Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Cinta Sang Naga - 4

$
0
0

Cerita Remaja | Cinta Sang Naga | by V. Lestari | Cinta Sang Naga | Cersil Sakti | Cinta Sang Naga pdf

Hilangnya Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Ketika Flamboyan Berbunga - Maria A Sardjono Fade into You - by Kate Dawes Fade into Me - Kate Dawes Fade into Always - Kate Dawes

ai yang kotor sudah bersih kembali. Para tamu meneruskan makan mereka yang barusan terganggu. Kemungkinan besar tak ada yang melihat kehadiran kecoa di piring tadi. Memang sebagian tamu memalingkan muka saat wanita tadi muntah-muntah. Pemandangan seperti itu di saat sedang makan tentu tidak menyenangkan. Tapi hal itu juga membawa keuntungan karena mereka tidak sempat melihat sang kecoa.
 
  Penyelesaian antara tamu suami istri dengan pihak restoran SANG NAGA sudah tercapai. Tuan Liong di pihak restoran menawarkan ganti rugi disertai pernyataan maaf sebesar-besarnya, tapi dengan permintaan agar peristiwa itu tidak dipublikasikan melainkan dianggap selesai seakan tak pernah terjadi. Jadi jangan hendaknya diceritakan kepada orang lain. Tapi tentu saja Tuan Liong juga menyatakan bahwa kejadian itu sama sekali di luar kehendak siapa pun. Tidak ada kesengajaan. Dan tentu saja juga bukan karena kejorokan sang koki, yang mati-matian bersumpah tidak tahu menahu tentang asal-usul kecoa dalam masakannya. Pada mulanya si tamu marah-marah dan terus mengomel panjang-pendek, bahkan disertai dengan sumpah serapah bahwa mereka tidak akan mau lagi makan di situ sampai mati. Tapi sikap rendah hati yang dihadapinya rupanya membuat emosinya surut. Tawaran ganti rugi diterimanya. Semula ia menuntut jumlah yang keterlaluan besarnya, hingga Nyonya Linda melotot dibuatnya. Tapi setelah berlangsung tawar menawar, maka kesepakatan tercapai. Tuan Liong tidak merasa terlalu rugi mengingat keributan itu tidak sampai geger, sedang si tamu serasa mendapat durian runtuh. Toh kecoa itu tidak sampai termakan. Ia juga senang ketika Henson menawarkan masakan istimewa yang bisa dipilihnya sendiri untuk diantarkan ke rumahnya nanti. Tawaran itu spontan diterimanya dan dengan bernafsu sekali ia memilih menu. Masakan paling istimewa dan tentunya paling mahal. Mereka bisa makan di rumah dengan enak. Sudah gratis, dapat pula imbalan.
 
  "Asal jangan ada kecoanya lagi," kata si tamu, pura-pura masih jengkel.
 
  Tuan Liong sama sekali tidak merasa keberatan dengan tawaran yang diajukan Henson itu. Tapi Nyonya Linda tidak demikian. Setelah kedua tamu itu pergi, ia marah-marah.
 
  "Kau terlalu lancang," omelnya kepada Henson. "Seenaknya saja menawarkan masakan, tanpa tanya-tanya dulu. Sok pintar kamu. Dia kan sudah dapat duit!"
 
  "Saya ingin memperoleh alamatnya, Nya. Kalau tidak pakai cara itu, mustahil ia mau memberikan alamatnya."
 
  "Emangnya untuk apa alamatnya itu?" tanya Nyonya Linda tak mengerti.
 
  "Siapa tahu kita perlu menyelidikinya nanti, Nya," jawab Henson sabar. "Saya pikir, orang itu pantas juga dicurigai. Siapa tahu dia sendiri yang menaruh kecoa itu di piringnya?"
 
  "Oh!" seru Nyonya Linda terkejut. Kemungkinan seperti itu sama sekali tak terpikir olehnya.
 
  Tuan Liong ikut terbelalak. "Betul kau, Son. Siapa tahu dia sengaja mau memeras kita. Rasanya orang itu baru pernah kulihat. Yang pasti dia bukan langganan."
 
  "Memang benar, Tuan. Kalau langganan sudah pasti kita kenal," Henson memastikan.
 
  "Lantas bagaimana?" tanya Tuan Liong.
 
  "Biarlah masakan pesanannya itu saya yang antar, Tuan."
 
  "Kau selidiki sekalian."
 
  "Baik, Tuan."
 
  Ketika Henson kembali ke ruang depan, Tuan Liong memujinya. "Dia pintar, bukan? Coba kalau nggak ada dia, repot juga kita, Ma."
 
  Tapi Nyonya Linda mencibir. "Jangan terlalu sering memujinya. Nanti dia jadi besar kepala, Pa. Lama-kelamaan dia akan menganggap restoran ini miliknya.
 
  "Ah, masa."
 
  "Itulah, kau terlalu percaya orang lain," kata Nyonya Linda jengkel.
 
  "Tapi, dia pantas dipercaya, bukan? Buktinya sudah banyak."
 
  "Orang suka selingkuh kalau terlalu dipercaya. Buktinya juga sudah banyak."
 
  Tuan Liong menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tahu, istrinya tidak menyukai Henson. Tapi ia toh kecewa karena Linda tak sependapat dengannya. Itulah yang hampir selalu terjadi. Mereka acap kali tak sependapat. Linda tak pernah atau jarang tertawa ceria bila berada di dekatnya. Mau tak mau Tuan Liong jadi teringat pemandangan tadi. Istrinya begitu asyik dan gembira bercengkerama dengan Tanujaya dan Peter. Ya, kok bisa?
 
  Ia senang melihat situasi kembali normal. Tapi kejadian tadi tetap mengganjal perasaannya. Peristiwa semacam itu tak pernah terjadi sebelumnya. Apakah itu merupakan suatu pertanda buruk? Ia takut. Selama ini diam-diam ia menyimpan keyakinan, bahwa orang tak selamanya bisa bertahan dalam kondisi puncak. Selalu ada saatnya menaik, tapi juga akan ada saatnya menurun. Terus bertahan di puncak itu susah. Mungkin lebih susah daripada usaha mencapainya. Tapi, walaupun menyadari hal itu, rasa takut tetap ada.
 
  Ia tahu, penyelesaian masalah tadi hanya untuk sementara. Walaupun sudah diberi uang, tamu tadi belum pasti akan mengunci terus mulutnya. Lebih-lebih istrinya yang sempat jadi histeris itu. Barangkali sekarang ini saja ia sudah menyampaikan cerita itu kepada beberapa orang, dan beberapa orang itu pun akan menyampaikannya lagi kepada sekian orang berikutnya. Terus dan terus sampai.... Berarti, tamatlah sudah reputasi restorannya. Jangankan kecoa, lalat atau bahkan seekor semut pun, bila sampai terdapat di dalam masakan, bisa merusak nama baik sebuah restoran.
 
  Tuan Liong teringat akan pengalaman seorang rekannya, sama-sama pemilik restoran laris. Kelarisan usaha selalu mengundang iri hati orang lain. Lebih-lebih saingan di bidang yang sama. Demikian pula nasib yang dialami si rekan itu. Entah dari mana asal mulanya, tahu-tahu beredar isyu bahwa restoran si rekan itu menggunakan black magic supaya bisa laris, dan caranya adalah dengan membubuhi ramuan-ramuan mengerikan ke dalam masakan-masakannya. Apa saja ramuan mengerikan itu sungguh tak masuk di akal. Tapi ternyata, cukup banyak orang termakan isyu itu. Tiba-tiba restorannya jadi sepi. Si pemilik jadi bingung, bagaimana cara mengatasi persoalan itu. Untuk mengeluarkan bantahan resmi atau pernyataan resmi rasanya kurang cocok, karena yang dihadapi bukanlah tuduhan yang bersilat resmi pula. Cuma isyu, yang beredar dari mulut ke mulut, dan karenanya sulit diketahui sumbernya.
 
  Ceritanya pun sudah tidak keruan lagi bentuknya. Sudah mulur melar ke sana kemari karena ditambahi bumbu macam-macam supaya lebih sensasional lagi.
 
  Peristiwa itu diketahui betul oleh Tuan Liong karena mendengar ceritanya langsung dari si rekan yang malang itu. Akhirnya, jalan keluar yang diambil si rekan itu adalah dengan menyebarkan isyu juga, tapi isinya berlawanan dengan yang pertama. Tepatnya, isyu bantahan. Tentu saja, karena namanya isyu, maka diberi pula tambahan bumbu sensasi. Misaln ya tentang adanya klik sejenis mafia yang bermaksud menjatuhkan. Bagaimana efeknya cara seperti itu susa h diikuti secara pasti. Mampukah kontra-isyu itu terus m enyebar dan yang lebih penting, mampukah ia mempe ngaruhi orang yang mendengarnya agar percaya dan s elanjutnya mau menyebarkannya lebih jauh? Hasil nya ta yang bisa dilihat adalah dari para tamu yang datang. Meskipun harus memakan waktu cukup lama, sedikit demi sedikit jumlah tamu bertambah lagi. Tapi ternyata kemudian restoran itu tidak bisa lagi mencapai target seperti semula, saat isyu belum menteror. Barangkali ia masih bisa disebut beruntung, karena bagaimanapun tidak sampai bangkrut.
 
  Terpikir oleh Tuan Liong untuk menghubungi kembali si rekan itu. Ia akan menceritakan masalah yang kini dihadapinya. Siapa tahu ia bisa mendapat saran berharga, mengingat si rekan sudah berpengalaman. Tapi dengan tersentak ia membatalkan niat itu. Tidakkah dengan melaksanakan niat itu berarti ia sendiri sudah menyebarkan cerita itu? Dan bukankah si rekan itu, bagaimanapun dekatnya, tetap merupakan seorang saingan dagang? Ia ingat, beberapa kali si rekan itu pernah memuji-muji kelarisan usahanya. Memang nadanya memuji, tapi siapa tahu di balik itu tersimpan iri hati dan kedengkian yang hanya diketahui pemiliknya sendiri? Siapa tahu pengalaman buruknya itu membangkitkan niat untuk menjatuhkan orang lain dengan cara yang kurang lebih sama? Ya, siapa tahu dialah di pengirim kecoa laknat itu?
 
  Dengan terkejut Tuan Liong menyadari, bahwa peristiwa yang barusan dialaminya itu telah membuat ia susah mempercayai orang. Memang sejak dulu ia sudah tahu, bahwa dunia dagang banyak mengandung intrik-intrik jahat, di mana persaingan tajam membuat orang menghalalkan segala cara untuk menyingkirkan sesamanya asal diri sendiri bisa survive dan sukses. Tapi selama itu, sekadar tahu saja tidak cukup untuk menyadarkan kalau belum mengalami sendiri. Dulu ia tidak mungkin begitu saja mencurigai orang, apalagi bila orang itu teman baik.
 
  Untung ada Henson. Lagi-lagi Tuan Liong merasa bersyukur. Saat ini rupanya cuma Henson seorang yang layak dipercaya.
 
  Nyonya Linda mendekati.
 
  "Tiba-tiba aku teringat, Pa. Henson bermaksud membereskan gudang."
 
  "Ya, memang betul. Sudah kusetujui. Itu bagus, kan? Tandanya dia rajin."
 
  "Jangan-jangan ada barang yang ia kehendaki. Pura-pura saja mau membereskan."
 
  "Biar saja, kalau barang itu memang sudah tidak kita pakai lagi. Buat apa kalau cuma memenuhi tempat saja?"
 
  Nyonya Linda cemberut. Kemudian berkata lagi, "Katanya, di situ banyak kecoa."
 
  "Mungkin juga."
 
  "Hei, gara-gara si Henson ngomong soal kecoa, jadinya ada kecoa betul-betulan, Pa!"
 
  Tuan Liong menatap istrinya dengan perasaan terganggu. "Ah, itu kan cuma kebetulan saja."
 
  "Siapa tahu kecoanya memang berasal dari gudang."
 
  "Lantas, kecoanya menyelusup sendiri ke dalam capcay," sindir Tuan Liong.
 
  "Huh, ngeledek," sungut Nyonya Linda sambil bergegas pergi.
 
  Tuan Liong tidak mempedulikan. Ia kembali tenggelam dalam pikirannya sendiri.
 
  ***
 
  Pikiran Henson tak lepas dari persoalan itu. Mungkinkah adanya kecoa itu akibat kelalaian yang tak disengaja saja? Misalnya pada saat masakan siap di piring sang kecoa terbang lalu hinggap di atasnya, ke panasan kemudian mati tanpa dilihat siapa-siapa, baik oleh koki maupun pelayan yang membawanya atau sia pa pun yang kebetulan berada di dapur saat itu.
 
  Henson penasaran. Tapi pada saat sibuk sepcxti itu tak mungkin menanyai sang koki, yang biasa dipanggil Cek A Piang, ataupun orang-orang lain yang punya hubungan dengan masakan yang malang itu. Untuk mencurigai Cek A Piang rasanya susah juga, karena ia sudah bekerja di situ selama lebih dari lima tahun dan dikenal loyalitasnya. Orangnya pun baik dan suka membantu. Dan yang paling disenangi dari dirinya adalah ia tidak pernah pelit dalam hal makanan. Kadang-kadang ia membuat nasi goreng yang sedap untuk para pelayan. Sudah tentu tidak seistimewa seperti menu bagi para tamu, tapi bagi para pelayan rasanya sudah tak kepalang sedapnya. Memang hal itu sudah diketahui Tuan Liong mengingat para karyawan di situ mendapat makan dua kali sehari. Tapi usaha Cek A Piang untuk membuat makanan jatah mereka itu menjadi sedap dan membangkitkan selera tidaklah dianjurkan. Apalagi menurut Nyonya Linda, para pelayan cukup makan nasi dengan sambal dan ikan asin saja. Toh di rumah sendiri mereka juga makan seperti itu. Tapi Cek A Piang rupanya tidak menghiraukan pendapat Nyonya Linda. Sementara Nyonya Linda sendiri tidak berani melarang, karena khawatir kalau-kalau Cek A Piang tersinggung lalu ngambek. Di dalam setiap restoran, tenaga koki paling penting dan paling dibutuhkan. Dari tangannyalah lahir aneka masakan sedap yang merupakan daya tarik utama bagi para tamu.
 
  Di samping kebaikan Cek A Piang itu, dari dirinya pun tak pernah terdengar keluhan apa-apa. Jadi kemungkinan bahwa dia yang sengaja menaruh kecoa dalam masakannya sendiri sangat kecil. Sama sekali tidak ada alasan untuk itu. Toh dia perlu ditanyai kalau-kalau ia melihat sesuatu yang janggal. Lantas pikiran Henson beralih ke para pelayan. "Pak Henson," tegur seseorang. Henson menoleh terkejut. Sakri, salah seorang pelayan, sudah berada di dekatnya tanpa ia sadari. "Ada apa, Kri?" ia bertanya cepat ketika melihat keraguan di wajah Sakri. Jangan-jangan Sakri batal menyampaikan apa yang ingin dikatakannya. "Apa Si Udin sedang disuruh keluar, Pak?" "Udin? Ah, nggak. Hari ini tidak ada yang disuruh keluar. Kenapa?" "Dia tidak ada, Pak." "Ah, rasanya tadi ada."
 
  "Ya, tadi memang ada. Bahkan kalau nggak salah dia yang ngantar makanan ke meja empat. Ya, kalau nggak salah... rasanya sih dia," kata Sakri agak ragu-ragu.
 
  "Meja empat? H


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>