Bahu untuk Menangis | A Shoulder to Cry on | by Ria N. Badaria | A Shoulder to Cry on | Sebuah Bahu utk Menangis | A Shoulder to Cry on pdf
Fear Street - One Evil Summer - Musim Panas Berdarah Bintang Dini Hari - Maria A Sardjono Cinta di Dalam Gelas - Andrea Hirata Fear Street - Switched - Tukar Tubuh Burung Kertas - Billy Koesoemadinata
ak bisa pulang sendiri. Lagi pula hal biasa kalau kita butuh bantuan orang lain setelah terlalu banyak minum," kata Damara maklum.
"Anda mau saya antar ke mana? Atau Anda mau saya telepon manajer Anda?"
"Jangan... jangan telepon dia!" Imelda mendadak panik, tanpa sadar ia mencekal erat lengan Damara. "Tolong jangan telepon dia..."
Damara menjatuhkan pandangannya pada tangan halus Imelda yang memegangi lengannya, membuat Imelda mengikuti arah pandangan Damara lalu langsun g melepaskan pegangannya.
"Maaf..." kata Imelda salah tingkah.
"Jadi sekarang saya bisa antar Anda ke mana?" tanya Damara lagi. "Ini sudah larut malam, hampir dini hari malah."
Imelda terdiam, memikirkan harus ke mana ia pergi untuk sekali lagi menghindar dari orang-orang yang ingin dihindarinya.
"Apa sebaiknya saya antar Anda kembali ke apartemen?" saran Damara.
"Jangan... saya nggak mau pulang ke apartemen malam ini."
"Jadi penyelesaiannya?"
Imelda kembali diam, Damara menunggu seraya meredam rasa lelah dan kantuk yang menyerangnya.
"Kita ke hotel," Imelda berkata tiba-tiba. "Anda bisa antar saya ke hotel."
***
Suara dering handphone mengusik tidur Damara pagi ini. Mengabaikan dering handphone-nya, Damara memutar tubuhnya mencari posisi lebih nyaman di sofa yang ditidurinya. Lagi-lagi dering handphone itu terdengar. Dengan segala kekesalan Damara bangun, meraih handphone yang diletakkannya di atas meja di depan sofa dan me-reject panggilan yang membuat handphone-nya terus berbunyi.
Damara terduduk, menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa. Kembali memejamkan mata dan berharap dengan cara ini ia bisa menghilangkan rasa pusing akibat kurang tidur. Tapi itu tidak berlangsung lama, Damara tiba-tiba ingat mengapa ia berada di sini. Mata Damara langsung menyalang, menoleh ke tempat tidur yang semalam ditiduri Imelda. Dan sekarang, tempat tidur itu kosong.
Damara menyibakkan selimut tebal yang entah bagaimana bisa berada di atas tubuhnya, padahal seingatnya tadi malam ia hanya menyelimuti dirinya dengan sweter. Damara menebar pandangannya ke sekeliling kamar hotel mencari sosok Imelda, tapi nihil.
Ada secarik kertas tergeletak di atas meja, tepat di samping handphone miliknya. Damara mengambil kertas itu, membaca tulisan tangan di atasnya.
Tagihan kamar ini sudah saya selesaikan, jadi Anda tidak perlu repot mengurusnya sebelum pergi... Terima kasih, Anda sudah membantu saya membuat sedikit jeda dalam hidup saya. Sekarang jeda sudah berakhir, saatnya kembali ke kehidupan nyata.
Damara tersenyum membaca tulisan Imelda. Pandangannya lurus ke arah lengan yang memegangi kertas pesan dari Imelda, lengan yang semalam digenggam erat oleh Imelda. Rasanya begitu hangat saat Imelda memintanya untuk tetap tinggal menemani.
* * *
- 10 -
ANKA duduk di kursi kecil seraya menyandarkan tubuhnya dengan lelah ke tembok ruang karyawan. Matanya menatap lembaran surat administrasi rumah sakit yang berisi rincian tagihan perawatan ibunya.
Untuk kesekian kalinya Anka menghela napas berat. Angka-angka di surat tagihan yang dipegangnya membuatnya serasa sesak. Anka mengusap keringat dingin di dahinya, sejak pagi tadi ia sudah merasakan ada yang tidak beres dengan tubuhnya, dan semakin tidak beres setelah ia mellihat jumlah tagihan yang harus dibayar.
"Ka, dicariin Mas Abner tuh," tegur Ourel, teman kerja part time Anka saat memasuki ruang karyawan. "Kayaknya dia butuh orang buat di depan."
Dengan sisa tenaganya, Anka menegakkan tubuhnya dan kembali menyeka keringat dingin di dahinya.
"Lo sakit ya, Ka? Muka lo pucat banget." Ourel memperhatikan wajah Anka. "Kalo sakit izin pulang aja ke Pak Rio..."
"Nggak apa-apa kok, gue cuma kurang tidur doang." Anka tersenyum kaku pada Ourel, meyakinkan temannya bahwa ia baik-baik saja. "Gue ke depan dulu ya."
Anka beranjak dari kursi yang didudukinya sambil melipat surat tagihan rumah sakit dan memasukkannya ke saku kemeja kerjanya. Kaki lemasnya melangkah, kembali ke rutinitas yang membuatnya tidak punya waktu untuk mengeluhkan rasa sakitnya.
***
Danu kembali menatap Anka cemas. Sejak keluar dari kafe, wajah Anka terlihat begitu pucat. Langkahnya lunglai dan sempoyongan terkesan memaksakan diri untuk tetap melangkah.
"Ka, lo nggak apa-apa...? Kita naik taksi dari sini aja ya, nggak usah jalan ke halte bus," kata Danu, semakin cemas melihat keadaan Anka.
"Nggak usah, Nu, gue masih kuat jalan ke halte kok. Lagian dari sini ke rumah sakit lumayan jauh, kalo naik taksi bisa berapa ongkosnya."
"Gue yang bayar, Ka. Tenang aja, gue baru dapet uang jajan bulanan dari Kak Damara."
Anka mengulas senyum lemah. Terus berjalan pelan menyusuri trotoar menuju halte. Danu sadar, jika Anka tidak mengatakan apa-apa seperti ini, tandanya Anka menolak usulnya. Mau tidak mau Danu terpaksa menyerah, mengikuti Anka sambil mengamati langkah Anka dari belakang. Untuk beberapa saat Danu bisa melihat Anka berhasil membuat dirinya berjalan layaknya orang normal, tapi itu tidak berlangsung lama, baru beberapa meter saja langkah Anka sudah mulai limbung.
"Tuh, kan! Gue bilang juga apa. Lo tuh sakit, Ka... Kenapa sih nggak mau dengerin gue? Kita naik taksi aja, biar lo cepet sampe terus bisa istirahat. Lagian ini juga udah malam banget," tegas Danu, seraya memapah Anka.
"Halte kan tinggal dikit lagi, Nu. Jalan sebentar juga nyampe, entar di bus gue baru tidur."
Lagi-lagi tanpa bantahan Danu mengikuti keinginan Anka. Kini ia berjalan di samping Anka, memegang erat lengan Anka untuk menguatkan langkah limbungnya. Selangkah lagi dari halte, Danu merasakan beban tubuh Anka semakin berat, Danu segera mendudukkan Anka di bangku halte yang kebetulan kosong.
"Ka... lo kenapa, Ka?" tanya Danu panik, terlebih saat Anka tidak merespons pertanyaannya dan kepalanya malah terkulai ke bahu Danu. Danu menepuk pelan pipi Anka, berharap dengan cara ini Anka bisa bereaksi. "Ka, lo masih bisa denger gue, kan?"
"Masih..." sahut Anka lemah. "Nanti nggak usah panik kalo gue nggak jawab omongan lo ya, biarin aja gue begitu sebentar..."
Usai berkata-kata, tangan Anka yang berada di genggaman Danu melemah, kepala Anka semakin terkulai di bahu Danu dengan keringat dingin membasahi dahinya. Wajah Anka terlihat begitu pucat, gadis ini jelas tidak sadarkan diri sekarang. Fisik Anka rupanya sudah tidak kuat dipaksa menanggung beban yang seharusnya belum ia pikul.
Danu merangkul tubuh Anka, mengeratkan genggamannya ke tangan dingin Anka, berharap ia bisa melakukan lebih dari ini. Tanpa tertahan air mata Danu mengalir pelan di pipinya. Sakit rasanya melihat Anka harus menjalani hidup seperti ini, sementara dirinya sebagai orang terdekat Anka sekarang ini hanya mampu duduk diam tanpa melakukan apa pun untuk gadis yang sekarang benar-benar membutuhkan pertolongan. Padahal selama ini selalu ia katakan dalam hati, bahwa Anka gadis yang sangat berarti baginya. Danu sangat menyesal, tidak bisa menjadi sosok dewasa yang bisa melakukan sesuatu untuk membantu dan melindungi orang yang ia sayangi.
***
Hampir lima belas menit Danu membiarkan Anka tak sadarkan diri, terkulai di bahunya. Lima belas menit terlama yang pernah dilalui Danu dalam hidupnya. Kepanikan mulai menjalari Danu. Ia jelas tidak bisa tetap di sini, ia harus membawa Anka ke tempat yang lebih baik. Seakan menjawab kepanikan Danu, tiba-tiba Honda CR-V silver berhenti di depan halte.
"Nu, kamu lagi ngapain di situ?" tegur Damara masih di belakang kemudinya.
Danu mendongak cepat saat mendengar suara Damara.
"Kak, tolong... Anka pingsan!"
"Pingsan?" Damara segera turun dari mobil dan berlari menghampiri Danu. "Kenapa Anka bisa pingsan di sini?" tanya Damara seraya meraih Anka dari sandaran Danu, membopong gadis itu, lalu membaringkannya di jok belakang.
"Anka sakit, Kak. Tadi kami lagi jalan ke halte bus, mau pulang. Trus dia tiba-tiba pingsan."
"Kenapa nggak telepon Kakak sih, Nu? Kan bisa jemput kalian, kalau kayak gini sakit Anka bisa makin parah!"
Danu tidak menginterupsi kata-kata Damara, ia sadar apa yang dikatakan Damara benar, andai saja tadi ia menelepon Damara, tidak perlu membiarkan Anka menderita terlalu lama.
"Kita bawa Anka ke rumah aja. Nanti Kakak telepon Dokter Arman untuk periksa Anka."
Danu hanya mengangguk menanggapi ucapan Damara. Apa pun yang akan dilakukan Damara untuk kebaikan Anka, ia hanya bisa mengiyakannya.
***
Danu duduk di sisi tempat tidurnya, menatap Anka yang masih terbaring lemah. Damara dan Dokter Arman baru saja keluar dari kamarnya. Danu bersyukur, setidaknya kali ini ia bisa menjadi sahabat yang berguna buat Anka. Saat Danu merapikan selimut yang menutupi tubuh Anka, ia melihat ada lipatan kertas menyembul dari saku kemeja Anka. Hati-hati Danu mengambil kertas itu dan membukanya. Tagihan rumah sakit, Danu jelas mengenali kertas tersebut, karena pernah melihatnya. Tapi ini bukan tagihan rumah sakit yang dulu pernah dilihatnya, ini tagihan yang baru, tampak dari tanggal yang tertera di pojok atas.
Danu menghela napas panjang, kembali menatap wajah Anka yang pucat. Sedikit-banyak surat tagihan ini pasti membebani pikiran Anka. Danu membelai lembut rambut Anka, seraya berkata lirih, "Gue emang nggak bisa bantu lo apa-apa untuk soal ini, tapi gue bakal selalu ada untuk lo, Ka..."
***
Keesokan harinya saat Anka membuka matanya, ia melihat Danu tertidur di lantai karpet, kepalanya menelungkup ke sisi tempat tidur yang ia tiduri. Anka menatap ke sekeliling, ia tahu sedang berada di kamar Danu. Rupanya tadi malam Danu membawanya ke sini. Anka menghela napas pelan, ia pasti sudah menyusahkan Danu. Anka menyibakkan selimut tebal yang membungkus tubuhnya, bergerak hendak bangun dari tempat tidur.
"Lo udah bangun, Ka?" Danu tersentak. "Udah baikan?"
Anka tersenyum menanggapi rentetan pertanyaan dari sahabatnya.
"Gue udah nggak apa-apa. Sori ya, semalem gue pasti ngerepotin lo," kata Anka, seraya merapikan tempat tidur. Setelahnya, Anka meraih tasnya yang semalam diletakkan Danu di atas meja belajar.
"Lo mau ke mana, Ka?" tanya Danu melihat apa yang dilakukan Anka. "Jangan bilang lo mau pergi."
"Gue harus ke rumah sakit, kasihan Ibu. Semalam seharusnya gue di sana nemenin dia."
"Tapi lo kan masih sakit," kata Danu, dengan sigap mendekati Anka. "Paling nggak, lo harus sarapan dan minum obat dulu, baru pergi. Nanti gimana kalo lo pingsan kayak semalam?"
"Jangan lebay deh. Udah ya, Nu... Gue jalan dulu." Anka melangkah menuju pintu, tangannya sudah meraih tangkai pintu saat Danu tiba-tiba bicara.
"Anka, ini surat tagihan rumah sakit dari kantong lo. Sori, gue nggak sengaja lihat."
Anka membalikkan tubuhnya, kembali melangkah mendekati Danu dengan wajah murung.
"Gue tahu, lo nggak cerita soal tagihan ini sama gue karena lo yakin gue nggak bakal bisa bantu, kan?" Danu menolak memberikan surat tagihan itu pada Anka.
"Bukan gitu, Nu, gue nggak mau bikin lo ikut pusing sama urusan kayak gini. Gue udah terlalu banyak nyusahin lo."
"Gue kan udah pernah bilang, kalo gue bakal selalu ada buat bantuin lo. Lagian kan kita udah sepakat buat cerita apa aja, termasuk soal beginian," tuntut Danu, menatap tegas ke arah Anka. "Tapi sekarang lo malah sok kuat, nggak mau gue tahu masalah lo."
Anka sudah membuka mulut siap membantah semua ucapan Danu, saat terdengar suara ketukan di pintu kamar disusul kemunculan Damara.
"Sori, Kakak nggak bermaksud ganggu kalian, tapi Kakak telanjur dengar apa yang kalian ributkan. Keberatan kalau Kakak bantu cariin jalan keluar?"
Maka di sinilah mereka sekarang, duduk bertiga mengelilingi meja bundar di beranda belakang rumah. Untuk beberapa saat, baik Danu maupun Anka lebih banyak diam, masing-masing sepertinya memiliki pikiran sendiri yang membenarkan sikap mereka. Hanya Damara yang duduk menempatkan dirinya sebagai penyelesai masalah.
"Semalam, Kakak sudah dengar masalah tagihan rumah sakit ibu kamu dari Danu..." ujar Damara membuka pembicaraan serius mereka. Anka menatap marah ke arah Danu, tidak habis pikir Danu bisa menceritakan semua ini pada kakaknya. "Dan kalau kamu nggak keberatan, Kakak bisa bantu cariin solusinya..." lanjut Damara yang langsung dipotong Anka.
"Nggak perlu, Kak... Saya nggak mau ngerepotin. Kakak sama Danu udah te
↧
A Shoulder to Cry on - 10
↧