Cerita Remaja | Fade into You | Serial Fade by Kate Dawes | Fade into You | Cersil Sakti | Fade into You pdf
Cinta Seorang Copellia - Lisa Andriyana Masa Yang Hilang - Marisa Agustina Marissa - Shanty Dwiana Percy Jackson and the Olympians - Pertempuran Labirin The Iron Fey 1 - The Iron King - Julie Kagawa
iga puluh menit, menyampaikan pesan ibuku tentang resep obat untuk sakit tenggorokan. Aku merasa bersalah karena berbohong pada mereka, tapi aku tidak bisa bicara dengan mereka saat itu. Aku tidak punya pilihan.
Aku menghabiskan akhir pekan sendirian saja, menonton hal-hal yang akan dimasukkan ke dalam daftar antrian Netflixku.
Di satu sisi, aku juga takut untuk menghadapi hari Senin. Kutahu aku tidak bisa bolos bekerja, tak peduli betapa aku ingin menghindarinya, tapi terlihat seperti ada sesuatu yang salah dan akan membuat Kevin bertanya padaku tentang hal itu. Dari sisi baiknya bahwa aku memiliki sesuatu selain dari streaming film yang harus aku fokuskan, dan tidak berpikir tentang betapa bodohnya aku telah melakukan hal sejauh itu dengan Max.
Kevin memanggilku tak lama setelah aku membuka kantor dan mengatakan bahwa dia akan keluar sepanjang hari. Aku menarik napas lega. Aku bisa kembali dengan mudah ke pekerjaanku selama satu hari.
Aku akhirnya bisa berhubungan dengan Krystal kembali ketika makan siang dengan menu salad di mejaku.
"Bagaimana akhir pekanmu?" Tanyanya.
"Oke."
"Apa yang terjadi dengan Max?"
Pintu air telah terbuka dan aku mengatakan padanya semua ceritanya.
Ketika aku selesai dia berkata, "Dasar bajingan, Lihat, ini apa yang sudah kubilang padamu agar kau waspada."
"Aku tahu, aku tahu." Aku tidak ingin dikuliahi.
"Dan dia tidak meneleponmu sepanjang akhir pekan?"
"Tidak."
"Ah, lupakan dia," katanya. "Aku tahu kau memiliki hubungan kerja dengan dia, tapi hanya sampai di situ saja."
Aku tidak mengatakan apa-apa.
Krystal bertanya, "Jadi...apakah itu nikmat?"
Aku menghela napas. "Terbaik malah."
Dia tertawa kecil. "Oke, jadi kau hanya mengingat itu sebagai seks terbaik yang pernah kau rasakan dan lupakan. Hidup harus terus berlanjut di kota ini."
"Omong-omong, apa yang kau lakukan sepanjang akhir pekan lalu?"
"Oh, Tuhan. Aku bertemu dua orang cowok..." Dia melanjutkan untuk menceritakan kisahnya menghabiskan akhir pekan dengan dua pria, lengkap dengan rincian cabul dari threesome pertamanya.
Apa kau bercanda? Ujarku.
"Tidak."
"Sialan. Dan kupikir kau sedang bekerja dan aku terus berpikir bahwa aku hanya tidak ketemu denganmu atau ada sesuatu yang lain." Itu tidak benar-benar apa yang aku pikir. Bagaimana aku tidak ketemu dia diantara jam kerjanya? Aku mulai tahu bahwa Krystal memiliki semacam gaya hidup liar dan cukup unik. Dan aku mulai bertanya-tanya bahwa gaya hidupnya tidak berhubungan dengan bekerja di sebuah restoran dan pergi ke audisi. Tapi aku tidak mau ikut campur. Belum saatnya.
***
Kami tidak bicara lagi tentang hal itu sepanjang sisa minggu. Aku hanya melihatnya pada Rabu malam, dan hanya beberapa menit ketika aku berangkat ke tempat tidur saat ia sampai di rumah.
Aku menelepon orang tuaku selama beberapa menit pada hari Selasa untuk membiarkan mereka tahu bahwa kondisiku lebih baik, bekerja, dan segala sesuatu akan baik-baik saja. Grace kebetulan berada di sana ketika aku menelepon dan kami bicara selama beberapa menit.
Dia merendahkan suaranya pada satu saat dan berkata, "Aku bertemu Chris di pom bensin."
Mendengar namanya disebut aku menggigil sampai ketulang dan membawaku kembali pada gambaran dari mimpiku yang kualami akhir pekan lalu.
"Aku bahkan tak ingin tahu."
"Well," katanya, "dia ingin tahu kabarmu."
"Apa yang kau katakan padanya?"
Ada jeda. kemudian hening.
"Grace? Apa yang kau katakan padanya?" Aku bertanya, nada tegas dalam kata-kataku.
"Aku mengatakan padanya bahwa kau pindah ke California."
"Uh huh. Dan?"
Aku mendengar pintu ditutup, dan kemudian terdengar seperti angin bertiup di telepon. Dia pergi keluar untuk menghindar dari jangkauan pendengaran orang tua kami.
"Maafkan aku," katanya. "Aku tahu itu bodoh. Aku hanya ingin dia tahu bahwa kau baik-baik saja, dan bahkan lebih baik, tanpa dia. Aku ingin membuatnya merasa seperti sampah."
Aku mengertakkan gigiku. "Jika ia menelpon ke sini-"
"Dia tak akan mencari tahu di mana kau bekerja. LA sangat besar, kan?"
Aku bersandar di kursiku. Aku tidak ingin berdebat tentang hal ini. "Kau seharusnya tidak mengatakan apa-apa padanya."
"Aku tahu. Maafkan aku."
"Tapi," kataku, "Aku ingin si brengsek itu tahu bahwa aku tidak hancur tanpa dia. Ini satu-satunya rasa...kemenanganku atau semacamnya, kau tahu?"
Kami melewartkan masalah itudan dia menceritakan padaku tentang bayinya dan hal-hal lain yang terjadi di kota kecil kami. Untuk pertama kalinya, dan agak aneh, aku merasa sedikit bernostalgia. Tidak benar-benar rindu dengan rumah. Belum saatnya. Kupikir itu hanya sebuah fantasi pelarian yang mudah untuk menghadapi kenyataan bahwa aku belum benar-benar menyesuaikan dengan keramaian dan hiruk pikuk LA dan Hollywood. Hanya rindu kesederhanaan dan ketenangannya saja.
***
Fade In to You Bab 9
Tidak ada yang lambat atau sederhana tentang sisa akhir mingguku.
Ketika aku sampai di rumah Rabu, setelah bekerja, saku menemukan dua lusin mawar merah di depan pintu, bersama dengan kartu yang mengatakan:
Maaf Aku begitu sibuk. Memikirkanmu dan ingin bertemu lagi denganmu segera. Aku akan menelepon. - M
Pikiran pertamaku adalah rasa syukur bahwa ia tidak mengirimkannya ke kantorku.
Pikiran keduaku adalah bagaimana mengatakan padanya aku hanya tidak siap untuk sesuatu yang begitu kuat, terutama sesuatu yang penuh dengan kemungkinan begitu banyak kekecewaan.
Aku telah sampai pada kesimpulan bahwa aku tidak siap untuk berkencan. Aku juga tidak siap untuk partner seks. Dan aku benar-benar tidak - dan tidak pernah mungkin menjadi siap untuk hubungan dengan intensitas tinggi dengan orang seperti Max.
Hati kecilku terus mengatakan bahwa aku tidak cukup cantik, cukup kaya, atau cukup berkelas untuk seseorang seperti Max. Yang benar-benar menyedihkan adalah bahwa aku merasa seperti aku hanya cukup baik untuk orang seperti Chris Cooper. Dia telah membuktikan secara nyata padaku, dan sementara itu aku telah mampu melepaskan diri dari itu semuanya untuk sementara waktu dan menikmati rayuan dari Max, aku ditarik kembali pada keyakinan menyerah pada diri sendiri.
Sepertinya itu hal yang hampir mustahil untuk mengakui padanya, tapi ada bagian dari diriku yang tahu begitu ia mendengar bahkan hanya setengah cerita saja, dia mungkin akan pergi dalam sekejap mata.
Biarkan saja.
***
Dia menelepon sekitar jam 8:00 malam. Aku meletakkan beberapa pakaian di mesin cuci ketika teleponku berdering. Aku melihat ID pemanggil dan membiarkannya terekam masuk ke voicemail. Aku tidak mendengar ada peringatan voicemail, dan kemudian telepon berdering lagi.
Aku mengambil napas dalam-dalam dan menjawabnya.
Dia berkata, "Hei, sayang."
Sayang? Aku mungkin pernah menganggap kata sayang sebagai istilah yang manis jika situasinya berbeda, dan seandainya aku tidak mengatakan pada diriku sendiri dalam hiruk-pikuk keraguan karena aku hanyalah menjadi petualangan terbarunya.
"Max,-"
"Sebelum kau mengatakan apapun, aku dalam perjalanan ke tempatmu."
"Apa?"
"Aku sekitar sepuluh menit dari tempatmu. Kupikir aku akan mampir."
"Seharusnya kau menelpon terlebih dulu," kataku.
"Aku sudah melakukannya, tapi kau tidak menjawab."
"Kau tahu apa yang ku maksud."
Persetan. Aku mungkin tidak siap untuk bicara, tapi cepat atau lambat ini pasti terjadi. Dan karena ia sedang dalam perjalanan kemari, itu tampaknya akan terjadi lebih cepat.
***
Sepuluh menit kemudian, sama seperti yang ia janjikan, Max mengetuk pintu apartemenku.
Ketika aku membukanya, entah bagaimana ia tampak lebih baik daripada dia sebelumnya. Atau mungkin itu hanya alam bawah sadarku yang mengingatkan apa yang akan aku lakukan, memberitahu pria tampan dan kaya ini bahwa ia harus menjauh dariku, karena aku tidak bisa menghadapi rasa cemburu, ketidakpercayaan, dan keraguan.
Dia mengenakan celana panjang hitam, dengan kemeja biru berkancing. Sederhana. Bersahaja. Tapi sialan, pakaiannya begitu seksi padanya. Satu tangannya di kusen pintu, yang lain di belakang punggungnya, posisinya terlihat santai.
Setelah dia menelpon, aku bergegas ke kamarku dan mengganti celana olahraga usang dan t-shirtku, kembali ke pakaian yang kukenakan untuk bekerja hari itu. Ini mungkin terlihat konyol, berusaha untuk tampil sebaik mungkin dan tidak ingin dia melihatku begitu santai, saat ini akan menjadi yang terakhir kalinya kami berdekatan satu sama lain dan santai. Mulai saat ini, semuanya hanyalah tentang bisnis. Dan itulah mengapa aku memakai pakaian profesionalku.
"Siap untuk bekerja?" Katanya dengan riang.
Aku memaksa tersenyum. "Kita perlu bicara."
Aku bergeser ke samping dan ia melangkah di ambang pintu. "Kata-kata itu tidak pernah berarti baik."
Saat ia bergerak melewatiku, Dibelakang punggungnya, Max membawa sebotol anggur. Bagus. Dia datang ke sini berpikir bahwa kita akan minum beberapa gelas anggur, jadi lepas kendali, dan melakukan hubungan seks.
"Kesukaanmu," katanya.
Aku menatap winenya untuk beberapa detik tapi tidak bergerak untuk mengambilnya.
"Apa yang salah, Olivia?"
Aku menatap lantai. "Mari kita duduk."
Dia mengikutiku ke dalam ruangan. Aku duduk di kursi dan Max mengambil tempat duduk di sofa. Ia meletakkan botol anggur di atas sebuah majalah di meja tamu. "Bahkan tidak mau duduk di sampingku?"
"Max...Maafkan aku. Aku tidak bisa melakukan ini."
"Jika itu adalah waktu yang tidak tepat-"
"Tidak." desahku, menjatuhkan kepalaku ke tanganku. Bernapaslah, Olivia. Kumpulkan kekuatan dan selesaikan ini. "Aku tidak bisa melakukan ini. Kita. Apa yang kita lakukan. Maafkan aku." kata-kataku keluar seperti gerutuan yang terbata-bata.
"Apakah ini tentang malam itu?"
Aku mengangguk. "Tapi bukan tentang seksnya. Itu tentang pengusiranmu."
"Aku tidak mengusirmu pergi."
"Max, kumohon. Biarkan aku selesaikan."
"Maaf. Teruskan."
Aku menarik napas, pelan dan dalam. "Aku seharusnya tidak membiarkan hal itu terjadi sejauh itu. Ini salahku. Aku seharusnya percaya pada naluriku." Aku menatap tanganku seolah-olah memeriksa kukuku. Kemudian menatap kembali padanya. "Ada sesuatu yang kau tidak tahu tentang aku. Aku punya beberapa...masalah di masa lalu, sebut saja begitu. Hal-hal yang terjadi sebelum aku pindah ke sini. Aku belum siap untuk sebuah hubungan, atau berkencan, atau semua ini."
Max bersandar di sofa dan meletakkan tangan di belakang kepala. "Katakan padaku."
"Aku baru saja bilang padamu."
"Ceritakan apa yang terjadi," pintanya.
"Aku tidak mau masuk ke dalamnya. Rincian tidaklah penting."
Dia mencondongkan posisi duduknya dengan cepat, kemudian berjongkok dengan satu lututnya. Itu terlalu mirip seperti sebuah lamaran.
"Jangan," kataku, menggeser kembali ke kursiku.
Dia meletakkan tangannya di lututku. "Kita semua punya masalah di masa lalu, Olivia. Kau pikir aku pulang malam itu tanpa alasan?"
"Apa maksudmu?"
"Masalah di masa lalu. Aku memilikinya juga."
Aku menatapnya melalui air mata yang menggenang di mataku.
"Katakan padaku."
Dia memberiku setengah-senyum. "Aku bertanya duluan."
Aku tertawa.
"Aku akan memberitahumu," katanya. "Dan aku akan mengatakannya dulu. Aku akan berbagi denganmu jika kau berbagi denganku."
"Oke."
Dia duduk di lantai, kakinya yang panjang diselonjorkan, dan bersandar di tangannya. "Aku tidak akan berbohong, aku mempunyai banyak teman kencan. Semua urusan klise omong kosong di Hollywood. Semua itu. Kadang-kadang aku bertanya-ta nya apakah ada orang di kota ini yang asli. Kurasa itu s eharusnya tidak mengejutkanku bahwa semua orang d i sini memainkan film mereka sendiri dikehidupan mere ka. Apakah kau tahu sudah berapa lama aku tidak mel akukan percakapan yang bermakna dengan seorang w anita?"
Aku menggeleng.
"Aku juga," katanya. "Aku menyerah mencoba mengingat terakhir kali aku melakukannya. Bagian terburuknya adalah semua orang mengejar sesuatu. Peran dalam film. Uang. Terlihat tampil di atas karpet merah. Tidak peduli apapun itu, jika aku memilikinya, seseorang pasti menginginkannya, dan ada banyak wanita yang akan melakukan apa saja untuk mendapatkannya. Aku telah memainkan permainan cukup lama. Ini tidak menarik lagi. Tidak ada tantangan, misteri, tidak ada asmara."
"Wow."
Dia bicara dengan penuh keyakinan seperti itu, ia hampir tampak marah tentang hal itu.
"Aku bahkan tidak melakukan apa yang aku sukai lagi," katanya.
"Membuat film? Tapi kau berada di pu
↧
Fade into You - 9
↧