Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Ketika Barongsai Menari - 6

$
0
0
Cerita Cinta | Ketika Barongsai Menari | by V. Lestari | Ketika Barongsai Menari | Cersil Sakti | Ketika Barongsai Menari pdf

Serial Dewi Ular - 32. Hantu Kesepian Sunshine Becomes You - Ilana Tan Aisyah Putri - Asma Nadia Dendam Berkarat Dalam Kubur - Abdullah Harahap Goosebumps 40. Boneka Hidup Beraksi III

u bisa bingung sama diriku sendiri, Kris. Aku ini sebenarnya orang apa sih? Di sini cuma sebagian orang saja yang tidak mengakui. Sebagian lainnya mengakui dan menerima kita kok. Tapi di sana? Aku sudah tua, masa mesti belajar dari nol untuk jadi orang sono."
  "Mungkin orang sana tidak akan menjarah dan membakar."
  "Entahlah. Kita kan tidak pernah tahu, Kris."
  Diam sejenak. Kristin termenung. Tentunya sulit memahami jalan pikiran seseorang, apalagi bila orang itu telah mengalami trauma demikian berat. Selama ini ia mengagumi suami-istri Tan itu sebagai orang-orang yang tabah dan kuat mental. Ia mengira hal itu disebabkan karena optimisme. Bukan karena sekadar menjalani hidup. Apalagi keluarga itu masih memiliki modal untuk survive. Tidak seperti-sebagian orang lain yang sudah habis-habisan.
  Melihat sikap Kristin muncul kembali penyesalan Maria. Seharusnya dia tidak emosional. Sering sekali dia lupa untuk mengendalikan diri. Bagaimana kalau Kristin menjadi stres karena berulang kali mendengarkan keluhannya lalu tak ingin bertandang lagi? Walaupun Kristin sudah mengakui dirinya juga membutuhkan
  43
  teman, tetapi tentunya bukan seseorang yang bisa membuatnya stres. Apalagi omongannya yang kelepasan mengenai kekasih Susan tadi sungguh mengerikan untuknya sendiri. Bagaimana kalau Kristin menjadi takut lalu memutuskan untuk pindah dari situ? Bila hal itu terjadi maka dia akan kehilangan teman yang begitu susah diperoleh. Dan bagaimana kalau Ada m tahu padahal lelaki itu sudah memohon kepada mer eka untuk tidak bercerita apa-apa? Mereka pun sudah berjanji! Tubuhnya menjadi dingin.
  Ketika Kristin pamit pulang, Maria mengantarkannya sampai di depan pintu pagar. Bi Iyah sudah menunggu. Maria ragu-ragu, seolah berat berpisah. Kristin menyadari hal itu. Ia tidak merasa keberatan ditemani Maria. Keluhannya yang banyak tidak membuatnya stres. Sebaliknya, ia justru telah belajar banyak dari Maria! Penyesalan yang diperlihatkan Maria membuatnya iba. Ia tahu, Maria merasa cemas akan dirinya.
  Kristin menggandeng lengan Maria. "Masuk, Tante?" ajaknya.
  "Ah, Kris kan mau istirahat. Nanti terganggu lagi oleh omonganku."
  Kristin tersenyum. "Saya nggak terganggu, Tante. Sungguh."
  "Nggak, ah. Sampai di sini saja."
  "Mau lihat kamar bayi, Tante?"
  Wajah Maria bercahaya. "Mau, Kris?" sahutnya antusias.
  Maria selalu memandang berkeliling bila berada di dalam rumah Kristin
  44
  "Kenapa, Tante?" tanya Kristin. "Bagus! Lebih bagus daripada yang dulu." "Ini hasil rancangan Adam." "Dia arsitek, bukan? Pantas." Mereka menaiki tangga pelan-pelan. "Mestinya kau jangan sering-sering naik-turun tangga, Kris. Gimana kalau terpeleset?" "Hati-hati dong, Tante."
  "Dulu ada satu kamar di bawah. Mestinya itu kaupakai selama masa kehamilan ini. Tapi tak kulihat lagi kamar itu." Maria memandang berkeliling dari atas tangga.
  "Entahlah bagaimana dulunya, Tante. Saya kan nggak pernah lihat. Sekarang memang tak ada kamar tidur di bawah. Semua kamar di atas. Ada juga kamar pembantu di belakang."
  "Ya, memang ruangannya jadi luas."
  Maria merenung sejenak. Tak segera melangkah. Kristin mengamati tatapannya.
  "Dulu Tante sering main ke sini rupanya."
  "Oh ya."
  "Siapa saja yang tinggal di sini dulu, Tante?"
  Maria tampak enggan. "Suami-istri Lie dengan dua anak lelaki mereka."
  "Ke mana mereka sekarang?"
  "Mereka pindah ke Amerika. Anak sulung mereka bekerja sebagai dokter di New York City."
  "Wah! Pinter dong, Tante. Lulusan Indonesia?"
  "Bukan. Lulusan Columbia University."
  "Wow!" seru Kristin kagum.
  45
  Maria seperti tersentak. "Aduh! Ada yang terlupakan, Kris! Nggak jadi deh lihat kamar bayinya. Besok juga bisa. Aku mau pulang, ya."
  Kristin tertegun. Maria begitu cepat beru bah pikiran. Padahal mereka sudah di tengah-tengah ta ngga. Tanpa menunggu jawaban, Maria tergesa-gesa m enuruni tangga, terus melangkah ke pintu.
  "Daaag Tante!" seru Kristin.
  "Daaag!" sahut Maria tanpa menoleh. Segera ia lenyap dari pandangan.
  Kristin masih di tempat semula. Belum lenyap herannya akan keanehan sikap Maria. Lalu terpikir, mungkin itu merupakan akibat trauma yang pernah dialaminya. Sesungguhnya banyak yang
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari

  harus dimaklumi dari sikap seseorang. Aneh atau tidak bukan pertanda sakit mental, tetapi lebih disebabkan pengalaman hidup.
  Lalu dia teringat. "Bagaimana dengan anak yang kedua atau si bungsu, Tante?" katanya keras-keras.
  Tentu ia tidak mengharapkan jawaban. Maria sudah keluar. Tapi ternyata ada yang bersuara. "Kok ngo-mong sendiri, Bu?"
  Kristin terkejut. Ia melihat Bi Iyah mengamatinya dari sudut rumah. Entah sejak kapan ia berdiri di sana. "Tolong dikunci pintunya, Bi. Barusan Bu Maria keluar," katanya, lalu melangkah perlahan menaiki tangga. Di belakangnya terdengar Bi Iyah menyahuti. Ia tak menoleh.
  Tiba-tiba terasa sepakan di dalam perutnya. Ia terdiam. Ngilu sesaat. Kemudian ia tersenyum. Sudah saatnya kucarikan nama untukmu! Satu nama perempuan dan satu nama lelaki.
  46
  ***
  "Kau kenal keluarga yang dulu pernah tinggal di sini, Mas?" tanya Kristin saat mereka makan malam.
  Adam meletakkan sendoknya. Ia mempelajari wajah Kristin sejenak sebelum menjawab, "Ya. Tapi tidak mendalam. Cuma sekadar tahu saja. Dulu kan aku pernah bekerja di proyek perumahan sini saat awal pembangunannya."
  "Oh ya? Rasanya kau tak pernah bercerita" Kristin tampak tertarik.
  "Malu sih. Aku sering cerita padamu tentang inginnya aku punya rumah di tempat ini, tapi tak bisa. Yah, mana mungkin? Gajinya cuma cukup untuk hidup."
  Kristin mengangkat bahu. "Ah, kenapa mesti malu? Memangnya setiap orang yang bekerja di proyek perumahan, termasuk ikut merencanakan pembangunannya, harus mampu memiliki juga? Aku maklum kok. Nyatanya sekarang kau berhasil juga."
  "Ya, memang. Tapi keberhasilan itu tercapai setelah tempat ini menjadi puing."
  Kristin mengerutkan kening. Ucapan itu sepertinya kontradiktif dengan kebanggaan Adam akan rumah mereka itu. Ketika akan berbicara ia memekik pelan. Ada sepakan keras di perutnya. Ia cepat tersenyum menanggapi tatapan kaget Adam. "Biasa. Dia nyepak, Mas," katanya.
  Mereka melanjutkan makan. Adam makan lebih cepat daripada sebelumnya.
  Lalu Kristin teringat akan pertanyaannya tadi. "Apakah keluarga Lie pindah ke Amerika semuanya?"
  47
  Kembali Adam meletakkan sendoknya dan menatap Kristin dengan selidik. "Siapa?" tanyanya.
  "Keluarga yang dulu tinggal di rumah ini." Kristin merasa tak enak melihat ekspresi Adam. "Aku merasa simpati pada para penghuni kawasan ini. Kasihan sekali. Bagaimana rasanya kalau dibegitukan orang?"
  "Sudahlah, Kris. Sebaiknya jangan membicarakan itu kalau sedang makan. Jadi susah menelan nih."
  "Jadi mereka pindah semuanya?"
  "Mereka siapa?"
  "Keluarga Lie itu."
  "Mana aku tahu? Bukan urusanku," sahut Adam dengan ekspresi tak senang.
  Kristin tak senang juga. Apa susahnya menjawab pertanyaan itu? Sebelum bereaksi, kembali ia merasakan sepakan di dalam perutnya. Seperti mengingatkan. Emosinya mereda.
  "Sori," katanya singkat.
  Mereka menyelesaikan makan dengan diam.
  Adam berdiri. "Aku pergi dulu ya, Kris."
  "Pergi?" Kristin terkejut. Tadi Adam tidak mengatakan akan pergi sesudah makan.
  "Aku lupa memberitahu. Ada janji dengan rekan. Tapi nggak lama kok. Paling juga dua jam. Rumahnya nggak jauh," jelas Adam.
  "Pakai mobil?"
  "Iya dong. Masa jalan kaki."
  Adam mencium dahi Kristin. Lalu menekan bahunya. "Kau tak usah mengantarku keluar. Bi Iyah bisa membukakan pintu," katanya, lalu melangkah cepat sambil meneriaki Bi Iyah.
  48
  Kristin tertegun sejenak, tak tahu harus menjawab apa. Baru kemudian, setelah Adam tak tampak lagi ia berseru, "Hati-hati ya, Mas!" Tetapi suaranya tak bisa keras. Kristin tiba-tiba merasa seperti orang yang kehilangan semangat. Ia masih saja duduk di depan meja makan sampai terdengar deru mobil Adam yang menjauh. Sepakan di dalam perutnya menyadarkannya. Belakangan si bayi sering benar menyepak-nyepak. Waktunya memang sudah dekat. Sesaat terpikir olehnya, betapa teganya Adam meninggalkannya pada saat seperti itu.
  Bi Iyah masuk, tertegun sejenak melihatnya. "Ibu kenapa?" tanyanya penuh perhatian.
  "Ah, nggak apa-apa. Memangnya kenapa, Bi?" tanya Kristin kesal. Memang pertanyaan seperti itu menandakan perhatian, tapi kalau sering-sering diamati dan ditanyai, jadi menjengkelkan juga.
  Bi Iyah tersipu. "
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari

 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>