Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Arok Dedes - 22

$
0
0

Cerita Jawa | Arok Dedes | by Pramoedya Ananta Toer | Arok Dedes | Cersil Sakti | Arok Dedes pdf

Hilangnya Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Ketika Flamboyan Berbunga - Maria A Sardjono Fade into You - by Kate Dawes Fade into Me - Kate Dawes Fade into Always - Kate Dawes

reka menyindir-nyindir dan mentertawakan karena lingga[kemaluan pria.], lambang kita pada puncak-puncak setiap bangunan suci kita penghubung antara kahyangan dan dunia. Mereka tidak pernah mau mengerti, lingga adalah kesatuan antara Hyang Mahadewa Syiwa dengan syaktinya, Hyang Bathari Durga, antara yang abadi dan yang sementara. Kaum Wisynu berseakan mereka pengekang kama tanpa tandingan.
 
  "Untuk membuktikan wujud mereka sendiri, tidak perlu diteliti semua dan seluruh kaum Wisynu, cukup raja-rajanya ....
 
  "Siapakah tidak mengenal riwayat Putri Mahkota Dewi Sanggramawijaya, putri Sri Erlangga? Bahkan bocah angon pun tahu. Karena mengidap penyakit kedi ia tidak menaiki tahta untuk memerintah, tetapi menaiki Gunung Klotok untuk bertapa. Sri Erlangga terpaksa membelah kerajaan jadi dua sebelum menarik diri dari tahta, dilaksanakan oleh Mpu Baradha. Sebelah timur menjadi negara Janggala, dirajai putra selir, Sri jayantaka. Sebelah barat menjadi negara Panjalu, beribukotakan Dhaha, atau Kediri, dirajai oleh putra selir, Sri Jayawarsa.
 
  "Para Yang Terhormat dan Yang Suci, setelah dua tatus tahun lamanya bicara, mendengar, mengecam tanpa berbuat apa-apa, barangtentu para Yang Terhormat dan Yang Suci tiada berkeberatan mendengarkan kisah sahaya ini, yang sahaya tinjau dengan cara sahaya sendiri ....
 
  "Sri Jayawarsa memperanakkan Putri Mahkota Kediri, Dewi Sekartaji Candrakirana. Sri Jayantaka, Janggala, memperanakkan Putra Mahkota Inu Kretapati.
 
  "Para Yang Terhormat dan Yang Suci, tak ada yang dapat disela pada karya Mpu Dharmaja tentang kebesaran masa ini. Semua yang ditulisnya serba indah sejauh yang dapat dinyatakan dalam bahasa Jawa. Smaradhahana itu memang sempurna.
 
  "Panjalu dan Jenggala harus dipersatukan kembali. Sekartaji dan Inu Kretapati harus dikawinkan untuk mewujudkan penyatuan dua kerajaan itu, tanpa harus ada darah menetes.
 
  "Sekarang, para Yang Terhormat dan Yang Suci, kita pelajari bagaimana orang Wisynu menyelesaikan perkaranya ....
 
  "Inu Kretapati, Putra Mahkota Jenggala, tidak mencintai Sekartaji, sekali pun Sekartaji mencintainya. Putra Mahkota Jenggala justru mencintai anak dara patih Jenggala, Kudanawarsa. ia seorang perawan yang sangat memikat hati semua perjaka. Gadis anak Patih Jenggala adalah Dewi Anggraini, dan membalas cinta Putra Mahkota."
 
  "Inu Kretapari lebih sering berkunjung ke kepatihan daripada ke Dhaha. Perkawinan kenegaraan terancam gagal."
 
  "Panjalu mengirimkan urusan ke Jenggala, menyampaikan ancaman resmi: Apabila perkawinan antara Sekartaji dan Inu Kretapati gagal karena Dewi Anggraini, Penjalu akan membaris-kan dua puluh ribu balatentaranya untuk menyerang Janggala dan meratakannya dengan rumput teki."
 
  "Takut pada ancaman, Sri Jayantaka, raja Jenggala, memanggil patihnya, Kudanawarsa, memerintahkan padanya untuk membunuh anaknya sendiri, Dewi Anggraini. Dan terjadilah yang harus terjadi."
 
  "Demikianlah, para Yang Terhormat, bagaimana kaum Wisynu, raja-rajanya, menyelesaikan perkara. Seorang perawan dalam kesucian dan kecantikannya, dalam gairah mengimpikan indahnya cinta, harus digelandang ke hutan dan menerima pedang pada tubuhnya. Dia dikorbankan untuk Hyang Wisynu. Di atas mayatnya didirikan negara kesatuan Panjalu-Jenggala."
 
  "Lihatlah pula apa yang diperbuat oleh Putra Mahkota Wisynu bernama Inu Kretapati itu. Dia hanya bisa meratapi nasib kekasihnya, sama sekali tak meninggalkan asap tak menggelorakan sangkalan. Dia lari, para Yang Mulia dan Yang Suci, lari dari istana membawa tangis meratapi Dewi Anggraini."
 
  "Bagaimana dengan Putri Mahkota Panjalu? Malu karena Putra Mahkota Janggala lebih mencintai Dewi Anggraini daripada dirinya, ia pun lari meninggalkan istana, berpakaian pria, mengenakan nama pria: Kelana Jayengsari.
 
  "Dunia gempar. Tak ada yang dapat menemukan mereka Tapi dengan sukacita mereka bertemu di pulau kelahiran nenek mereka sendiri, Bali. Mereka pulang bersama ke Jawa dan kawin."
 
  "Para Yang Mulia dan Yang Suci, kaum Wisynu bersorak-sorai dengan perkawinan kenegaraan itu. Inu Kretapati marak jadi raja tunggal dengan gelar Kamesywara, dengan wilayah kekuasaan meliputi sebagian besar Jawa, Bali, Bangka, Kalimantan Barat-daya, Sulawesi Tengah dan Maluku. Mpu Dharmaja telah menyanyikan kebesaran itu. Dan mereka tetap lupa pada Dewi Anggraini yang dikorbankan...."
 
  Arok meneruskan kisahnya, bahwa Kamesywara digantikan oleh Kamesywara-II, dan:
 
  "Pada suatu waktu wangsa Isana melahirkan raja besar, Sri Baginda Jayabaya, yang telah mempersembahkan pada negeri dan keluarga: Jambi dan Selat Semenanjung. Maka terjaminlah kemakmuran Kediri dan punahlah bajak laut dari utara ke selatan. Seorang Wisynu yang sungguh-sungguh besar ini mencintai sastra, seni, filsafat dan dirinya sendiri.
 
  Tersebutlah di sebelah selatan ibukota Kediri, di sebuah desa bernama Adiluwih, tinggal seorang pemuda desa yang dikasihi oleh Hyang Ganesya: ahli dalam bahasa dan sastra Sansakerta dan Jawa; kekasih Hyang Wisynu: seorang sudra, petani yang baik; kekasih Hyang Mahadewa: ahli dalam perso alan para dewa. kekasih Hyang Kamajaya: seorang per jaka, muda. dua puluh tiga tahun, ganteng rupawan, be rbudi bahasa, penakluk hati wanita Siapakah yang bisa salahkan apabila ada seorang gadis, anak seorang bra hmana, yang tinggal di desa tetangga jatuh cinta pada nya? Siapakah yang bisa salahkan, kalau sebaliknya pe muda kekasih para dewa itu jatuh cinta pada Prabarini? Siapakah yang dapat salahkan, bila Sedah dan Prabarini saling mengikat janji sehidup-semati, di alam kini mau pun nanti?
 
  Prabarini hanya memilih Sedah. Sedah hanya memilih Prabarini. Betapa mahalnya bahagia itu, karena Sedah harus mengecewakan banyak perawan, dan Prabarini mengecewakan banyak pemuda. Kebahagiaan mereka dibiayai oleh kekecewaan hari para muda yang mendamba.
 
  Selamanya terjadi, mereka yang tak kuat menanggung kecewa dihalau ke pangkuan neraka melalui tindak durjana. Prabarini dan Sedah dalam mabok dilengahkan oleh kebahagiaan. Di belakang punggungnya ada saja di antara yang kecewa mempersembahkan pada Sri Jayabaya akan adanya seorang dewi, cantik-jelita penjelmaan Dewi Setyawati di atas bumi Kediri.
 
  Sri Jayabaya adalah seorang raja Wisynu, oleh nenek-mo-yangnya diajar menghaki apa saja terbaik milik kawula. Juga Prabarini tidak terkecuali. Diperintahkannya pasukan untuk menjemput Setyawati Kediri. Tertinggallah Sedah kini digalau oleh kecewa itu sendiri, seorang diri, di desanya, Adiluwih.
 
  Setiap hari ia turun ke ladang atau sawah, dan tak ada Prabarini mengantarkan makan lagi. Bergumul dalam lumpur dan tanah tanpa pujaan hati seakan ia telah ditinggalkan oleh para dewa. Sedang di istana Kediri, karena kecantikan dan kejelitaan-nya Prabarini didudukkan di atas singgasana sebagai Paramesywari Kediri.
 
  Setiap malam Sedah tinggal memohon pada para dewa untuk mengembalikan kekasihnya kepadanya. Dan para dewa tidak mendengarkannya. Di istana Prabarini juga selalu memohon pada para dewa untuk mengembalikan Sedah kepadanya. Demikianlah Sri Baginda Jayabaya telah memenggal putus tali cinta-kasih yang dibenarkan semua orang dan para dewa.
 
  Kemudian tibalah waktunya Sri Jayabaya merasa sudah cukup kukuh kemenangannya di Jambi dan atas Selat Semenanjung. Untuk mengabadikan kemenangan dan kekokohan itu dititahkannya menjawakan kemenangan perang Pandawa atas Kaura-wa, 6 parwa dari Mahabharata yang 18 itu.
 
  Pujangga-pujangga istana menyatakan tak mampu mengerjakan. Juga mahapujangga Mpu Panuluh tidak. Para cerdik-cen-dekia dikirimkan ke seluruh negara untuk mencari ahli bahasa dan sastra Sansakerta dan Jawa.
 
  Sedah bangun dari dukacitanya mendengar warta itu. Seakan ia dengar jelas suara Hyang Bathari Durga: Pergilah kau ke Kediri, anakku, karena di sanalah Prabarini kau dapatkan kembali.
 
  D engan berterompah tapas, bertongkat kayu penolak-ular, berjubah pendek dan berdestar serba hitam, laksana Bathara Kamajaya, ia berjalan ke Kediri.
 
  Dari parwa-parwa yang dikehendaki Sri Baginda Jayabaya ia tahu, adalah bagian yang bisa memberinya jalan untuk mendapatkan Prabarini, dan dengan demikian membalaskan dendamnya pada Sri Baginda. Ia tahu Prabarini tidak berdaya. Kaulah yang berdaya itu, titah Hyang Bathari, yang harus datang padanya.
 
  'Kau, anak muda, mengaku sanggup menjawakan Mahabharata?' Mpu Panuluh menetaknya dengan tanya meremehkan.
 
  'Inilah sahaya, yang sanggup, ya Yang Suci Mpu Panuluh.'
 
  'Siapa gurumu, maka berani persembahkan lehermu?'
 
  'Hyang Ganesya sendiri.'
 
  'Jagad Dewa. Jagad Pramudita, tiadakah kau sayang pada kemudaanmu?'
 
  'Sekiranya tiada lagi yang sanggup, inilah leher sahaya.'
 
  Dewan cerdik-pandai dipanggil bersidang oleh Mpu Panuluh, dan Sedah dihadapkan pada ujian.
 
  Tidak ada sebaris pun di antara parwa-parwa Sansakerta itu keliru ia ucapkan tanpa rontal. Penyalinan dalam Jawa membikin sidang penguji terheran-heran. Anak semuda itu, dua puluh tiga. Sri Baginda Jayabaya sendiri memerlukan datang untuk menemui. Dikalungkan untaian melati pada lehernya, ia lulus, melebihi yang diharapkan sidang penguji, sekaligus mendapatkan gelar Mpu.
 
  Dengan pikiran terpusat pada hari pembalasan terhadap Sri Baginda Jayabaya, dan hari terpanggil oleh cintanya pada Praba-rini,dengan cepat ia menjawakan parwa-parwa itu. Mpu Panuluh sendiri tak habis mengerti betapa besar kasih para dewa pada anak muda ini. Sri Baginda sendiri jatuh kasih dan sayang dan menyediakan semua keperluannya tanpa dipohon. Baginda telah menitahkan untuk membangunkan ruang khusus untuk tempat kerjanya, dikelilingi oleh taman bunga, dirindangi oleh pohon buah-buahan. Di sana ia bekerja tanpa seorang pun mengusiknya.
 
  Kemudian sampailah ia pada parwa ke-9, Salyaparwa. Prabu Salya minta diri dari Paramesywari untuk berangkat ke medan perang. Pujawati yang cantik jelita tiada tandingan itu kini telah bernama Setyawari, tidak lagi cantik jelita seperti semasa gadisnya. Ia telah beranak lima orang, Erawati, Paramesywari Sri Baladewa, raja Mathura; Surtikanti, Paramesywari Sang Karna, raja Angga; Banowati, Paramesywari Kurupati, raja Astina; Buris-rawa dan Rukmarata, yang kemudian gugur dalam perang Bharatayuddha.
 
  Mpu Sedah tanpa ragu-ragu mempenembahkan pada Sri Jayabaya, ia tidak mampu melukiskan kecantikan Dewi Setyawati. Baginda tidak menguasai Mahabharata, maka tidak tahu, bahwa Setyawati yang hendak dilukiskan sudah beranak lima dan tua.
 
  Jadi apa yang Mpu Sedah kehendaki untuk dapat melukiskan kecantikan Dewi Setyawati.
 
  Seorang wanita sesungguhnya, dan cantik jelita sesungguhnya, untuk menjadi contoh, duh Sri Baginda.
 
  Sri Baginda Jayabaya, raja besar dari wangsa Isana, pencinta sastra, seni dan filsafat, bersedia mengkaruniakan segalanya pada Mpu Sedah asalkan karya itu jadi dengan sempurna. Baginda menjatuhkan titah untuk memilih wanita siapa saja di seluruh kawasan Kediri untuk dijadikannya contoh. Bharatayuddha harus selesai.
 
  Mpu Sedah memilih dan memilih. Pilihan terakhir jatuh pada Prabarini. Sri Baginda Jayabaya tersenyum, mengangguk membenarkan.
 
  Maka datanglah Paramesywari ke sanggar sang pujangga. Dengarkan ucapan Mpu Sedah sewaktu pertama kali melihat Prabarini diiringkan oleh dayang-dayang memasuki sanggar: 'Duh Dewa, Duh Bathara...'
 
  Jawabannya adalah airmata pada wajah Prabarini, dan kebasan tangan memerintahkan semua dayang-dayang pergi, membiarkan mereka berdua berdiri berhadap-hadapan.
 
  Mereka masih berhadapan. Tiba-tiba, tanpa bicara, Prabarini lari, memeluk Sedah dan menangis:
 
  'Ampuni sahaya, kanda, inilah Prabarini milik kakanda.' Mpu Sedah tidak mencontoh kecantikan Prabarini, ia menghayatinya dengan rindunya yang membuncah.
 
  Berapa hari atau berapa bulan itu terjadi? Para dewa tidak menyingkapkan. Hanya sekali muncul seorang saksi.
 
  Sri Baginda Jayabaya berhari-hari bersamadhi di pura untuk mendapatkan petunjuk hukuman apa harus ia jatuhkan. Ia kini tahu hati Prabarini adalah milik Mpu Sedah sejak di desa. Sri Baginda hanya mendapatkan badan tanpa hati. Kini Sedah mendapatkan seluruh, sebagaimana dijanjikan oleh Hyang Kama, badan dan hatinya.
 
  Sri Baginda Jayabaya bukan seorang Syiwa. Sampai setinggi apapun dharmanya, hatinya tetap Wisynu yang tidak mampu membatasi gejolak keinginan mengokohi untuk diri sendiri, segan berbagi, biarpun pada kebenaran itu sendiri. Ia jatuhkan huku


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>