Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Sang Broker - 46

$
0
0
,Cerita The Broker | Sang Broker | by John Grisham | Sang Broker | Cersil Sakti | Sang Broker pdf

Mahkota Cinta - Habiburrahman El-Shirazy Josep Sang Mualaf - Fajar Agustanto Namaku Izrail ! - Atmonadi Keluarga Flood - Tetangga Menyebalkan - Colin Thomphson Kumpulan Dongeng Anak

ang lebat. Ia menerima mantel mereka dan bercakap-cakap dengan
  Luigi seolah mereka teman lama. Luigi menyebut nama-nama tertentu dan
  Franco senang mendengarnya. Dipilihlah meja di dekat jendela depan. "Meja
  kami yang terbaik," ujar Franco penuh semangat. Marco menatap sekelilingnya
  dan tidak melihat meja yang buruk.
  "Antiposti di sini luar biasa," kata Franco rendah hati, seakan ia tidak suka
  sesumbar tentang hidangan-hidangannya. Tapi favorit saya hari ini
  adalah salad jamur iris. Lino menambahkan truffles, keju Parmesan,
  beberapa iris apel..." Pada saat itu kata-kata Franco memelan sewaktu ia
  mencium ujung jemarinya. "Benar-benar enak," akhirnya ia berhasil
  mengucapkannya dengan mata terpejam, seolah bermimpi.
  Mereka setuju memesan salad itu dan Franco meninggalkan mereka untuk
  menyambut pengunjung lain. "Lino itu siapa?" tanya Marco.
  "Kakaknya,- koki kepala." Luigi mencelupkan roti Tuscany ke dalam
  semangkuk minyak zaitun. Seorang pramusaji berhenti dan menawarkan
  anggur. Tentu saja," jawab Luigi. "Aku ingin anggur merah, dari daerah sini."
  Tak perlu ditanyakan lagi. Pramusaji itu dengan bolpoinnya menunjukkan
  sesuatu dalam daftar anggur dan berkata, "Yang ini, Liano dari Imola.
  Fantastis." Ia berlagak mencium udara untuk menekankan ucapannya.
  Luigi tak punya pilihan lain. "Kami mau mencobanya."
  "Kita tadi bicara soal Francesca," kata Marco kemudian. "Sepertinya ia
  kurang konsentrasi. Ada apa dengannya?"
  Luigi mencelupkan roti lagi ke dalam minyak zaitun dan menggigit besar-besar seraya mempertimbangkan sebanyak apa yang bisa ia beritahukan pada
  Marco. "Suaminya tidak sehat," jawabnya.
  "Ia punya anak?" "Kurasa ridak." "Suaminya kenapa?"
  "Sakit cukup parah. Kurasa usianya sedikit lebih tua daripada Francesca. Aku
  beJum pernah bertemu dia."
  // Signore Rossi kembali untuk membantu mereka dengan menu, yang
  sebenarnya tak dibutuhkan. Ia menjelaskan bahwa hidangan torteUini-ttp.
  adalah yang terbaik di Boiogna,.dan terutama hari ini sedang bagus-bagusnya.
  Lino akan senang keluar dari dapur dan membenarkan hai ini. Setelah tor-tellini, pilihan terbaik adalah filet daging sapi muda dengan truffle.
  Selama lebih dari dua jam mereka mengikuti saran Franco, dan ketika
  meninggalkan restoran itu mereka membawa perut mereka kembali ke Via deh"
  Indipendenza sambil membicarakan waktu siesta.
  Marco menemukannya secara tak sengaja di Piazza Maggiore. Ia sedang
  menikmati espresso di meja luar kafe, menahan udara dingin di bawah sinar
  matahari yang benderang, setelah jalan-jalan cepat selama tiga puluh menit. Ia
  melihat sekelompok kecil lansk berambut kelabu keluar dari Palazzo Comunale,
  balai kota Bologna. Sesosok rubuh yang
  tak asing memimpin mereka, wanita kurus dan kecil dengan bahu tegak,
  rambutnya yang hitam terurai di bawah topi baret warna ungu kemerahan.
  Marco meninggalkan sekeping uang satu euro di meja dan mendekati mereka.
  Di kolam Neptunus, ia beringsut ke belakang rombongan tersebut-seluruhnya
  ada sepuluh orang-dan mendengarkan Francesca bekerja. Ia menjelaskan
  bahwa patung perunggu dewa laut Romawi itu dibuat oleh pria Prancis selama
  tiga tahun, dari tahun 1563 hingga 1566. Patung itu dipesan oleh seorang uskup
  dalam rangka program mempercantik kota, demi menyenangkan sang paus.
  Legenda mengatakan bahwa sebelum mulai bekerja, pria Prancis itu risau
  dengan kondisi Neptunus yang telanjang bulat, jadi ia mengirim rancangannya
  kepada Paus di Roma untuk meminta persetujuan. Paus mengirim pesan
  kembali, "Untuk Bologna, tidak apa-apa."
  Sikap Francesca dengan turis-turis sungguhan tampak lebih bersemangat
  ketimbang dengan Marco. Suaranya lebih hidup, senyumnya lebih sering
  terkembang. Ia mengenakan kacamata yang sangat trendi, yang membuatnya
  tampak sepuluh tahun lebih muda. Sambil bersembunyi di belakang rombongan
  Australia iru, Marco menonton dan mendengarkan untuk waktu yang lama tanpa
  ketahuan.
  Francesca menjelaskan bahwa Fontana del Nettuno adalah salah satu simbol
  kota yang paling terkenal, dan boleh jadi paling sering difoto. Kamera-kamera
  pun dikeluarkan dari kantongnya, dan para turis mengambil waktu berpose di
  depan Nept
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Sang Broker - John Grisham

  unus. Pada saat itu, Marco berhasil cukup dekat untuk menangkap
  perhatian Francesca. Ketika melihat Marco, Francesca langsung tersenyum, lalu
  dengan pelan berkata, "Buon giorno."
  "Buon giorno. Keberatan kalau aku ikut?" tanya Marco dalam bahasa Inggris.
  Tidak. Maaf aku harus membatalkan pelajaran."
  Tidak apa-apa. Bagaimana kalau makan malam?"
  Francesca melirik ke sekitarnya, seolah ia baru melakukan sesuatu yang
  dilarang.
  "Untuk belajar, tentu saja. Tidak lebih," ujar Marco.
  "Maafkan aku," timpal Francesca. Ia melihat ke balik bahu Marco, ke
  seberang piazza, ke arah Basilica di San Petronio. "Kafe kecil di sana itu," kata
  Francesca, "di sebelah gereja, yang di pojok.
  Temui aku di sana pada jam lima, lalu kita akan
  belajar selama satu jam." "Va bene,"
  Tur dilanjutkan beberapa langkah lagi ke tembok barat Palazzo Comunale,
  tempat mereka berhenti di
  depan tiga foto hitam-putih besar yang dipajang di dalam bingkai.
  Sejarahnya, selama Perang Dunia II, Bologna dan sekitarnya menjadi jantung
  Perlawanan Italia. Bolognesi membenci Mussolini dan kaum fasis serta
  pendudukan Jerman, dan mereka berjuang dengan bergerilya. Nazi membalas
  dengan penuh dendam-aturan mereka yang tetkenal adalah mereka akan
  membunuh sepuluh orang Italia untuk satu tentara Jerman yang dibunuh oleh
  kelompok Perlawanan. Dalam rangkaian 55 pembantaian yang dilakukan di
  Bologna dan sekitarnya, mereka membunuh ribuan pemuda pejuang Italia.
  Nama dan wajah mereka dipajang di dinding, dikenang selama-lamanya.
  Dalam saat-saat yang muram itu, para anggora tur Australia yang sudah
  berusia lanjut itu beringsut mendekat untuk melihat para pahlawan dengan
  lebih jelas. Marco juga ikut mendekat. Ia tercengang melihat betapa mudanya
  mereka, janji-janji yang selamanya tak akan pernah terpenuhi-dibantai karena
  keberanian mereka.
  Sementara Francesca berjalan lagi bersama rombongannya, Marco diam di
  tempat, menatap wajah-wajah yang menutupi sebagian besar dinding panjang
  itu. Ada ratusan, bahkan ribuan jumlahnya. Di sana-sini terlihat wajah wanita
  cantik. Saudara. Ayah dan anak. Seluruh keluarga.
  Rakyat jelata bersedia mati untuk negara mereka
  dan apa yang mereka yakini. Patriot-patriot setia yang tak memiliki apa pun
  untuk dipersembahkan selain nyawa mereka, lapi Marco tidak. Maaf saja. Kalau
  terpaksa memilih antara kesetiaan dan uang Marco melakukan apa yang selalu
  ia lakukan. Ia memilih uang. Ia menyangkal negaranya. Semua demi kemuliaan
  harta.
  Francesca berdiri di balik pintu kafe, menunggu, tidak minum apa pun, tapi
  tentu saja merokok Marco telah memutuskan bahwa kesediaan Francesca
  bertemu dengannya selarut ini merupakan bukti lebih lanjut betapa wanita itu
  membutuhkan pekerjaan.
  "Kau mau berjalan-jalan," tanya wanita itu tanpa mengucapkan halo.
  Tentu." Ia sudah berjalan beberapa mil bersama Ermanno sebelum makan
  siang, lalu selama beberapa jam setelah makan siang, ketika menunggu
  Francesca. Ia sudah berjalan cukup jauh untuk satu hari, rapi apa lagi yang bisa
  dilakukan? Setelah sebulan berjalan beberapa mil setiap harinya, tubuhnya
  menjadi lebih fit. "Ke mana?"
  "Jalan jauh," jawab Francesca.
  Mereka menyusuri jalan-jalan sempit, menu/u arah barat daya, bercakap-cakap pelan dalam bahasa Italia, membicarakan pelajaran pagi itu dc-I ngan Ermanno. Francesca menceritakan tentang orang-orang Australia
  tadi, rombongan yang menyenangkan dan mudah diurus. Di tepi kota lama,
  mereka berjalan ke arah Porta Saragozza dan Marco menyadari di mana ia
  berada, ke mana ia akan menuju.
  "Naik ke San Luca," katanya. "Ya. Cuaca hari ini sangat cerah, malam hari
  nanti pasti cantik sekali. Kau tidak apa-apa?"
  Kedua kakinya sudah sangat pegal, tapi Marco tak pernah bermimpi akan
  menolaknya. "Andiamo," ajaknya. Mari.
  Hampir tiga ratus meter di atas kota, di Colle della Guardia, salah satu kaki
  bukit pertama dalam rangkaian Pegunung an Apennine, terdapat Santuario di
  San Luca, yang selama delapan abad telah berdiri mengawasi Bologna sebagai
  pelindung dan penjaga. Untuk naik ke sana, tanpa basah karena hujan maupun
  terbakar sinar matahari, . Bolognesi memutuskan untuk melakukan sesuatu
  yang menjadi k
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Sang Broker - John Grisham

 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>