Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

A Shoulder to Cry on - 7

$
0
0

Bahu untuk Menangis | A Shoulder to Cry on | by Ria N. Badaria | A Shoulder to Cry on | Sebuah Bahu utk Menangis | A Shoulder to Cry on pdf

Love From My Heart - Endik Koeswoyo 1001 Hari di Hongkong - Lan Fang Alice in Wonderland - Lewis Carroll Baby on Loan - Bayi Pinjaman - Liz Fielding Badai-Badai Puber - Motinggo Busye

setiap hari."

"Nah, terus kakak lo ngapain sampai nggak pulang?"

Danu terdiam. Sampai sekarang pertanyaan itu tetap belum ia dapat jawabannya. Ia mengerti banyak kasus yang harus ditangani kakaknya, terlebih setelah menangani kasus model terkenal itu. Tapi apakah semua itu begitu menyibukkan sampai-sampai untuk beristirahat normal di hari libur pun tidak bisa dilakukannya?

"Kakak gue tuh gila kerja. Dia selalu punya alasan untuk bikin dirinya sibuk," jawab Danu agak ragu, tidak yakin dengan jawabannya sendiri.

Andro mengangguk, menelan jawaban Danu dengan setengah heran.

"Kakak lo hebat ya, Nu. Gue sering liat dia muncul di infotainment. Sekarang kakak lo lagi ngurusin perceraian Imelda Azizah, kan? Tuh model cantik banget, Nu! Gue kalo punya muka ganteng kayak kakak lo, habis ngurusin perceraiannya Imelda, gue langsung gaet tuh model."

Danu mendengus tertawa, menyambar bantal dari atas tempat tidur, dan melemparkannya kepada Andro. "Dasar otak mesum! Sering-sering cuci otak lo, Ndro, biar nggak mikir kotor."

"Yaelah, deket-deket sama cewek secantik Imelda Azizah sih semua cowok normal bakal mikir mesum, Nu! Eh... siapa tahu kakak lo nggak pulang gara-gara kegaet tuh model."

Danu hanya geleng-geleng menanggapi pemikiran Andro yang ajaib. Suasana tenang beberapa saat. Danu kembali mengerjakan tugasnya, Andro kembali asyik dengan komiknya. Ternyata setelah selesai membaca lembar terakhir komik pertama, Andro melanjutkannya dengan komik berikutnya.

"Lowongan di toko bunga yang lo bilang udah nggak ada lagi, Ndro," ujar Danu memecah keheningan.

Andro menutup komiknya untuk pertama kalinya sejak sejam yang lalu dan mengalihkan perhatian penuh pada Danu.

"Udah nggak ada? Emang kapan lo ke sana?"

"Tadi siang... Anka keliatan kecewa banget, padahal dia sangat berharap dapat kerjaan." Danu menghela napas berat, menunduk lesu ketika ekspresi kecewa Anka tadi siang tergambar jelas di benaknya. "Gue kasihan sama dia, Ndro... Tadi siang dia harus jual barang di rumahnya buat nambahin biaya rumah sakit ibunya yang gede banget. Gue ngerasa nggak berguna jadi temennya, nggak bisa ngelakuin apa-apa buat dia."

"Nu, lo tuh cuma anak sekolahan, belum lulus lagi. Emang menurut lo, bisa bantuin apa buat dia?" seru Andro. "Apa yang lo lakuin selama ini buat Anka, menurut gue sih, udah lebih dari cukup."

"Gue pengin bantuin Anka lebih banyak lagi, Ndro."

"Lo mau bantuin apa lagi? Bantu bayar biaya rumah sakit ibunya?!"

"Penginnya sih gitu," jawab Danu datar yang langsung membuat Andro dengan cekatan mendorong kepalanya.

"Jangan ngigau lo... Emang mau bantuin pake apa?"

"Ya pake duitlah! Masa pake daun?" gerutu Danu gemas, seraya dengan sebal mengusap-usap kepalanya yang baru saja didorong Andro lumayan keras.

"Iya pake duit, tapi dapet duit dari mana lo?" sergah Andro. "Jajan aja masih minta sama kakak lo, pake acara mau bantuin bayar rumah sakit segala. Danu... Danu, realistis, Nu!"

Andro naik ke tempat tidur, menyandarkan kepalanya di antara tumpukan bantal, menatap prihatin ke arah Danu sebelum kembali fokus pada komik yang dibacanya.

Meski menyebalkan, ucapan Andro menyadarkan Danu dan mengembalikannya ke dunia nyata. Danu menghentikan pekerjaannya, pandangannya menerawang menatap dinding polos kamarnya. Berbagai pengandaian muncul di benaknya. Andai ia bukan laki-laki berusia 18 tahun, andai ia bukan murid SMA dan andai ia laki-laki dewasa yang mapan, pasti bisa dengan mudah meringankan beban Anka. Pasti ia bisa menjadi sandaran yang kuat bagi Anka. Tidak seperti sekarang, ia hanya tiang kayu reyot yang entah bisa sekuat apa untuk menjadi sandaran.

* * *

"Aku nemuin kamu di sini, karena aku nggak mau kamu mengusik orang-orang terdekatku," - Damara

* * *

- 7 -

HAKIM pengadilan agama mengetukkan palu. Pers idangan kasus perceraian Imelda Azizah ditunda seming gu ke depan karena pihak tergugat tidak menginginkan adanya perceraian. Ini memang jelas terlihat dengan s elalu absennya suami Imelda pada setiap persidangan.

Damara merapikan semua berkas di atas mejanya di ruang pengadilan. Matanya melirik sekilas pada Imelda yang duduk diam di sampingnya. Wajah Imelda terlihat agak pucat, lingkaran hitam begitu jelas di bawah kantong matanya. Wanita itu terlihat kurang sehat di mata Damara.

"Kita keluar sekarang?" Damara bertanya sambil mendekati Imelda. "Anda sudah siap?"

Imelda menoleh ke arah pintu masuk ruang persidangan yang sudah dikerubuti wartawan infotainment haus berita. Imelda mengangguk pelan, ia lalu berdiri dan berjalan pelan mendekati meja hakim untuk berjabat tangan. Tapi baru beberapa langkah saja, Imelda terlihat limbung, kakinya seperti tidak mampu menopang tubuhnya. Damara yang berdiri dua langkah dari Imelda refleks menyambar tubuh wanita itu sebelum jatuh membentur lantai.

Ruang pengadilan mendadak ricuh. Para wartawan yang semula bertahan di luar ruang persidangan memaksa masuk saat melihat Imelda jatuh pingsan. Mereka mengerumuni Imelda setelah berhasil melewati penjagaan petugas keamanan pengadilan. Damara sampai harus memeluk Imelda agar para wartawan yang lapar berita itu tidak melukai kliennya.

Entah seperti apa kekacauan di pengadilan tadi, yang jelas Damara akhirnya berhasil membopong Imelda. Dengan dibantu orang-orang bersafari sebagai pembuka jalan, Damara membawa Imelda keluar tanpa terhadang wartawan.

Sekarang Damara melajukan mobilnya di jalan raya Jakarta, setelah berhasil lolos dari kericuhan di persidangan. Imelda terbaring di jok belakang mobil Damara, masih terbaring tidak sadarkan diri. Handphone di saku kemeja Damara berdengung, layar LCD handphone-nya menunjukkan manajer Imelda yang masih tertinggal di pengadilan, menghubunginya.

"Ya, halo," kata Damara selesai memasang handsfree di telinganya. Kepanikan yang terdengar jelas pada nada suara manajer Imelda, mengharuskan Damara mengatakan bahwa Imelda baik-baik saja untuk menenangkan sang manajer. Namun sang manajer tetap meminta Damara membawa Imelda langsung ke rumah sakit di kawasan Pondok Indah.

"Oke, saya bawa dia ke rumah sakit sekarang juga... kita ketemu di sana." Damara menutup telepon dan mempercepat laju mobilnya.

"Jangan bawa saya ke rumah sakit..." Suara Imelda yang terdengar lirih dari kursi belakang mobil menyentak Damara.

Damara langsung menoleh ke jok belakang, tapi segera kembali menatap lurus ke jalan saat sadar bahwa ia sedang menyetir. Damara ganti melihat Imelda dari kaca spion di depannya. "Anda baik-baik saja?" tanya Damara cemas.

"Saya nggak apa-apa," jawab Imelda datar sambil berusaha mendudukkan dirinya. Lengannya naik merapikan rambut panjang hitam lurusnya dengan jemari.

"Lebih baik kita ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi Anda. Manajer Anda sudah menunggu di sana."

"Kita nggak perlu ke rumah sakit," tegas Imelda, "ke tempat lain saja, asal bukan ke rumah sakit."

Dengan terpaksa Damara tidak membantah, segan berdebat dengan kliennya yang mungkin baru setengah sadar. Dipandangnya kembali Imelda dari kaca spion tengah, wanita itu masih terlihat pucat dan lemah, tapi keangkuhan tetap mendominasi raut wajahnya.

Mobil Honda CR-V silver milik Damara menepi di pinggir jalan, di sebuah area taman kota. Damara bersandar di sisi mobil. Lengan kemeja sudah digulung dan ikatan dasi yang tadi terpasang sempurna sudah dikendorkan. Di sampingnya Imelda duduk di ujung jok belakang, di dekat pintu mobil yang sengaja dibiarkan terbuka.

"Ini minum dulu..." Damara menyodorkan sebotol air mineral yang dibelinya di kios sekitar taman. Agak ragu Imelda mengambil botol air mineral dari tangan Damara, namun dengan segera langsung menenggaknya. Sepertinya ia memang sudah kehausan sedari tadi.

Damara tersenyum simpul melihat tingkah model yang biasa tampak begitu angkuh. Ternyata selain angkuh, Imelda bisa bertingkah konyol juga. "Setelah ini saya akan mengantar Anda ke rumah sakit. Manajer Anda sudah berkali-kali menghubungi saya, meminta saya segera membawa Anda ke sana."

Imelda turun dari mobil dan berdiri di samping Damara, membiarkan kakinya yang tanpa alas menyentuh aspal.

"Saya nggak mau pergi ke sana!" Imelda bersikeras.

Damara menoleh, nyaris tidak percaya sikap kliennya yang keras kepala.

"Anda baru saja pingsan di ruang persidangan. Sudah menjadi keharusan bagi saya membawa Anda ke rumah sakit untuk diperiksa."

"Saya hanya pingsan, bukan kena serangan jantung. Jadi nggak perlu dibesar-besarkan," tandas Imelda, seraya menatap tajam ke arah Damara. "Dan satu lagi, Anda saya bayar untuk kasus perceraian saya, bukan untuk mengurusi kesehatan saya."

Damara mendengus pelan. Imelda memang san gat cantik, semua orang mengatakan ia nyaris sempurn a. Tapi lihat sekarang, nilai Imelda tidak akan sesempur na itu kalau saja orang-orang yang mengaguminya tah u sifat keras kepala Imelda yang menjengkelkan.

"Kalau Anda mau tetap di sini, silakan, tapi maaf... masih banyak yang harus saya kerjakan."

Imelda tidak bergerak, seakan kehabisan kata-kata untuk membantah.

Damara menghela napas panjang menghadapi situasi seperti ini. "Oke, saya antar Anda ke rumah sakit sekarang, sebelum saya pergi." Damara melangkah melewati Imelda, menuju kemudi mobilnya. Namun sebelum sempat membuka pintu depan, Imelda meraih lengan Damara dan membuat Damara langsung menoleh.

"Bisa kamu temenin saya di sini, sampai saya merasa lebih baik?" pinta Imelda sambil menunduk, seakan malu dengan permintaannya sendiri.

Damara tidak menjawab. Permintaan Imelda membuat Damara tercengang, sampai-sampai ia lupa untuk bereaksi. Tapi tak berapa lama, Damara mengangguk menyanggupi permintaan Imelda.

***

"Kenapa, Nu? Kamu kok malas-malasan gitu sarapannya?" tanya Damara saat mereka berdua duduk berhadapan di meja makan. Hari Minggu, seperti biasa, ada nasi uduk untuk Danu, dan secangkir kopi krim untuk Damara. "Ada yang sedang kamu pikirin?"

Danu tidak menjawab. Wajahnya menunduk lesu sementara tangannya hanya mengaduk-aduk nasi uduk di piringnya.

Damara tersenyum melihat tingkah adiknya, ia tahu benar pasti ada yang sedang mengganggu pikiran sampai Danu murung begini. "Cerita aja sama Kakak kalau kamu ada masalah," kata Damara sambil melipat korannya agar lebih fokus pada Danu.

Danu mendongak pelan, dari raut wajahnya Damara sudah bisa memastikan apa yang dipikirkan Danu lumayan rumit.

"Nggak ada masalah, Kak," kata Danu pelan.

"Nggak usah bohong. Kakak kenal watak kamu. Nggak mungkin nggak ada apa-apa kalau penampakan kamu kayak begini."

Danu meletakkan sendok yang dipegangnya di atas piring, menghela napas berat, sebelum akhirnya bi cara.

"Danu cuma lagi mikirin masalah Anka, Kak..."

"Anka? Kenapa lagi dengan Anka?"

"Kasihan Anka, Kak, dia lagi kesulitan uang. Biaya rumah sakit ibunya gede banget. Kemarin aja dia habis jual barang-barang di rumahnya buat tambahan, tapi masih kurang banyak, Kak," jelas Danu. "Seminggu ini Danu bantuin dia cari kerja sambilan tapi belum dapat juga."

Damara meletakkan korannya di atas meja. Matanya kini fokus sepenuhnya pada Danu. Kata-kata Danu kembali mengingatkannya pada Anka, sahabat Danu yang beberapa minggu lalu tertimpa musibah. Rutinitasnya selama ini memang hampir membuatnya lupa dengan keadaan sekitar, dan nyaris membuatnya mati lelah menjalaninya.

"Anka lagi cari kerja?" tanya Damara. Danu kembali mengangguk lesu. Damara berusaha mengingat-ingat, rasanya ia pernah mendengar seseorang sedang membutuhkan pekerja tambahan. Setelah beberapa saat, senyum Damara mengembang lebar saat ia menemukan jawabannya.

"Kamu sekarang mandi, kita jemput Anka!"

Danu mendongak, menatap bingung ke arah Damara. "Maksud Kakak?"

"Ya, kamu mau bantu Anka dapat kerja, kan?"

***

Berkali-kali Danu menolehkan kepalanya ke arah ruang manajer kafe, tempat Anka sedang menjalani interview. Luar biasa gelisahnya Danu menunggu Anka keluar, sampai-sampai cheesecake bertabur cacahan stroberi menggiurkan di depannya pun diabaikan.

"Tenang aja, Nu... Anka pasti bisa kerja di sini," kata Damara yang duduk santai di depan Danu.

"Lama banget sih, Kak?" Danu lagi-lagi menoleh ke pintu ruangan manajer. "Kira-kira Kak Rio nanya apa aja sama Anka ya, Kak?"

Damara tersenyum melihat kegelisahan Danu. Ia mengangkat c


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Latest Images

<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>