Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Cinta Sang Naga - 6

$
0
0

Cerita Remaja | Cinta Sang Naga | by V. Lestari | Cinta Sang Naga | Cersil Sakti | Cinta Sang Naga pdf

Hilangnya Suzumiya Haruhi - Tanigawa Nagaru Ketika Flamboyan Berbunga - Maria A Sardjono Fade into You - by Kate Dawes Fade into Me - Kate Dawes Fade into Always - Kate Dawes

-gara taktikmu yang salah itu! Coba pikir, siapa yang paling mungkin membocorkan soal itu kepada wartawan kalau bukan tamu rakus itu? Sudah dikasih duit, diberi makanan enak, eh, masih pula bermulut jahat! Gara-gara kau! Kau bodoh! Tolol!"
 
  Memerah wajah dan telinga Henson, tapi ia menundukkan muka.
 
  Irma menggigit bibirnya. Ia jengkel bukan karena masalah itu, tapi karena sikap ibunya. Ia pun jengkel karena ayahnya diam saja. Dengan diam itu, ayahnya jadi seolah membenarkan sikap ibunya. Tapi ia sendiri tidak berani membela. Sejak ibunya memergokinya keluar dari gudang sehabis bertemu dengan Henson ia lebih hati-hati menjaga sikap. Tapi kadang-kadang ia merasa gemas dan ingin sekali berontak. Biar terang-terangan memperlihatkan sikap dan keinginannya. Berbuat sembunyi-sembunyi itu bukan saja menegangkan, tapi juga meresahkan. Selalu terpikir kapan akan ketahuan, kapan akan tertangkap basah. Tapi Henson selalu mencegah niat berontaknya itu. Jangan. Sabar dulu. Tak bisa lain, ia merasa harus mematuhi Henson. Ia sadar, Henson benar. Jadi ia menaruh respek kepada pemuda itu. Semuda itu usianya, toh ia tahu bahwa semakin pandai seseorang menahan nafsu dan emosinya, maka semakin tinggi pula martabatnya. Sejak kenal dan mulai akrab dengan Henson, ia sendiri banyak berubah. Dari seorang yang manja, keras kepala, dan selalu mau menang sendiri ia berangsur-angsur jadi ramah, lembut, dan mau memperhatikan orang lain. Ia merasakan betul perubahan dirinya itu. Karenanya, sering kali ia merasa heran kenapa orang tua dan saudara-saudaranya tak pernah memberi sesuatu komentar atas perubahan itu. Mungkinkah mereka tidak menyadari hal itu, dan tetap menganggap bahwa dia yang dulu dengan yang sekarang sama saja? Pikiran itu mengecewakan. Dia sudah berjerih-payah untuk berubah. Dia sudah merasa lebih baik, dan lebih maju. Tapi penghargaan untuk itu tak ada. Bahkan disadari pun tidak. Cuma Henson seorang yang memberinya pujian. Hal itulah yang mendorongnya semakin dekat kepada Henson.
 
  Kemudian Nyonya Linda mengakhiri tudingannya kepada Henson dengan pertanyaan, "Nah, kalau sudah terlanjur begini, apa lagi yang bisa kaulakukan?" Nadanya menghina dan penuh keyakinan, bahwa Henson akan gugup dan terpojok.
 
  Henson mengangkat muka, memandang Nyonya Linda sebentar, lalu berkata dengan tenang, "Kalau disetujui, saya akan pergi sekarang juga ke redaksi koran itu untuk menjelaskan masalahnya. Saya pun akan mencoba menanyakan siapa sumber berita walaupun kemungkinan kecil mereka mau memberi tahu. Tapi penjelasan dari pihak kita perlu, Nya. Setelah masalahnya diketahui umum, tak ada jalan lain lagi. Mereka harus tahu, bahwa itu bukan kesengajaan."
 
  Irma menatap Henson dengan bangga.
 
  Tapi Nyonya Linda masih mencoba menyudutkan. "Apa yang mau kaujelaskan lagi? Sudah jelas kecoa itu memang ada di dalam masakan. Tak mungkin bisa kita bantah, toh?"
 
  "Saya tidak bermaksud membantah, Nya. Saya hanya akan menjelaskan."
 
  "Ya. Tapi caranya gimana?" tanya Nyonya Linda setengah membentak.
 
  "Seperti apa yang saya utarakan kepada Tuan Freddy. Pasti mereka akan sependapat, bahwa kejadian itu merupakan kesengajaan dari orang yang bermaksud jahat. Kalau bukan tertuju pada kita, maka kemungkinan tertuju pada Tuan Freddy. Bila memang tak ada latar belakangnya, kenapa si Udin mesti menghilang setelah dia membawa masakan itu? Pasti dia disuruh orang yang bermaksud jahat. Tidak bisa lain. Orang koran itu pasti punya kecerdasan untuk memperkirakan hal itu."
 
  "Tapi kenapa mereka sembarang muat laporan orang tanpa mengecek lagi kebenarannya?"
 
  "Kadang-kadang mereka mengejar berita seperti orang kelaparan. Apa saja ditubruk dan dimakan tanpa sempat memilih. Apalagi kalau sensasional dan menarik."
 
  Nyonya Linda terdiam.
 
  Barulah Tuan Liong manggut-manggut. "Aku setuju dengan pendapat dan idemu itu, Son. Jadi sebaiknya kau pergi sekarang saja."
 
  Henson tersenyum senang. Ia cepat berdiri dengan perasaan seolah ia baru mampu menghisap zat asam lagi. Ia sudah melupakan sama sekali perlakuan Nyonya Linda kepadanya. Yang dihadapinya sekarang adalah tantangan yang membangkitkan gairahnya.
 
  "Pulang dari sana saya akan mampir ke rumah Tuan Freddy, ya Tuan?" ia bertanya kepada Tuan Liong.
 
  "Untuk apa?"
 
  "Membicarakan berita koran itu. Sekalian menanyakan apakah dia tersangkut, atau memang dialah sumber berita."
 
  "Tak mungkin dia mau berterus terang!" sela Nyonya Linda.
 
  "Mungkin saya bisa tahu apakah dia berbohong atau tidak."
 
  "Huh."
 
  Nyonya Linda melengos saja sewaktu Henson pamit padanya.
 
  Tiba-tiba Lili mengejar Henson. Irma membelalakkan mata.
 
  "Mudah-mudahan kau berhasil, Son!" kata Lili ramah. "Aku pikir kau cukup pintar, kok."
 
  "Terima kasih, Non Lili," jawab Henson dengan perasaan tersentuh. Jarang-jarang Lili mau bicara padanya.
 
  Irma tak mau kalah. Ia berseru, "Aku juga mendoakan kau, Son!"
 
  "Terima kasih, Non Irma."
 
  Mereka saling memberikan senyum terang-terangan untuk pertama kalinya. Lili telah memberikan jalan, hingga kelihatannya jadi wajar saja. Tapi Nyonya Linda menatap dengan selidik. Matanya seolah mau mengorek, hingga Henson jadi ngeri. Seperti ada kesepakatan, Henson dan Irma sama membuang pandang ke arah lain. Lebih baik jangan cari gara-gara.
 
  Tapi perhatian Nyonya Linda sudah beralih lagi. Kali ini Yeni bersuara, "Tentu saja aku juga mendoakan kamu, Son! Itu kan sama dengan mendoakan diri sendiri. Kalau kau berhasil, yang senang siapa?" Lalu ia tertawa terbahak.
 
  "Terima kasih, Non Yeni," kata Henson dengan irama suara tak berubah. Ia tahu, Yeni setengah mengejek. Tapi tak jelas siapa yang diejeknya.
 
  Apakah kedua saudaranya atau ibunya. Mungkin juga yang pertama, karena Yeni akrab dengan ibunya dibanding kedua saudaranya. Dalam pandangan Henson, Yeni agak judes. Dalam hal itu, ia banyak mirip dengan ibunya.
 
  "Apakah Mama tidak ikut mendoakan?" tanya Irma setelah Henson berlalu. Ia tidak tahan untuk mengemukakannya. Setelah Henson pergi ia jadi lebih leluasa.
 
  "Huh, buat apa?" bentak Nyonya Linda sambil mencibir.
 
  "Kan hasilnya juga buat kita, Ma? Tuh seperti kata Ci Yeyen tadi. Kita juga jadi mendoakan buat diri sendiri," kata Irma nekat.
 
  Nyonya Linda menatap jengkel. Ia merasa tak ada yang mendukungnya. Suaminya pun masih saja diam tepekur. Lalu ia mengatakan dengan ketus, "Aku mau mendoakan kalau saja dia bukan orang..., orang...."
 
  Kata-kata itu belum selesai terucapkan ketika Tuan Liong bangkit berdiri dengan menyentakkan tubuhnya, hingga dengan terkejut Nyonya Linda menutup mulutnya. Tapi Tuan Liong tidak mengatakan apa-apa. Ia pergi dalam keadaan tetap d iam.
 
  Tiga pasang mata menatap sang ibu, hingga yang ditatap jadi kikuk.
 
  "Begitulah papamu. Selalu memihak si Henson. Dia lebih sayang sama orang luar daripada orang sendiri," gerutu Nyonya Linda sekalian membela diri.
 
  "Ah, kayaknya dia itu setia, Ma. Bahkan saya heran kok dia bisa begitu setia. Padahal di sini gajinya kecil. Cuma makan doang yang kenyang," kata Lili.
 
  Wajah Irma sedikit memerah. Tapi ia berbuat seakan tidak memperhatikan ucapan Lili. Toh ia memasang telinga dan mata serta menyimpan kata-kata itu baik-baik, seperti halnya setiap penilaian yang didengarnya perihal Henson. Ucapan Lili seperti itu baru pernah ia dengar. Ah, jadi sudah ada yang merasa heran? Padahal selama ini ia yakin hanya dirinya berdua Henson saja yang tahu. Kesetiaan seseorang tidak begitu saja diberikan tanpa adanya unsur-unsur penyebab.
 
  "Setia apaan? Jangan bilang begitu dulu sebelum tahu betul isi hatinya. Dan isi hati si Henson itu, mana kita tahu?" Kata Nyonya Linda kesal. Ia selalu begitu setiap ada yang membela Henson.
 
  "Di sini tenaganya dibutuhkan, Ma," Yeni mengingatkan. "Kalau tidak ada Henson, Papa pasti repot."
 
  "Salah papamu! Kenapa terlalu percaya sama Henson seorang? Emangnya nggak ada orang lain?" kata Nyonya Linda dengan muka ditengadahkan.
 
  "Ada sih ada, Ma," Irma ikut bicara. Ia ti dak tahan diam saja. "Cuma pada goblok. Kayak si A Ki ong itu..."
 
  "A Kiong goblok katamu? seru Nyonya Linda berang. "Dia bukan goblok, tapi dia kurang diberi kesempatan oleh papamu."
 
  "Kalau dia lebih banyak diberi kesempatan, pantasnya di sini jadi kacau. Malasnya juga minta ampun. Tapi makannya banyak deh, Ma," Irma mengoceh dengan senang. Ia tahu ibunya senang pada A Kiong karena pemuda itu adalah keponakan kesayangannya. Tapi A Kiong tidak bisa menggeser Henson, apalagi menyingkirkannya. Ayahnya tahu betul kualitas pemuda itu berkat laporan-laporan yang diberikannya.
 
  Nyonya Linda melotot. Kalau saja Irma masih kecil, pasti ia sudah mengayunkan tangan untuk menggebuk atau mencubit. Seperti dulu. Si bungsu yang bandel ini memang paling sering membuat ia jengkel. Tapi sekarang ia tidak bisa melakukan hal itu lagi. Irma sudah dewasa. Dan Irma kesayangan ayahnya.
 
  Lili tersenyum diam-diam. Sementara Yeni mengorek-ngorek kukunya seolah tidak mendengar.
 
  Situasi itu membuat Irma senang. Ia senang melihat ibunya blingsatan karena marah, padahal tadi ia sempat merasa ngeri hingga berusaha menutup mulutnya. Lebih-lebih bila pembicaraan menyangkut soal Henson. Tapi tiba-tiba saja ia teringat cerita Henson tentang ibunya dan Peter. Apa saja perbuatan kedua orang itu selain bersentuhan kaki? Jangan-jangan masih ada lainnya, yang lebih hebat lagi. Ia marah, merasa perbuatan itu sebagai pengkhianatan terhadap ayahnya. Jadi sekarang ia bisa membalas. Sudah lama ia merasa kurang senang terhadap ibunya karena perlakuan ibunya terhadap Henson, tapi selama itu ia selalu berpikir bahwa pada suatu ketika pendirian ibunya pasti akan berubah bila Henson dapat menunjukkan bakat dan prestasinya. Ia sendiri yakin akan potensi yang dimiliki Henson. Kalau tidak begitu, mana mungkin ia bisa mengagumi?
 
  "Kau seperti papamu," gerutu Nyonya Linda. "Kau terlalu memberi hati kepada si Henson. Kalian puji-puji dia. Tak heran kalau dia jadi besar kepala. Lebih-lebih kau. Awas, jangan kau dekat-dekat dia!"
 
  Irma agak terkejut. Kedua kakaknya memandang padanya.
 
  "Ah, si Henson itu kan cakep juga, Ma," kata Yeni sambil ketawa mengikik. "Cuma sayang kantungnya kosong."
 
  Nyonya Linda melotot. Tapi wajah Irma lagi-lagi memerah. Lebih-lebih setelah Yeni menatapnya lama-lama dengan penuh selidik.
 
  "Hati-hati lho, Ma! Nanti Irma bisa tergoda oleh si Henson!" seru Yeni.
 
  Kini Irma yang melotot. Ia memandang marah kepada kakaknya. Tak urung rona merah di wajahnya semakin kentara. Melihat itu Yeni tertawa semakin keras.
 
  "Sudahlah, godain orang saja," Lili membela Irma.
 
  Tapi Yeni belum merasa puas, lebih-lebih setelah ia melihat bahwa ibunya tampak semakin meradang termakan gurauannya. Nyonya Linda memang memandang pada Irma lebih tajam dan menyelidik seakan mau mengorek isi hatinya.
 
  "Pantesan si Herman yang jatuh bangun mengejar-ngejar Irma dianggap angin saja. Kalau disenyumi malah melengos. Bukan si Herman aja yang sial begitu. Juga si Jon, si Leo, si Roy, dan entah siapa lagi. Dilihat sebelah mata pun nggak. Padahal yang ganteng ada, yang kaya pun ada. Mau yang gimana lagi sih?" demikian Yeni menyerang Irma.
 
  Dengan cepat situasi sudah berubah. Persoalan Henson menjadi persoalan Irma.
 
  "Itu sih gimana orangnya dong, Yen. Irma punya hak menolak siapa saja yang tak disukainya," Lili kembali membela, sebelum Irma sempat bicara. "Jadi kau jangan usil. Urus saja persoalanmu sendiri."
 
  Yeni melirik kakaknya dengan wajah kurang senang. "Tapi Irma kan adik kita, Ci. Gimana kalau dia sampai tergoda oleh orang seperti Henson misalnya?"
 
  Irma memandang Lili dengan tegang, ingin tahu apa yang akan dikatakan kakaknya itu. Emosinya yang tadi melonjak oleh pancingan Yeni jadi mereda.
 
  "Emangnya si Henson itu kenapa? Dia kan manusia juga seperti kau," sahut Lili tenang.
 
  "Cici kok membela sih? Emangnya Cici setuju kalau Irma pacaran dengan Henson?" tanya Yeni penasaran.
 
  Sementara itu Nyonya Linda memandangi ketiga putrinya silih berganti dengan saksama. Tiba-tiba saja ia merasakan betapa banyak hal yang tidak diketahuinya selama ini. Terutama mengenai ketiga putrinya. Ia sudah terbiasa melihat mereka seperti robot dalam fungsi dan peran yang sama dari hari ke hari. Tidak pernah berubah. Itu-itu saja. Komunikasi yang terjalin pun melulu tentang hal-hal yang sama. Baru setelah te


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>