Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Fade into You - 4

$
0
0

Cerita Remaja | Fade into You | Serial Fade by Kate Dawes | Fade into You | Cersil Sakti | Fade into You pdf

Kemurungan Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Dara Getting Married - Citra Rizcha Maya Keluh-kesah Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru The Bridesmaid’s Story - Irena Tjiunata Mencari Seikat Seruni - Leila S. Chudori

gin aku pergi..."
  "Kau baik sekali," kataku.
  Ketika kami keluar ke lorong, Max mendorongku ke dinding dan menciumku, lidahnya menjilat dengan nikmat melalui mulutku.
  "Hampir saja," katanya.
  "Ya. Syukurlah dia datang."
  "Tidak, tidak bagus sama sekali. Aku tidak akan menyerah. Aku tidak akan menyerah padamu, Olivia."
  Aku menyilangkan tangan di depan dada. Mungkin lebih defensif daripada yang aku butuhkan. "Ini mungkin akan menjadi ide yang baik jika kau melakukannya."
  Max membungkuk, wajahnya hampir dua inci dari wajahku. "Apakah aku tampak seperti tipe orang yang tidak akan berusaha mendapatkan apa yang dia inginkan?" Dia menciumku lagi untuk satu menit penuh, kemudian melangkah mundur, mengamatiku dari atas kebawah, dan berkata, "Kau sempurna."
  Lalu ia berjalan menyusuri lorong, tidak menengok lagi. Aku berdiri di sana dengan diam, terkejut dengan apa yang baru saja terjadi padaku selama beberapa jam terakhir.
  Ketika Max berbelok menyusuri lorong aku bersandar ke dinding dan berkata pelan: Begitu. Juga. Kau.
  ***
  Fade Into You Bab 4
  Krystal memberiku omong kosong tentang seluruh kejadian itu sepanjang sisa akhir pekan. Kami menghabiskan Sabtu berjalan sekitar Las Vegas, makan siang di buffet murah. Memanjakan, tapi tidak terlalu sehat, dan hanya itu yang aku inginkan setelah mengalami malam yang gila.
  Aku tak melihat Max lagi sampai Minggu pagi. Aku dan Krystal check out dari hotel, berdiri di meja resepsionis. Karena akhir pekan ini dia yang traktir, ia membayar tagihan dan aku hanya melihat-lihat sekeliling.
  Max sedang berdiri di pintu masuk restoran hotel, mengenakan pakaian kasual. Dia memakai kacamata Ray Bans-nya, jadi aku tidak bisa melihat matanya. Kurasa dia mungkin sedikit mabuk dan ia melindungi matanya dari cahaya.
  Di sampingnya berdiri wanita pirang cantik bertubuh tinggi dengan gaun merah. Dia membelakangiku jadi aku tak bisa melihat wajahnya. Wanita itu berdiri dengan satu kaki disilangkan di atas yang lain, pergelangan kakinya terkunci. Dia mengenakan sepatu tumit lima inci yang memamerkan otot betisnya. Dia tampaknya banyak bicara.
  Pada satu titik dia meletakkan tangannya di bahu Max.
  Aku benci kenyataan bahwa melihat bahasa tubuhnya yang membuat perutku bergolak. Sepertinya aku tidak punya alasan untuk cemburu. Setelah semua yang terjadi, aku adalah orang yang menolaknya pada malam itu. Tapi aku membenci kenyataan bahwa aku harus mengakhirinya. Aku tahu aku telah melakukan hal yang benar, tapi aku masih benci itu.
  Max telah mengatakan kepadaku bahwa dia tidak menyerah, dia bukan tipe pria yang tidak mengejar apa yang ia inginkan. Aku tidak punya alasan untuk berpikir bahwa itu tidak benar, tapi melihat dia dengan perempuan itu seperti sebuah tamparan di wajahku. Tentu saja dia pergi setelah mendapatkan apa yang dia kejar. Tentu saja dia mendapatkan apa yang dia inginkan. Dan dia mungkin tidak ingin aku. Itu karena aku bukanlah satu-satunya. Persis seperti yang telah kuramalkan sendiri ketika dia berada di atasku di kamar hotel malam itu.
  Aku benar-benar harus membiarkan ini berlalu....
  ***
  Seperti biasa hari minggu adalah hari saling menanyakan kabar dengan orangtuaku, jadi aku menelepon mereka ketika kami kembali ke LA.
  Mereka menggunakan telepon yang berbeda di rumah dan ketika aku mengatakan kepada mereka apa yang telah kulakukan di akhir pekan kemarin, ada jeda kemudian hening sebelum ibuku berkata, "Harold, kau dengar apa katanya?"
  "Ya."
  "Well, kau tidak akan mengatakan apa-apa?"
  "Kupikir kau sudah mengatakannya."
  Ini adalah hal biasa untuk orang tuaku. Mereka berdua sangat konservatif dan sangat menuntut kepada Grace dan aku, tapi untuk urusan memberi ceramah biasanya tugas itu jatuh pada ibuku.
  Ibuku berkata, "Mereka menyebutnya 'Sin City , apa kau tahu itu, Olivia?"
  "Ya, Bu, aku pernah mendengar itu sebelumnya."
  Oh, kalau saja dia tahu betapa aku hampir saja berbuat dosa dengan Max.
  "Kau tahu itu kan, Harold?" sepertinya ibuku juga memarahi ayahku.
  Aku menyudahi obrolan dengan bertanya tentang topik favorit mereka yaitu, Claire, keponakanku. Mereka menceritakan setiap hal kecil yang Claire lakukan saat ia saat hampir merayakan ulang tahunnya yang pertama, dan ibuku berkata, "Kau akan melihatnya segera. Thanksgiving, kan?"
  Aku mengatakan kepadanya bahwa aku pasti pulang untuk Natal, tapi belum yakin saat Thanksgiving. Ini memicu perdebatan sepuluh menit, dan pada akhirnya aku sangatlah siap mengakhiri telpon yang melelahkan itu.
  ***
  Aku pergi keluar dari kamar dan menemukan Krystal berbaring di sofa menonton TV. Dia terpaku dengan argumen tentang dua Kardashian bersaudara. Aku duduk di salah satu kursi dan menonton selama beberapa menit, tapi itu menjengkelkan dan aku mampu untuk tidak memikirkan Max.
  Ketika acara TV sedang iklan, Krystal mematikan suara televisi. "Apa yang salah?"
  Aku tersentak dari lamunan. "Tidak ada."
  "Bohong."
  "Hanya ... aku tak tahu."
  Dia duduk dan menghadapku. "Ini tentang Mr. Hollywood, bukan?"
  Aku menarik kakiku ke kursi, memeluk lututku ke dadaku, dan mendesah. "Apakah itu jelas?"
  "Uh, yeah. benar-benar jelas."
  Aku mengatakan kepadanya seluruh cerita, apa yang terjadi setelah Max meninggalkan kamar hotel sehingga dia tahu tidak ada yang terjadi. Nah, tidak banyak, pula. Hanya cukup untuk membuatnya menjadi topik pembicaraan berulang, Krystal mengatakan bahwa aku harus melupakan malam itu.
  "Dengar," katanya, "jika kau akan menjalani hidupmu di sini, Kau harus terbiasa dengan hal semacam ini. Terutama karena kau akan bekerja di sekitar aktor, sutradara, produser... Maksudku, coba pikir, Kau cantik, lajang, dan banyak pria menyukaimu. Ini bukan Ohio, dan ini bukanlah kota kecil kita."
  Ya dia benar. Aku berada di perairan yang belum terpetakan dan mungkin ini diluar jangkauan kepalaku. Tetapi jika aku akan hidup di sini, aku harus belajar untuk berurusan dengan itu. Itu tidak berarti aku harus tidur dengan setiap pria yang membuatku tertarik, itu berarti aku harus menjadi terampil dalam memilih yang tepat untuk mengatakan iya dan mengatakan tidak untuk orang yang tidak tepat.
  Aku harusnya tidak menarik Max pada situasi seperti itu, dan aku merasa sedikit bersalah tentang hal itu.
  Tetapi masalah terbesarnya adalah, apakah kejadian malam itu akan membawa dampak kepekerjaanku.
  "Sial. Apa yang akan kulakukan jika dia ternyata Jacqueline batal mendapat peran dan Kevin tahu sebabnya? Aku akan kacau."
  Krystal bangkit dari sofa dan menyambar gelas kosong. Dia berjalan ke dapur sambil menjawab. "Kupikir tak ada yang dapat kau lakukan tentang hal itu sekarang. Kecuali mungkin meneleponnya dan tidur dengan dia sekarang."
  "Ayolah, aku serius."
  "Aku tahu," katanya, suaranya terdengar dari dapur. "Maaf. Seandainya aku bisa memberimu saran. Apakah kau ingin minum anggur?"
  "Ugh. Tidak, aku sudah banyak minum khir pekan ini."
  Krystal jelas tidak akan banyak membantu, tapi aku berharap dia memiliki beberapa pendapat untukku. Bahkan sesuatu yang kecil dan tidak berarti yang mungkin memicu solusi dalam pikiranku. Tapi semua harapan itu pupus ketika dia datang kembali ke dalam ruangan.
  "Oh! Acara itu sudah mulai lagi." Dia meraih remote televisi dan membesarkan volume. "Maaf, aku harus menonton lagi."
  ***
  Aku tiba di kantor Senin pagi bertekad untuk mengembalikan pikiran jernihku sebelum perjalanan ke Vegas, yang berarti fokus pada pekerjaan dan pekerjaan saja, dan itulah yang aku lakukan sepanjang minggu. Bekerja siang hari, Netflix di malam hari.
  Kami tidak mendengar kabar dari Max atau orang-orangnya sepanjang minggu. Aku bicara beberapa kali dengan Jacqueline, dan ia menjadi semakin sulit untuk ditangani. Jacqueline yakin ia tidak akan mendapatkan peran. Sekali lagi, aku harus menjadi terapis dan menjaganya secara stabil.
  Jumat ini aku harus bertemu dengan seorang komedian yang yang bercita-cita menjadi actor papan atas. Tugasku adalah melakukan ulasan dan membuat resume untuk surat-surat lamaran yang di kirim kepada kami oleh orang yang mencari agen.
  Sam Ryan terlambat lima belas menit untuk pertemuan, kesan pertama yang buruk bagi seorang aktor mencari representasi. Dia mengenakan celana jeans hitam, t-shirt putih, jaket kulit hitam, dan terlalu banyak aftershave.
  Kami pergi ke ruang konferensi dan mulai dengan beberapa obrolan ringan tentang cuaca dan lalu lintas yang mengerikan, percakapan khas LA.
  Dalam waktu sepuluh menit, aku tahu aku sedang berhadapan dengan seorang pria yang berpikir terlalu banyak tentang dirinya sendiri. Dia terus mengatakan betapa sutradara audisi tidak tahu apa yang mereka lakukan, betapa ada banyak sekali bakal terpendam di luar sana yang belum dimanfaatkan dan dia adalah cream of the untapped crop (orang terbaik) dan bagaimana industri itu terlalu khawatir dengan uang yang berdampak merugikan pada seni.
  Dia tidak jelas dengan sikapnya itu, dan itu bukan tugasku untuk mengubahnya. Dia tidak akan memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Kevin.
  Kesalahan terbesarnya adalah dengan mengatakan padaku bahwa ia pernah ikut di dua episode Friends, dan ada bagian dialog untuknya di dua episode tersebut. Ia mengklaim bahwa ia seharusnya menjadi salah satu karakter yang terus muncul yaitu mantan pacar Monica. Mudah bagiku untuk memeriksanya tapi itu tak perlu kulakukan. Aku adalah penggemar besar dari serial itu dan aku mungkin pernah melihat salah satu episodenya sampai tiga kali. Aku akan ingat orang ini. Jadi aku menambahkan "pembohong" ke daftar negatifnya.
  "Jadi kenapa anda tidak punya perwakilan agen sekarang?" Tanyaku.
  "Yah, agen saya baru saja meninggal, jadi itu sebabnya mencari agen yang baru."
  Aku merasa tidak enak untuk mengajukan pertanyaan dengan nada sarkastik. "Oh, aku ikut berduka mendengarnya. Siapa namanya? Pria atau wanita?" Aku melontarkan pertanyaan untuk menemukan resume miliknya.
  "Estelle Leonard."
  Aku berhenti. Itu adalah nama agen yang mewakili karakter Joey pada Friends. Ada apa sebenarnya dengan orang ini? Dia gila atau bodoh, atau dia mengira aku bodoh. Pada titik ini aku memutuskan ini tidak lucu dan aku tidak memiliki kesabaran untuk mendengarkan omong kosongnya lagi.
  Aku segera mengakhiri pertemuan dengan berdiri dan mengatakan padanya, "Terima kasih telah mampir. Kami akan menghubungi anda." Itu adalah cara yang baik untuk mengatakan: Jangan hubungi kami, Kami yang akan menghubungi Anda.
  "Kau punya rencana malam ini?" Tanyanya.
  Aku tertegun, mengingat betapa dingin aku telah memperlakukannya. "Maaf?"
  "Aku hanya ingin tahu mungkin kita bisa 'berkencan'," katanya, sambil jarinya membentuk tanda kutip.
  "Saya rasa tidak."
  Dia merendahkan suaranya, bukan untuk kepentingan privasi, tetapi dalam upaya nyata untuk terdengar seksi. "Anda tak tahu apa yang telah Anda lewatkan."
  "Saya punya pacar."
  "Jadi?"
  "Jadi, sekali lagi, tidak."
  Dia melangkah ke arahku, melihat tepat di dadaku. "Kau benar-benar panas. Katakan saja apa yang kau mau."
  Jengkel, aku mengatakan padanya hal yang sebenarnya. "Kau ingin tahu apa yang aku mau? Sebuah hukuman serius untuk anda." Aku melangkah menuju pintu ruang konferensi, membukanya, dan melangkah ke samping. Aku memberi isyarat keluar pintu dengan tanganku. "Semoga berhasil, Mr. Ryan."
  Dia berdiri tegak dan mulai bergerak menuju pintu. Aku memberinya sedikit lebih banyak ruang.
  "Anda tidak harus menggerutu tentang itu," katanya.
  Aku biarkan dia keluar dari ruangan, menuju lobi, dan ketika ia meraih pintu utama aku berkata, "Dan Anda tidak harus memakai aftershave murahan begitu banyak!"
  Dia terus berjalan tanpa menengok ke belakang.
  Pintu kantor Kevin terbuka dan ia menjulurkan kepalanya keluar. "Apa semua baik-baik saja?"
  "Ya, maaf. Semuanya baik-baik saja. "
  "Oke. Aku sedang ada panggilan, tapi beri aku..." Dia melihat jam tangannya. "Beri aku sekitar lima belas menit dan kita akan membahas beberapa DVD demo ini."
  ***
  Aku sedang mengumpulkan barang-barang itu dari meja ruang konferensi untuk membuang ke tempat sampah, dan berpikir apakah Sam Ryan memang benar. Aku tak pernah menganggap diriku sebagai perempuan penggerutu sebelumnya, tapi kukira ada bagian dari diriku yang hanya butuh sedikit stres dan menjadi orang menjengkelkan untuk melepaskannya.
  Aku khawatir tentang seluruh hal yang berhubungan dengan Max dan dampak penolakanku terhadap pekerjaan. Ya


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>