Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Pertemuan Di Sebuah Motel - 13

$
0
0
Cerita online | Pertemuan Di Sebuah Motel | by V. Lestari | Pertemuan Di Sebuah Motel | Cersil Sakti | Pertemuan Di Sebuah Motel pdf

Kelompok 2 & 1 - Pencuri Intelek Kemuning - Maria A Sardjono Love Me Twice - Gebetan Lama Rasa Baru - Billy Homario Tesa - Marga T Mawar Merah - Roses are Red - James Patterson

duli akan apa yang mungkin terpikir atau dirisaukan Yasmin.
  "Bagaimana? Jangan-jangan kau mencurigai aku juga, ya?" tanyanya bergurau.
  "Nggak sih, Kak. Baiklah, aku mau. Tapi... kita pakai baju yang ada saja, ya."
  "Tentu saja. Kita kan nggak diundang makan di hotel bintang lima!"
  Mereka tertawa. Kekakuan sudah mencair.
  Dia simpatik, pikir Yasmin. Sepertinya enak dijadikan teman. Tapi apa gunanya punya teman sekarang? Sudah terlambat.
  Mestinya aku tidak perlu berbuat seperti ini, pikir Delia. Jangan akrab dengan orang lain bila hidup tinggal sebentar. Tapi hidup ini memang aneh. Justru pada saat seperti ini, ketika ia bertekad tak mau hidup lebih lama lagi, muncul pengalaman yang menarik. Apakah itu bisa dianggap sebagai godaan agar ia membatalkan niatnya? Tapi mustahil membatalkan pada saat ia tak punya apa-apa lagi. Melanjutkan kehidupan itu memerlukan modal. Bayangkan saja wajah Ratna, maka tekadnya akan mantap kembali.
  "Nanti kujemput kau," kata Delia kemudian. "Kita sama-sama ke ruang makan." "Baik."
  Terpikir oleh Yasmin, pasti makanan itu belum sempat dicerna oleh tubuhnya nanti karena saat itu hidupnya keburu berakhir. Kasihan yang mentraktir karena niat baiknya jadi sia-sia.
  "Eh, boleh nanya, Yas?"
  "Oh, boleh saja," Yasmin heran.
  "Tadi siang itu apa kau betul-betul nggak nangis
  120
  waktu aku mengetuk pintu? Jangan salah paham, Yas. Aku cuma perlu jawaban ya atau tidak. Aku ingin kepastian, apakah pendengaranku nggak salah. Juga soal kewarasanku."
  Yasmin tak segera menjawab. Ia merasa sulit berterus terang. Mustahil ia mengatakan bahwa ia memang menangis tapi di dalam hati. Kedengarannya tidak logis. Apalagi jawaban seperti itu bisa memancing pertanyaan berikutnya. Kok menangis dalam hati? Kenapa dan kenapa? Mencurahkan isi hati di saat sekarang ini tak ada gunanya.
  "Bener, Kak. Aku nggak nangis waktu itu," katanya.
  "Ah, kalau begitu aku yang nggak beres," keluh Delia.
  "Mungkin saat itu ada yang pasang teve, Kak. Kan sekarang banyak sinetron yang suka nangis-nangis."
  "Oh ya. Mungkin juga. Baiklah, sampai nanti."
  Delia tidak puas, tapi tak bisa lain. Mungkin kejadiannya sama seperti halnya dinding yang dikiranya dialiri listrik tapi ternyata tidak. Ia harus menerima adanya keanehan dalam hidup sebagai sesuatu yang tidak perlu dipertanyakan. Lagi pula, apa pedulinya?
  Di kamarnya ia menghubungi kantor dengan interkom. Suara Kosmas menyambutnya. Delia memberitahu soal kesanggupan Yasmin untuk ikut serta makan malam nanti. Kosmas kedengaran senang.
  "Tadi lupa ditanyakan, Bu. Apakah Ibu berpantang sesuatu? Udang misalnya? Atau Ibu vegetarian?"
  Delia tertawa. "Kalau memang begitu pasti aku sudah memberitahu."
  "Syukurlah, Bu. Jadi sampai nanti."
  121
  Kemudian Delia mempersiapkan diri. Ia berdandan dengan rapi dan mengenakan pakaiannya yang terbaik. Ia tidak boleh mengecewakan para pengundangnya.
  Sama dengan Delia, Yasmin pun melakukan hal yang sama. Semangatnya muncul. Tanpa sadar sakitnya hilang sebagian besar! Bahkan ia sempat menyesal karena tidak membawa pakaian lain. Terpaksa ia mengenakan pakaian yang tadi dipakainya saat datang. Mudah-mudahan tidak berbau. Untung saja ia membawa alat-alat riasnya dengan lengkap. Ia akan sekalian berdandan mempersiapkan diri menghadapi kematian, supaya tampak cantik biarpun sudah mati!
  122
  BAB 12
  Hendri tertegun melihat rumah Winata. Rumah yang terletak di kawasan permukiman kelas menengah ke atas itu tampak megah dan mewah. Dengan melihat rumah seperti itu bisalah menyimpulkan bahwa pemiliknya pasti orang kaya.
  Mendadak muncul penyesalan di hati Hendri kenapa mertua sekaya itu sampai dimusuhi. Ia juga tidak pernah berbuat sesuatu untuk membujuk Yasmin agar mau berbaikan dengan ayahnya. Bukan kah Yasmin merupakan anak satu-satunya Winata, sep erti yang dikatakan sendiri oleh lelaki itu? Bila demikian, itu berarti dengan istri keduanya Winata tidak memiliki keturunan. Kesempatan yang bagus sekali buat Yasmin . Hendri sempat berangan-angan.
  Ia disilakan masuk rumah. Kembali ia tertegun dan terpesona. Ruang tamu tampak berkilap dan berkilau. Dalam hati ia kembali menyesali kenapa tidak dari dulu membina hubungan dengan orang sekaya ini. Ia memang pernah mendengar bahwa ayah Yasmin itu kaya, tapi saat itu ia kurang peduli. Ia berpikir, biarpun kaya tapi bila sudah putus hubungan dan punya keluarga lagi pastilah Yasmin terlupakan. Tak ada harapan untuk Yasmin. Siapa sangka sekarang keadaan berubah atau memang tidak ia perhitungkan.
  123
  "Sebentar lagi Bapak keluar, Pak," kata seorang perempuan setengah tua yang diperkirakan pembantu. "Ya. Terima kasih,"
  Sekitar lima menit ia menunggu. Lalu terdengar suara berdesir. Ia melihat sebuah kursi roda meluncur dari dalam, mendekat ke arahnya. Seorang lelaki tua dengan wajah keras, tegas, dan berwibawa, duduk tegak. Rambutnya sudah menipis dan putih semua. Ia menjalankan sendiri kursi rodanya dengan menekan tombol di sandaran tangan.
  Hendri segera berdiri. Ia mengulurkan tangan yang disambut dengan jabatan erat. Tangan Winata terasa lembap dan dingin.
  "Duduklah," kata Winata.
  "Bagaimana keadaan Papa?" tanya Hendri penuh perhatian.
  "Kurang baik. Yas gimana? Apa dia sudah pulang?" "Belum, Pa."
  "Jadi dia nggak tahu kau ke sini?"
  "Nggak, Pa. Saya sudah ninggalin pesan kalau dia pulang nanti."
  "Apa kau nggak tahu dia pergi ke mana sampai bertanya kepadaku?"
  Wajah Hendri terasa memanas. Pertanyaan itu terasa tajam bagai interogasi.
  "Soalnya dia pergi saat saya masih di kantor. Nggak meninggalkan pesan atau telepon."
  "Tahukah kau bahwa rumahku merupakan tempat yang paling tipis kemungkinannya untuk dia datangi?"
  "Tahu, Pak. Saya sudah menelepon ke tempat lain yang kira-kira dia datangi, tapi nggak ada," Hendri berbohong.
  "Mungkin saja dia pergi berbelanja. Belum lewat sehari, kan?"
  "Ya. Mungkin saja, Pak. Saya mencarinya karena ingin tahu saja."
  "Nyarinya sampai ke sini. Itu berarti kau cukup risau, ya? Atau perhatianmu memang sangat besar hingga ditinggal sebentar saja sudah bingung."
  "Saya nggak bingung, Pak."
  Hendri merasa tidak nyaman karena tatapan Winata yang tajam menyelidik. Ia datang ke situ bukan untuk didera pertanyaan bertubi-tubi.
  "Bajunya ada? Kopernya?"
  "Semua ada, Pa."
  "Nah, kenapa perlu dirisaukan? Apa kalian habis bertengkar?"
  "Nggak juga, Pa."
  "Bertengkar sih jamak. Tergantung sebabnya. Tapi... yah, sudahlah. Bukan hakku menanyaimu. Aku tidak ingin terjadi apa-apa pada Yasmin. Lagi pula memang kebetulan kau menelepon aku. Ada hikmahnya. Kalau tidak begitu, kau pasti tidak akan menelepon, kan?"
  "Betul, Pa."
  "Baiklah. Langsung ke tujuan saja. Begini. Aku ini sudah tua. Sakit-sakitan, lagi. Mungkin liang kubur sudah di depan mata. Tapi kalau masalahku dengan Yas belum selesai, bagaimana aku bisa mati dengan tenang? Aku perlu ketemu dan berbaikan dengannya. Tapi dia itu keras kepala. Ya, sama kayak aku. Dia juga pendendam. Mana pernah dia menelepon atau datang ke sini? Aku mau menelepon juga nggak tahu nomornya atau di mana alamat kalian."
  Hendri buru-buru mengeluarkan kartu namanya dari saku. Ada alamat rumah, kantor, dan nomor telepon keduanya. Setelah menuliskan nomor HP Yasmin, ia menyodorkan kartu nama itu kepada Winata. Lelaki tua
  125
  124
  itu mengamati sebentar, kemudian menekan sebuah tombol di dinding. Seorang lelaki bertubuh pendek, gempal, dan berwajah bulat cepat-cepat keluar.
  "Ini, Yo. Simpan baik-baik," kata Winata sambil menyodorkan kartu nama yang diberikan Hendri.
  Sesudah menerima kartu itu, lelaki gempal itu menghilang ke dalam. Kemudian pembantu perempuan yang tadi keluar membawa gelas berisi minuman. "Silakan, Pak," katanya setelah meletakkan gelas di meja.
  "Terima kasih, Bu."
  "Ayo minum dulu," Winata menyilakan.
  Setelah Hendri selesai minum, Winata melanjutkan, "Apa dia pernah bercerita tentang aku kepadamu?"
  "Pernah. Tapi tidak banyak, Pak. Dia tidak mau cerita banyak. Hanya sepintas."
  "Sepintas gimana?" Winata tidak puas.
  "Katanya, Papa mengkhianati dia dan ibunya. Jadi dia sudah putus hubungan dengan Papa. Hanya itu. Saya nggak berani nanya banyak-banyak. Kelihatannya dia nggak suka."
  Winata menghela napas. "Ya, dia memang begitu. Tapi mana mungkin ayah dan anak putus hubungan? Itu cuma berlaku buat suami-istri. Sekarang kita bicara tentang posisimu. Sebagai menantu, kau tak ubah anakku. Kuharap kau tidak ikut-ikutan membenciku."
  "Nggak, Pa."
  "Bagus kalau begitu. Kau bisa jadi penengah yang baik. Kuharap kau bisa membujuknya agar mau memaafkan aku dan hubungan kami bisa jadi baik lagi."
  126
  "Ya, Pa. Akan saya usahakan." Hendri menyanggupi dengan ringan. Ia yakin tidak akan sulit membujuk Yasmin.
  "Masalah yang paling penting adalah hartaku. Keturunanku satu-satunya adalah Yas. Cuma dia yang berhak mewarisi."
  "Bagaimana dengan istri Papa?"
  "Oh, kami sudah bercerai. Tepatnya dia kuceraikan. Sekarang dia sudah kawin lagi dengan selingkuhannya. Hukum karma buat aku. Dengan dia aku tak punya anak. Jadi yang tinggal cuma Yas seorang. Tapi bagaimana kalau hubungan kami seperti ini? Dia tidak mau mengakui aku sebagai ayahnya. Tidak bisa begitu, kan? Tentu dia memang anak kandungku, tapi kalau dia tidak mau mengakui, bagaimana aku bisa mewariskan hartaku kepadanya? Aku punya harga diri juga dong. Aku tahu, kalau aku mati, dengan sendirinya hartaku jatuh pada Yasmin sebagai keturunanku satu-satunya. Orang mati tak bisa apa-apa lagi. Tapi sekarang, selagi masih hidup aku bisa berbuat sesuatu. Misalnya aku bisa menghibahkan sebagian besar hartaku pada badan amal dan kusisa-kan sebagian kecil sebagai biaya hidupku menjelang ajal. Bila itu terjadi, Yas hanya akan mendapat sedikit atau tidak sama sekali kalau keburu habis. Jadi terserah dia, mau dapat seutuhnya atau sedikit. Kalau mau yang utuh, dia harus baikan dulu denganku. Jadi bujuklah dia, Hendri. Gimana caranya terserah kau."
  Hendri termangu sejenak. Ia tidak menyangka masalahnya seperti itu.
  Winata melanjutkan, "Sekarang ini, kondisi kesehatanku sudah tidak memungkinkan aku aktif lagi di perusahaanku. Pernah dengar tentang PT Wahana?
  127
  Itu perusahaan pemegang lisensi pembuatan suku cadang mobil merek Jepang. Sekarang aku cuma jadi pemegang saham terbesar di situ. Nilainya besar. Tambah rumah ini dan beberapa harta tak bergerak lain. Sayang kalau dikasih ke orang lain, kan?"
  Hendri mengangguk-angguk dengan takjub. Winata senang melihat ekspresi Hendri yang tampak tertarik. Mana ada orang yang tak tertarik dengan iming-iming harta? Tapi ia menjadi murung kalau teringat bahwa Yasmin belum tentu tertarik. Mungkin dendam Yasmin lebih besar daripada ketertarikannya. Jadi peran si suami ini sangat penting.
  "Tentu saja sayang sekali, Pa," Hendri membenarkan. "Saya akan berbicara dan membujuk Yasmin."
  "Pakai strategi, Hen. Jangan cuma bicara. Kau suaminya, jadi pasti tahu di mana kepekaan dan kelemahannya."
  Hendri tersenyum. Tentu saja ia tahu.
  "Baik, Pa. Saya akan segera memberi kabar."
  "Jangan lama-lama lho. Jangan lebih dari sebulan. Kalau lebih dari sebulan, aku menganggap Yas tidak mau."
  "Baik, Pa."
  Pulang dari rumah Winata, jantung Hendri berdegup lebih kencang. Ia bersemangat sekali. Tentu ia pernah mendengar perihal PT Wahana. Itu perusahaan besar. Angan-angannya kembali melambung tinggi. Tapi semua itu tergantung pada Yasmin. Ia harus bisa membujuknya. Tiba-tiba ia teringat bahwa perlakuannya kepada Yasmin selama ini jauh dari baik. Ia menyesal. Bahkan sekarang ia tidak tahu di mana Yasmin berada!
  Dengan ponselnya ia menelepon ke rumah. Inem yang menyahut mengatakan bahwa Yasmin belum
  128
  pulang dan belum pula ada kabarnya. Tapi Hendri tidak merasa khawatir. Orang lemah dan cengeng seperti Yasmin tidak akan ke mana-mana. Ia juga tidak khawatir akan kemungkinan Yasmin bersehngkuh dengan orang lain. Bagaimana mungkin ia bisa melakukannya dengan orang lain kalau dengan suami sendiri saja sudah ketakutan dan kesakitan?
  Ada kesimpulan yang menenangkan. Mungkin Yasmin ke dokter dan harus menunggu lama. Sedikit pun tak terpikir kenapa Yasmin harus pergi ke dokter bila ia memang pergi ke sana. Padahal orang yang pergi ke dokter itu pasti karena sakit. Bagi Hendri, sakit yang dialami Yasmin itu bukan jenis sakit yang perlu dikhawatirkan. Tak perlu berobat pun akan sembuh sendiri.
  * * *
  "Apa kaupikir menantuku itu bisa membujuk putriku, Yo?" tanya Winata kepada Aryo, perawat pribadinya.
  Lelaki bertubuh pendek gempal

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>