Cerita Remaja | Fade into Always | Serial Fade by Kate Dawes | Fade into Always | Cersil Sakti | Fade into Always pdf
Kemurungan Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Dara Getting Married - Citra Rizcha Maya Keluh-kesah Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru The Bridesmaid’s Story - Irena Tjiunata Mencari Seikat Seruni - Leila S. Chudori
ke telingaku.
"Milikmu. Ya, aku milikmu."
Max duduk di antara kedua kakiku. Dia tetap didalam diriku saat ia meraih t-shirt yang tergeletak di samping kepalaku. Beberapa kali sebelumnya, saat kami berhubungan seks, ia menahan tanganku di atas kepalaku dengan satu tangan besarnya membungkus di sekeliling pergelangan tanganku. Kali ini ia akan melakukannya secara berbeda.
"Apa kau percaya padaku, Olivia?"
Sepercik adrenalin melintas di dadaku dan aku mulai menggerakkan pinggulku dengan gerakan sedikit berputar-putar, meremas kemaluannya dengan vaginaku.
"Ya."
Max membungkuskan t-shirt disekeliling pergelangan tanganku, kemudian mengikat ujungnya melalui lengkungan besi di kepala tempat tidur. Aku tertahan sekarang, dan dia benar-benar bebas.
Ia meraih salah satu bantal ekstra dan menahannya saat ia membalikkan tubuhku hingga telungkup. T-shirt mengencang saat aku berguling dan hanya berputar sedikit, tapi tidak terasa sakit.
Max mengangkat pinggulku dengan tangannya dan menyelipkan bantal dibawahku. Yang membuat pantatku terangkat keatas, memberinya akses yang lebih baik kearahku. Dia melebarkan kakiku, membuatku lebih terbuka dan rentan. Semua miliknya...
Aku merasakan napasnya yang panas di leherku saat ia merunduk lagi, tangannya di kedua sisi tubuhku untuk menahan tubuhnya, kemaluannya digesekkan dipantatku.
Oh, ya Tuhan...apakah ini? Anal pertamaku? Aku tak yakin aku siap untuk itu. Aku tak pernah menginginkan itu sebelumnya, tapi sekarang, dengan Max, aku menginginkan segalanya.
"Jangan khawatir," katanya, "Aku tidak akan melakukan itu."
Ya Tuhan, apakah dia hampir selalu bisa membaca pikiranku? Ataukah aku hanya sebegitu mudah terbaca?
"Tidak apa-apa," kataku.
"Tidak, kita perlu melakukan pemanasan untuk itu. Dan aku tidak bisa menunggu sekarang."
Kepala kemaluannya mendorong diantara lipatan basah ku lagi, dan Max meluncur masuk kedalam diriku denga n satu dorongan panjang.
"Aku menginginkanmu, Liv. Dan aku akan memiliki seluruh dirimu, dengan segala cara, nantinya."
"Ya, ya..."
Kupikir dia akan melakukannya. Aku berada di posisi yang rentan, dan sementara aku mungkin benar-benar belum siap secara fisik, pikiranku sudah berada di tempat yang akan memberikan apa pun untuk Max. Apa saja untuk menyenangkannya, untuk memenuhi semua kebutuhannya saat ia memilikiku.
Aku merasa ibu jarinya menekanku kemudian dengan sangat perlahan ia melakukan itu, memasuki pantatku.
Kepalaku terjatuh dan wajahku terkubur di atas bantal. Sepertinya ia akan melakukan itu lain kali saat kami berhubungan seks, Max menarik bantal untuk menyingkirkannya dariku dan berkata, "Aku ingin mendengar suaramu."
Aku terengah-engah dan dialah yang menyebabkan mulutku mengeluarkan sedikit rintihan, saat ia menempatkan ibu jarinya lebih dalam lagi.
Tekanan itu terasa intens, perasaan yang luar biasa saat terisi. Kemaluannya menggesek di sepanjang dinding bagian dalamku dan ibu jarinya yang ada disana memaksimalkan sensasinya.
Aku tak mampu menundanya. Aku tak bisa menahan diriku sendiri. Aku merasakan perutku mengejang. Dia keluar dengan cepat dan keras, dan begitu pula denganku.
Dan aku merasakan cairan Max yang licin dan hangat memompa ke dalam diriku.
"Ya Tuhan, Liv...kau membuatku gila dalam segala hal..."
***
Fade Into Always Bab 9
Keesok harinya orang tuaku tiba pada sore hari dengan Grace dan bayinya, keponakanku yang baru. Yang lebih tua tinggal di rumah dengan kakak iparku karena dia terkena flu pada saat akan berangkat. Grace nyaris tidak datang karena anaknya yang sakit itu, tapi dia menjadi tenang ketika ibu mertuanya datang untuk tinggal di rumah mereka selama beberapa hari.
Mereka berkendara dari Ohio sehingga mereka semua kelelahan pada saat mereka sampai ke hotel tempat mereka menginap. Hanya berjarak sepuluh menit dari a partemenku dan aku menuju ke sana ketika Grace me nelepon dan mengatakan Dad sedang check-in kamar.
Kami duduk melingkar selama beberapa saat dan sebagian besar fokus kami pada bayi Grace, tentu saja. Aku tidak bisa percaya dia terlihat sangat berbeda setelah tidak bertemu dengannya selama beberapa bulan.
Dad sedang duduk di kursi dan terkantuk-kantuk, tapi langsung tersentak bangun ketika muncul topik mengenai makanan.
Kami memutuskan untuk mencari makanan yang praktis serta murah, dan hanya pergi ke sebuah restoran franchise.
"Orang disini berkendara seperti orang gila," kata Dad.
Mom setuju dan mengatakan itu mungkin pengaruh obat-obatan.
"Orang-orang juga memakai obat- obatan di Ohio, kau tahu," kataku.
Dad memelototiku dengan tatapan seperti ketika aku masih kecil dan seharusnya diam bukannya menunjukkan fakta sederhana yang tidak sesuai dengan pendapat yang sudah ditetapkan oleh orang tuaku.
"Kami hanya di sini selama beberapa hari," kata Grace. "Bisakah kita tidak beradu argumen?" Dia seperti seorang diplomat, tapi aku tahu dia setuju dengan pendapat mereka. Dia mengikuti pola pikir mereka dalam menjalani kehidupannya dan berpikir seperti yang mereka lakukan, tapi kami masih memiliki ikatan persaudaraan yang tak ada seorangpun bisa memutuskannya dan jika dia punya rencana untuk mengkritikku dengan pedas saat aku meninggalkan Ohio, dia akan menunggu sampai kami sendirian.
Setelah makan malam kami berkeliling kota LA sebentar. Grace ingin melihat kota ini lebih banyak lagi, dan kupikir ibuku juga menyetujuinya, meskipun ia tampak enggan saat duduk disamping Grace ketika ayahku mengatakan di luar sudah gelap dan kami tidak akan bisa melihat apa-apa.
"Dad, seluruh kota diterangi dengan cahaya lampu," kata Grace.
Ayah menunjukkan alasan lain supaya tidak usah berkeliling. "Well, sudah terlalu malam."
"Baru jam 7:40," kata ibuku. "Dengan perbedaan waktu itu, tempat kita bahkan masih belum jam lima."
Ayahku mendesah. "Baiklah, tapi kita tetap menutup jendela dan pintu terkunci."
Grace dan aku saling memandang di kursi belakang dan memutar mata kami.
Tak lama kemudian, kembali ke hotel, kami semua berada di kamar orang tuaku. Grace dan bayinya tinggal di kamar sebelah, dan kedua kamarnya terhubung oleh sebuah pintu.
Inilah saatnya ayahku mulai melemparkan petuahnya dengan serius, mengatakan padaku kalau aku seharusnya benar-benar berpikir tentang pulang kerumah, ada banyak pekerjaan yang bisa dilakukan disana, disanalah teman-temanku berada, dll. Dan, hanya untuk menambahkan rasa bersalahku, ia berkata, "Apa yang akan kau lakukan jika terjadi sesuatu pada salah satu dari kami?"
"Apa maksudmu?"
Ayahku mengangkat bahu. "Bila terjadi kecelakaan. Salah satu dari kami jatuh sakit. Apapun itu. Kau begitu jauh."
"Tidak butuh waktu lama dengan pesawat," kataku.
"Itu tidak murah."
Dia benar, tentu saja. Itu tidak murah untuk membeli tiket penerbangan langsung pada hari itu juga dari LA ke Ohio. Apa dia tidak tahu, dan yang aku tak bisa beritahukan pada mereka, bahwa aku tidak harus membeli tiket. Max akan menerbangkanku pulang dalam sekejap.
Dia berhenti membahas masalah itu, mungkin sedang memikirkan serangkaian serangan berikutnya. Mom duduk diam saja sementara aku dan ayahku membahas masalah kami yang tinggal berjauhan, tapi ketika ibuku bicara, ayahku diam.
"Kuharap, kau belum pernah pergi ke Las Vegas?"
"Aku pergi ke sana setiap akhir pekan."
Mom menatapku kaget. Dad memelotot kearahku.
"Aku bercanda," kataku.
Grace menyerahkan bayinya padaku, sambil menatap dan tersenyum kearahku. Aku balas tersenyum, berpikir betapa menyenangkannya karena memiliki setidaknya satu saudara yang tidak menghakimiku.
***
"Mereka hanya mengkhawatirkanmu," kata Grace beberapa saat kemudian.
"Aku tahu, tapi sangat menjengkelkan."
"Aku juga mengkhawatirkanmu, tahu. Apalagi setelah semua yang terjadi dengan Chris."
"Dia sudah menghilang," kataku. "Dan aku ragu dia akan kembali."
Kami berada di kamar hotel yang bersebelahan. Mom dan Dad sudah tidur, bayi Grace juga sudah terlelap, dan waktu semakin mendekati pukul 11:00.
"Aku tahu, tapi serius, Grace, bukankah kau lebih suka tinggal di sini? Maksudku, kau sudah melihat kota ini. Tidak pernah semenit pun terasa membosankan disini."
"Mungkin aku suka yang berbau membosankan."
Kata-katanya tidak bisa dibenarkan. Dan hal seperti itu bisa membuatku merasa semakin sedih untuknya. Ya, aku bersikap menghakimi, tapi aku sudah terlalu lama menjadi pihak yang menerima penghakiman.
Grace berkata, "Jadi, apa yang terjadi dengan Krystal?"
Ya Tuhan. Topik ini. Salah satu yang tidak ingin kubicarakan. Salah satu alasan yang akan menegaskan kembali bahwa dia dan orang tuaku membenarkan tentang masalah ini mungkin akan menjadi adegan yang terburuk bagiku. Salah satu alasan yang akan memberi mereka kesan yang salah tentang bagaimana indahnya kehidupan ini ketika kau menganggap segalanya bersama Max.
Aku berkata, "Aku hampir tak pernah melihatnya. Dia selalu bekerja di restoran itu atau pergi untuk panggilan casting." Nah. Aku telah berbohong. Tapi aku harus melakukannya. Dan itu berhasil. Dia ganti ke topik lain.
"Apa yang kau lakukan ketika kau libur?" Tanya dia.
Aku bisa saja menjawab jujur dengan satu kalimat yang tiba-tiba muncul di benakku: Ketika aku tidak bekerja, aku mengerjai Max. Tapi itu adalah lelucon kecil yang harus kusimpan untuk diriku sendiri.
Aku memberinya respons secara umum, hang out dengan teman-teman, masih berusaha untuk melihat seluruh penjuru kota dan sekelilingnya, pergi ke gym.
"Apa kau sudah bertemu dengan seorang cowok?"
Cowok.
Aku terlihat sangat ragu-ragu, sedikit terlalu lama karenanya jelas sekali aku harus memberikan jawaban itu.
Kami berbaring di tempat tidur. Aku tidur terlentang, ia tengkurap, ketika dia merasakan aku punya sesuatu yang menarik untuk dikatakan, dia berguling miring menghadap ke arahku.
"Ohhh, Kau punya. Cepat katakan."
Jadi aku menceritakannya. Bahkan tentang perjalanan ke Napa. Tapi tidak kuceritakan saat aku ke New York.
"Dan...ingat ketika aku mengatakan padamu bahwa ada seseorang yang telah menyelamatkanku dari Chris malam itu di pintu apartemenku?"
"Ya. Seorang tetangga, tapi...apakah orang ini yang kau maksud?"
Aku mengangguk.
"Wow."
"Aku tahu. Dan aku minta maaf aku berbohong kepadamu tentang dia."
"Jangan khawatir tentang hal itu. Jadi, film apa yang sudah ia buat?"
Aku bilang padanya, dan Grace sudah pernah menontonnya dua diantaranya. Dia sangat menyukai salah satu film itu, ia memiliki DVD-nya di rumah.
Sejenak dia terdiam. Lalu kemudian, "Wow," tapi kali ini lebih lembut, seakan-akan dia sedang mencoba untuk membayangkan seperti apa kehidupan adiknya. "Kau tampak bahagia, tapi...tapi juga tidak."
Sial. Dia bisa membacaku dengan baik.
"Hanya saja aku sangat yakin dia serius denganku, tapi aku takut perasaanku lebih mendalam daripada perasaannya. Kau tahu?"
"Apa kau pernah membicarakan itu dengannya?"
"Oh, Tuhan tidak."
"Kenapa tidak?"
Aku mengambil napas dalam-dalam dan menghembuskannya secara perlahan-lahan. Ketika aku berpikir tentang hal ini, dadaku terasa sesak dan perutku bergejolak.
"Aku tak ingin mendorongnya terlalu cepat," kataku.
Dia mengangguk. "Jadi, kau tidur dengannya?"
"Ya." Aku memejamkan mataku.
"Kalau begitu sudah serius."
Kadang-kadang Grace benar-benar bisa berpikir rasional dan berwawasan luas. Kadang-kadang dia benar-benar bisa menjadi naif. Dan kadang-kadang dia bisa menggabungkan kedua hal itu pada waktu yang hampir bersamaan.
"Aku tak tahu," kataku.
"Bagaimana tampangnya?"
Aku mengeluarkan teleponku dari tas untuk mencari gambar di Google. Aku mematikan suaranya sepanjang malam, dan ketika menggeser layarku, aku melihat sms dari Max yang telah kulewatkan.
Bunyinya: Aku akan datang untuk menjemputmu.
"Tunggu," kataku pada Olivia. "Aku harus membalas sms seseorang."
"Dia?"
"Ya."
Aku mengirim sms: Apa!?
Max: Hanya bercanda dan itu sudah dua jam yang lalu.
Aku: Lagipula, kau tidak akan bisa menemukanku.
Max: Kau meremehkanku.
Aku: Aku tahu. Itu adalah kebiasaan buruk.
Max: Silahkan terus melakukannya. Akan jadi lebih mudah untuk mengesankanmu.
Aku: Jadi kau benar-benar tidak akan datang untuk menjemputku?
Max: Tidak. Aku cukup bermimpi saja malam ini.
Aku: Awwww.
Max: Apa kau baru saja melihat anak anjing?
Aku: Apa?
Max: 'Awwww '? Orang-orang mengatakan itu ketika mereka melihat anak anjing atau bayi. Aku berharap kau akan mengatakan 'Aku akan menebus
↧
Fade into Always - 6
↧