Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Jingga Dalam Elegi - 7

$
0
0
Cerita Remaja | Jingga Dalam Elegi | by Esti Kinasih | Jingga Dalam Elegi | Cersil Sakti | Jingga Dalam Elegi pdf

5 cm - Donny Dhirgantoro Dijemput Malaikat - Palris Jaya Filosofi Kopi - Dewi Dee Lestari Gadis Pantai - Pramoedya Ananta Toer Pendekar Rajawali Sakti - 107 Titisan Anak Setan

eluruh mata yang ada. Jadi tidak perlu semakin mempermalukan diri dengan menambahnya dengan histeria. Karena itu terpaksa dikatupkannya kedua bibirnya erat-erat. Tapi tak urung beberapa kali cewek itu akhirnya tak mampu menahan diri. Bentakan, jeritan, cacian, keluar dari mulutnya. Sayangnya itu justru membuat Ari malah tambah bersemangat menggodanya.
 
  Kemarahan yang benar-benar sudah sampai di puncak kelapa membuat Tari beberapa kali nyaris mampu menembus pertahanan Ari. Mengakibatk an cowok tiu akhirnya dengan tegas menunjukkan posi sinya dalam hierarki siswa di SMA Airlangga. Bahwa diri nya ada di puncak piramida!
 
  Ari meletakkan spidol merah yang dipegangnya dan dengan kedua tangan dihabisinya perlawanan Tari. Dicekalnya kedua tangan cewek itu tepat di pergelangan kemudian ditekannya di atas permukaan meja kuat-kuat.
 
  Dan berakhirlah sudah... Pertempuran silat tangan kosong itu hanya berlangsung tidak lebih dari dua menit!
 
  Keduanya saling tatap. Kedua bola mata hitam Ari mengunci bening cokelat tua kedua manik mata Tari. Dibalasnya bara kemarahan yang meletup di kedua mata itu dengan sorot lembut. Baginya cewek ini selalu menyenangkan apa pun reaksinya.
 
  "Kimia lo parah banget. Lain kali kalo ada tugas lagi, kasih tau gue ya. Ntar gue ajarin," ucapnya. Dengan suara selembut sorot kedua matanya.
 
  Teman-teman cewek sekelas Tari langsung klepek-klepek. Di mata mereka-sumpah demi Tuhan!-Kak Ari emang keren abis. Two thumbs up deh!
 
  Hanya Fio, yang duduk berimpitan berdua Nyoman di bangku Nyoman, satu-satunya cewek yang tetap bisa memandang Ari tanpa terlalu terkagum-kagum.
 
  Kembali Ari mengoreksi tugas kimia Tari. Dan tu cowok kayaknya emang jago kimia, karena dia mengoreksi dengan cepat. Hanya dengan satu tangan, karena tangan kirinya mencekal kedua pergelangan tangan Tari kuat-kuat di atas meja, kembali dibuatnya tanda centang, silang, dan silang-centang dengan stabilo warna-warni di buku Tari.
 
  Tapi ternyata masih ada tindakan Ari yang lebih parah lagi.
 
  "Yang ini ngaco banget. Jawaban asal. Ck, ck, ck." Cowok itu menggelengkan kepala sambil berdecak.
 
  Dan untuk jawaban yang menurutnya ngaco banget itu, langsung dia urek-urek. Kata yang berasal dari bahasa Jawa untuk gerakan mengarsir heboh. Yang sampai menutupi sebuah objek di atas kertas.
 
  Tari sampai nyaris menangis, melihat buku tugas kimianya yang sekarang terlihat bak lukisan abstrak hasil karnya seorang maestro. Buat yang nggak paham lukisan, hasil ulah Ari itu kelihatan mirip karya Ashile Gorky deh. Atau Jackson Pollock. Atau pelukis-pelukis aliran abstrak yang lain. Yang hasil karya mereka di mata banyak orang memang lebih sering terlihat seperti gambar urek-urek tanpa objek yang jelas.
 
  Bu Pur memasuki ruangan dengan tatapan heran, karena tidak biasanya para murid bisa tenang tanpa kehadiran guru di kelas. Tak lama dia tahu penyebab suasana di ruang kelas itu begitu tertib. Seketika ekspresi wajahnya menjadi kaku.
 
  "Kenapa kamu di sini?!" Ditatapnya Ari dengan pandang dingin.
 
  "Pendalaman materi, Bu." Seperti biasa, Ari menjawab dengan nada santai. Apalagi ibu guru satu ini masuk dalam kategori jajaran guru-guru yang sama sekali tidak dia takuti. Cowok itu melepaskan cekalan tangannya di kedua pergelangan tangan Tari.
 
  Ekspresi muka Tari yang seperti menahan tangis menbuat guru muda itu kemudian menghampiri meja salah satu murid walinya itu. Seketika dia terpana mendapati kondisi buku Tari. Sepertinya dia juga sependapaat bahwa hasil ulah Ari itu di mata awam sekelas pelukis-pelukis abstrack ecpressionism.
 
  "Saya bantuin Ibu. Tugas Tari baru aja selesai saya periksa. Ni anak kimianya parah banget, Bu," Ari menjelaskan dengan nada seolah-olah dengan melakukan itu Bu Pur akan meluluskan permintaannya. Bu Pur pilih untuk tidak mengacuhkan ucapan Ari itu.
 
  "Kalau mau ikut PM, kamu cari Pak Sugi sana," Bu Pur menyebutkan nama seorang guru kmia kelas sepuluh yang lain, yang memang mengurusi masalah pedalaman materi untuk siswa kelas dua belas, khusus untuk mata pelajaran kimia.
 
  "Garing, Bu, kalo gurunya cowok. Nggak bikin semaangat. Bukannya jadi inget lagi sama pelajaran kelas sepuluh, yang ada saya malah lupa total nanti. Sama Ibu aja deh. Kalo sama Ibu saya pasti semangat. Pasti langsung inget lagi. Jadi Ibu neranginnya juga nggak perlu lama-lama."
 
  Meskipun mereka sudah terlalu sering mendengar dan melihat langsung sepak terjang siswa yang paling bermasalah sekaligus paling berkuasa di sekolah ini, tak urung teman-teman sekelas Tari ternganga-nganga menyaksikan itu.
 
  Raut wajah Bu Pur semakin kaku. Sejak dulu siswa satu itu memang sudah menjadi momok baginya.
 
  Setelah beberapa detik yang memang sengaja dia biarkan berlalu, memberikan kesempatan kepada Bu Pur untu membalas kata-katanya dan ternyata ibu guru ini bungkam, dengan senyum tipis Ari bangkit berdiri. Batas toleransinya untuk menggoda Bu Pur memang sampai di sini. Cukup sampai membuat wajah guru lajang yang cantik ini-dan betisnya indah pula-dingin dan kaku.
 
  Soalnya, Bu Pur sebenarnya nggak galak. Dia Cuma sok galak karena tuntutan profesinya. Juga karena ibu guru cantik ini, perbedaan usianya dengan para muridnya tidak mencapai sepuluh tahun, sudah terlalu sering jadi sasaran godaannya dulu-saat dua tahun yang lalu beliau ketiban sial menjadi wali kelas Ari.
 
  Hanya dengan senyum tipis itu, tanpa kata sama sekali, Ari membungkukkan punggungnya sedikit lalu melangkah keluar kelas.
 
  Diam-diam Bu Pur menarik napas lega. Dengan suara berwibawa, tanpa merasa waswas lagi wibawanya itu akan ada yang menggerogiti, diperintahkannya murid-murid di depannya, yang sebagian besar masih ternganga-nganga menatap tempat Ari menghilang, untuk membuka buku masing-masing.
 
  ***
 
  Kemunculan Ari di kelas dan tugas kimianya yang berubah menjadi lukisan abstrak penuh warna, membuat Tari-untuk pertama kalinya setelah pertemanannya dengan Ata memburuk-mengontak cowok itu lebih dulu.
 
  Begitu bel istirahat berbunyi, Tari menyambar ponselnya dari dalam laci dan bergegas keluar kelas menuju koridor depan gudang. Begitu Ata mengangkat panggilannya, pengaduannya langsung meluncur deras, dengan intonasi seolah-olah Ata mempunyai andil terhadap apa yang dilakukan Ari terhadapnya tadi pagi. Seperti biasa, Ata mendengarkan dengan sabar. Setelah rentetan pengaduan penuh emosi dan amarah itu akhirnya selesai, baru Ata buka suara.
 
  "Kita ketemu, ya?" ajaknya
 
  "Nggak ah. Gue masih kesel banget nih. Ubun-ubun gue masih berasep!" Tari langsung menolak. "Kak Ari tuh, kalo aja badannya segede gue, udah gue banting-bantung, kali!"
 
  Ata tertawa geli.
 
  "Makanya kita ketemuan, untuk ngebahas ini. Ya?" bujuknya dengan suara lembut.
 
  "Nggak. Nggak penting."
 
  "Kalo nggak penting kenapa lo telepon gue?"
 
  "Mau ngasih tau aja." Setelah mengatakan itu, Tari langsung menutup telepon. "Kembar ngeselin!" gerutunya sambil memasukkan ponsel ke dalam saku.
 
  Setelah telepon pengaduannya yang lebih tepat disebut telepon protes keras itu, yang dia tujukan kepada orang yang tidak bersalah-karena jika dia tujukan kepada oknumnya langsung Tari tahu dengan sangat jelas dia hanya akan mengundang serentetan bencana datang mendekat-kembali cewek itu tidak memedulikan panggilan telepon Ata.
 
  Yang penting dia sudah meluapkan emosinya sampai puas. Kalau dibilang salah alamat, seperti yang dikatakan Fio, Tari sama sekali nggak merasa dia sudah salah alamat. Ata kan kembaran si biang kerok itu, jadi wajar banget kalo dia kena imbasnya. Siapa suruh jadi sodara kembarnya.-
 
  ***
 
  Dua hari kemudian, saat jam istirahat pertama, Fio mengerutkan kening ketika layar ponselnya memunculkan nama Ata, karena sebelumny a dia tidak mendengar ponsel Tari bersuara. Cewek itu bangkir berdiri lalu berjalan menjauhi kerumunan.
 
  "Halo?"
 
  "Tari masuk, Fi?" tanya Ata langsung.
 
  "Masuk."
 
  "Lagi ngapain dia?"
 
  "Ngobrol aja sama temen-temen."
 
  "Tolong bilangin dia dong. Tolong angkat telepon gue. Ada yang mau gue omongin. Penting. Please banget. Sekali ini aja kalo emang dia udah nggak mau ngangkat telepon gue lagi. Bilang gitu, Fi."
 
  "Oke deh." Fio mengangguk
 
  "Thanks banget, Fi. Sori ngerepotin elo terus." Ata menarin napas lega. "Nggak pa-pa. Santai aja."
 
  Sambil memandang Tari, Fio menekan tombol bergambar telepon merah.
 
  "Tar," panggilnya. Tari menoleh. "Sini bentar deh."
 
  Tari bangkit berdiri lalu menghampiri Fio dengan kening berkerut heran.
 
  "Apa?"
 
  "Ata barusan telepon. Dia mau telepon elo. Tolong diangkat, katanya. Soalnya penting banget."
 
  "Ada apa sih?" nada suara Tari langsung terdengar malas.
 
  "Ya mana gue tau lah. Dia Cuma ngasih tau itu. Angkat deh, Tar. Kali aja emang ada yang penting." "Akal-akalan dia aja paling, bilang ada yang penting."
 
  "Dia bilang, ini yang terakhir. Kalo emang lo udah nggak mau ngomong lagi, ini yang terakhir dia telepon elo. Katanya gitu tadi."
 
  Tari terdiam sesaat.
 
  "Iya deh," ucapnya akhirnya.
 
  Baru saja Tari selesai ngomong, ponselnya menjeritkan ringtone bahwa Ata menelepon. Dikeluarkannya benda itu dari saku kemeja.
 
  "Apaaa...?" tanyanya dengan nada malas.
 
  "Tar, gue udah tau di mana rumah Ari!" bisik Ata. Tari tersentak. "Hah!? Serius lo!? Di mana!? Di mana!?" Tari langsung berseru histeris.
 
  Semua kepala yang ada di kelas seketika terangkat, menatap Tari lurus-lurus. Cewek itu tersedar. Buru-buru dia berlari keluar kelas, menuju koridor di depan gudang. Fio bergegas mengikuti. Begitu sampai sana, Tari langsung menempelkan kembali ponselnya ke telinga.
 
  "Apa, Ta? Ulangin dong. Tadi gue ada di kelas."
 
  "Jangan sampai ada yang denger, Tar!" seketika Ata berseru cemas.
 
  "Makanya gue kabur duluan. Aman sekarang. Gue ada di koridor depan gudang. Nggak bakalan ada yang bisa nguping."
 
  "Gue udah nemu rumahnya Ari."
 
  "Di mana!?"
 
  "Gue nggak tau nama daerahnya. Tapi gue tau lokasinya."
 
  "Kok lo bisa tau? Gimana ceritanya?"
 
  "Kemarin gue kuntit Ari, pas pulang sekolah."
 
  "Jadi lo kemaren di Jakarta? Kok nggak ngabarin gue?"
 
  "Lo bukannya masih marah?" goda Ata telak. Sontak muka Tari jadi merah meskipun cowok itu nggak ada di depannya.
 
  "Nggak ah. Lo aja yang terlalu berprasangka."
 
  "Lo kan sekarang nggak mau ngangkat telepon gue lagi."
 
  "Lo kan tadi telepon ke Fio, bukan gue. Nggak mungkinlah gue ngangkat telepon orang. Nggak sopan, tau. Coba tadi lo langsung telepon gue, pasti bakalan fue angkat deh. Nggak perlu minta tolong Fio dulu," ucap Tari panjang lebar, sambil meringis. Fio mencibirkan bibirnya.
 
  "Dasar! Bisa banget lo ngelesnya ya." Ata tertawa pelan.
 
  "Hehehe," Tari menyuarakan tawanya dalam bentuk suku kata. "Terus? Terus? Rumahnya gimana? Eh, maksud gue, kenapa dengan rumahnya sih? Kok sampe nggak ada satu orang pun yang dia biarin tau, gitu."
 
  "Nggak kenapa-kenapa. Maksud gue, nggak ada yang aneh sama rumahnya. Gue juga nggak ngerti. Makanya ntar gue mau ajak lo ke sana. Barangkali aja ada yang lolos dari mata gue. Soalnya yang ketemu dia hampir setiap hari kan elo."
 
  "Oh ,gitu? Oke! Oke!" Tari langsung setuju.
 
  "Ntar siang begitu bel, lo langsung cabut ya. Pake taksi aja. Tunggu gue di depan mal yang waktu itu. Di pinggir jalan aja. Nggak usah masuk."
 
  "Jauh amat?"
 
  "Ke rumah Ari deketan dari situ daripada dari sekolah lo. Lagian berisiko kalo gue jemput elo di sekolah."
 
  "Gitu ya? Oke deh. Ntar siang gue langsung jalan."
 
  Pembicaraan mengejutkan itu berakhir. Tari menatap Fio dengan sepasang mata berkilat.
 
  "Ata berhasil nemuin di mana rumah Kak Ari!" desisnya pelan.
 
  "Serius!? Sumpah lo!?" seru Fio tertahan. Kedua matanya sontak terbelalak lebar.
 
  "Iya!" Tari mengangguk kuat-kuat. "Nat siang dia ngajakin gue ke sana." Kedua matanya kembali berkilat. "Jadi pengen tau, apa sih yang diumpetin tu orang!"
 
  "Kayaknya bakalan makin ruwet urusannya nih!" desis Fio melihat kilatan sepasang mata itu
 
  ***
 
  Begitu bel pulang berbunyi dan guru meninggalkan ruangan, Tari dan Fio langsung berlari keluar kelas. Mereka turuni anak tangga dua-dua sekaligus. Di empat anak tangga terakhir mereka bahkan melompatinya dan langsung berlari ke arah koridor.
 
  "Brenti, Tar! Brenti! Brenti!" seru Fio tertahan. Cewek itu menghentikan larinya dengan mendadak. Disambarnya tubuh tari dan langsung ditariknya ke balik tembok. "Ada Kak A

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>