Cerita | Dijemput Malaikat | by Palris Jaya | Dijemput Malaikat | Cersil Sakti | Dijemput Malaikat pdf
Fear Street - The Dare - Tantangan Dibakar Malu Dan Rindu - Marga.T I For You - Orizuka Summer Breeze - Cinta Nggak Pernah Salah - Orizuka The Truth about Forever - Kebencian Membuatmu Kesepian - Orizuka
kisan seorang wanita yang tengah mencium serumpun mawar merah.
"Maaf. Dik. lukisan itu memang tidak dijual sesuai dengan permintaan si pemiliknya. Bagaimana kalau dengan lukisan lainnya?" ujar sang Manajer lembut dan sopan kepada pemuda tanggung yang meradang itu.
"Nggak! Aku hanya mau lukisan itu. Papa menginginkannya!" sentaknya tegas
"Sayang sekali, kami tidak bisa berbuat apa-apa Lukisan itu sengaja turut dipamerkan sebagai tanda cinta sang Pelukis kepada mamanya yang melukis lukisan itu." jelas manajer itu masih dengan sabar.
"Kalau begitu, biarkan saya memohon kepada pemiliknya serak Pal mulai putus asa.
"Aku pemiliknya." ujar seorang gadis berbalut gamis anggun yang diam-diam memperhatikan ulah Pal yang keras kepala. Semua kepala menoleh ke pemilik suara itu. Pal terkesima menatap sosok cantik itu. Lebih-lebih karena dia bagai berhadapan dengan dirinya sendiri. Hatinya mendadak bergetar aneh. Untuk beberapa saat. mereka hanya saling pandang.
"Temui aku di kafe hotel usai magrib nanti." ujar gadis itu pendek. Kemudian, ia melangkah meninggalkan ruang pameran itu dengan tergesa.
"Meski aku nggak begitu yakin, tapi lukisan itu. apalagi bisa bertemu dengan pelukisnya serta minta maaf. akan bisa membuat Papa benar-benar merasa
tenang. Mudah-mudahan membawa kesembuhan untuk dirinya." tukas Pal mengakhiri ceritanya. Lalu kembali meneguk minumannya.
Gadis itu juga menyeruput Capuccinonya. setelah sejak tadi diam saja mendengarkan Pal bicara tanpa sedikit pun bersuara. Matanya yang indah menatap Pal lekat-lekat. Pal balas menatap. Setidaknya. Pal bisa merasa sedikit lega karena sinar mata itu mulai berubah agak ramah.
Sungguh ketika siang tadi bersitatap. Pal langsung merasa yakin bahwa ia sedang berhadapan dengan belahan dirinya sendiri. Begitu kuat garis wajah Papa membingkai paras cantiknya.
Dialah anak Norma, si Pemilik lukisan itu. yang juga pelukis muda yang sedang mengadakan pameran lukisannya. Dialah anak Papa, yang berarti kini ia sedang berhadapan dengan adik perempuannya sendiri!
"Sayang, pelukisnya sudah meninggal dunia lima tahun yang lalu." suara gadis itu terdengar giris Kemudian, tiba-tiba wajahnya berubah kaku dan sorot matanya berubah tajam menghunjam Pal. membuat cowok itu terkesiap.
"Kamu tahu apa yang aku pikirkan saat itu? Sungguh, aku sangat membenci laki-laki yang berani mencintai Mama. lantas meninggalkannya begitu saja. Apalagi dia telah membohongi Mama sebelumnya bahwa dia sebenarnya telah mempunyai istri serta seorang anak." desisnya tajam, seperti sengaja mengiris perasaan Pal dengan rasa bersalah Meski Pal tahu dalam hal ini. dia tidak tahu apa-apa.
"Bukankah kemudian Papa mencari Mama kamu. tapi kalian telah pergi ke Prancis?" Pal mencoba membela papanya. Tetapi, rupanya gadis itu sengaja memburu Pal seakan dia berhak menanggung kesalahan Papa.
"Buat apa?" sentak gadis itu setengah berseru. "Toh. Mama sudah telanjur disakiti dan malu di hadapan orang kampung dan keluarganya. Di Prancis. Mama mati-matian membiayai hidup kami sambil terus melukis dan bekerja serabutan. Satu hal yang membuat aku tak mengerti. Mama tetap mencintai laki-laki yang telah membuatnya menderita hingga akhir hayatnya, yang membuat aku semakin membenci laki-laki yang sama sekali tidak pernah aku kenal, kecuali lewat foto-fotonya yang selalu disimpan Mama dengan baik. termasuk lukisan itu." urai gadis itu mulai terisak.
"Sekarang, laki-laki itu terkapar di rumah sakit oleh rasa bersalahnya kepada kalian. Hanya maaf dari kamu yang bisa membuat dia tenang. Sungguh, sebenarnya Papa sangat ingin mencintai kalian, yang terpaksa dipendamnya selama bertahun-tahun."
Gadis itu masih tergugu sambil menyusut air matanya.
"Bila kamu sudah memaafkan Papa. temui dia. Papa kamu
Dengan lembut. Pal mengusap air mata itu. Lantas, melangkah ke luar Kafe Teduh, membiarkan gadis gamang itu dengan pemikirannya sendiri.
Pagi-pagi sekali, telepon di samping tempat tidur Pal berdering. Cowok itu tersentak bangun dengan perasaan khawatir. Dari rumah sakit mengabarkan Papa? Pikirnya waswas.
"Halo?" ujarnya dengan suara serak Setelah beberapa saat menunggu, barulah terdengar suara dari seberang
"Assalamu"alaikum ... Pal? Ini aku... Mianka" balas suara itu ragu-ragu.
Pal menjawab salam itu dengan gugup, sekaligus menghela napas lega. Lega bukan dari rumah sakit, juga lega karena gadis itu menghubunginya.
"Semalaman aku nggak bisa tidur karena terus memikirkan ucapan kamu. juga Papa ...." jeda suara itu. tetapi Pal memutuskan diam saja menunggu kelanjutan suara Mianka.
"Selama bertahun-tahun aku memelihara keben-cianku kepada Papa. namun aku juga tidak bisa membohongi hatiku sendiri bahwa sebenarnya aku sangat merindukannya Aku sering memimpikan sosok Papa dan selalu berharap, suatu saat aku benar-benar bertemu dengannya meski konyol sekali. Sebetum memutuskan untuk berpameran di Jakarta, aku pemah berdoa semoga bertemu dengan Papa. Entah bagaimana caranya, dan doaku dikabulkan Mah meski aku sempat nggak percaya.
Setelah aku renungkan, buat apa memendam kebencian bila kita mempunyai kesempata n untuk mencintai? Pal. jemput aku sekarang juga. Mu i ngin bertemu Papa. juga bertemu kamu meski aku sa ma sekali nggak pernah memimpikan akan mempunyai seorang kakak sejelek kamu
Terdengar tawa geli dari seberang sana. Pal hanya bisa ngakak dengan perasaan teramat lega. Ada bahagia yang tiba-tiba meletup di dadanya.
"Oke. kalau begitu ... aku nggak perlu mandi dulu karena aku sudah nggak sabar ingin memeluk bidadariku yang dari Prancis itu. Hahaha..."
Hmmm. selamat datang, bidadariku!
Surat itu datang bersama dua surat lainnya yang diselipkan di bawah pintu kamarku. Setelah kubuka isinya, selembar kertas fotocopy-an yang sudah agak kabur karena sudah sering di fotocopy ulang.
Tidak seperti surat-surat yang pernah kuterima selama ini. surat aneh itu mampu membuatku menggigil ketakutan meski aku berusaha berpikiran jernih. Surat yang datang dari "dewi" itu benar-benar telah mampu menyita pikiranku dan mengusik hatiku dengan ancaman terselubung di dalamnya, jika kita tidak mengikuti suruhan halusnya.
Berbahagialah orang yang menerima surat ini dan memperluasnya/meneruskannya pada sahabat, saudara, famili, maka keberuntungan akan menyertai Anda. Dan Anda akan selamat dunia-akhirat.
Surat ini dikirim dari RRC dalam bahasa Kanji. Mengingat tidak semua penduduk Indonesia yang tahu bahasa Kanji, maka seorang Rabda menerjemahkannya dengan sempurna demi kepentingan manusia di dunia.
Janganlah menyimpan surat ini lebih dari delapan hari. Surat ini dibuat oleh seorang Biksu Cina. Oleh karena itu. harus berkeliling dunia. Buatlah salinan surat ini atau fotocopy-nya sebanyak 41 lembar, maka dalam waktu sepuluh hari Anda akan mendapatkan berkah dari "sang dewi".
Pada bagian inilah yang menggugah nyaliku.
Seorang pemuda Banjarmasin menerima surat ini tahun 1970. lapi ia membuangnya ke Sungai Mahakam. Beberapa hari kemudian, ia ditemukan tewas dimakan buaya di sungai itu. Seorang wanita lainnya menerima surat ini tahun 1979. tapi ia membuangnya. Beberapa waktu kemudian, ia diperkosa beberapa lelaki, kini ia menjadi gila. Lalu bintang film cantik Hongkong menerima surat ini. tapi ia membuangnya ke tong sampah, kemudian ia tewas dalam kecelakaan mobil.
Seorang Miss Taiwan menerima surat ini tahun 1990. selelah menyebarkannya sebanyak 41 lembar, ia mendapatkan lotere bernilai jutaan. Demikian juga dengan seorang selebritis Indonesia yang memenangkan undian setelah memperbanyak surat ini dan menyebarkannya.
Dan tidak ada salahnya jika Anda berbuat kebaikan dengan surat ini. Surat ini untuk kebaikan kita semua, kecuali kalau tidak dilaksanakan, maka kesialan, apes. musibah akan datang kepada Anda. Silakan buktikan sendiri.
Aku langsung melipat surat itu dengan pikiran berkecamuk. Mungkin, lebih tepatnya ketakutan dengan membayangkan musibah apa yang akan aku dapati jika melalaikan surat itu. Apakah hal-hal buruk yang diceritakan surat itu benar adanya? Ataukah keberuntungan bakal datang jika aku memenuhi suruhan surat itu?
Aku membolak-balik amplop surat itu. berharap mengetahui si pengirim surat itu. Namun sama sekali tidak ada apa-apa. selain prangko serta cap pos yang kabur. Kembali aku mengutuki si pengirim surat itu yang telah membuatku cemas dan merasa terusik sekali.
Apakah sebaiknya aku memenuhi saja semua anjuran surat itu agar perasaanku tenang dari ancaman musibahnya? Atau siapa tahu. malah benar-benar membawa keberuntungan? Tetapi, buru-buru sisi hatiku yang lain membuatku ragu. Apakah benar surat itu mampu membawa keberuntungan? Atau malah membuat sial si penerimanya? Bukankah hal-hal yang demikian sudah ada yang mengaturnya?
Namun, kembali bayangan-bayangan bur uk, musibah, kesialan, di surat itu membuyarkan kesim pulan jernihku sendiri. Bagaimana kalau itu benar-benar terjadi? Segala kemalangan akan menimpaku jika aku melalaikannya. Tetapi, apakah sepucuk surat mampu membawa keberuntungan? Sudut hatiku selalu melaran g aku untuk melakukan suruhan surat itu. Tetapi, jika mengingat ancamannya kembali, hatiku diliputi perasan waswas. Pertentangan hati itu benar-benar membuatk u pusing. Aku juga sangat marah kepada si pengirim br engsek itu.
Masih dengan pikiran mengambang, aku langsung melesat ke kamar Jim. teman kosku. Semoga dia mampu menolongku.
"Gimana. Jim?" serbuku begitu melihat Jim menghela napas setelah selesai membaca surat aneh itu. Jim meringis sambil menggaruk hidung.
"Kamu percaya surat ini?" Jim malah balik bertanya. Sejenak aku merasa bingung harus menjawab apa. Tetapi, mata Jim terus memperhatikan aku. dan aku rasa ia tahu bahwa sebenarnya aku sudah terpengaruh isi surat itu. Tetapi. Jim ingin meminta ketegasan.
"Ng... sebenarnya sih nggak ...." balasku kemudian dengan suara takut-takut, berusaha menutupi perasaanku yang sebenarnya.
"Kamu bohong. Kalau kamu nggak percaya surat ini. ngapain kamu bawa surat ini padaku?" ucapan Jim benar-benar menohok ketololanku sendiri!
Ya. surat itu pelan-pelan telah membuat aku mempercayai kesialan, apes. dan musibah lain yang akan menimpaku jika aku tidak melaksanakan permintaannya atau melanggar pantangannya.
"Tapi. bagaimana kalau musibah benar-benar datang menimpaku? Atau tiba-tiba aku mendapat keberuntungan jika melaksanakan permintaan surat ini?" ujarku membela diri. Jim malah meringis seperti mengejekku
"Eh. kamu tahu surat ini dibuat oleh orang-orang yang ingin menggoyahkan keyakinan kita kepada Tuhan. Entah apa maksud mereka dengan menyebarkan surat-surat seperti ini. Segala musibah ataupun keberuntungan sudah diatur oleh Nya bukan melaksanakan permintaan surat ini. Aku nggak percaya musibah akan datang setelah aku menerima surat ini dan langsung membuangnya!" Usai berkata begitu. Jim langsung melemparkan surat itu ke keranjang sampah dekat meja belajarnya. Aku memungutnya lagi.
"Jika musibah benar-benar datang menimpamu, mungkin itu suatu takdir belaka, setelah kamu menerima surat itu. Kalau memang sudah takdir kamu untuk sial meski kamu menyebarkan seribu lembar pun. sial tetap saja datang kepada kamu." kata Jim seperti orang bijak. Aku masih menimang-nimang surat itu.
"Aku rasa. kamu tentu tidak mau membuat orang lain yang nggak tahu apa-apa menjadi gelisah dan ketakutan setelah menerima copy-an surat dari kamu." urai Jim panjang lebar. Dalam hati. aku membenarkan kata-kata Jim barusan.
Meski ragu-ragu. aku memutuskan untuk tidak melaksanakan permintaan surat itu meski aku tidak berani membuang surat itu begitu saja. Aku memutuskan menunggu, musibah apa yang akan menimpaku jika menyimpan surat itu lebih dari delapan hari!
Tiga hari berlalu tanpa kejadian apa-apa. Maksudku, tanpa musibah yang menimpaku. Demikian
juga dengan hari-hari selanjutnya. Meski aku tidak dapat melupakan surat itu begitu saja. Tetapi, mendekati hari kesembilan aku mulai waswas. Benarkah musibah akan datang kepadaku. Namun, tidak terjadi apa-apa sama sekali.
Hari kesepuluh, sebelas, dua belas, aku tetap melaksanakan kegiatan rutinku seperti biasa: kuliah, kursus, atau sekadar nongkrong dengan teman-temanku di depan perpustakaan kota. Tampaknya Jim sudah melupakan surat itu. Ternyata Jim benar. Surat itu tidak mempunyai pengaruh apa-apa.
Namun, aku salah. Keesokan harinya ketika aku memasuki halaman kampus. Minto telah mencegatku dengan napas memburu. Tampaknya dia sen
Fear Street - The Dare - Tantangan Dibakar Malu Dan Rindu - Marga.T I For You - Orizuka Summer Breeze - Cinta Nggak Pernah Salah - Orizuka The Truth about Forever - Kebencian Membuatmu Kesepian - Orizuka
kisan seorang wanita yang tengah mencium serumpun mawar merah.
"Maaf. Dik. lukisan itu memang tidak dijual sesuai dengan permintaan si pemiliknya. Bagaimana kalau dengan lukisan lainnya?" ujar sang Manajer lembut dan sopan kepada pemuda tanggung yang meradang itu.
"Nggak! Aku hanya mau lukisan itu. Papa menginginkannya!" sentaknya tegas
"Sayang sekali, kami tidak bisa berbuat apa-apa Lukisan itu sengaja turut dipamerkan sebagai tanda cinta sang Pelukis kepada mamanya yang melukis lukisan itu." jelas manajer itu masih dengan sabar.
"Kalau begitu, biarkan saya memohon kepada pemiliknya serak Pal mulai putus asa.
"Aku pemiliknya." ujar seorang gadis berbalut gamis anggun yang diam-diam memperhatikan ulah Pal yang keras kepala. Semua kepala menoleh ke pemilik suara itu. Pal terkesima menatap sosok cantik itu. Lebih-lebih karena dia bagai berhadapan dengan dirinya sendiri. Hatinya mendadak bergetar aneh. Untuk beberapa saat. mereka hanya saling pandang.
"Temui aku di kafe hotel usai magrib nanti." ujar gadis itu pendek. Kemudian, ia melangkah meninggalkan ruang pameran itu dengan tergesa.
"Meski aku nggak begitu yakin, tapi lukisan itu. apalagi bisa bertemu dengan pelukisnya serta minta maaf. akan bisa membuat Papa benar-benar merasa
tenang. Mudah-mudahan membawa kesembuhan untuk dirinya." tukas Pal mengakhiri ceritanya. Lalu kembali meneguk minumannya.
Gadis itu juga menyeruput Capuccinonya. setelah sejak tadi diam saja mendengarkan Pal bicara tanpa sedikit pun bersuara. Matanya yang indah menatap Pal lekat-lekat. Pal balas menatap. Setidaknya. Pal bisa merasa sedikit lega karena sinar mata itu mulai berubah agak ramah.
Sungguh ketika siang tadi bersitatap. Pal langsung merasa yakin bahwa ia sedang berhadapan dengan belahan dirinya sendiri. Begitu kuat garis wajah Papa membingkai paras cantiknya.
Dialah anak Norma, si Pemilik lukisan itu. yang juga pelukis muda yang sedang mengadakan pameran lukisannya. Dialah anak Papa, yang berarti kini ia sedang berhadapan dengan adik perempuannya sendiri!
"Sayang, pelukisnya sudah meninggal dunia lima tahun yang lalu." suara gadis itu terdengar giris Kemudian, tiba-tiba wajahnya berubah kaku dan sorot matanya berubah tajam menghunjam Pal. membuat cowok itu terkesiap.
"Kamu tahu apa yang aku pikirkan saat itu? Sungguh, aku sangat membenci laki-laki yang berani mencintai Mama. lantas meninggalkannya begitu saja. Apalagi dia telah membohongi Mama sebelumnya bahwa dia sebenarnya telah mempunyai istri serta seorang anak." desisnya tajam, seperti sengaja mengiris perasaan Pal dengan rasa bersalah Meski Pal tahu dalam hal ini. dia tidak tahu apa-apa.
"Bukankah kemudian Papa mencari Mama kamu. tapi kalian telah pergi ke Prancis?" Pal mencoba membela papanya. Tetapi, rupanya gadis itu sengaja memburu Pal seakan dia berhak menanggung kesalahan Papa.
"Buat apa?" sentak gadis itu setengah berseru. "Toh. Mama sudah telanjur disakiti dan malu di hadapan orang kampung dan keluarganya. Di Prancis. Mama mati-matian membiayai hidup kami sambil terus melukis dan bekerja serabutan. Satu hal yang membuat aku tak mengerti. Mama tetap mencintai laki-laki yang telah membuatnya menderita hingga akhir hayatnya, yang membuat aku semakin membenci laki-laki yang sama sekali tidak pernah aku kenal, kecuali lewat foto-fotonya yang selalu disimpan Mama dengan baik. termasuk lukisan itu." urai gadis itu mulai terisak.
"Sekarang, laki-laki itu terkapar di rumah sakit oleh rasa bersalahnya kepada kalian. Hanya maaf dari kamu yang bisa membuat dia tenang. Sungguh, sebenarnya Papa sangat ingin mencintai kalian, yang terpaksa dipendamnya selama bertahun-tahun."
Gadis itu masih tergugu sambil menyusut air matanya.
"Bila kamu sudah memaafkan Papa. temui dia. Papa kamu
Dengan lembut. Pal mengusap air mata itu. Lantas, melangkah ke luar Kafe Teduh, membiarkan gadis gamang itu dengan pemikirannya sendiri.
Pagi-pagi sekali, telepon di samping tempat tidur Pal berdering. Cowok itu tersentak bangun dengan perasaan khawatir. Dari rumah sakit mengabarkan Papa? Pikirnya waswas.
"Halo?" ujarnya dengan suara serak Setelah beberapa saat menunggu, barulah terdengar suara dari seberang
"Assalamu"alaikum ... Pal? Ini aku... Mianka" balas suara itu ragu-ragu.
Pal menjawab salam itu dengan gugup, sekaligus menghela napas lega. Lega bukan dari rumah sakit, juga lega karena gadis itu menghubunginya.
"Semalaman aku nggak bisa tidur karena terus memikirkan ucapan kamu. juga Papa ...." jeda suara itu. tetapi Pal memutuskan diam saja menunggu kelanjutan suara Mianka.
"Selama bertahun-tahun aku memelihara keben-cianku kepada Papa. namun aku juga tidak bisa membohongi hatiku sendiri bahwa sebenarnya aku sangat merindukannya Aku sering memimpikan sosok Papa dan selalu berharap, suatu saat aku benar-benar bertemu dengannya meski konyol sekali. Sebetum memutuskan untuk berpameran di Jakarta, aku pemah berdoa semoga bertemu dengan Papa. Entah bagaimana caranya, dan doaku dikabulkan Mah meski aku sempat nggak percaya.
Setelah aku renungkan, buat apa memendam kebencian bila kita mempunyai kesempata n untuk mencintai? Pal. jemput aku sekarang juga. Mu i ngin bertemu Papa. juga bertemu kamu meski aku sa ma sekali nggak pernah memimpikan akan mempunyai seorang kakak sejelek kamu
Terdengar tawa geli dari seberang sana. Pal hanya bisa ngakak dengan perasaan teramat lega. Ada bahagia yang tiba-tiba meletup di dadanya.
"Oke. kalau begitu ... aku nggak perlu mandi dulu karena aku sudah nggak sabar ingin memeluk bidadariku yang dari Prancis itu. Hahaha..."
Hmmm. selamat datang, bidadariku!
Surat itu datang bersama dua surat lainnya yang diselipkan di bawah pintu kamarku. Setelah kubuka isinya, selembar kertas fotocopy-an yang sudah agak kabur karena sudah sering di fotocopy ulang.
Tidak seperti surat-surat yang pernah kuterima selama ini. surat aneh itu mampu membuatku menggigil ketakutan meski aku berusaha berpikiran jernih. Surat yang datang dari "dewi" itu benar-benar telah mampu menyita pikiranku dan mengusik hatiku dengan ancaman terselubung di dalamnya, jika kita tidak mengikuti suruhan halusnya.
Berbahagialah orang yang menerima surat ini dan memperluasnya/meneruskannya pada sahabat, saudara, famili, maka keberuntungan akan menyertai Anda. Dan Anda akan selamat dunia-akhirat.
Surat ini dikirim dari RRC dalam bahasa Kanji. Mengingat tidak semua penduduk Indonesia yang tahu bahasa Kanji, maka seorang Rabda menerjemahkannya dengan sempurna demi kepentingan manusia di dunia.
Janganlah menyimpan surat ini lebih dari delapan hari. Surat ini dibuat oleh seorang Biksu Cina. Oleh karena itu. harus berkeliling dunia. Buatlah salinan surat ini atau fotocopy-nya sebanyak 41 lembar, maka dalam waktu sepuluh hari Anda akan mendapatkan berkah dari "sang dewi".
Pada bagian inilah yang menggugah nyaliku.
Seorang pemuda Banjarmasin menerima surat ini tahun 1970. lapi ia membuangnya ke Sungai Mahakam. Beberapa hari kemudian, ia ditemukan tewas dimakan buaya di sungai itu. Seorang wanita lainnya menerima surat ini tahun 1979. tapi ia membuangnya. Beberapa waktu kemudian, ia diperkosa beberapa lelaki, kini ia menjadi gila. Lalu bintang film cantik Hongkong menerima surat ini. tapi ia membuangnya ke tong sampah, kemudian ia tewas dalam kecelakaan mobil.
Seorang Miss Taiwan menerima surat ini tahun 1990. selelah menyebarkannya sebanyak 41 lembar, ia mendapatkan lotere bernilai jutaan. Demikian juga dengan seorang selebritis Indonesia yang memenangkan undian setelah memperbanyak surat ini dan menyebarkannya.
Dan tidak ada salahnya jika Anda berbuat kebaikan dengan surat ini. Surat ini untuk kebaikan kita semua, kecuali kalau tidak dilaksanakan, maka kesialan, apes. musibah akan datang kepada Anda. Silakan buktikan sendiri.
Aku langsung melipat surat itu dengan pikiran berkecamuk. Mungkin, lebih tepatnya ketakutan dengan membayangkan musibah apa yang akan aku dapati jika melalaikan surat itu. Apakah hal-hal buruk yang diceritakan surat itu benar adanya? Ataukah keberuntungan bakal datang jika aku memenuhi suruhan surat itu?
Aku membolak-balik amplop surat itu. berharap mengetahui si pengirim surat itu. Namun sama sekali tidak ada apa-apa. selain prangko serta cap pos yang kabur. Kembali aku mengutuki si pengirim surat itu yang telah membuatku cemas dan merasa terusik sekali.
Apakah sebaiknya aku memenuhi saja semua anjuran surat itu agar perasaanku tenang dari ancaman musibahnya? Atau siapa tahu. malah benar-benar membawa keberuntungan? Tetapi, buru-buru sisi hatiku yang lain membuatku ragu. Apakah benar surat itu mampu membawa keberuntungan? Atau malah membuat sial si penerimanya? Bukankah hal-hal yang demikian sudah ada yang mengaturnya?
Namun, kembali bayangan-bayangan bur uk, musibah, kesialan, di surat itu membuyarkan kesim pulan jernihku sendiri. Bagaimana kalau itu benar-benar terjadi? Segala kemalangan akan menimpaku jika aku melalaikannya. Tetapi, apakah sepucuk surat mampu membawa keberuntungan? Sudut hatiku selalu melaran g aku untuk melakukan suruhan surat itu. Tetapi, jika mengingat ancamannya kembali, hatiku diliputi perasan waswas. Pertentangan hati itu benar-benar membuatk u pusing. Aku juga sangat marah kepada si pengirim br engsek itu.
Masih dengan pikiran mengambang, aku langsung melesat ke kamar Jim. teman kosku. Semoga dia mampu menolongku.
"Gimana. Jim?" serbuku begitu melihat Jim menghela napas setelah selesai membaca surat aneh itu. Jim meringis sambil menggaruk hidung.
"Kamu percaya surat ini?" Jim malah balik bertanya. Sejenak aku merasa bingung harus menjawab apa. Tetapi, mata Jim terus memperhatikan aku. dan aku rasa ia tahu bahwa sebenarnya aku sudah terpengaruh isi surat itu. Tetapi. Jim ingin meminta ketegasan.
"Ng... sebenarnya sih nggak ...." balasku kemudian dengan suara takut-takut, berusaha menutupi perasaanku yang sebenarnya.
"Kamu bohong. Kalau kamu nggak percaya surat ini. ngapain kamu bawa surat ini padaku?" ucapan Jim benar-benar menohok ketololanku sendiri!
Ya. surat itu pelan-pelan telah membuat aku mempercayai kesialan, apes. dan musibah lain yang akan menimpaku jika aku tidak melaksanakan permintaannya atau melanggar pantangannya.
"Tapi. bagaimana kalau musibah benar-benar datang menimpaku? Atau tiba-tiba aku mendapat keberuntungan jika melaksanakan permintaan surat ini?" ujarku membela diri. Jim malah meringis seperti mengejekku
"Eh. kamu tahu surat ini dibuat oleh orang-orang yang ingin menggoyahkan keyakinan kita kepada Tuhan. Entah apa maksud mereka dengan menyebarkan surat-surat seperti ini. Segala musibah ataupun keberuntungan sudah diatur oleh Nya bukan melaksanakan permintaan surat ini. Aku nggak percaya musibah akan datang setelah aku menerima surat ini dan langsung membuangnya!" Usai berkata begitu. Jim langsung melemparkan surat itu ke keranjang sampah dekat meja belajarnya. Aku memungutnya lagi.
"Jika musibah benar-benar datang menimpamu, mungkin itu suatu takdir belaka, setelah kamu menerima surat itu. Kalau memang sudah takdir kamu untuk sial meski kamu menyebarkan seribu lembar pun. sial tetap saja datang kepada kamu." kata Jim seperti orang bijak. Aku masih menimang-nimang surat itu.
"Aku rasa. kamu tentu tidak mau membuat orang lain yang nggak tahu apa-apa menjadi gelisah dan ketakutan setelah menerima copy-an surat dari kamu." urai Jim panjang lebar. Dalam hati. aku membenarkan kata-kata Jim barusan.
Meski ragu-ragu. aku memutuskan untuk tidak melaksanakan permintaan surat itu meski aku tidak berani membuang surat itu begitu saja. Aku memutuskan menunggu, musibah apa yang akan menimpaku jika menyimpan surat itu lebih dari delapan hari!
Tiga hari berlalu tanpa kejadian apa-apa. Maksudku, tanpa musibah yang menimpaku. Demikian
juga dengan hari-hari selanjutnya. Meski aku tidak dapat melupakan surat itu begitu saja. Tetapi, mendekati hari kesembilan aku mulai waswas. Benarkah musibah akan datang kepadaku. Namun, tidak terjadi apa-apa sama sekali.
Hari kesepuluh, sebelas, dua belas, aku tetap melaksanakan kegiatan rutinku seperti biasa: kuliah, kursus, atau sekadar nongkrong dengan teman-temanku di depan perpustakaan kota. Tampaknya Jim sudah melupakan surat itu. Ternyata Jim benar. Surat itu tidak mempunyai pengaruh apa-apa.
Namun, aku salah. Keesokan harinya ketika aku memasuki halaman kampus. Minto telah mencegatku dengan napas memburu. Tampaknya dia sen