Cerita Misteri | Sumpah Berdarah | by Abdullah Harahap | Sumpah Berdarah | Cersil Sakti | Sumpah Berdarah pdf
Iblis Dunia Persilatan - Bung Aone Penunggu Jenazah - Abdullah Harahap Seducing Cinderella - Gina L. Maxwell Tangan Tangan Setan - Abdullah Harahap Sepasang Mata Iblis - Abdullah Harahap
a di tangannya, sebentuk kepala
manusia dengan mata merah menyala dan seringai
lebar yang membiuskan, terus saja mengeluarkan
perintah-perintah, diakhiri dengan sebuah ultimatum:
"Kau adalah budakku!""
Sukri merasakan sesuatu meninggalkan tubuhnya.
Kelopak matanya membuka. Ternyata ia ada di kamar
tidur. Dan apa yang barusan meninggalkan tubuhnya,
adalah Zuraida, yang menggelepar lelah namun
dengan senyuman puas yang kemalu-maluan, di
sebelahnya. Zuraida menggigit lunak lengan Sukri,
sebagai ucapan terima kasih yang dalam dan mesra,
setelah mana Zuraida menarik selimut dan dengan
cepat sudah jatuh tertidur.
Sukri mengawasi wajah istrinya, dengan masygul.
Bukan karena barusan tadi ia tidak mampu
menghayati dan menikmati secara utuh senggama
mereka. Melainkan, karena pikirannya kembali
menerawang, terus melayang keluar kamar tidur. Dan
berakhir pada sebuah ember plastik yang tertangkup
di tanah.
Di luar rumah, hujan telah berhenti. Hanya angin yang
masih bergentayangan. Angin yang semakin melemah
karena kelelahan. Tetapi, justru sapuan lelah itu, kini
mampu menggerakkan ember di tanah. Hanya
sebuah gerakan kecil. Lalu di kamar tidur, Sukri
menangkap suara memanggil:
"Suk... riii...?!"
Seketika itu juga, Sukri telah melupakan Zuraida.
Ia memakai piyamanya kembali, memasukkan
kakinya ke sandal jepit, kemudian berjalan
meninggalkan kamar tidur. Tarikan gaib menyeretnya
ke luar rumah. Dengan wajah membeku, mata
kehilangan gairah hidup, dan kaki yang seakan tidak
menjejak di tanah.
***
http://cerita-silat.mywapblog.com
SEMBILAN
CUACA, tetaplah salah satu keajaiban alam yang tak
pernah mampu diramalkan secara pasti dan
meyakinkan oleh manusia... betapapun canggih
peralatan yang dipergunakan. Hari-hari sebelumnya
terik matahari begitu panas. Membuat orang gerah
alang kepalang, dan Sukri terpaksa harus tiduran di
luar rumah. Pilihan yang kemudian mendatangkan
malapetaka. Gara-gara cuaca panas yang
berkepanjangan itu.
Lalu cuaca pun berubah.
Tanpa pemberitahuan lebih dahulu, hujan badai
sekonyong-konyong dicurahkan dari langit. Tumpah
ruah mengejutkan, ditingkahi tempik sorak guntur
yang menggelegar-gelegar dan petir yang
menyambar-nyambar. Untuk kemudian, seperti
datangnya... berlalu pergi begitu saja. Tanpa pamit.
Apa yang ditinggalkan sebagai pertanda kehadirannya
adalah halaman rumah Sukri yang berantakan.
Lubang galian yang tadinya sudah mencapai
kedalaman hampir enam meter, kini tak lebih dari
sebuah cekungan lebar yang menyedihkan. Tak ada
harta karun. Bahkan juga tidak mata air. Yang ada,
hanyalah kaki Wasdri yang patah. Dan Jukardi, yang
kehilangan nyawa dalam posisi terduduk dekat
lubang galian. Lalu tangan-tangan gaib itu pun
berdatangan. Berupa gelombang kabut tebal yang
perlahan-lahan mengurung Sukri, seperti pernah ia
lihat pada saat-saat terakhir dalam hidup Jukardi.
Apakah ia juga akan mati beku oleh serbuan kabut
yang muncul bergelombang-gelombang lalu
mengurungnya dalam seketika itu?
Ternyata tidak.
Gelombang kabut itu terus mengelus, mengusap dan
di luar jangkauan akal Sukri, membuat sekujur
tubuhnya panas dan peredaran darahnya mengalir
sangat cepat.
Jauh di atas, rembulan yang muncul dengan setengah
hati, memperhatikan bagaimana Sukri pelan-pelan
melangkahkan kaki dengan gerakan setengah
melayang; menuju ember yang menangkup di tanah,
tangguh tak tergoyahkan itu.
Kemudian Sukri tegak mematung.
Menunggu. Dengan mata hampir tidak berkedip, dan
otak serta pukiran yang tidak mau bekerja atas
kemauan Sukri. Jika pun otak dan pikirannya bekerja,
adalah atas kemauan sesuatu yang lain. Sesuatu,
yang kemudian membisik tajam menembus dinding
ember yang menutupinya:
"Jangan mematung saja, Sukri!"
Sukri masih diam. Tak tahu harus melakukan apa.
Bisikan itu menyentak lagi. Jengkel: '"Keluarkan aku
dari sini, anak tolol!"
Barulah Sukri membungkuk. Ember diangkat
kemudian dilemparkan jauh-jauh. Dan sebentuk
kepala manusia yang hanya sebatas leher, tegak
diam di tanah basah berlumpur. Rambutnya panjang
bergerai awut-awutan, dengan kulit mengeriput
berlipat-lipat, menghitam.
Legam. Tetapi mata itu!
Mata itu membelalak merah, menyala bagaikan api
neraka yang marah, sebelum mulutnya kemudian
menyeringaikan senyuman kelam.
"Waktunya untuk menjalankan tugas, Sukri...!"
bisiknya, kering.
Sukri menjambak rambut tebal dan kotor berlumpur
itu. Lalu kepala manusia itu diangkat dari tanah,
dengan sentakan tiba-tiba. Yang tentu saja,
menyakitkan. Mulut keriput di kepala tanpa tubuh itu
mengernyit. Lantas menggerutu:
"Manusia kasar!"
Sukri diam saja.
"Tak apaIah..." dari mulut keriput itu lepas juga
desahan nafas lega. "Udara terbuka ini tokh lebih
menyenangkan dari kurungan sempit dan pengap
tadi..." Yang ia maksudkan tentu saja, ember. Lalu
kepala itu pun menghirup udara di sekelilingnya,
dengan suara mendesus-desus, dan kelopak mata
terpejam-pejam nikmat. Diakhiri dengan sebuah
makian tak sabar: "Jangan berdiri saja, budak dungu!
Jalan!"
Sukri tampak bingung sendiri. Betapa susah untuk
membuka mulutnya, melontar tanya: "Ke... mana,
Suparta?"
"Aku akan menuntunmu. Jalan saja!" dengus Suparta.
"Dari sini aku sudah mencium bau darahnya. Darah si
pemerkosa hina dina itu!"
***
Di sebuah rumah besar dan mewah untuk ukuran
desa Cikalong, seorang perempuan yang perutnya
bunting besar, menggeliat gelisah di tempat tidur.
Wajahnya bersimbah peluh. Dengan tangan
mencen
http://cerita-silat.mywapblog.com
Iblis Dunia Persilatan - Bung Aone Penunggu Jenazah - Abdullah Harahap Seducing Cinderella - Gina L. Maxwell Tangan Tangan Setan - Abdullah Harahap Sepasang Mata Iblis - Abdullah Harahap
a di tangannya, sebentuk kepala
manusia dengan mata merah menyala dan seringai
lebar yang membiuskan, terus saja mengeluarkan
perintah-perintah, diakhiri dengan sebuah ultimatum:
"Kau adalah budakku!""
Sukri merasakan sesuatu meninggalkan tubuhnya.
Kelopak matanya membuka. Ternyata ia ada di kamar
tidur. Dan apa yang barusan meninggalkan tubuhnya,
adalah Zuraida, yang menggelepar lelah namun
dengan senyuman puas yang kemalu-maluan, di
sebelahnya. Zuraida menggigit lunak lengan Sukri,
sebagai ucapan terima kasih yang dalam dan mesra,
setelah mana Zuraida menarik selimut dan dengan
cepat sudah jatuh tertidur.
Sukri mengawasi wajah istrinya, dengan masygul.
Bukan karena barusan tadi ia tidak mampu
menghayati dan menikmati secara utuh senggama
mereka. Melainkan, karena pikirannya kembali
menerawang, terus melayang keluar kamar tidur. Dan
berakhir pada sebuah ember plastik yang tertangkup
di tanah.
Di luar rumah, hujan telah berhenti. Hanya angin yang
masih bergentayangan. Angin yang semakin melemah
karena kelelahan. Tetapi, justru sapuan lelah itu, kini
mampu menggerakkan ember di tanah. Hanya
sebuah gerakan kecil. Lalu di kamar tidur, Sukri
menangkap suara memanggil:
"Suk... riii...?!"
Seketika itu juga, Sukri telah melupakan Zuraida.
Ia memakai piyamanya kembali, memasukkan
kakinya ke sandal jepit, kemudian berjalan
meninggalkan kamar tidur. Tarikan gaib menyeretnya
ke luar rumah. Dengan wajah membeku, mata
kehilangan gairah hidup, dan kaki yang seakan tidak
menjejak di tanah.
***
http://cerita-silat.mywapblog.com
Sumpah Berdarah - Abdullah Harahap
SEMBILAN
CUACA, tetaplah salah satu keajaiban alam yang tak
pernah mampu diramalkan secara pasti dan
meyakinkan oleh manusia... betapapun canggih
peralatan yang dipergunakan. Hari-hari sebelumnya
terik matahari begitu panas. Membuat orang gerah
alang kepalang, dan Sukri terpaksa harus tiduran di
luar rumah. Pilihan yang kemudian mendatangkan
malapetaka. Gara-gara cuaca panas yang
berkepanjangan itu.
Lalu cuaca pun berubah.
Tanpa pemberitahuan lebih dahulu, hujan badai
sekonyong-konyong dicurahkan dari langit. Tumpah
ruah mengejutkan, ditingkahi tempik sorak guntur
yang menggelegar-gelegar dan petir yang
menyambar-nyambar. Untuk kemudian, seperti
datangnya... berlalu pergi begitu saja. Tanpa pamit.
Apa yang ditinggalkan sebagai pertanda kehadirannya
adalah halaman rumah Sukri yang berantakan.
Lubang galian yang tadinya sudah mencapai
kedalaman hampir enam meter, kini tak lebih dari
sebuah cekungan lebar yang menyedihkan. Tak ada
harta karun. Bahkan juga tidak mata air. Yang ada,
hanyalah kaki Wasdri yang patah. Dan Jukardi, yang
kehilangan nyawa dalam posisi terduduk dekat
lubang galian. Lalu tangan-tangan gaib itu pun
berdatangan. Berupa gelombang kabut tebal yang
perlahan-lahan mengurung Sukri, seperti pernah ia
lihat pada saat-saat terakhir dalam hidup Jukardi.
Apakah ia juga akan mati beku oleh serbuan kabut
yang muncul bergelombang-gelombang lalu
mengurungnya dalam seketika itu?
Ternyata tidak.
Gelombang kabut itu terus mengelus, mengusap dan
di luar jangkauan akal Sukri, membuat sekujur
tubuhnya panas dan peredaran darahnya mengalir
sangat cepat.
Jauh di atas, rembulan yang muncul dengan setengah
hati, memperhatikan bagaimana Sukri pelan-pelan
melangkahkan kaki dengan gerakan setengah
melayang; menuju ember yang menangkup di tanah,
tangguh tak tergoyahkan itu.
Kemudian Sukri tegak mematung.
Menunggu. Dengan mata hampir tidak berkedip, dan
otak serta pukiran yang tidak mau bekerja atas
kemauan Sukri. Jika pun otak dan pikirannya bekerja,
adalah atas kemauan sesuatu yang lain. Sesuatu,
yang kemudian membisik tajam menembus dinding
ember yang menutupinya:
"Jangan mematung saja, Sukri!"
Sukri masih diam. Tak tahu harus melakukan apa.
Bisikan itu menyentak lagi. Jengkel: '"Keluarkan aku
dari sini, anak tolol!"
Barulah Sukri membungkuk. Ember diangkat
kemudian dilemparkan jauh-jauh. Dan sebentuk
kepala manusia yang hanya sebatas leher, tegak
diam di tanah basah berlumpur. Rambutnya panjang
bergerai awut-awutan, dengan kulit mengeriput
berlipat-lipat, menghitam.
Legam. Tetapi mata itu!
Mata itu membelalak merah, menyala bagaikan api
neraka yang marah, sebelum mulutnya kemudian
menyeringaikan senyuman kelam.
"Waktunya untuk menjalankan tugas, Sukri...!"
bisiknya, kering.
Sukri menjambak rambut tebal dan kotor berlumpur
itu. Lalu kepala manusia itu diangkat dari tanah,
dengan sentakan tiba-tiba. Yang tentu saja,
menyakitkan. Mulut keriput di kepala tanpa tubuh itu
mengernyit. Lantas menggerutu:
"Manusia kasar!"
Sukri diam saja.
"Tak apaIah..." dari mulut keriput itu lepas juga
desahan nafas lega. "Udara terbuka ini tokh lebih
menyenangkan dari kurungan sempit dan pengap
tadi..." Yang ia maksudkan tentu saja, ember. Lalu
kepala itu pun menghirup udara di sekelilingnya,
dengan suara mendesus-desus, dan kelopak mata
terpejam-pejam nikmat. Diakhiri dengan sebuah
makian tak sabar: "Jangan berdiri saja, budak dungu!
Jalan!"
Sukri tampak bingung sendiri. Betapa susah untuk
membuka mulutnya, melontar tanya: "Ke... mana,
Suparta?"
"Aku akan menuntunmu. Jalan saja!" dengus Suparta.
"Dari sini aku sudah mencium bau darahnya. Darah si
pemerkosa hina dina itu!"
***
Di sebuah rumah besar dan mewah untuk ukuran
desa Cikalong, seorang perempuan yang perutnya
bunting besar, menggeliat gelisah di tempat tidur.
Wajahnya bersimbah peluh. Dengan tangan
mencen
http://cerita-silat.mywapblog.com
Sumpah Berdarah - Abdullah Harahap