Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Gadis Pantai - 8

$
0
0
Sebuah Roman Keluarga | Gadis Pantai | by Pramoedya Ananta Toer | Gadis Pantai | Cersil Sakti | Gadis Pantai pdf

Fear Street - The Dare - Tantangan Dibakar Malu Dan Rindu - Marga.T I For You - Orizuka Summer Breeze - Cinta Nggak Pernah Salah - Orizuka The Truth about Forever - Kebencian Membuatmu Kesepian - Orizuka

buat, karena yang ada sudah terlalu tua, tentang kain layar yang sedang turun harga, tentang damar yang tiba-tiba meningkat harganya, sehingga sudah agak lama juga bapak segan menambal bocoran-bocoran pada lambung perahunya.
  "Ada pesan yang harus kusampaikan pada bapakmu?"
  "Ada, mak, tentu ada. Sampaikan permintaan ampunku buat ke sekian kalinya."
  "Kau sudah suka tinggal di sini?"
  "Bapak dan emak yang menghendaki aku tinggal di sini. Aku lebih suka di kampung kita."
  "Setiap perempuan mesti ikut lakinya. Emak sendiri juga begitu," emak menghiburnya. "Biar di pondok buruk, biar dia tak senang, dia harus belajar menyenangkan lakinya."
  Gadis Pantai menyerahkan padanya dua lembar kain panjang. Dan emak menerimanya tanpa mengatakan sesuatu.
  "Aku pergi sekarang."
  "Maaak!"
  "Jangan panggil begitu lagi, kau bukan bocah lagi." "Ya, mak."
  "Sekarang kamu mesti belajar menangis buat dirimu sendi-ri. Tak perlu orang lain lihat atau dengarkan. Kau mesti belajar menyukakan hati semua orang."
  Gadis Pantai memunggungi emaknya, dan menghindari per-gi ke depan cermin. Waktu dilihat bayangan tubuh, dan wajahnya, mencoba melihat air mukanya, segera ia punggungi cermin dan merubuhkan diri di kasur.
  Seakan belum cukup siksaan dalam dua-tiga minggu ini, pekik Gadis Pantai dalam hatinya. Tapi di sini ia tak punya hak apa-apa, memekik melepaskan duka pun tidak. Dalam beberapa minggu ini setapak demi setapak ia dipimpin untuk menger-ti, bahwa satu-satunya yang ia boleh dan harus kerjakan ialah mengabdi pada Bendoro, dan Bendoro itu tak lain dari suaminya sendiri. Di kampung ia memberikan jasa pada kedua orang-luanya, saudara-saudaranya, dan kepada seluruh penduduk kampung. Ada ia rasai sekarang hidupnya dimasukkan ke dalam kerucut yang makin dalam dimasukinya makin jadi sempit seperti memasuki corong minyak, terus ke bawah, tapi dasar itu tak pernah tersentuh.
  Sebuah tangan membelai pipinya, dan ia tidak angkat mukanya. Beberapa saat kemudian, waktu ia dapat atasi perasaannya dan mencoba bicara lagi dengan emak, orangnya sudah tak ada. Yang ada hanyalah bujang wanita yang mengawasinya dengan diam-diam dari dekat pintu.
  "Emak sudah pergi, Mas Nganten. Mardi yang panggilkan dokar."
  Mengapa tidak diantarkan dengan bendi Bendoro? Tiba-tiba mengerjap tanya dalam pikirannya, tapi ia tidak bicara.
  Pagi yang cerah waktu itu. Deburan laut terdengar kian lama kian menjauh, sedang angin darat mulai meriuh tanpa kendali.
  "Apa harus kuperbuat sekarang?" Gadis Pantai bertanya.
  "Tambah mulia seseorang, Mas Nganten, tambah tak perlu ia kerja. Hanya orang kebanyakan yang kerja."
  "Lama, lama sekali rasanya aku tak kerja. Badanku sakit semua. Boleh aku bantu menumbuk tepung?"
  "Menumbuk tepung? Ribuan orang bisa kerjakan itu. Mengapa mesti Mas Nganten sendiri? Tiga benggol sehari, Mas Nganten, kita sudah kewalahan menolak orang."
  "Jadi apa mesti aku kerjakan?"
  "Benar-benar mau kerja?"
  "Tak mungkin mBok, tak mungkin aku terus berkurung begini."
  "Sebelum tiga bulan, sebenarnya Mas Nganten tidak boleh berbuat apa-apa. Nanti sahaya menghadap Bendoro. Mas Nganten mau kerja apa?"
  "Tak tahulah aku," kata Gadis Pantai, tapi dalam pikirannya terbayang emak yang kini terpaksa menumbuk jagung sendirian. Dan kalau bapak tidak pergi ke laut, dan jam tujuh pagi mulai tidur, ia harus gantungkan sendiri jala pada tiang jemuran dari balok berat yang tinggi itu. Ia harus tarik sendiri talinya, ia harus bikin katrol itu berputar. Tak ada yang bantu menaikkan jala dengan cabang kayu. Sekarang emak harus tumbuk sendiri udang kering buat dapatkan uang beberapa benggol dari orang Tionghoa dari kota itu. "Apa sesungguhnya dikerjakan di sini?"
  "Semua, Mas Nganten, untuk mengabdi pada Bendoro."
  Kerja mengabdi! Kerja mengabdi! Gadis Pantai masih juga kurang memahami.
  ***
  Gadis Pantai mulai membatik, seorang guru batik didatangkan. Di pagi hari, tangannya yang telah diperhalus oleh keadaan tanpa-kerja, mulai memainkan pinsil membuat pola. Seminggu sekali datang guru yang mengajarinya memasak kue. Dan setiap tiga hari sekali, datang guru lain yang menyampaikan padanya kisah-kisah agama dari negeri Padang Pasir nan jauh.
  Lambat laun ingatannya pada emak, bapak dan saudara-saudaranya jadi memudar. Dan bila ia terkenang pada mereka, pada kampung-halamannya, diajaknya bujang wanita itu bicara tentang cerita-cerita nelayan yang dikenalnya.
  Gadis Pantai mulai terbiasa pada kehidupan yang diperlengkap alat-alat begitu banyak dan menggampangkan kerja. Ia mulai terbiasa dengar suara pemuda-pemuda yang bicara dalam bahasa Belanda setelah meninggalkan surau di sebelah kiri rumah utama. Suara-suara mereka yang menerobosi dinding kamarnya memberitakan pada banyak hal yang tak pernah diketahui sebelumnya. Salah seorang kerabat baru saja pulang dari negeri Belanda, tidak membawa ijasah, tapi seorang noni Belanda; sebuah kapal perang sedang berlabuh kira-kira 7 km dari pantai; tebing pantai di utara Lasem gugur; dan banjir besar terjadi: tiga buah perahu bajak telah mendarat di sebuah dusun dekat kampung halamannya, membinasakan lebih sepersepuluh penduduknya dan mengangkuti seluruh emas, perak dan barang berharga; beberapa orang pemuda kampung telah masuk kompeni buat berperang di seberang.
  "Kalau Mas Nganten meninjau kampung, Mas Nganten benar-benar sudah jadi putri bangsawan."
  Kemudian Gadis Pantai pun belajar menyulam, merenda, menjahit. Kecerdasan dan ketrampilannya menyukakan semua gurunya.
  Beberapa kali ia turun ke dapur, tapi kini tidak lagi. Bebe-rapa pasang mata para bujang di situ menatapnya begitu tak menyenangkan.
  "Jangan lagi ke dapur, Mas Nganten. Mereka hanya bujang yang tak suka pada keadaannya sendiri. Semestinya mereka tinggal di gubuknya sendiri. Orang-orang tak tahu diuntung."
  Bendoro belum juga kunjungi kamarnya.
  "Bendoro sibuk sekali, Mas Nganten. Bendoro Bupati bakalnya kawin lagi dengan putri kraton Solo. Kasihan mendiang Den-ajeng Tini. Begitu berani. Siapa lebih berani dari beliau? Menghadapi Belanda mana saja tidak takut. Pembesar-pembe-sar sendiri pada hormat."
  Juga Gadis Pantai sekarang tahu siapa Den-ajeng Tini. Kar-tini yang beberapa tahun yang lalu dalam bendi agung memasuki perbatasan kota, dan semua penduduk disuruh lurah menyambutnya sepanjang jalan, dengan bendera tiga warna kertas berkibaran di tangan coklat hitam mereka. Sekarang ia mengerti cerita bapak yang pulang dari kota beberapa tahun yang lalu, mengapa dia dan beberapa orang kawannya mesti pergi ke kota, ke alun-alun, ke kabupaten, buat menyatakan hormat pada pengantin dari Jepara itu. Itulah Den-ajeng Tini? Betapa singkat usia, tapi betapa dihormati. Ia tak suka perkawinan agung itu. Ia tak tahu apa terjadi waktu itu. Dan bila bujang itu bercerita tentang putranya Bendoro, timbul hasrat hendak menggendong dan menyayanginya. Sedang putra-putri wanita utama sebelum dirinya, dengan sengaja seakan disingkirkan darinya. Hampir-hampir ia tak pernah bertemu dengan Agus Rahmat, biar pun saban sore didengarnya ia berbicara dalam bahasa asing dengan gurunya di ruang belakang.
  Hari-hari lewat cepat, dan Gadis Pantai mengisi dirinya dengan berbagai kecakapan baru. Kulitnya yang tak lagi terpanggang panas matahari jadi langsat kemerahan, dan wajah bocahnya telah lenyap digantikan oleh pandang orang dewasa.
  Bulan demi bulan lewat. Dan Bendoro hampir tak pernah ditemuinya. Tak pernah memasuki kamarnya.
  Perkawinan Bendoro Bupati semakin menghampir. Dan Bendoro semakin jarang di rumah. Kota mulai dihias. Putri dari kraton Solo harus disambut lebih hebat dari putri dari kabupaten Jepara.
  Gapura-gapura kabupaten dan pinggiran-pinggiran kota mulai dipajang daun kelapa muda serta batang-batang pisang. Jangkar keramat di pinggir pantai mulai diganti pagarnya.
  Setengah tahun lewat, beberapa minggu setelah Gadis Pantai memasuki gedung ini, kota itu jadi semarak bermandikan cahaya, berhiaskan penonton dari seluruh penjuru. Bujang wanita itu memimpin Gadis Pantai meninggalkan kamarnya, meninggalkan pelataran tengah, memasuki paviliun di samping kanan, naik ke loteng menyaksikan keramaian di alun-alun. Ia ingin bergabung dengan orang-orang itu yang telah terbiasa dengannya sejak jabang bayi, tapi kini tidak mungkin. Kini ia lebih tinggi daripada mereka.
  Malam itu ia kembali ke ranjang dengan banyak pikiran. Perkawinannya tak dirayakan seperti itu. Bupati yang kawin jauh lebih tua dari Bendoro. Dan putri kraton itu lebih tua dari dirinya. Tapi ia tidak disambut dengan perayaan. Dan jam tiga pagi ia terbangun. Bujang tak ada di bawah ranjangnya lagi. tapi Bendoro telah tergolek di sampingnya.
  Pada jam 5 subuh, waktu bujang masuk ke dalam kamar, dilihatnya Mas Nganten-nya masih tergolek. Ia sedang mendekat, dan didengarnya suara memanggilnya:
  "mBok, tolonglah aku."
  Bujang membuka kelambu dan menyangkutkan pada jangkarnya. "Sakit, Mas Nganten?" "mBok, mBok."
  Bujang itu meraba kaki Gadis Pantai. "Tidak apa-apa, Mas Nganten, tidak panas."
  "Aku sakit, mBok. Bawa aku ke kamar mandi," diulurkannya kedua belah tangannya minta dibangunkan.
  Wanita itu meraihkan lengannya, di bawah tengkuk Gadis Pantai, mendudukannya, merapikan rambutnya yang kacau balau, membenahi baju dan kainnya yang lepas porak poranda, menarik-narik seprai yang berkerut di sana-sini.
  "Ooh! Mas Nganten tidak sakit," katanya bujang sekali lagi, dan menurunkannya dari ranjang.
  "mBok," sepantun panggilan dengan suara lembut. "Tidak apa-apa Mas Nganten. Yang sudah terjadi ini takkan terulang lagi."
  "Apa yang sudah terjadi, mBok?"
  Dan setelah Gadis Pantai terpapah berdiri, bujang menunjuk pada seprai yang dihiasi beberapa titik merak kecoklatan, berkata, "Sedikit kesakitan Mas Nganten, dan beberapa titik darah setelah setengah tahun ini tidaklah apa-apa."
  "mBok!" suara yang tetap lembut.
  "Sahaya, Mas Nganten."
  "Aku takut."
  "Sahaya, Mas Nganten."
  "Mari ke kamar mandi."
  Gadis Pantai terpapah menuruni ranjang. "mBok!" "Sahaya Mas Nganten."
  "Kapan emak datang kemari?" Mereka berjalan terus. "mBok!"
  "Sahaya, Mas Nganten." "Apakah aku cantik?" "Gilang-gemilang, Mas Nganten." "Tidaklah mere ka lebih cantik?"
  "Di dunia ini, Mas Nganten, yang lain-lain harus menyingkir buat yang tercantik." Mereka berhenti di tengah-tengah pe-karangan-dalam. "mBok, apakah mereka manis?"
  "Ah, Mas Nganten lebih manis."
  "mBok."
  "Sahaya, Mas Nganten."
  "mBok sayang padaku?"
  "Apa masih meragukan sahaya, Mas Nganten?"
  "Tidak, aku tidak meragukan. Orang-orang lain?"
  "Bendorolah yang paling sayang, Mas Nganten."
  "mBok!"
  "Sahaya, Mas Nganten."
  "Aku takut."
  "Apa yang ditakuti, Mas Nganten?" "Apakah aku bisa tetap cantik?" "Mengapa tidak, Mas Nganten?" "mBok dulu cantik?" "Tidak pernah, Mas Nganten."
  "Aku takut, Mbok." Keduanya lenyap di balik pintu kamar mandi.....
  Bagian Kedua
  SETAHUN TELAH LEWAT. Kini Gadis Pantai merasa sunyi bila semalam saja Bendoro tak datang berkunjung ke kamarnya. Bujang itu tak perlu membantunya lebih banyak lagi. Di luar dugaan ia telah dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan barunya. Namun wanita tua itu tetap menjadi sahabat dan tempat bertanya yang bijaksana.
  Ia telah banyak dan sering meninggalkan kamar, jalan-jalan seorang diri di sore hari di kebun belakang, bicara dengan sanak kerabat suaminya yang mengabdikan diri, dan bersekolah di pagi hari serta mengaji di malam hari, dengan para bujang, kadang dengan tetangga. Dan dalam setahun itu tak pernah sekalipun ia menginjakkan kaki di ruang depan ataupun tengah, apalagi memasuki kamar-kamarnya, terkecuali khalwat. Ada suatu kekuasaan yang tidak memperkenankannya. Tak ada orang menyampaikan ini kepadanya tapi aturan dan ketentuan yang berlaku ia rasai dengan sendirinya saja.
  Pada suatu sore Bendoro memerintahkan Mardi menyiapkan bendi. Sesuatu terasa menyambar dalam hati Gadis Pantai. Paling sedikit seminggu Bendoro akan meninggalkan kota.
 
  Perintah pada Mardi itu dengan sendirinya menyebabkan ia berkemas-kemas dan merapikan diri, kemudian menunggu di kursi dalam kamar sampai suaminya datang dan meminta diri. Selama setahun ini lebih sekali peristiwa demikian terjadi - kali ini bukanlah yang terakhir.
  Setelah dirasanya bendi itu meluncur menjauh, ia pun keluar dari kamar, menuruni jenjang ruang belakang, membelok ke kanan dan memasuki kebun belakang. Langsung ia menuju bangku tempat ia pertama kali duduk bersanding dengan suaminya. Ia menginginkan sore segar dalam suasana hat

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>