Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Seindah Mata Kristalnya - 2

$
0
0
Cerita Pendek | Seindah Mata Kristalnya | by Mayoko Aiko | Seindah Mata Kristalnya | Cersil Sakti | Seindah Mata Kristalnya pdf

Petualangan Tom Sawyer - Mark Twain Pendekar Rajawali Sakti - 122. Sepasang Pendekar Bertopeng Suara Dari Alam Gaib - Abdullah Harahap Sang Broker - John Grisham Sumpah Berdarah - Abdullah Harahap

u meliriknya jika kebetulan melewati meja Janna. Janna pun demikian. Tampaknya ia tahu akan sikapku. Ia terus menghindariku. Tak pernah lagi mengajakku ke kantin, ke perpustakaan. Aku pun maklum karena Bian selalu ada di sampingnya. Hampir enam bulan hal itu terjadi. Sampai suatu saat aku melihat mendung menggayut di wajah Janna. Dan hal itu membuat hati kecilku tidak tega melihatnya. "Kamu punya maslah, Kristal?" Usai pelajaran fisika, aku menghampiri meja Janna. Mata Janna sejenak berbinar menatapku. Sesaat kemudian mendung kembali menggelayut.
  "Re, kita ke kantin, ya?" Bibir sensual itu tersenyum ragu. Ini adalah senyum pertama
  yang diberikan Janna setelah sekian bulan kami tak bertegur sapa.
  "Kamu mau traktir aku, Kristal?" tanyaku sembari membantu memasukkan buku-buku
  pelajaran yang berceceran di meja belajarnya.
  "Ada yang ingin kubicarakan," jawab Janna. Jari lentiknya menyalin rumus terakhir Teori Einstein dari papan tulis.
  "Punya problem, Kristal?" tanyaku lagi. Meraih tas sekolahnya dan memasukkan ke dalam laci meja. Janna mengangguk.
  "Problem apa?" Kutatap wajah manis Janna. Ada kerinduan meledak di relung hatiku. Mata itu, Tuhan! Betapa aku sangat merindukan itu! Tapi kenapa mata kristal itu berubah kelabu?!
  "Kita bicara di kantin saja ya, Re?" rujuk Janna. "Terlalu privacy?" Janna mengangguk lagi.
  "Kantin pasti ramai. Bagaimana kalau kita ke cafe Pelangi?"
  "Oke, Re. Kita ke cafe,"jawab Janna seraya menggandeng tanganku keluar dari kelas.
  CHAPTER 3:
  CINTA MEREKAH DI PENGHUJUNG LARA
  Cafe Pelangi terletak persis di seberang jalan dari sekolahku. Cafe mungil itu merupakan tempat favorit yang kusinggahi bersama Janna. Tempatnya asri. Ada musik lembut dari tiupan saksofon Kenny G., yang kadang-kadang diselingi hentakan cadas kelompok band Linkin Park. Aku sengaja memilih tempat di sudut cafe. Hanya ada seorang pengunjung yang terlihat sant ai menikmati jus apel dan sebatang rokok. Lelaki separ o baya itu terlihat santai dengan dunianya. Sesekali me nyedot sigaret di bibirnya lalu asapnya dihembuskan ke langit-langit cafe. Asap rokok itu melayang-layang seje nak lalu melesat dan lenyap lewat jendela cafe.
  "Kamu mau pesan apa, Kristal?" Aku mulai membuka-buka daftar menu yang tergeletak di atas meja.
  "Kamu masih memanggilku Kristal, Re?" Aku tersenyum.
  "Aku akan terus memanggilmu, Kristal," sahutku. Menelusuri wajah aristokrat yang telah
  berbulan-bulan tidak pernah lagi kutatap.
  "Oya, mau pesan apa?"
  "Aku tidak pesan apa-apa, Re," sahut Janna.
  "Teh botol, ya?" tawarku.
  "Terserah kamu saja."
  Aku memesan dua teh botol dan dua bungkus kentang goreng.
  "Sekarang kamu ingin membicarakan apa?" Aku memulai pembicaraan serius usai
  menyerahkan pesanan kepada pelayan.
  Janna menatapku sejenak. Gadis itu masih terlihat ragu-ragu untuk mengungkapkan masalahnya.
  "Soal Bian, Re." Akhirnya bibir sensual itu terbuka dengan berat.
  "Bian?"
  Janna mengangguk.
  Teh botol dan kentang goreng pesanan tiba di meja kami. "Ada apa dengan Bian?" tanyaku serius. Janna menatapku dengan wajah murung.
  "Dia selingkuh, Re." Bibir sensualnya bergetar. Dua butir bening menggelinding dari matanya. Merembes lamat di kedua pipinya yang putih. Sesuatu mengiris ulu hatiku!
  Aku mengambil tisyu dan mengeringkan cairan bening itu dari pipinya. "Aku sedih mendengarnya. Kamu tahu, Kristal. Aku kadang sering berdoa agar hubungan kamu dengan Bian abadi," kalimatku mengambang. Aku menjangkau teh botol dan membasahi kerongkonganku dengan cairan manis itu.
  Janna menatapku tak berkedip. "Aku sendiri tidak tahu, Re. Kenapa Bian tega melakukan
  itu."
  Ada isak tangis di sela-sela kalimat Janna. "Kamu yakin Bian mengkhianati kamu?"
  "Aku memergoki sendiri, Bian berjalan dengan mesra dengan seorang cewek." "Mungkin itu saudaranya?"
  "Bukan, Re. Saat itu juga aku menghampiri Bian. Dan Bian mengatakan kalau sebenarnya dia tidak mencintai aku!" Aku tersedak.
  "Begitu?!"
  "Ya, Re. Menyakitkan. Aku seperti sampah tak berguna di depan cewek Bian yang baru. Aku malu, Re." Kini aliran sungai dari kelopak mata itu mengalir deras. "Berarti Bian itu berengsek, Kristal! Dan, aku ingin memberi p

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>