Novel Fantasi | Century | by Sarah Singleton | Century | Cersil Sakti | Century pdf
Bedded by the Boss - Lynda Chance Body in the Closet - Mayat Dalam Lemari - Mary Higgins Clark Cinta Itu (Tidak) Merah Jambu - www.YukNulis.com Ketika Angin Bertiup - When the Wind Blows - James Patterson Sebuah Bahu utk Menangis - Ria N. Badaria
a. Mercy mengitari rumah, berlari menaiki tangga menuju taman mawar. Jendela-jendelanya kosong dan gelap. Ia melompat-lompat melintasi jalan masuk, sekarang bergegas, ingin melihat ayah dan adiknya. Di mana mereka? Musim-musim yang berderap sekarang memelankan laju, kemudian akhirnya, langkah demi langkah, menuju pergantian hari seperti biasa. Matahari bertengger di atas atap rumah, sekitar tengah hari di bulan Januari yang cerah, dengan angin dingin. Tunas-tunas mungil bermunculan dari dalam tanah. Mercy, dengan kepala dan kaki telanjang, masih kepanasan, seakan jantungnya tungku, mengalirkan panas ke kedua kakinya.
 Ia berlari menuju bagian depan rumah.
 Ayah! Charity, ia berteriak. Kalian di sana? Aurelia? Di mana kalian?
 Kedua pintu depan tertutup tapi ia mendengar suara kunci diputar. Daun pintu sebelah kiri dibuka. Dari bagian dalam rumah yang gelap, Charity melangkah keluar, mengerjapkan mata dalam cahaya matahari.
 Mercy? katanya, melindungi mata dengan tangan. Mercy, kaukah itu? Terlalu terang. Aku tak bisa melihat.
 Ini aku, kata Mercy. Suaranya terdengar berbisik. Charity tampak begitu rapuh. Seperti wanita tua dalam pakaian anak-anak antik. Ia bahkan tak bergerak seperti anak kecil. Hati Mercy teriris melihatnya. Charity mengendap keluar, menarik syal di bahunya, menghindarkan wajahnya dari matahari. Mercy mendekat, mengulurkan tangan.
 Apa kau menemukan gambar-gambarku? Tanya Charity. Apakah berhasil?
 Mercy memeluk adiknya. Tentu saja, jawabnya. Lihat matahari! Tak bisakah kau merasakannya? Kehidupan kita bisa berjalan kembali.
 Membutakan mataku, kata Charity. Ia mengintip hati-hati, melalui lengan Mercy. Segalanya hijau sekali. Ia mengerjap, mata berair dalam terpaan cahaya matahari saat ia membiasakan diri dengan cuaca terang-benderang.
 Bagaimana kau melakukannya, anak pintar?" tanya Charity. Bagaimana kau mengembalikan matahari?
 Bukan hanya matahari. Masa lalu juga. Kau bisa mengingat lagi. Ibu kita.
 Charity melangkah mundur, mengerutkan kening. Bisakah?
 Ia memalingkan wajah dari Mercy, menatap ke dalam kenangan yang tak bisa dilihat kakaknya. Detik-detik berlalu. Mercy menunggu, masih menggenggam jemari Charity. Burung robin mendarat di ranting gundul dan mulai berkicau. Angin berembus, mengibarkan helai-helai rambut Mercy.
 Kemudian Charity tertawa dan berdiri tegak, kesan wanita tuanya lenyap seketika. Ya, katanya. Matanya bersinar. Ya, aku ingat. Kita bahagia sekali waktu itu. Menyenangkan sekali.
 Semua akan dimulai lagi. Kita bisa membuatnya menyenangkan, kata Mercy. Kita bebas. Musim semi akan tiba, dan bunga-bunga, kemudian musim panas.
 Mercy? Charity? Galatea melangkah keluar. Wajahnya khawatir. Anak-anak, apa yang terjadi? Mercy? Apa yang kaulakukan?
 Aurelia ikut keluar, melap tangan di celemek. Ia menghampiri anak-anak perempuan, menatap Mercy dari ujung kepala sampai ujung kaki.
 Kau tumbuh, katanya. Charity juga. Kenapa kau memakai gaun lama Charity? Kenapa kau kotor sekali?
 Serangan pertanyaan mereda. Wajah Aurelia melembut. Matanya berwarna biru kehijauan indah, sekarang sangat cerah, seakan cadar telah terangkat.
 Tapi kau tampak sehat dan cantik, katanya, menyedot hidung cepat-cepat. Bahkan dalam gaun compang-camping itu. Sudah lama rasanya aku tak memerhatikanmu dengan sungguh-sungguh. Hari ini aneh sekali. Ia menepuk bahu Charity, dan meraih ke depan untuk menyibakkan helaian rambut hitam dari wajah Mercy. Masuklah dan bersihkan dirimu, katanya. Aku akan memasak banyak air. Kau bisa mandi.
 Ketika melangkah melalui ambang pintu, Charity menoleh ke belakang ke arah matahari di atas taman.
 Saat mereka melintasi bagian dalam rumah, kedua anak perempuan itu berlarian memasuki tiap ruangan untuk membuka semua kerai dan menyib akkan tirai-tirai yang berat. Debu tampak beterbangan ketika cahaya matahari memancar melalui jendela men erangi perabotan, lukisan, dan permadani untuk pertam a kalinya selama seratus tahun.
 Di dapur, Aurelia mulai menyalakan api. Ia menyuruh Charity menimba air untuk mengisi ketel tembaga besar.
 Aku harus menemukan Ayah, kata Mercy, ketika sang pengurus rumah membungkuk di atas perapian. Aurelia berdiri, melap tangan di celemeknya. Ia tampak khawatir lagi.
 Aku tak tahu di mana kau bisa menemukannya. Ia ragu sesaat. Hati-hati, Mercy.
 Mercy mengangguk. Aku takkan lama-lama, katanya. Aku sangat lapar. Saat aku kembali bisakah kita makan? Kita semua bersama-sama?
 Ia meninggalkan Aurelia berdiri di sebelah perapian dapur yang menyala. Di mana Trajan berada? Di kamar Thecla, di sisi tempat tidur tempat ia telah kehilangan istrinya? Di reruntuhan gosong bekas tempat tinggal para pelayan, tempat Trajan berkelahi dengan adiknya?
 Mercy takut menemuinya, tapi sangat ingin melihatnya.
 Sekarang ia bisa mengingat hari-hari saat ia berjalan bersama ayahnya menuju arboretum yang berkembang, ketika Trajan mengajarinya nama-nama pohon dan semak, dan berkuda di taman pada musim gugur. Tawa Trajan begitu keras ketika Mercy mengarang kisah-kisah lucu tentang bidadari air yang tinggal di danau.
 Rumah tampak mengecil. Labirin tangga dan koridor tak lagi tampak terlalu rumit.
 Naluri mercy membawanya ke perpustakaan. Ia mendorong pintunya terbuka.
 Trajan duduk memuggunginya, di meja di tengah ruangan. Mercy melangkah melewatinya dan membuka kerai kayu di jendela tinggi pada tiap ujung ruangan. Cahaya memancar, membentuk kolam tak bergerak berwarna keemasan di lantai. Butiran-butiran debu berkelip di pancaran cahaya yang menerangi bahu bungkuk Trajan dan kepalanya yang menunduk. Mercy berdiri di depannya, berusaha melihat wajahnya.
 Ayah? katanya lembut. Aku minta maaf karena tak mematuhi Ayah. Tapi aku tak menyesali perbuatanku.
 Trajan tetap bergeming.
 Aku akan pergi jika itu keinginan Ayah. Aku akan meninggalkan rumah. Aku tahu Ayah menganggapku membahayakan kalian. Tapi aku hampir tidak hidup. Begitu banyak hal yang bisa kita lihat dan lakukan. Kita sekarat, terkunci di malam hari. Aku ingin tumbuh dewasa. Aku ingin melangkah keluar dan bertemu orang lain. Aku ingin mengetahui segalanya tentang keluarga kita.
 Trajan masih tidak bereaksi, dan sesaat Mercy takut sesuatu yang mengerikan telah terjadi bahwa jantungnya berhenti, atau mungkin ia terkena penyakit. Tapi itu pikiran konyol. Keluarga Verga hidup selamanya. Ia mengulurkan tangan dan menyentuh bagian atas kepala ayahnya dengan ujung jemari.
 Ayah? panggilnya. Suaranya bergetar. Perlahan Trajan mengangkat wajahnya dan menatap mata Mercy.
 Mercy, katanya. Suaranya lirih dan serak. Ia menarik napas dalam-dalam dan terbatuk, seakan kerongkongannya penuh debu.
 Aku mengira aku mengira Ayah sudah meninggal! kata Mercy.
 Wajah Trajan yang putih dan kaku berubah jadi hangat, ada senyum sedikit. Jangan konyol, katanya. Kita tidak mudah meninggal.
 Mercy menunggunya bicara lagi, berusaha membaca suasana hatinya. Trajan meregangkan tangan dan jemarinya, melemaskan otot. Ia menggosok wajahnya, seakan baru saja terjaga dari tidur lelap. Di atas meja di hadapannya terletak sisa-sisa bukunya. Sampul merahnya terbuka. Halaman-halamannya berjamur dan hancur.
 Kau tak perlu meninggalkan rumah, katanya, berjuang menemukan kata-kata yang tepat. Kemampuanmu telah melebihi kemampuanku, Mercy. Tak ada halangan yang kubuat yang bisa mencegahmu. Ia mengerjap, mata berair. Kau mirip sekali dengannya, katanya.
 Mercy menelan ludah. Tidakkah Ayah mencintaiku juga? ia bertanya, dengan suara kecil.
 Trajan menatapnya segera. Mercy, katanya lembut. Tadinya aku tak bisa hidup tanpa ibumu. Aku pengecut. Aku tak mampu menghadapi dunia tanpanya dan aku juga tak tahan melihat kesedihan Frederick serta kehilangan yang dialami adikku. Duniaku runtuh. Rasanya jauh lebih mudah bersembunyi dan mencengkeram masa lalu.
 Jadi Ayah tidak marah padaku? Tanya Mercy. Beban rasa bersalahnya mulai terangkat.
 Trajan berdiri. Ia tersenyum lagi. Kali ini senyumnya hangat. Pipinya mulai dialiri warna.
 Tidak, aku tidak marah, katanya. Aku mengurung rumah dalam malam musim dingin yang panjang. Saat itu rasanya itulah yang sesuai. Hatiku beku. Kehidupan serasa berupa tanah gersang yang tak bisa ditumbuhi apa pun lagi. Tanpa harapan akan hari esok. Aku menginginkan tidur tanpa akhir. Tapi aku egois, Mercy. Aku tak memikirkanmu dan Charity. Kebutuhan kalian akan hidup jauh lebih besar daripada keinginanku mengakhirinya.
 Jadi kita bisa hidup lagi, di Century?
 Ya, katanya. Ya, kita bisa.
 Ia menjauh dari Mercy dan berdiri di tengah cahaya matahari dekat jendela lalu menatap ke arah taman. Mercy mengikutinya.
 Bagaimana perasaan Ayah sekarang? Mercy bertanya, mengamati wajah ayahnya. Apakah masih sangat menyakitkan, kehilangan Ibu?
 Trajan menunduk menatap putrinya. Tentu saja, katanya. Perasaan itu datang bagai gelombang. Tak selalu terasa perih. Dan untuk mengurangi rasa kehilangannya aku memiliki dirimu dan Charity. Aku rindu kalian berdua. Aku takut, karena dunia di luar berubah begitu banyak dalam seratus tahun. Dan aku takut karena tak tahu bagaimana kita akan hidup sebab kita berbeda dengan orang lain. Tapi itu ketakutan lama, dan aku sudah terbiasa. Aku ingin sekali memeriksa tanaman di arboretum serta rumah kaca, dan aku kelaparan maka aku usul kita ke dapur dan berharap Aurelia bisa masak banyak untuk kita. Banyak yang harus kita bicarakan.
 Ia mengulurkan tangan, dan Mercy menggenggamnya erat-erat.
 Ayolah, kata Trajan. Waktunya pergi.
 * * *
 Aurelia perlu menggosok kuat-kuat untuk menghilangkan jelaga dari kulit dan rambut Mercy. Ia mengisi bak mandi kaleng dengan air panas, dekat per apian. Charity duduk di sisi lain meja dapur, tertawa-ta wa dan menggoyang-goyang kaki. Mercy mengeluh ket ika sisir menarik-narik rambutnya yang tebal dan basah . Ketika Aurelia memarahinya, Mercy memeluk tubuh k uat dan kurus sang pengurus rumah dan menempelkan wajah keras-keras di tubuh Aurelia, sampai Aurelia ber henti mengomel dan mulai terisak, mengusap mata den gan punggung tangan.
 Baik Charity maupun Mercy tak punya gaun yang cukup di tubuh mereka, maka Galatea memilihkan pakaian dari lemari Thecla, dan biarpun baju-baju itu juga lapuk dan pudar, setidaknya kancing-kancingnya bisa dikaitkan di bagian belakang. Mercy mengenakan anting-anting mutiaranya.
 Mereka tak melihat Claudius. Mungkin ia sudah dalam perjalanan dari Inggris menuju Negara lama. Diam diam Mercy lega lelaki itu tidak muncul. Ada hal-hal di masa lalu yang tak ingin diingatnya terlalu jelas.
 Trajan terperangah melihat kedua gadisnya berdandan rapi. Mereka duduk bersama di meja dapur, beserta Galatea dan Aurelia. Trajan mengeluarkan sebotol besar angur, kelabu tertutup debu, dan sudah minum beberapa gelas. Sekarang gelasnya penuh lagi. Rambut Mercy bercahaya, masih tergerai melewati bahu. Mereka makan besar, ayam panggang dan kentang, tumpukan kubis dan parsnip. Semuanya terasa panas dan enak, renyah dan lezat.
 Sesudahnya, ketika matahari yang menyilaukan mulai tenggelam, Trajan membawa kedua putrinya keluar untuk menatap matahari terbenam di balik pepohonan, di antara awan yang seperti bendera panjang berwarna merah jambu dan emas.
 Apa yang akan kita lakukan malam ini? ia bertanya. Mendengarkan musik? Membaca bersama atau main kartu? Wajahnya merah jambu dan Mercy menduga ia agak mabuk. Ia tampak sangat ceria.
 Main kartu, kata Charity. Aku tak ingat caranya. Ayah harus mengajariku lagi. Tapi Ayah harus menemukan kartunya dulu.
 Trajan menengadah dan tertawa. Kita akan beli kartu lagi, katanya. Mengasyikkan, bukan? Seperti apa dunia di luar sana? Setelah seabad?
 Matahari menghilang, semburat warna terakhir meredup di balik awan. Trajan menggandeng tangan kedua putrinya dan menuntun mereka kembali ke dalam rumah.
Â
 Epilog
 MERCY dan Charity berada di ruang duduk anak bersama ayah mereka, yang membaca keras-keras buku Putri sang Penyihir. Galatea sibuk membordir. Mercy menatap wajah Trajan, mengenali raut yang mirip dengan dirinya sendiri, dan Charity. Seakan raut wajah tak pernah menjadi milikmu sendiri, hanya dipinjamkan. Disewakan, diwarisi, dibentuk ulang. Warisan keluarga yang dibagikan, orangtua kepada anak, turun-temurun.
 Trajan berhenti membaca, menyeruput secangkir teh. Di sampul buku tertoreh nama Mercy bersama nama ibunya. Mercy Galliena Verga. Warisan. Lingkaran