Cerita Romantis | Seducing Cinderella | by Gina L. Maxwell | Seducing Cinderella | Cersil Sakti | Seducing Cinderella pdf
Siapa Ayahku ? - Azizah Attamimi The Wednesday Letters - Surat Cinta di Hari Rabu - Jason F. Wright The Chamber - Kamar Gas - John Grisham Trio Tifa - Tiga Sandera - Bung Smas Kisah Dua Kamar ~ bukanpujangga
, memperbaiki keretakan yang disebabkan oleh Reid di minggu sebelumnya. Lucie merasa utuh kembali dan, untuk pertama kalinya dalam kehidupan dewasanya, merasa dicintai tanpa syarat.
Dagunya bergetar saat ia mencoba menahan air mata yang bergegas keluar di matanya, tapi itu tidak ada gunanya. Mereka tumpah di pipinya, satu demi satu, dan akan beruntung jika air mata jelaganya itu tidak menetes ke gaunnya dan merusaknya. Pria bodoh.
"Sekarang lihat apa yang sudah kau perbuat dan lakuk an." Lucie terisak, bertekad untuk setidaknya menahan ingusnya keluar dari seluruh kekacauan pada riasannya yang sebelumnya diterapkan dengan hati-hati. "Kataka n 'I love you' dengan simpel pasti sudah cukup."
Reid tersenyum sebelum menempatkan ciuman lembut di bibirnya. "Aku mencintaimu."
"Sudah terlambat, aku sudah berantakan."
"Kupikir kau cantik."
Lucie mengernyitkan hidung. "Kau bias. Aku tidak bisa kembali ke sana seperti ini.
"Reid memiringkan kepalanya ke samping untuk sesaat, dan kemudian tersenyum padanya. "Jam sudah mau menunjukkan angka dua belas, Cinderella. Aku mungkin harus membawamu dengan selamat ke kamar hotelku. Kau tahu, untuk berjaga-jaga."
Lucie tertawa pendek, menggunakan bagian belakang tangannya untuk menggesek garis-garis hitam di bawah matanya dan mengangkatnya sebagai bukti. "Aku cukup yakin aku sudah kembali ke keadaanku terdahulu, tapi keluar dari gaun ini dan masuk kedalam bak air panas terdengar seperti surga."
Mata Reid gelap dengan intensitas dan otot dirahangnya berkedut. Lucie tidak bermaksud pernyataannya terdengar seksual, tapi jelas itulah yang ia terima dinilai dari reaksi Reid.
Meraih tangannya, ia hampir menggeram dan berkata, "Aku sangat setuju." Tanpa menunggu sedetikpun, dia berbalik, menarik Lucie keluar dari kebun menuju ke depan hotel. Langkahnya begitu panjang dan cepat hingga Lucie harus menaikkan gaunnya dan berlari kecil dibelakangnya untuk menyeimbangi. Cukup mengagumkan Lucie bisa mengatur kecepatannya dengan baik ketika tiba-tiba tumit sepatu kanannya terjebak dalam celah, menyebabkannya goyah saat kakinya terus berjalan tanpa itu. Untungnya Reid menggunakan refleksnya yang secepat-kilat untuk menangkap Lucie sebelum dia terjatuh mengenai batu trotoar di dekat pintu Prancis.
Tidak dapat menahan diri, Lucie tertawa histeris saat ia mengulurkan tangan dan mencoba untuk melepas sepatunya. Sejumput rumput menyentak bebas sepatunya...tapi bukan di bagian tumit. Dengan mulut ternganga Lucie menatap tumit besar yang dengan keras kepala masih terjepit di batu. "Well, sial. Bukankah itu baru saja terungkap."
Reid mendekap tubuh Lucie ke dalam pelukannya, melirik kakinya yang telanjang dan berkata, "Well, sekarang itu resmi." Lucie memeluk lehernya, alas kakinya yang patah menggantung di jemari salah satu tangannya.
"Apa yang resmi?"
"Kau benar-benar Cinderella."
"Well, kalau begitu..." Lucie menangkap bibir bawah Reid di antara giginya, menelusuri kulit coklat yang tersingkap oleh bagian V terbuka dari bajunya, lalu melirik malu-malu melalui bulu matanya, tepat seperti yang Reid ajarkan padanya.
"...mari memulai Happily Ever After kita."
Saat bunyi lonceng terakhir memudar ke malam berbintang, Reid membalas tatapannya dengan senyum yang meluluhkan hati dan berkata, "Sesuai permintaanmu, tuan putri." sebelum menggendongnya saat itu juga.
Tamat
Siapa Ayahku ? - Azizah Attamimi The Wednesday Letters - Surat Cinta di Hari Rabu - Jason F. Wright The Chamber - Kamar Gas - John Grisham Trio Tifa - Tiga Sandera - Bung Smas Kisah Dua Kamar ~ bukanpujangga
, memperbaiki keretakan yang disebabkan oleh Reid di minggu sebelumnya. Lucie merasa utuh kembali dan, untuk pertama kalinya dalam kehidupan dewasanya, merasa dicintai tanpa syarat.
Dagunya bergetar saat ia mencoba menahan air mata yang bergegas keluar di matanya, tapi itu tidak ada gunanya. Mereka tumpah di pipinya, satu demi satu, dan akan beruntung jika air mata jelaganya itu tidak menetes ke gaunnya dan merusaknya. Pria bodoh.
"Sekarang lihat apa yang sudah kau perbuat dan lakuk an." Lucie terisak, bertekad untuk setidaknya menahan ingusnya keluar dari seluruh kekacauan pada riasannya yang sebelumnya diterapkan dengan hati-hati. "Kataka n 'I love you' dengan simpel pasti sudah cukup."
Reid tersenyum sebelum menempatkan ciuman lembut di bibirnya. "Aku mencintaimu."
"Sudah terlambat, aku sudah berantakan."
"Kupikir kau cantik."
Lucie mengernyitkan hidung. "Kau bias. Aku tidak bisa kembali ke sana seperti ini.
"Reid memiringkan kepalanya ke samping untuk sesaat, dan kemudian tersenyum padanya. "Jam sudah mau menunjukkan angka dua belas, Cinderella. Aku mungkin harus membawamu dengan selamat ke kamar hotelku. Kau tahu, untuk berjaga-jaga."
Lucie tertawa pendek, menggunakan bagian belakang tangannya untuk menggesek garis-garis hitam di bawah matanya dan mengangkatnya sebagai bukti. "Aku cukup yakin aku sudah kembali ke keadaanku terdahulu, tapi keluar dari gaun ini dan masuk kedalam bak air panas terdengar seperti surga."
Mata Reid gelap dengan intensitas dan otot dirahangnya berkedut. Lucie tidak bermaksud pernyataannya terdengar seksual, tapi jelas itulah yang ia terima dinilai dari reaksi Reid.
Meraih tangannya, ia hampir menggeram dan berkata, "Aku sangat setuju." Tanpa menunggu sedetikpun, dia berbalik, menarik Lucie keluar dari kebun menuju ke depan hotel. Langkahnya begitu panjang dan cepat hingga Lucie harus menaikkan gaunnya dan berlari kecil dibelakangnya untuk menyeimbangi. Cukup mengagumkan Lucie bisa mengatur kecepatannya dengan baik ketika tiba-tiba tumit sepatu kanannya terjebak dalam celah, menyebabkannya goyah saat kakinya terus berjalan tanpa itu. Untungnya Reid menggunakan refleksnya yang secepat-kilat untuk menangkap Lucie sebelum dia terjatuh mengenai batu trotoar di dekat pintu Prancis.
Tidak dapat menahan diri, Lucie tertawa histeris saat ia mengulurkan tangan dan mencoba untuk melepas sepatunya. Sejumput rumput menyentak bebas sepatunya...tapi bukan di bagian tumit. Dengan mulut ternganga Lucie menatap tumit besar yang dengan keras kepala masih terjepit di batu. "Well, sial. Bukankah itu baru saja terungkap."
Reid mendekap tubuh Lucie ke dalam pelukannya, melirik kakinya yang telanjang dan berkata, "Well, sekarang itu resmi." Lucie memeluk lehernya, alas kakinya yang patah menggantung di jemari salah satu tangannya.
"Apa yang resmi?"
"Kau benar-benar Cinderella."
"Well, kalau begitu..." Lucie menangkap bibir bawah Reid di antara giginya, menelusuri kulit coklat yang tersingkap oleh bagian V terbuka dari bajunya, lalu melirik malu-malu melalui bulu matanya, tepat seperti yang Reid ajarkan padanya.
"...mari memulai Happily Ever After kita."
Saat bunyi lonceng terakhir memudar ke malam berbintang, Reid membalas tatapannya dengan senyum yang meluluhkan hati dan berkata, "Sesuai permintaanmu, tuan putri." sebelum menggendongnya saat itu juga.
Tamat