Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Century - 18

$
0
0

Novel Fantasi | Century | by Sarah Singleton | Century | Cersil Sakti | Century pdf

Love From My Heart - Endik Koeswoyo 1001 Hari di Hongkong - Lan Fang Alice in Wonderland - Lewis Carroll Baby on Loan - Bayi Pinjaman - Liz Fielding Badai-Badai Puber - Motinggo Busye

miring ketika menyentuh lantai. Kucing kain itu berdiri lagi, dan berkeliaran, dengan gerakan seperti mabuk, ke sekeliling ruangan. Namun, luar biasa, gerakannya sangat mirip kucing. Terbagi dua, setengah tertutup kain, setengah kerangka buatan dan tambalan yang terekspos, kucing itu tampak mengerikan.
  Claudius mendongak dan tertawa. Ia juga tampak mengerikan, dengan wajah babak-belur dan lengan baju penuh darah. Ia menari-nari dan memukulkan tinju ke udara. Ia membiarkan kucing itu menjelajah dengan penuh rasa ingin tahu, dan bergegas masuk ke ruangan sebelah. Mercy mengikutinya.
  Peti kayu panjang berlempengan besi terletak dekat dinding, di bawah jendela. Peti itu terkunci dengan gembok seukuran kepalan tangan lelaki dewasa. Claudius berlutut dan memasukkan anak kunci ke sana. Dengan hati-hati ia mengangkat tutupnya. Mercy menyeberangi ruangan untuk berdiri di belakangnya, mengintip melalui bahunya. Tutup peti terbuka bersandar pada dinding. Claudius membuka penutup dari sutra putih halus menunjukkan benda paling cantik dan menakjubkan yang pernah dilihat Mercy seumur hidupnya.
  Rencananya kini tampak jelas.
  Di dalam peti terbaring boneka sutra dengan rambut merah panjang. Tiruan Marietta, tampak sempurna. Kreasi tanpa cela yang memesona dengan tubuh rampingnya yang lentur. Kulit buatannya tampak gemerlap bagaikan embun. Bibirnya, seperti kelopak mawar, agak terbuka. Tangannya terlipat di dada.
  Bagaimana Claudius bisa menciptakan benda seperti ini? Kecantikannya jauh melebihi manusia. Ia seperti bidadari. Seorang dewi.
  Tak diragukan lagi, di balik kulit sutranya, daging dari serbuk gergaji dan rambut kuda ditempelkan di kerangka kayu dan gading, seperti kucing kain tadi. Sulit membayangkan benda-benda biasa seperti itu berada di dalam boneka bidadari sutra ini, dengan kuku-kuku dari mutiara dan kelopak mata seperti bunga, menutupi matanya yang terbuat dari safir dan kaca.
  Claudius menatap dan tersenyum. Ia mengulurkan untuk menyentuh wajah boneka itu, kemudian ingat tangannya kotor, ia menarik kembali jemarinya.
  Tak lama lagi, ia berkata. Tak lama lagi, Marietta, kita akan bersama selamanya.
 
  VIII
  MALAM bulan Oktober yang gelap semakin dekat. Gadis yang membawa keranjang berisi ranting kering dan batu bara masuk ke perpustakaan dan berlutut di depan tungku untuk menyalakan api. Jam diatas perapian berdenting setengah jam.
  Mercy duduk di meja ayahnya di perpustakaan. Buku merah, diembos emas, terletak di meja di hadapannya. Itu buku Century milik Trajan, persis seperti yang dilihatnya di perpustakaan musim panas, menceritakan kisah yang menyatukan mantranya. Dan seperti buku satu lagi, yang ini pun memancarkan aura supernatural. Ketika Mercy membolak-balik halamannya, sensasi aneh terasa menggelitik jemarinya, dan kulitnya. Ia menduga ini buku yang sama, satu-satunya bukan duplikat. Seperti jahitan ajaib, buku itu menyatukan kungkungan hari-hari Trajan, merapatkannya.
  Sekarang Mercy memahami bab-bab pertama yang ditulis Trajan. Ia membolak-balik halaman, dan membaca tentang kedatangan keluarga Verga ke Inggris. Pada tahun 1700 Trajan dan Thecla mengirim agen dari Italia untuk membeli tanah bagi rumah mereka dan menamainya sesuai dengan peralihan abad. Kemudian rumah dibangun, dan keduanya pindah ke Inggris. Anak-anak lahir. Lalu kisah itu memaparkan pertemuan Claudius dengan Marietta, ketidaksepakatan di antara kedua abang-adik itu, dan rencana rahasia yang disiapkan Claudius untuk mempersembahkan kehidupan abadi bagi Marietta. Berikutnya, tulisan-tulisannya tampak tak berarti. Mungkin mantranya melindungi diri sendiri sehingga Mercy tak bisa membaca kisah itu sebelum ia sendiri mengetahui kejadian sebenarnya.
  Mercy mengambil buku merahnya sendiri dan meletakkannya di meja di samping buku yang ditulis ayahnya. Pena dan tinta menunggu dekat tangan kanannya, namun Mercy tak mampu menulis. Ia tak boleh membuang-buang waktu. Ia ingat bahwa saat hari musim panas itu berakhir, ketika ia bicara dengan Claudius di pulau, ia ditarik kembali ke waktunya tanpa berharap dan tanpa membutuhkan pintu. Tak lama lagi hari musim gugur ini akan berakhir dan mungkin ia akan mendapati dirinya kembali ke hari musim panas, atau bahkan ke hari musim dinginnya sendiri. Dan jika ia dikembalikan ke waktunya sendiri, di luar kemauannya, Trajan pasti akan mengurungnya rapat-rapat sehingga ia takkan punya kesempatan lagi menyelesaikan perjalanannya ke masa lalu. Ia tak punya banyak waktu. Meski merasa terdesak, Mercy terus menatap bukunya.
  Benak dan jantungnya seakan dicengkeram erat kejadian hari ini yang seperti mimpi buruk. Lolongan kucing putih dan kuning itu. Tubuhnya yang lembut terkapar di dalam keranjang ketika ka-nya direnggut keluar. Pemandangan berupa kreasi kain dan serbuk gergaji hidup sempoyongan ke seputar ruangan. Claudius, wajahnya bernoda darah dan lebam, dan ikan pike mati yang menggeliat-geliat di dalam kotaknya. Dan boneka itu juga. Ya, boneka bidadari dengan kecantikannya yang tak alami dan memesona. Kenangan itu seakan membakar.
  Segalanya membuat Mercy kewalahan. Ia tak tahu harus berpikir bagaimana. Tak bisa berpikir sama sekali. Jalan menuju benaknya tersumbat. Detak jantungnya bergema di telinganya. Ia sendirian dan tak punya siapa-siapa yang bisa diandalkan. Ia merasa sangat kecil, menghadapi masalah yang terlalu besar dan sulit untuk ditangani.
  Jam berdenting seperempat jam. Harus pergi. Harus bergerak ke hari berikutnya. Ia masih menatap bukunya.
  Trajan benar.
  Claudius memang monster. Manusia seperti itu memang pantas dikurung dalam spiral hari-hari masa lalu. Mercy bodoh jika ingin membebaskannya meski jika melakukannya ia akan mendapatkan kembali kehidupannya, dan kehidupan adiknya. Mengapa ia tak memercayai ayahnya selama ini? Mungkin menjadi tawanan di dunia yang gelap adalah hal yang pantas dilakukannya demi mengurung Claudius dari dunia luar. Lelaki itu tak punya hati nurani. Ia mampu melakukan apa saja.
  Dua hari masih tersisa, dan Mercy tak tahu apakah harus melanjutkan menelusuri masa lalu keluarga Verga yang kelam. Mungkin sebaiknya ia pulang saja, menyerahkan buku merahnya, dan berharap Trajan bisa menjahit kembali lubang yang telah dirobek Mercy di hari-harinya. Di sisi lain, pertanyaan-pertanyaan masih mengusik Mercy. Ia ingin tahu apa sebetulnya yang terjadi pada ibunya. Bagaimana Thecla terlibat dalam masalah ini? Benarkah ia meninggal, seperti kata Trajan? Bagaimana rencana Claudius yang rapi dan sangat menakutkan itu jadi berantakan? Dan yakinkah Mercy bahwa mengurung Claudius sebanding dengan kehidupan kelam tanpa akhir yang harus ditanggung Charity, Trajan, dan dirinya sendiri? Apakah ia salah menilai Claudius? Lelaki itu bertindak demi cinta. Cinta besarnya untuk Marietta. Mercy ingat wajahnya, ketika ia mengelus gaun itu. Gila karena cinta. Mungkin cinta seperti itu adalah kata lain untuk egois dan obsesi. Claudius seharusnya meninggalkan Marietta, untuk menikmati kehidupan normal. Atau, jika Claudius benar-benar mencintainya, ia akan menghargai pernikahan yang fana, dan tetap mencintai Marietta meski akhirnya ia menua dan menin ggal.
  Percuma. Tak peduli berapa sering Mercy membolak-balik fakta, tak peduli bagaimana ia menimbang-nimbang dan merenungkan informasi yang dimilikinya, tak ada jawaban mudah yang didapatnya. Ia tak bisa menemukan penyelesaiannya. Hanya satu tindakan yang tersisa. Ia harus mengetahui kejadian-kejadian di dua hari berikutnya. Mungkin setelah itu, dipersenjatai pengetahuan yang lebih luas, ia bisa membuat kesimpulan yang lebih baik.
  Mercy berdiri, mengambil buku merahnya, dan menemukan The Precise Geography of the Lermantas Archipelago di antara catatan perjalanan dan peta. Denah yang terlipat di dalam sampulnya menunjukkan pintu yang dimasukinya di ruang duduk dekat rumah kaca dan pintu berikutnya ada di kamar tidur tamu di lantai satu, tak jauh dari kamar Thecla. Sekali lagi, denah itu tak menunjukkan di mana ia bakal muncul nanti. Sekarang ia takut telah berlama-lama membiarkan hari menuju akhir, dan hari ini mungkin akan segera menutup dan melontarkannya kembali. Mercy menyelinapkan buku The Precise Geography kembali ke rak dan berlari di sepanjang koridor lalu mendaki tangga.
  Untunglah kamar tidur itu mudah ditemukan. Di dalamnya terdapat tempat tidur besar. Panel kayu berwarna gelap menghiasi dinding. Pintu itu seharusnya ada di sebelah kiri separuh panjang kamar. Mercy mengapit bukunya di ketiak dan meraba permukaan kayu yang halus. Ia berjalan perlahan-lahan. Malam sudah turun. Ia harus cepat-cepat. Ia mengosongkan pikiran, memanggil sensasi terjatuh dan pintu itu pun terbuka. Tangannya terperosok ke dalam dinding, dan Mercy terjungkir ke depan menuju celah di antara hari. Gaunnya yang compang-camping berkibar. Buku terlepas dari kepitannya. Detik-detik berlalu. Dan terus berlalu. Benak Mercy berkelana.
  Ia mendarat di koridor, dekat permadani rusa jantan dan unicorn. Suasana gelap dan dingin. Mercy berlutut, masih membungkuk. Ia memungut buku merahnya dari lantai di sebelahnya. Begitu dingin. Angin berembus di sepanjang koridor, membuat lengannya merinding. Kesan musim dingin ini terlalu familier. Ia bisa mencium bau embun beku dengan panik. Ia tak cukup cepat. Apakah hari telah berakhir, tertutup rapat, sebelum ia mencapai bab berikutnya? Pastinya ia ada di rumah lagi, di waktunya sendiri.
  Mercy berdiri, putus asa. Hatinya terasa berat. Bagaimana mungkin ini terjadi? Apakah ia tidak cukup cepat?
  Trajan dan Galatea takkan membiarkannya lolos lagi dan ia takkan bisa mengetahui apa yang terjadi di akhir kisah. Mercy merasa sangat merana. Setelah ia bertekad melanjutkan, rasanya takkan tertahankan jika perburuannya direnggut begitu saja. Perlahan ia melangkah di koridor menuju kamarnya. Jendela menampakkan langit penuh bintang bertaburan.
  Ia menatap keluar, mendengar langkah-langkah kaki di koridor. Menerima nasib, Mercy menunggu Galatea datang menghampiri. Langkah kaki itu mendekat. Mercy menoleh, untuk melihat bukan hanya satu, tapi dua sosok ramping berjalan menghampirinya. Sosok yang lebih tinggi membawa lilin.
  Matahari akan terbit sebentar lagi. Pembawa lilin itu wanita, dalam gaun pelayan dan topi putih. Kita akan sibuk. Api harus dinyalakan di tiap ruangan. Banyak sekali yang harus dilakukan.
  Kedua wanita itu Melewati Mercy begitu saja, tanpa melihatnya. Dan Mercy tersenyum kecil. Pelayan-pelayan itu bukan dari waktunya. Ternyata sekarang bukan tahun 1890. Ini musim dingin di masa lalu. Perjalanan berlanjut. Hari baru terbentang di hadapannya.
  Para anggota keluarga masih tidur. Salah satu pelayan mengetuk kamar Thecla untuk menyalakan api sehingga kamarnya akan hangat ketika ia berganti pakaian. Mercy mengintip ke dalam, melihat kedua orangtuanya berbaring bersama-sama di tempat tidur berukir. Rambut keemasan Thecla tergerai di bantal. Kepalanya berbaring di dada Trajan. Betapa damainya mereka. Wajah Trajan tampak lembut dan mengantuk. Thecla membisikkan sesuatu kepadanya, dan Trajan tertawa, kemudian mencium puncak kepala istrinya, menggenggam tangannya, jemari mereka bertautan.
  Mercy menatap. Mereka begitu dekat, namun begitu jauh. Ia bisa berdiri di sebelah mereka dan berteriak tapi tetap saja mereka takkan mendengarnya. Ia sendirian. Ia menarik diri dan meninggalkan kamar.
  Mercy mulai mencari Claudius, tapi kedua laboratoriumnya terkunci dan ia tak bisa menemukan bukti lelaki itu tidur di salah satu kamar tamu. Ia juga masuk ke perpustakaan, untuk mencari buku The Precise Geography dan lokasi pintu menuju hari terakir, di tengah, dan mendapati anehnya pintu itu ada di kamarnya sendiri. Di sebelah meja rias. Ia menghafalkan denah itu.
  Jam di atas perapian berdentang delapan kali. Di luar, langit memucat, matahari akan terbit di atas pohon-pohon yang gundul dan ladang yang beku. Di kejauhan, seekor rusa mengangkat kepala dari rumput berlapis es dan tampak menatap ke arah jendela tempat Mercy berdiri.
  Ia turun ke lantai bawah, ke dapur, yang bahkan sepagi ini sudah sibuk dengan kehidupan dan aktivitas. Aurelia dan enam asisten bekerja keras mempersiapkan pesta besar. Di perapian, daging guling raksasa diputar. Wanita kurus dengan wajah berkeringat menyiapkan puding, menuangkan putih telur yang sudah dikocok ke kantong muslin. Cahaya api memantul terang pada cetakan tembaga yang tergantung


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Latest Images

Trending Articles

<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>