada rapat. Aku tak percaya. Mereka kongko-kongko saja akhirnya sampai jauh malam, bisik-bisik menari-nari, akhirnya bagi rejeki", kata Kherman.
"Kau tahu benar tentang ayahmu, Kherman", kataku. Kami melangkah bersama melalui jalan yang penuh pohon-pohon palem di samping-samping kami.
"Sedih sekali ayah! Ia terlalu cepat menjadi kaya. Ibuku cuma dianggap kolot. Kadang ibuku menangis. Lebih-lebih ketika menyaksikan bahwa abangku yang sulung ditinjunya. Aku tak mengerti, sejak kapan ayah menjadi kasar begitu. Seingatku, sebelum dia mendapat fasilitas bikin pabrik dan membeli kebun-kebun, dia tak sedemikian itu. Akhir-akhir ini dia sombong sekali. Dan kami, anak-anaknya menjadi orang yang tak diurus
↧
Badai-Badai Puber - 4
↧