Cerita Silat | Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat | by Hong San Khek | Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat | Cersil Sakti | Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat pdf
Seindah Mata Kristalnya - Mayoko Aiko Pelangi di Sengigi - Mayoko Aiko Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek The Heroes of Olympus 3: The Mark of Athena (Tanda Athena) The Heroes of Olympus 2: The Son of Neptune (Putra Neptunus) bag I
pura „ditempel” oleh Poan Thian buat coba mencari
keterangan, pada waktu bagaimana Wie Hui biasa
datang berkunjung ke situ.
Setelah keterangan-keterangan yang diperlukan telah
dapat diperoleh, barulah Poan Thian berembuk dengan
Hwat Yan cara bagaimana mereka harus membikin
penggerebekan selagi Wie Hui belum keburu
membikin persediaan.
Tetapi tidak kira pada sebelum rencana ini dapat
dijalankan, mendadak pada suatu hari ada seorang
kacung yang datang berkunjung ke tempat
penginapan Poan Thian dan Hwat Yan dengan
membawa sepucuk surat. Surat tersebut diterimakan
pada kedua orang itu sambil berkata:
„Apabila Ji-wie hendak bertemu dengan tuan Wie,
diharap supaya berhubungan dengan nona Ban Tho
Toa, karena di sana ia sudah titipkan alamatnya
dimana Jie-wie mesti bertemu dengannya.”
Poan Thian dan Hwat Yan jadi tidak habis mengerti,
mengapa mereka dianjurkan akan menanyakan pula
keterangan dari bunga raya itu, sedangkan Wie Hui
bisa tuliskan alamatnya di dalam surat yang
dikirimkannya ini. Maka tempo hal ini ia coba
tanyakan pada si kacung pembawa surat tersebut,
orang yang ditanya itu lalu menggelengkan kepalanya
sambil berkata: „Dari hal itu, aku sesungguhnya tidak
tahu-menahu.”
„Apakah kau dipesan oleh tuan Wie, supaya surat ini
dijawab olehku?” Poan Thian bertanya sambil
membuka sampul surat itu.
„Hal itu tinggal terserah atas kehendakmu sendiri.
Apabila di situ diminta jawaban tuan dan tuan hendak
menjawabnya aku tunggu, kalau tidak, akupun boleh
lantas pergi.”
„Anak ini sungguh pandai sekali berbicara,” pikir Poan
Thian di dalam hatinya. „Apakah tidak bisa jadi,
bahwa ia ini ada seorang mata-matanya Wie Hui,
yang telah sengaja dikirim ke sini untuk menyelidiki
kami berdua?”
Kemudian ia menoleh pada kacung itu sambil berkata:
„Kalau begitu, boleh tunggu dahulu sehingga aku
selesai membaca bunyinya surat ini.”
Tetapi alangkah herannya hati pemuda kita, tatkala ia
bentangkan surat itu akan dibaca bunyinya,
ternyatalah bahwa surat itu hanya sehelai kertas
kosong yang tidak ada artinya sama sekali, hingga
Poan Thian yang menerima surat kosong itu, sudah
tentu saja tidak mengerti apa maksudnya Wie Hui
mengirimkan kertas kosong tersebut kepadanya!
Tetapi buat tidak membikin kentara rasa herannya di
hadapan si kacung itu, maka Poan Thian lalu berpura-
pura menanyakan: „Apakah selain menyampaikan
amanat akan kita menanyakan alamatnya pada nona
Ban Tho Hoa, tuan Wie tidak mengatakan apa-apa
pula kepadamu?”
„Tidak,” sahut kacung itu dengan pendek.
„Kalau begitu kau boleh kasih tahu pada tuan Wie,
bahwa kita akan bertemu di tempat yang diunjuk
menurut alamat yang dititipkannya pada nona Ban
Tho Hoa,” kata pemuda kita.
Si kacung menjawab, „baik, baik,” dan terus berlalu
dengan tidak banyak bicara pula.
„Apakah tidak bisa jadi bahwa Wie Hui sekarang
tengah mengatur suatu rencana akan menjebak kita
berdua?” tanya Hwat Yan setelah mendusin, bahwa
kedatangan mereka ke kota Leng-po itu telah
diketahui oleh saudaranya seperguruan yang telah
berkhianat itu.
„Ya, hal inipun memang bukan mustahil akan terjadi
atas diri kita,” sahut Poan Thian, „maka selanjutnya
kita harus berlaku sangat hati-hati akan
menghindarkan diri kita daripada akal muslihat musuh
yang keji itu.”
Hwat Yan menyatakan mufakat dengan pikiran
pemuda kita itu.
◄Y►
Tatkala mereka menanyakan hal ini pada Ban Tho
Hoa, si nona lalu menunjuk ke atas tiong-cit sambil
berkata: „Alamat yang kamu minta itu, tidak
diterimakan ke dalam tanganku sendiri, hanyalah
ditaruh di sana, digantungkan di atas tiong-cit itu.”
Ketika Poan Thian dan Hwat Yan menengadah ke
arah tiong-cit tersebut, betul saja di sana tertampak
sebuah sampul merah yang digantungkan dengan
sepotong tali. Dan jikalau perbuatan itu bukannya
dilakukan oleh seorang yang ilmu kepandaian silatnya
amat tinggi, niscaya tidak akan mampu melakukan
pekerjaan yang sesukar itu.
Setelah menyaksikan perbuatan Wie Hui itu, Poan
Thian lalu tersenyum sambil menoleh pada Hwat Yan
dan berkata: „Sekarang aku mengerti, apa sebabnya
Wie Hui minta kita datang ke sini buat meminta
alamatnya.....”
„Itulah melulu buat mempamerkan ilmu
kepandaiannya di hadapan kita berdua,” kata Hwat
Yan yang memotong pembicaraan si pemuda.
http://cerita-silat.mywapblog.com
3.21. Pengejaran Terhadap Murid Khianat
„Itu benar,” Poan Thian menyetujui. „Tetapi apakah
artinya perbuatan itu bagi kita, yang juga mengerti
ilmu silat dan tidak ada di bawah daripadanya?”
Hwat Yan membenarkan omongan kawan itu.
Tetapi ketika Poan Thian hendak mengambil piauw
akan menyambit sampul merah itu, si calon paderi
lalu mencegah sambil berkata: „Tidak usah Suheng
mencapaikan hati, biarkan saja perkara kecil ini diurus
olehku sendiri.”
„Ya, kalau begitu, aku persilahkan kau mengambil
sampul itu menurut caramu sendiri,” kata Lie Poan
Thian yang lantas urungkan niatnya buat menyambit
sampul yang tergantung di atas tiong-cit itu.
Sementara Hwat Yan yang merasa telah dikasih
ketika akan mengunjukkan kepandaiannya, lalu
merogo sakunya dan keluarkan sebuah pelanting
dengan sebutir peluru besi dengan mana ia telah
tembak jatuh sampul itu, karena talinya putus
terlanggar peluru tersebut.
Poan Thian jadi sangat kagum dan memuji atas
kepandaian Hwat Yan dalam mempergunakan alat
yang tergolong pada senjata-senjata rahasia itu.
Dan tatkala sampul itu dibuka, ternyata di dalamnya
terisi beberapa baris tulisan yang berbunyi:
Kamu berdua boleh susul aku ke Giok-hong-kok di
pegunungan Jie-sian-san pada hari esok di waktu
lohor. Aku tunggu kedatangan kamu berdua dengan
segala senang hati. Jangan salah.
Surat itu tidak dibutuhi tandatangan, tetapi sudah
terang bahwa itulah telah ditulis oleh Wie Hui sendiri.
„Tetapi dimanakah letaknya pegunungan Jie-sian-san
itu?” bertanya Lie Poan Thian yang baru saja pada kali
itu mendengar ada sebuah gunung yang bernama
begitu.
Sedangkan Hwat Yan sendiri yang tidak tahu dimana
letaknya pegunungan itu, tentu saja tak dapat
berbuat lain dari pada menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Kemudian ia berjanji akan
menanyakan ini kepada penduduk-penduduk yang
berdiam di luar kota Leng-po.
„Apabila gunung itu betul ada,” katanya, „niscaya tidak
sukar akan kita dapat ketemukan, tidak perduli
berapa jauh letaknya dari kota ini.”
Poan Thian mufakat dengan omongan itu.
Begitulah setelah berpamitan pada nona Ban Tho Hoa,
kedua orang itu lalu menuju keluar kota Leng-po dan
mampir di sebuah kedai makanan dan minuman yang
banyak dikunjungi oleh orang-orang yang mondar-
mandir keluar masuk kota.
Di sini, sambil berpura-pura membicarakan soal ini dan
itu dengan orang-orang yang pada berkumpul di kedai
itu, akhirnya Poan Thian mendapat kesempatan buat
menanyakan, dimana letaknya pegunungan Jie-sian-
san itu.
„Tuan ini orang dari mana?” bertanya orang itu sambil
mengawaskan pada pemuda kita sesaat lamanya.
„Kami berasal dari utara,” sahut Lie Poan Thian, „yang
sekarang berada dalam perjalanan ke Jie-sian-san
akan mencari seorang sahabatku.”
„Tuan,” kata orang itu, setelah bercelingukan ke kiri-
kanan, „menurut pikiranku, lebih baik kau jangan
pergi ke sana. Pegunungan itu bukan tempat
kediaman orang baik-baik. Itulah sarang kawanan
perampok yang di kepalai oleh seorang kepala
kampak muda yang bernama Wie Hui.”
„Ya, ya, benar, dia itulah yang kami hendak cari,” kata
Lie Poan Thian yang merasa tidak perlu lagi akan
berlaku dengan secara sembunyi.
Karena ia telah yakin dari bukti-bukti yang telah
dialaminya selama itu, biarpun mereka telah mencoba
akan menyelidiki dengan secara diam-diam, tidak
urung perbuatan itu telah ketahuan juga oleh pihak
bakal lawannya itu. Maka dari itu, apakah perlunya ia
selanjutnya berlaku sembunyi-sembunyi pula?
Orang yang ditanyakan keterangan tadi jadi semakin
heran, ketika menyaksikan tingkah-laku dan
pembicaraan Poan Thian yang begitu terbuka dan
tidak mengunjuk sikap yang khawatir barang
sedikitpun.
Ia jadi kelihatan ragu-ragu akan bicara lebih jauh.
„Aku percaya bahwa tuan ini tentulah seorang yang
jujur dan berhati tulus,” kata Poan Thian pula pada
orang itu. „Oleh sebab itu, kukira tidak jahatnya akan
aku menerangkan dengan sejujur-jujurnya, tentang
maksud kunjungan kami ke pe
http://cerita-silat.mywapblog.com
Seindah Mata Kristalnya - Mayoko Aiko Pelangi di Sengigi - Mayoko Aiko Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek The Heroes of Olympus 3: The Mark of Athena (Tanda Athena) The Heroes of Olympus 2: The Son of Neptune (Putra Neptunus) bag I
pura „ditempel” oleh Poan Thian buat coba mencari
keterangan, pada waktu bagaimana Wie Hui biasa
datang berkunjung ke situ.
Setelah keterangan-keterangan yang diperlukan telah
dapat diperoleh, barulah Poan Thian berembuk dengan
Hwat Yan cara bagaimana mereka harus membikin
penggerebekan selagi Wie Hui belum keburu
membikin persediaan.
Tetapi tidak kira pada sebelum rencana ini dapat
dijalankan, mendadak pada suatu hari ada seorang
kacung yang datang berkunjung ke tempat
penginapan Poan Thian dan Hwat Yan dengan
membawa sepucuk surat. Surat tersebut diterimakan
pada kedua orang itu sambil berkata:
„Apabila Ji-wie hendak bertemu dengan tuan Wie,
diharap supaya berhubungan dengan nona Ban Tho
Toa, karena di sana ia sudah titipkan alamatnya
dimana Jie-wie mesti bertemu dengannya.”
Poan Thian dan Hwat Yan jadi tidak habis mengerti,
mengapa mereka dianjurkan akan menanyakan pula
keterangan dari bunga raya itu, sedangkan Wie Hui
bisa tuliskan alamatnya di dalam surat yang
dikirimkannya ini. Maka tempo hal ini ia coba
tanyakan pada si kacung pembawa surat tersebut,
orang yang ditanya itu lalu menggelengkan kepalanya
sambil berkata: „Dari hal itu, aku sesungguhnya tidak
tahu-menahu.”
„Apakah kau dipesan oleh tuan Wie, supaya surat ini
dijawab olehku?” Poan Thian bertanya sambil
membuka sampul surat itu.
„Hal itu tinggal terserah atas kehendakmu sendiri.
Apabila di situ diminta jawaban tuan dan tuan hendak
menjawabnya aku tunggu, kalau tidak, akupun boleh
lantas pergi.”
„Anak ini sungguh pandai sekali berbicara,” pikir Poan
Thian di dalam hatinya. „Apakah tidak bisa jadi,
bahwa ia ini ada seorang mata-matanya Wie Hui,
yang telah sengaja dikirim ke sini untuk menyelidiki
kami berdua?”
Kemudian ia menoleh pada kacung itu sambil berkata:
„Kalau begitu, boleh tunggu dahulu sehingga aku
selesai membaca bunyinya surat ini.”
Tetapi alangkah herannya hati pemuda kita, tatkala ia
bentangkan surat itu akan dibaca bunyinya,
ternyatalah bahwa surat itu hanya sehelai kertas
kosong yang tidak ada artinya sama sekali, hingga
Poan Thian yang menerima surat kosong itu, sudah
tentu saja tidak mengerti apa maksudnya Wie Hui
mengirimkan kertas kosong tersebut kepadanya!
Tetapi buat tidak membikin kentara rasa herannya di
hadapan si kacung itu, maka Poan Thian lalu berpura-
pura menanyakan: „Apakah selain menyampaikan
amanat akan kita menanyakan alamatnya pada nona
Ban Tho Hoa, tuan Wie tidak mengatakan apa-apa
pula kepadamu?”
„Tidak,” sahut kacung itu dengan pendek.
„Kalau begitu kau boleh kasih tahu pada tuan Wie,
bahwa kita akan bertemu di tempat yang diunjuk
menurut alamat yang dititipkannya pada nona Ban
Tho Hoa,” kata pemuda kita.
Si kacung menjawab, „baik, baik,” dan terus berlalu
dengan tidak banyak bicara pula.
„Apakah tidak bisa jadi bahwa Wie Hui sekarang
tengah mengatur suatu rencana akan menjebak kita
berdua?” tanya Hwat Yan setelah mendusin, bahwa
kedatangan mereka ke kota Leng-po itu telah
diketahui oleh saudaranya seperguruan yang telah
berkhianat itu.
„Ya, hal inipun memang bukan mustahil akan terjadi
atas diri kita,” sahut Poan Thian, „maka selanjutnya
kita harus berlaku sangat hati-hati akan
menghindarkan diri kita daripada akal muslihat musuh
yang keji itu.”
Hwat Yan menyatakan mufakat dengan pikiran
pemuda kita itu.
◄Y►
Tatkala mereka menanyakan hal ini pada Ban Tho
Hoa, si nona lalu menunjuk ke atas tiong-cit sambil
berkata: „Alamat yang kamu minta itu, tidak
diterimakan ke dalam tanganku sendiri, hanyalah
ditaruh di sana, digantungkan di atas tiong-cit itu.”
Ketika Poan Thian dan Hwat Yan menengadah ke
arah tiong-cit tersebut, betul saja di sana tertampak
sebuah sampul merah yang digantungkan dengan
sepotong tali. Dan jikalau perbuatan itu bukannya
dilakukan oleh seorang yang ilmu kepandaian silatnya
amat tinggi, niscaya tidak akan mampu melakukan
pekerjaan yang sesukar itu.
Setelah menyaksikan perbuatan Wie Hui itu, Poan
Thian lalu tersenyum sambil menoleh pada Hwat Yan
dan berkata: „Sekarang aku mengerti, apa sebabnya
Wie Hui minta kita datang ke sini buat meminta
alamatnya.....”
„Itulah melulu buat mempamerkan ilmu
kepandaiannya di hadapan kita berdua,” kata Hwat
Yan yang memotong pembicaraan si pemuda.
http://cerita-silat.mywapblog.com
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek
3.21. Pengejaran Terhadap Murid Khianat
„Itu benar,” Poan Thian menyetujui. „Tetapi apakah
artinya perbuatan itu bagi kita, yang juga mengerti
ilmu silat dan tidak ada di bawah daripadanya?”
Hwat Yan membenarkan omongan kawan itu.
Tetapi ketika Poan Thian hendak mengambil piauw
akan menyambit sampul merah itu, si calon paderi
lalu mencegah sambil berkata: „Tidak usah Suheng
mencapaikan hati, biarkan saja perkara kecil ini diurus
olehku sendiri.”
„Ya, kalau begitu, aku persilahkan kau mengambil
sampul itu menurut caramu sendiri,” kata Lie Poan
Thian yang lantas urungkan niatnya buat menyambit
sampul yang tergantung di atas tiong-cit itu.
Sementara Hwat Yan yang merasa telah dikasih
ketika akan mengunjukkan kepandaiannya, lalu
merogo sakunya dan keluarkan sebuah pelanting
dengan sebutir peluru besi dengan mana ia telah
tembak jatuh sampul itu, karena talinya putus
terlanggar peluru tersebut.
Poan Thian jadi sangat kagum dan memuji atas
kepandaian Hwat Yan dalam mempergunakan alat
yang tergolong pada senjata-senjata rahasia itu.
Dan tatkala sampul itu dibuka, ternyata di dalamnya
terisi beberapa baris tulisan yang berbunyi:
Kamu berdua boleh susul aku ke Giok-hong-kok di
pegunungan Jie-sian-san pada hari esok di waktu
lohor. Aku tunggu kedatangan kamu berdua dengan
segala senang hati. Jangan salah.
Surat itu tidak dibutuhi tandatangan, tetapi sudah
terang bahwa itulah telah ditulis oleh Wie Hui sendiri.
„Tetapi dimanakah letaknya pegunungan Jie-sian-san
itu?” bertanya Lie Poan Thian yang baru saja pada kali
itu mendengar ada sebuah gunung yang bernama
begitu.
Sedangkan Hwat Yan sendiri yang tidak tahu dimana
letaknya pegunungan itu, tentu saja tak dapat
berbuat lain dari pada menggaruk-garuk kepalanya
yang tidak gatal. Kemudian ia berjanji akan
menanyakan ini kepada penduduk-penduduk yang
berdiam di luar kota Leng-po.
„Apabila gunung itu betul ada,” katanya, „niscaya tidak
sukar akan kita dapat ketemukan, tidak perduli
berapa jauh letaknya dari kota ini.”
Poan Thian mufakat dengan omongan itu.
Begitulah setelah berpamitan pada nona Ban Tho Hoa,
kedua orang itu lalu menuju keluar kota Leng-po dan
mampir di sebuah kedai makanan dan minuman yang
banyak dikunjungi oleh orang-orang yang mondar-
mandir keluar masuk kota.
Di sini, sambil berpura-pura membicarakan soal ini dan
itu dengan orang-orang yang pada berkumpul di kedai
itu, akhirnya Poan Thian mendapat kesempatan buat
menanyakan, dimana letaknya pegunungan Jie-sian-
san itu.
„Tuan ini orang dari mana?” bertanya orang itu sambil
mengawaskan pada pemuda kita sesaat lamanya.
„Kami berasal dari utara,” sahut Lie Poan Thian, „yang
sekarang berada dalam perjalanan ke Jie-sian-san
akan mencari seorang sahabatku.”
„Tuan,” kata orang itu, setelah bercelingukan ke kiri-
kanan, „menurut pikiranku, lebih baik kau jangan
pergi ke sana. Pegunungan itu bukan tempat
kediaman orang baik-baik. Itulah sarang kawanan
perampok yang di kepalai oleh seorang kepala
kampak muda yang bernama Wie Hui.”
„Ya, ya, benar, dia itulah yang kami hendak cari,” kata
Lie Poan Thian yang merasa tidak perlu lagi akan
berlaku dengan secara sembunyi.
Karena ia telah yakin dari bukti-bukti yang telah
dialaminya selama itu, biarpun mereka telah mencoba
akan menyelidiki dengan secara diam-diam, tidak
urung perbuatan itu telah ketahuan juga oleh pihak
bakal lawannya itu. Maka dari itu, apakah perlunya ia
selanjutnya berlaku sembunyi-sembunyi pula?
Orang yang ditanyakan keterangan tadi jadi semakin
heran, ketika menyaksikan tingkah-laku dan
pembicaraan Poan Thian yang begitu terbuka dan
tidak mengunjuk sikap yang khawatir barang
sedikitpun.
Ia jadi kelihatan ragu-ragu akan bicara lebih jauh.
„Aku percaya bahwa tuan ini tentulah seorang yang
jujur dan berhati tulus,” kata Poan Thian pula pada
orang itu. „Oleh sebab itu, kukira tidak jahatnya akan
aku menerangkan dengan sejujur-jujurnya, tentang
maksud kunjungan kami ke pe
http://cerita-silat.mywapblog.com
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek