Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Arok Dedes - 24

$
0
0

Cerita Jawa | Arok Dedes | by Pramoedya Ananta Toer | Arok Dedes | Cersil Sakti | Arok Dedes pdf

Hilangnya Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Ketika Flamboyan Berbunga - Maria A Sardjono Fade into You - by Kate Dawes Fade into Me - Kate Dawes Fade into Always - Kate Dawes

gaknya umbul-umbul pekuwuan. Barangsiapa tertinggal, dia jauh lebih tertinggal, dibutakan oleh tabir debu.
 
  Kuda-kuda pegunungan itu mendaki dan menuruni bukit tanpa lelah, tanpa gentar, dan lebih kencang lagi di dataran. Hutan, jurang, selokan dan anak-anak sungai dilalui tanpa perhatian. Mereka melalui sebelah utara Gunung Kawi dan Gunung Kelud, dan di sebelah selatan Gunung Anjasmara.
 
  Memasuki Jenggala mereka terpaksa menunda pengejaran. Kuda-kuda telah kehabisan nafas dan keringat. Para pengejar kehabisan tenaga, dan mata setengah rabun karena kotoran.
 
  Mereka tertinggal lebih setengah hari dari utusan Pandita Negeri Tumapel.
 
  Keesokan harinya, di tepi sungai Brantas mereka dapatkan seekor kuda tercancang pada sebatang kayu kapuk. Penunggangnya tiada nampak. Setelah diperiksa, benar kuda Tumapel. Cap bakar pada pinggul kuda menunjukkan kuda pekuwuan. Tunggul Ametung memerintahkan untuk menyisiri hutan sekeliling. Mereka tak dapatkan seorang penunggang kuda Rakit juga kosong tanpa pengemudi, tercancang di tepian. Dua buah kapal yang sedang belayar menghilir pun tidak memberi tanda akan adanya penumpang yang naik dari tepian. Pasukan itu kembali menghadap pada Tunggul Ametung. "Dia belum menyeberang," kata akuwu itu. "Demi Harimur-ti!" ia bertolak pinggang, mengerahkan pikirannya. "Periksa rakit itu." Orang mulai memeriksa rakit. "Lihat, galah pendayung ada atau tidak." "Ada, Yang Mulia."
 
  "Perakit itu masih di sekitar sini. Cari!" ia sendiri menebarkan pandang meneliti atas pepohonan. "Bangsat! turun, kau!" matanya telah menangkap benda yang mencurigakan di balik dahan dan daun johar.
 
  Benda itu menyerosot turun. Kakinya terkelupas, merangkak mengangkat sembah.
 
  Pasukan kuda segera melingkari.
 
  "Mengapa sembunyi?"
 
  Orang desa yang hanya bercawat itu pucat, menggigil: "Sahaya takut."
 
  "Tak urung hilang juga kepalamu. Mana penunggang kuda ini?" Dengan jempolnya perakit itu menuding pada rakitnya:
 
  "Di bawah rakit sahaya, ya, Pangeran."
 
  Kembali rakit diselidiki. Mereka dapatkan penunggang kuda itu menggelantung di bawah rakit. Waktu dibawa ke hadapan Tunggul Ametung mereka mengetahui dia teman sepasukan sendiri.
 
  Tunggul Ametung menarik pedangnya: "Si apa suruh kau?" "Yang Suci"
 
  "Keluarkan surat yang kau bawa."
 
  Surat itu benar kepada Yang Tersuci di Kediri, mewartakan bahwa Tunggul Ametung Tumapel sudah mulai takut pada bayangan Hyang Durga, suatu pertanda wewenangnya atas Tumapel mulai harus diragukan.
 
  Tunggul Ametung ingin menyemburkan umpatan pada Belakangka. Ia tak berani. Ia teliti wajah mereka seorang demi seorang, siapa yang bakal paling berbahaya terhadap dirinya. Semua menghindari tatapannya.
 
  "Siapa hendak ikuti jejak pengkhianat ini?" tanyanya.
 
  "Jangan hinakan sahaya sebagai pengkhianat," tangkapan itu membela diri. "Sahaya hanya diperintahkan membawa surat ini, selamat sampai ke Kediri."
 
  "Mengapa lari dari kami?"
 
  "Dari kejauhan nampak barisan tidak teratur. Sahaya sangka bukan pasukan Tumapel."
 
  "Kau orang Kediri, bukan Tumapel. Di mana kau dilahirkan?" "Jenggala. Yang Mulia."
 
  "Menyerahkan kuda Tumapel pada ketidaktentuan, selamatkan diri sendiri di bawah rakit."
 
  "Tugas sahaya menyelamatkan surat, bukan kuda. Yang Mulia." Dengan kuda pasukan itu menyeberangi Brantas, meninggalkan dua bangkai di pinggir kali. Sampai di seberang mereka berjalan teratur, dengan seorang peseru jauh di depan, mewartakan akan lewatnya Yang Mulia Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung.
 
  Mereka memasuki Kediri.
 
  Di tengah perjalanan ke pusat kerajaan, seorang prajurit Tumapel berkuda menghindari papasan, membalikkan kudanya di kejauhan dan melarikan diri. Tunggul Ametung melihat adegan itu, dan ia tak berani menjatuhkan perintah untuk mengejar, ia pura-pura tidak tahu.
 
  Pasukan pengawal pengiring itu semakin mengerti adanya persekutuan Kediri terhadap Tunggul Ametung persekutuan yang didalangi oleh Yang Suci Belakangka.
 
  Tunggul Ametung sudah tahu akan adanya persekutuan ini. Hasil pendulangan Kali Kanta tak pernah dapat disembunyikannya dari Kediri. Ia terpaksa menambahi jumlah budak baru, dan Kediri menaikkan jatah upeti. Telik telah disebarkannya untuk menyelidiki kesetiaan silpasastrawan Tumapel, Gusti Putra. Dan mereka tidak mendapatkan petunjuk. Sekiranya ada pun ia takkan berani mengganggunya. Ia membutuhkan tenaganya: mendirikan sebuah candi Wisynu yang megah untuk kehidupannya setelah pembebasan dari samsara. Ia sengaja sembunyikan perintahnya dan para pandita, takut tidak mendapatkan restu mereka, sebagai orang berasal sudra yang hendak mencandikan diri. Tetapi Gusti Putra, juga seorang sudra, telah membenarkan maksudnya.
 
  Yang ia tidak mengerti, apa maksud Belakangka memata-matainya. Dari hasil Kali Kanta ia sendiri mendapat pembagian yang tidak sedikit. Ia tidak mendirikan istana di Tumapel. Ke mana saja puluhan ribu saga emas yang telah diterimanya? Dan sekarang hendak dipergunakannya Hyang Durga Mahisasu-ramardini sebagai jerat pada lehernya? Bukankah Yang Suci merupakan sekutunya untuk menimbulkan kembali perbudakan? Bukankah mereka berdua tetap tidak mempersembahkan jumlah budak yang sesungguhnya ke Kediri? Bukankah Belakangka membikin jerat pada lehernya sendiri juga?
 
  Pendahulu Belakangka tidak begitu cerdik. Kediri telah mengirimkan padanya untuk memimpinnya di bidang keigamaan, karena ia dianggap terlalu dungu - tidak berilmu. Ia kebaskan tanaman Kediri itu dalam suatu kecelakaan. Tapi Belakangka membenarkan semua tingkahnya, menjadi sekutunya yang ter-percaya, maka dia tidak terkebaskan dalam kecelakaan.
 
  Pasukan kuda dengan Akuwu Tumapel di depan itu langsung menuju ke istana Ratu Angabaya Kediri untuk memohon ijin menghadap Sri Baginda Kretajaya.
 
  Dengan ijin itu ia menghadap. Juga Yang Tersuci Mpu Tanakung kebetulan hadir mendampingi Sri Baginda.
 
  Dan ia sendiri telah bersiap-siap menerima murka. Larinya prajurit kuda Tumapel waktu terpapasi menjadi petunjuk baginya Belakangka telah mengirimkan dua orang utusan dengan persembahan yang sama.
 
  "Kau, Tunggul Ametung, setiap kali menghadap, setiap kali semakin banyak yang tak kau persembahkan."
 
  ia tunduk mengawasi kaki Sri Baginda yang telah lebih se tengah abad pernah melangkahi bumi, lebih tiga puluh tahun duduk di singgasana dalam segala kemewahan dan kebesaran.
 
  "Malahan perkawinanmu dengan Dedes pun tidak kau persembahkan. A, barangkali mertuamu kau agungkan lebih daripada Yang Tersuci, mungkin telah kau panggil pematungmu untuk membangunkan arcanya dari emas utuh."
 
  "Ampun, duli Sri Baginda, bila ada persembahan dari orang lain yang begitu bunyinya, itu tiadalah benar. Inilah sahaya Sri Baginda datang menghadap sendiri."
 
  "Ataukah karena pengaruh Mpu Parwa, mertuamu itu, kau mulai kecut melihat gambar dudul Hyang Durga?"
 
  "Ampun, Sri Baginda, adapun mertua sahaya, Mpu Parwa, belum pernah sahaya temui dalam hidup sahaya, sampai sekarang."
 
  "Ataukah persembahan Menteri-Dalam itu keliru, upeti pertanian Tumapel belum juga datang sampai sekarang?"
 
  "Ampun, Sri Baginda, perusuh telah merampasnya di hutan Sanggarana."
 
  "Kami lihat kumismu masih utuh pada mukamu," tetak Kretajaya, "kau, anak sudra tanpa harga, tak mengerti bagaimana berterimakasih pada Kediri yang mengangkatmu begitu tinggi, sejajar dengan para narapraja dan para pangeran ..."
 
  Sri Baginda menarik diri, dan tertinggal ia hanya dengan Yang Tersuci Tanakung.
 
  "Apakah Yang Suci Belakangka kurang membantumu maka Sri Baginda sampai begitu murka padamu?"
 
  "Ampun, Yang Tersuci, kerusuhan-kerusuhan dari macam yang belakangan ini sahaya memang baru mengenal."
 
  "Bukankah kau menjadi Tunggul Ametung melalui cara yang sama seperti dilakukan oleh mereka sekarang?"
 
  "Selamanya dapat sahava patahkan, kecuali yang terjadi pada dua tahun belakangan ini. Yang Tersuci. Mereka menggunakan ketakutan kawula terhadap Hyang Durga Mahisasuramardini."
 
  "Juga kau sendiri takut. Apa nasihat Yang Suci?" "Hendak dipanggilnya Dang Hyang Lohgawe." "Dia betul, mengapa kau halangi?"
 
  "Tiada sahaya menghalangi, sahaya langsung menghadap sekarang"
 
  "Orang bilang kau telah bikin persekutuan dengan brahmana Syiwa, Arya Artya. Orang bilang kau telah lakukan nasihatnya mengawini Dedes dan mendudukkannya di sampingmu, di puncak kekuasaan Tumapel. Dua puluh tahun kau telah dibenarkan jadi Tunggul Ametung, dan tidak juga mau belajar dari sikap Sri Baginda terhadap mereka. Jadi Yang Suci Belakangka masih kurang membantumu?"
 
  "Mencukupi, Yang Tersuci."
 
  "Ataukah kau sendiri yang tak juga bisa mengerti?"
 
  Tunggul Ametung tak dapat menjawab.
 
  "Atau kau sendiri yang sudah bosan memangku jabatan?"
 
  "Hidup dan mati sahaya adalah milik Sri Baginda."
 
  "Dua puluh tahun yang lalu itu pun telah kau ucapkan."
 
  "Sahaya tidak akan jera mengucapkannya, Yang Tersuci."
 
  "Tidakkah Yang Suci pernah menasihatkan padamu tentang Arya Artya? seorang brahmana yang tinggal di pinggiran kota, minta pengakuan bergelar Arya ... brahmana yang membutuhkan gelar kebesaran dunia ...bukankah telah diterangkan padamu apa arti p eristiwa itu? Bila ada kesempatan, dia akan muncul seb agai satria! melemparkan jubah brahmananya! Kau-lah yang telah melaksanakan nasihatnya, mengawini anak brahmana Mpu Parwa. Kau tidak meminta nasihat dari Yang Suci Malah Belakangka kau paksa mengawinkan kalian."
 
  Pada waktu itu terbayang oleh Tunggul Ametung penjaga candi Sri Erlangga. Ramalannya menjanjikan kebesaran karena perkawinannya dengan Dedes Kini bencana demi bencana jadi hadiah kawinnya, dan kebesarannya terangkat naik ke atas ujung duri.
 
  "Baik, pergi kau pada Ratu Angabaya, pikirkan masak-masak sampai jawabanmu dapat kau persembahkan dan dapat difahami oleh Sri Baginda."
 
  Tunggul Ametung tidak diperkenankan meninggalkan Kediri. Dalam penahanan di istana Ratu Angabaya, tanpa seorang penuntun pikiran, ia mencoba mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang Arya Artya. Yang Tersuci memang tidak keliru bila menilai brahmana itu sebagai seorang yang rakus akan kebesaran dunia. Belakangka selalu menjauhkannya darinya. Dan bukan tanpa alasan. Apakah Arya Artya sedang menggali lubang perangkap untuk dirinya?
 
  Boleh jadi dia sedang menggali lubang untukku, tetapi apa artinya lubang untuk Tunggul Ametung ini? Dia telah berikan padaku Dedes. Dedes adalah segala-galanya. Dia lebih berarti dari Tumapel, dari hidup dan mari.
 
  Gadis yang secantik itu, sejelita itu, tidak menyerah gampang pada seorang Tunggul Ametung, telah menimbulkan rangsang semangat dalam hatinya. Hidup menjadi berbobot karena dia. Menjadi lebih indah karena dia. Ia tak menyesal akan lubang perangkap itu. Ia merasa berbahagia di dalamnya.
 
  Sekarang ia akan dapat mempersembahkan: Arya Artya patut disingkirkan dari muka bumi.
 
  Ia tak berani meneruskan pikiran melenyapkan brahmana itu. Persembahan itu bisa menyebabkan jatuhnya titah untuk juga melenyapkan Ken Dedes, paling tidak titah untuk menyerahkan Paramesywarinya pada Sri Baginda. Ia tidak akan bicara sesuatu tentang brahmana terkutuk itu. ia akan mempersembahkan kaum brahmana Syiwa pada umumnya, dan ia bersedia menumpas semua mereka dari muka bumi. Juga Mpu Parwa mertuanya, juga Dang Hyang Lohgawe.
 
  Hanya itu persiapannya untuk mempersembahkan pada Sri Baginda Kretajaya. Selama beberapa hari itu! Selama itu pula hatinya gelap pekat digumul oleh kerinduannya pada Ken Dedes, Ia mempersembahkan pada Ratu Angabaya telah siap untuk menghadap dan ia pun dihadapkan.
 
  Sri Baginda tidak sudi melihatnya.Yang Tersuci Tanakung yang menerimanya. Dan Kepala Penghulu Agama Negara itu meng-gedikkan tongkatnya karena kecewa.
 
  "Apakah selama dua puluh tahun belakangan ini hanya merampas dan merampok, menyembunyikan banyak hal pada Sri Baginda saja yang kau pelajari sebagai akuwu? Apakah kau tidak mengerti, dengan penumpasan kaum brahmana Syiwa, semua pemeluknya akan menghadapkan mata dan taringnya pada Kediri? Apakah kau tidak tahu kaum brahmana bukan satria? Mereka tidak akan membikin kerusuhan kalau tidak dirusuhi. Mereka tidak pernah bikin keonaran kapan dan di mana pun. Bagaimana seorang akuwu bisa berpendapat seperti itu?"
 
  "Mereka telah membikin kerusuhan dengan menggunakan Hyang Durga. Tak mungkin itu bukan karena mereka, Yang Tersuci."
 
  "Kau belum pernah mempersembahkan bukti itu p


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>