Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Fade into You - 11

$
0
0

Cerita Remaja | Fade into You | Serial Fade by Kate Dawes | Fade into You | Cersil Sakti | Fade into You pdf

Cinta Seorang Copellia - Lisa Andriyana Masa Yang Hilang - Marisa Agustina Marissa - Shanty Dwiana Percy Jackson and the Olympians - Pertempuran Labirin The Iron Fey 1 - The Iron King - Julie Kagawa

n melihat teater mini yang kau ceritakan."
  Dia tersenyum, meraih tanganku, dan membawaku ke pintu tak jauh dari ruang kerja. Kami berjalan menuruni tangga dan disana ada sebuah teater mini.
  "Jangan bilang kau ingin menonton film," katanya.
  "Tidak, aku punya sesuatu yang lain dipikiranku."
  Kami berdiri di antara layar dan baris pertama kursi. Aku kembali ke layar, Max menatapku, dengan kursi- kursi di belakangnya. Aku meletakkan tanganku di dada dan mendorongnya. Bagian belakang lututnya menyentuh kursi, dan dia duduk.
  Mata Max menyipit, seperti sedang mencoba untuk mencari tahu apa yang telah merasukiku. Atau dia tahu, dan gairahnyapun bangkit dan betapa aku sangat menginginkannya.
  Aku berlutut di depannya.
  "Olivia..." Suaranya serak.
  Aku menggeleng. "Jangan coba-coba untuk menghentikanku."
  Aku melepas sabuknya, membuka kancing celana, dan membuka ritsletingnya, sambil tetap membuat kontak mata dengan Max. Aku suka melihat sensasi di matanya.
  Aku menyelipkan tanganku ke dalam boxernya dan merasakan dia semakin keras di bawah sentuhanku. Aku mengelusnya, merasakan itu semakin panjang dan keras. Dia keras dan hangat.
  "Aku ingin kau, Olivia."
  Aku menggeleng. "Uh-uh. Ini adalah balasan untuk sore itu di kantormu, Mister."
  Aku menurunkan celananya dan membebaskan ereksinya. Ini melompat keluar dan berdiri di depanku, panjang dan keras, pembuluh darah terlihat membanjiri dan itu membuatnya begitu keras.
  Tanpa menggunakan tangan, aku menundukkan kepalaku dan mengambil kepala kejantanannya dalam mulutku.
  Max mengerang.
  Bibirku mengerut dan membelai kepala kejantannnya. Aku memegang ujungnya di mulutku dan membuat lingkaran kecil dengan lidahku.
  Aku menaruh tanganku di dadanya dan merasa getaran ketika ia mengerang dengan dalam.
  Aku melepaskan kejantanannya dan lidahku berlari menuruni miliknya yang mengesankan, merasakan setiap kontur dari miliknya. Lidahku berlari dari sepanjang pangkal bawah, dan kemudian ke atas, ereksinya dibawah daguku dan menyentuh leherku. Aku menjilat ke sisi atasnya, kembali ke kepala, di mana aku memasukkannya kembali ke mulutku lagi dan menelan sejauh yang aku bisa.
  "Ya Tuhan, Olivia. Kau membuatku gila."
  Aku mengerang ketika mempercepat isapanku. Kepalaku di pangkuannya dan aku merasakan tangannya lembut menangkup sisi kepalaku. Jari-jarinya menelusuri di sekitar tepi telingaku, membuat leherku menggigil, membuat putingku keras.
  Jempol Max berada di pipiku. Miliknya setengah masuk didalam mulutku, dan kepalaku terkulai dari sisi ke sisi, semacam gerakan memutar. Jempolnya pindah ke tepi mulutku, lalu menelusuri garis bibirku. Dia merasakan kejantanannya meluncur masuk dan keluar dari mulutku.
  Aku mendongak dan melihat ekspresi wajahnya dan mulutnya membentuk huruf O, matanya setengah tertu tup di bawah kelopak berat dengan kabut kenikmatan, dan dia memiringkan kepalanya untuk mendapatkan p andangan yang berbeda.
  Tangannya melepaskan wajahku dan beristirahat di lengan kursi. Dia membaringkan sedikit punggungnya.
  "Aku yakin kau sudah sering melakukannya di sini," kataku, sambil membelai dia dengan tanganku. Aku sengaja mengatakan itu sebagai sebuah pernyataan, daripada dimaksudkan sebagai sebuah pertanyaan.
  "Tidak pernah."
  "Tidak pernah di sini, atau tidak pernah..."
  Jawabannya keluar hanya seperti desahan napasnya: "Tidak pernah didalam bioskop."
  Aku sedikit khawatir tentang aku tidak bisa memuaskan Max, mengingat ia lebih tua dan jelas memiliki pengalaman lebih dariku. Pikiran bahwa aku bisa menjadi yang pertama bagi dia sungguh sangat mendebarkan.
  Aku membawa miliknya kemulutku lagi.
  "Tidak boleh pakai tangan," katanya.
  Nada memerintah dalam suaranya sudah cukup untuk membuatku basah jika saja aku sudah begitu terangsang. Tapi sekarang semua ini tentang Max.
  Aku meletakkan kedua tanganku di pahanya. Kejantanannya berdiri bebas, mulutku menutupinya disekitar kepala bawahnya. Aku bisa merasakan tetesan pertama pre-cumnya.
  Max mulai menggerakan pinggulnya, membelai miliknya dengan bibirku dan lidahku. Aku suka bisa membuat dia bergerak seperti itu. Kejantanannya menjadi lebih keras, membengkak dalam menanggapi sensasi mulutku.
  Aku berkonsentrasi pada kenikmatannya, berputar-putar lidahku di kepala miliknya saat ia didorong masuk ke dalam mulutku, bibirku mengetat disekelilingnya.
  Aku mendengar napas Max jadi berat dan mendalam. Aku mendongak dan melihat dia menatap tajam pada wajahku.
  "Olivia..."
  Aku menggerakkan kepalaku dengan intensitas lebih, kejantanannya tergelincir di lidahku. Aku bertekad untuk menarik setiap tetes kenikmatan darinya.
  Tangan Max di sisi kepalaku lagi. Jari-jarinya menyisir jauh ke rambutku.
  "Aku hampir klimaks."
  Aku sangat menginginkannya. Ingin merasakan, mencicipi, dan menelannya, seolah-olah itu adalah cara lain untuk mengalami kekuasaannya.
  Max berhenti menyodok. Aku merasa kejantanannya berkedut dan mulai berdenyut. Kemudian mengalirlah satu aliran sperma, dan aliran berikutnya.
  "Ah, Tuhan..."
  Aku menatap wajahnya, namun kepalanya mendongak ke sandaran kursi.
  Dia terus datang, seolah-olah ini tidak akan pernah berakhir.
  Cara tubuhnya bereaksi kepadaku, kata-kata dan suara saat dia bicara, setiap tanggapannya terhadap caraku membuatnya orgasme adalah hal yang paling menyenangkan yang bisa aku miliki malam itu.
  Aku membersihkannya dengan lidahku, dan ketika selesai aku meletakkannya kembali ke celananya. Dia masih sedikit keras.
  "Jangan dimasukkan," katanya. "Kita belum selesai."
  "Oh ya kita sudah selesai."
  Dia menatapku bingung. "Aku juga ingin memuaskanmu, Olivia."
  Aku menggeleng dengan senyum kecil di wajahku saat aku menutup ritsleting celananya. "Aku tahu, tapi aku tidak akan membiarkanmu. Aku bilang ini adalah balasan kecil untukmu atas apa yang sudah kau lakukan padaku di kantormu."
  "Kau tidak harus membalasnya, seperti yang kaukatakan."
  "Aku tahu aku tidak perlu. Tapi aku menginginkannya." aku berdiri. "Sekarang, ayo. Mari kita pergi ke atas."
  Aku menyukai kenyataan bahwa ia ingin membuatku telanjang. Tapi apa yang lebih kusukai adalah mengetahui bahwa aku bisa memberikan padanya di saat yang sama aku bisa mengambil apa yang aku inginkan. Selain itu, aku tahu di lain waktu ketika kita berhubungan seks, mungkin ia akan meledakkan benakku.
  Max berdiri dan menempelkan bibirnya dibibirku. Ini adalah pertama kalinya seorang pria telah menciumku setelah mendapatkan blowjob. Dalam pengalamanku yang tidak banyak, pria tidak akan mendekati mulut seorang gadis setelah mereka datang di dalamnya. Tapi Max berbeda. Jadi sangat berbeda.
  Aku harus melepaskan diri dari ciuman karena itu membawa risiko besar terhadapku dan kemudian mungkin aku akan bergairah karena godaannya. Dan aku benar-benar ingin ini menjadi semuanya hanya tentang dia.
  "Mari kita pergi." Aku berlari melintasi lantai teater, seperti anak kecil, dan berjalan menaiki tangga.
  Max tepat di belakangku, berkata, "Kau membuatku takjub, kau tahu itu?"
  ***
  Kemudian, saat aku naik ke tempat tidurnya, aku mulai khawatir tentang insiden dengan Chris.
  Max dan aku berbaring berdampingan, saling berhadapan.
  "Bagaimana kalau dia menggugatmu?" Tanyaku.
  "Dia tidak akan berani."
  "Bagaimana kau tahu? Kau punya kekayaan...berapa jutaan dollar? Mengapa dia tidak akan berani?"
  Jari Max menelusuri pipiku. "Semuanya akan terungkap. Dia tidak akan mengambil risiko untuk itu."
  "Kurasa kau benar."
  "Tenang. Semuanya akan baik-baik saja."
  "Jika itu benar," kataku, "lalu mengapa kau bersikeras bahwa aku harus tinggal di sini bersamamu?"
  "Itu hanyalah keputusan mendadak, dengan segala sesuatu yang telah terjadi. Tapi sekarang lebih mudah karena besok kita akan melakukan sesuatu yang aku tahu belum pernah kau lakukan."
  "Apa itu?"
  Max Dalton pasti tidak akan pernah memberitahukannya. Ini akan membuang-buang waktu dan energi bahkan hanya untuk memulai menebak apa yang ada dalam pikirannya.
  "Aku akan membawamu ke suatu tempat untuk akhir pekan," katanya. "Kita akan mampir tempatmu di pagi hari dan mengambil apa pun yang kau butuhkan."
  "Kita mau kemana?"
  "Ini kejutan."
  "Aku benci kejutan," kataku. "Maksudku, aku benci ketegangan."
  "Ingat terakhir kali aku bilang aku punya kejutan?"
  Ingat? Bagaimana aku bisa lupa? Dia membawaku pergi dan aku mendapatkan seks terbaik dalam hidupku malam itu.
  "Segarkan ingatanku," kataku, pura-pura cemberut.
  Max hanya tersenyum. "Sangat lucu."
  Dia tertidur sebelum aku. Aku memunggunginya dan ia memelukku dari belakang sangat erat. Aku mendengarkan napasnya yang dalam dan teratur. Aku lelah, tapi aku ingin tetap terjaga dan mengkristalkan perasaan ini selamanya dalam pikiranku.
  Rasanya indah. Rasanya benar.
  Setidaknya untuk sementara waktu....
  THE END
 
  Kisah Olivia dan Max berlanjut di sekuel yang emosional dan panas di "Fade Into Me


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>