Cerita Cinta | Ketika Barongsai Menari | by V. Lestari | Ketika Barongsai Menari | Cersil Sakti | Ketika Barongsai Menari pdf
Seindah Mata Kristalnya - Mayoko Aiko Pelangi di Sengigi - Mayoko Aiko Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek The Heroes of Olympus 3: The Mark of Athena (Tanda Athena) The Heroes of Olympus 2: The Son of Neptune (Putra Neptunus) bag I
na cokelat, dengan blazer dari bahan yang sama. Sepatunya cokelat dengan hak yang tidak terlalu tinggi. Ia menatap ke arah rumah dengan ekspresi tegang. Mungkin punya perasaan dirinya sedang diamati.
Debbie menyambut ibunya dengan riang. Vivian membungkuk lalu mencium pipinya. Kemudian Debbie memegang tangannya. Mereka melangkah sambil berbimbingan tangan. Tom cepat-cepat kembali ke tempat duduknya. Tak enak kedapatan sedang mengintip.
Ketika Vivian muncul di ambang pintu yang terbuka, Tom berdiri.
285
"Itu Oom Tom, Mam!" seru Debbie dalam bahasa Inggris.
Tom mendekat lalu mengulurkan tangannya.
"Apa kabar?" Keduanya mengucapkan kata-kata yang sama. Lalu mereka duduk berhadapan, untuk sesaat merasa canggung kehilangan kata-kata. Mereka juga memanfaatkan waktu itu untuk saling mempelajari wajah masing-masing. Dan juga meneliti situasi emosi diri sendiri.
Tom merasa yakin, yang menguasai dirinya sekarang hanyalah sisa-sisa masa lalu. Emosi kesedihan, kemarahan, dan emosi-emosi negatif lainnya yang dulu sangat kuat kini sudah memudar. Sekarang ia bisa melihat dan menilai Vivian sebagai orang yang berbeda. Bukan yang dulu lagi, karena sudah terlepas darinya. Vivian berada pada jarak yang aman dan tak bisa lagi mengusik atau mengganggunya.
Vivian mencermati Tom dengan pikiran bekerja. Perasaan bersalah yang bertahun-tahun menderanya kini sebagian besar begitu saja lenyap. Ada kelegaan mendalam dalam batinnya. Ia ingin ketemu Tom bukan cuma untuk berbicara, tapi juga untuk melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Tom sekarang. Cerita dari e-mail Ron tidak memuaskan. Bahwa Tom baik-baik saja dan tetap bekerja dengan prima tidak bisa menjelaskan apa yang ingin diketahuinya.
Sekarang Tom tampak bugar dan sehat. Cuma rambutnya banyak yang memutih. Tapi itu tentu suatu proses menua yang wajar. Demikian pula dengan kerut-kerut di wajahnya. Tetapi Viv menangkap semangat dan keceriaan dalam ekspresi dan seluruh gerak-gerik Tom. Baginya, itu sudah cukup men-
286
jelaskan bahwa Tom sudah pulih meskipun mungkin saja masih menyimpan trauma.
Sementara itu Suster membujuk Debbie untuk masuk ke dalam sebentar, untuk memberi kesempatan keduanya bicara tanpa terganggu. Debbie bersedia setelah Tom berjanji tidak akan pergi sebelum bertemu lagi dengannya. Vivian mengamati keduanya dengan tercengang-cengang. Kebencian Tom yang dulu diperlihatkan kepada Debbie saat masih bayi seperti lenyap sama sekali. Sedang Debbie begitu cepat akrab, padahal tidak biasanya dia bersikap demikian kepada orang yang baru dikenalnya. Termasuk kepada beberapa teman prianya yang datang berkunjung. Apakah itu yang dibilang insting?
"Kau tampak sukses, Viv. Selamat, ya," Tom memulai setelah Debbie dan susternya masuk ke dalam.
"Oh, terima kasih. Biasa-biasa saja. Bagaimana kariermu sendiri?"
"Biasa-biasa juga. Sibuk terus tanpa henti."
"Orang sakit tambah banyak rupanya."
"Ya begitulah. Mungkin untuk mengimbangi pertambahan manusia yang terlalu banyak." Keduanya tertawa. Itu membuat ketegangan mereda. Mereka jadi lebih santai.
Tom berharap, Vivian akan bertanya perihal teman-temannya di New York, yang merupakan teman-teman Viv juga. Tetapi pertanyaan itu tak kunjung muncul. Mungkin sengaja dihindari.
"Jadi kau sudah berkenalan dengan Debbie," Vivian mengalihkan percakapan.
"Anak yang cantik. Dan pintar juga."
287
"Ya. Dia cepat akrab denganmu."
"Mungkin dia menganggapku kebapakan."
Ucapan yang dimaksud Tom sebagai humor itu ternyata membuat Vivian tertegun dengan ekspresi sedih.
"Sori, Viv." kata Tom.
"Memang Debbie sudah merasakan kekurangan itu. Semakin besar dia semakin merasakan."
Jadi itukah dorongannya? pikir Tom. Tapi ia tidak menanyakan.
"Aku berterima kasih sekali, Tom. Karena kau sudi datang menjenguk kami."
"Ah, tak usahlah berterima kasih."
"Kukira kau tidak mau. Maklumlah, dosaku terlalu besar. Kupikir sampai kapan pun kau takkan mau memaafkan aku."
Tom jadi terharu. "Sudahlah. Tak usah diungkit lagi. Hidup ini masih panjang, Viv. Kau punya Debbie yang jadi tanggung jawabmu."
"Ya. Karena dialah aku memohon kedatanganmu. Cuma kau yang bisa membantu kami.
http://cerita-silat.mywapblog.com
"
"Katakan saja, Viv. Kalau aku. bisa, masa tak kubantu?"
"Tapi..." Vivian menoleh ke arah dalam. "Aku tak bisa mengatakannya di sini, Tom," ia merendahkan suaranya. "Biarpun masih kecil, Debbie itu punya feeling yang tajam."
"Baiklah. Kita toh masih bisa bertemu lagi. Aku masih punya cukup waktu. Katakan saja kapan."
"Terima kasih, Tom. Nanti kuhubungi kau, ya. Sekarang aku harus kembali ke kantor."
288
"Bagaimana kalau kita makan siang bersama?" Tom mengajak.
Vivian tampak surprise tapi senang. "Seharusnya aku mengajakmu makan di rumah. Mumpung ada di rumah, kan? Tapi tak ada persiapan untuk menjamu tamu."
"Sudahlah. Itu merepotkan saja."
Vivian memanggil Debbie. Anak itu kecewa karena Tom akan pamitan. Tetapi cukup terhibur ketika Tom berjanji untuk datang lagi dan memberi waktu lebih banyak untuknya.
Tom duduk di samping Vivian yang mengemudikan mobilnya.
"Kita makan apa, Tom?"
"Apa sajalah. Terserah kau. Aku kan tidak kenal situasi."
"Chinese food?" "Oke."
"Bagaimana Papa dan Mama? Mereka sehat-sehat, Tom?"
"Oh, mereka sehat dan baik-baik."
"Seharusnya aku menjenguk mereka setelah mereka kembali ke sini. Tapi aku tak punya muka, Tom."
"Ya. Aku mengerti. Tidak apa-apalah. Orangtuamu sendiri bagaimana?"
"Mereka di Singapura. Bersama semua saudaraku. Boleh dikata aku di sini cuma sama Debbie saja. Kerabat sih ada, tapi yang jauh-jauh dan tidak akrab."
"Kenapa kau tidak ikut dengan mereka?"
"Aku merasa diriku orang Indonesia, Tom. Apalagi aku punya karier di sini."
289
"Bagus. Kau punya prinsip."
"Tapi jangan lecehkan orang yang pergi, Tom. Mereka bukannya tak punya prinsip."
"Tentu saja," sahut Tom, teringat kepada Susan.
Vivian mengarahkan mobilnya memasuki halaman restoran Oriental di Blok M, masih kawasan Kebayoran Baru.
Di rumah Anwar, putra Harun, terjadi kegaduhan. Seorang petugas polisi datang. Ia membawa kabar buruk. Harun telah menjadi korban amuk massa. Harun disangka copet, lalu dihajar sampai tewas. Anwar membenarkan KTP yang diperlihatkan petugas sebagai milik Harun. Tentu saja ia membantah bahwa ayahnya seorang pencopet. Petugas mengatakan, tuduhan itu memang meragukan. Ada saksi mata yang mengatakan bahwa Harun telah menjadi korban salah tunjuk. Tak ada yang merasa dicopet. Tiba-tiba saja ada teriakan dan tudingan ke arah Harun. Tanpa bertanya-tanya lagi massa pun menyerbunya. Kejadian seperti itu sudah berulang kali terjadi.
Anwar sedih sekali. Ayahnya adalah orang baik dan ayah yang baik juga. Kenapa harus mengalami nasib begitu mengerikan? Tetapi dalam kesedihan itu ia juga sempat merenungkan hari-hari akhir yang dijalani Harun. Sepertinya ayahnya sedang sibuk berbisnis. Entah apa yang diobjekkan. Ia tidak menanyakannya. Ia malah senang ayahnya punya kesibukan yang membuatnya tetap bersemangat. Belakangan ayahnya tidak rajin lagi mencari order cetak. Mungkin bosan atau kesulitan. Ia juga tidak mendesak atau memberi dorongan. Apa yang
290
dikerjakan ayahnya itu melulu atas kemauannya sendiri. Daripada bengong, begitu katanya.
Apa yang sedang dilakukan ayahnya di Kampung Belakang? Masa berbisnis di pasar loak? Mustahil ayahnya tidak tahu bahwa situasi di Kampung Belakang bertambah buruk saja setahun terakhir ini. Kondisinya yang kumuh diperburuk oleh segi keamanan yang juga buruk.
Tentu saja Anwar tidak bisa mendapatkan jawaban. Ayahnya tidak suka menceritakan kegiatannya meskipun bukan berarti tak suka mengobrol. Apa yang diobrolkan hanyalah kejadian sehari-hari yang sifatnya umum.
Lalu ia teringat. Ayahnya pernah dua kali dikunjungi Adam. Ia tidak melihat sendiri atau bertemu langsung dengan Adam. Tapi karyawan dan istrinya yang memberitahu. Harun sendiri tidak bercerita apa-apa. Anwar menganggap hubungan mereka wajar-wajar saja. Mungkin menyambung masa lalu. Ia tahu ayahnya punya hubungan cukup dekat dengan Adam.
Tetapi salah seorang karyawan Anwar mengatakan, kemarin ia melihat Adam keluar dari pavilyun Harun dengan wajah muram, sedang Harun sendiri tampak ceria. Apakah itu merupakan indikasi terjadinya konflik antara keduanya? Tapi bagaimanapun sulit menghubungkan nasib yang menimpa Harun dengan p
http://cerita-silat.mywapblog.com
Seindah Mata Kristalnya - Mayoko Aiko Pelangi di Sengigi - Mayoko Aiko Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek The Heroes of Olympus 3: The Mark of Athena (Tanda Athena) The Heroes of Olympus 2: The Son of Neptune (Putra Neptunus) bag I
na cokelat, dengan blazer dari bahan yang sama. Sepatunya cokelat dengan hak yang tidak terlalu tinggi. Ia menatap ke arah rumah dengan ekspresi tegang. Mungkin punya perasaan dirinya sedang diamati.
Debbie menyambut ibunya dengan riang. Vivian membungkuk lalu mencium pipinya. Kemudian Debbie memegang tangannya. Mereka melangkah sambil berbimbingan tangan. Tom cepat-cepat kembali ke tempat duduknya. Tak enak kedapatan sedang mengintip.
Ketika Vivian muncul di ambang pintu yang terbuka, Tom berdiri.
285
"Itu Oom Tom, Mam!" seru Debbie dalam bahasa Inggris.
Tom mendekat lalu mengulurkan tangannya.
"Apa kabar?" Keduanya mengucapkan kata-kata yang sama. Lalu mereka duduk berhadapan, untuk sesaat merasa canggung kehilangan kata-kata. Mereka juga memanfaatkan waktu itu untuk saling mempelajari wajah masing-masing. Dan juga meneliti situasi emosi diri sendiri.
Tom merasa yakin, yang menguasai dirinya sekarang hanyalah sisa-sisa masa lalu. Emosi kesedihan, kemarahan, dan emosi-emosi negatif lainnya yang dulu sangat kuat kini sudah memudar. Sekarang ia bisa melihat dan menilai Vivian sebagai orang yang berbeda. Bukan yang dulu lagi, karena sudah terlepas darinya. Vivian berada pada jarak yang aman dan tak bisa lagi mengusik atau mengganggunya.
Vivian mencermati Tom dengan pikiran bekerja. Perasaan bersalah yang bertahun-tahun menderanya kini sebagian besar begitu saja lenyap. Ada kelegaan mendalam dalam batinnya. Ia ingin ketemu Tom bukan cuma untuk berbicara, tapi juga untuk melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Tom sekarang. Cerita dari e-mail Ron tidak memuaskan. Bahwa Tom baik-baik saja dan tetap bekerja dengan prima tidak bisa menjelaskan apa yang ingin diketahuinya.
Sekarang Tom tampak bugar dan sehat. Cuma rambutnya banyak yang memutih. Tapi itu tentu suatu proses menua yang wajar. Demikian pula dengan kerut-kerut di wajahnya. Tetapi Viv menangkap semangat dan keceriaan dalam ekspresi dan seluruh gerak-gerik Tom. Baginya, itu sudah cukup men-
286
jelaskan bahwa Tom sudah pulih meskipun mungkin saja masih menyimpan trauma.
Sementara itu Suster membujuk Debbie untuk masuk ke dalam sebentar, untuk memberi kesempatan keduanya bicara tanpa terganggu. Debbie bersedia setelah Tom berjanji tidak akan pergi sebelum bertemu lagi dengannya. Vivian mengamati keduanya dengan tercengang-cengang. Kebencian Tom yang dulu diperlihatkan kepada Debbie saat masih bayi seperti lenyap sama sekali. Sedang Debbie begitu cepat akrab, padahal tidak biasanya dia bersikap demikian kepada orang yang baru dikenalnya. Termasuk kepada beberapa teman prianya yang datang berkunjung. Apakah itu yang dibilang insting?
"Kau tampak sukses, Viv. Selamat, ya," Tom memulai setelah Debbie dan susternya masuk ke dalam.
"Oh, terima kasih. Biasa-biasa saja. Bagaimana kariermu sendiri?"
"Biasa-biasa juga. Sibuk terus tanpa henti."
"Orang sakit tambah banyak rupanya."
"Ya begitulah. Mungkin untuk mengimbangi pertambahan manusia yang terlalu banyak." Keduanya tertawa. Itu membuat ketegangan mereda. Mereka jadi lebih santai.
Tom berharap, Vivian akan bertanya perihal teman-temannya di New York, yang merupakan teman-teman Viv juga. Tetapi pertanyaan itu tak kunjung muncul. Mungkin sengaja dihindari.
"Jadi kau sudah berkenalan dengan Debbie," Vivian mengalihkan percakapan.
"Anak yang cantik. Dan pintar juga."
287
"Ya. Dia cepat akrab denganmu."
"Mungkin dia menganggapku kebapakan."
Ucapan yang dimaksud Tom sebagai humor itu ternyata membuat Vivian tertegun dengan ekspresi sedih.
"Sori, Viv." kata Tom.
"Memang Debbie sudah merasakan kekurangan itu. Semakin besar dia semakin merasakan."
Jadi itukah dorongannya? pikir Tom. Tapi ia tidak menanyakan.
"Aku berterima kasih sekali, Tom. Karena kau sudi datang menjenguk kami."
"Ah, tak usahlah berterima kasih."
"Kukira kau tidak mau. Maklumlah, dosaku terlalu besar. Kupikir sampai kapan pun kau takkan mau memaafkan aku."
Tom jadi terharu. "Sudahlah. Tak usah diungkit lagi. Hidup ini masih panjang, Viv. Kau punya Debbie yang jadi tanggung jawabmu."
"Ya. Karena dialah aku memohon kedatanganmu. Cuma kau yang bisa membantu kami.
http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari
"
"Katakan saja, Viv. Kalau aku. bisa, masa tak kubantu?"
"Tapi..." Vivian menoleh ke arah dalam. "Aku tak bisa mengatakannya di sini, Tom," ia merendahkan suaranya. "Biarpun masih kecil, Debbie itu punya feeling yang tajam."
"Baiklah. Kita toh masih bisa bertemu lagi. Aku masih punya cukup waktu. Katakan saja kapan."
"Terima kasih, Tom. Nanti kuhubungi kau, ya. Sekarang aku harus kembali ke kantor."
288
"Bagaimana kalau kita makan siang bersama?" Tom mengajak.
Vivian tampak surprise tapi senang. "Seharusnya aku mengajakmu makan di rumah. Mumpung ada di rumah, kan? Tapi tak ada persiapan untuk menjamu tamu."
"Sudahlah. Itu merepotkan saja."
Vivian memanggil Debbie. Anak itu kecewa karena Tom akan pamitan. Tetapi cukup terhibur ketika Tom berjanji untuk datang lagi dan memberi waktu lebih banyak untuknya.
Tom duduk di samping Vivian yang mengemudikan mobilnya.
"Kita makan apa, Tom?"
"Apa sajalah. Terserah kau. Aku kan tidak kenal situasi."
"Chinese food?" "Oke."
"Bagaimana Papa dan Mama? Mereka sehat-sehat, Tom?"
"Oh, mereka sehat dan baik-baik."
"Seharusnya aku menjenguk mereka setelah mereka kembali ke sini. Tapi aku tak punya muka, Tom."
"Ya. Aku mengerti. Tidak apa-apalah. Orangtuamu sendiri bagaimana?"
"Mereka di Singapura. Bersama semua saudaraku. Boleh dikata aku di sini cuma sama Debbie saja. Kerabat sih ada, tapi yang jauh-jauh dan tidak akrab."
"Kenapa kau tidak ikut dengan mereka?"
"Aku merasa diriku orang Indonesia, Tom. Apalagi aku punya karier di sini."
289
"Bagus. Kau punya prinsip."
"Tapi jangan lecehkan orang yang pergi, Tom. Mereka bukannya tak punya prinsip."
"Tentu saja," sahut Tom, teringat kepada Susan.
Vivian mengarahkan mobilnya memasuki halaman restoran Oriental di Blok M, masih kawasan Kebayoran Baru.
Di rumah Anwar, putra Harun, terjadi kegaduhan. Seorang petugas polisi datang. Ia membawa kabar buruk. Harun telah menjadi korban amuk massa. Harun disangka copet, lalu dihajar sampai tewas. Anwar membenarkan KTP yang diperlihatkan petugas sebagai milik Harun. Tentu saja ia membantah bahwa ayahnya seorang pencopet. Petugas mengatakan, tuduhan itu memang meragukan. Ada saksi mata yang mengatakan bahwa Harun telah menjadi korban salah tunjuk. Tak ada yang merasa dicopet. Tiba-tiba saja ada teriakan dan tudingan ke arah Harun. Tanpa bertanya-tanya lagi massa pun menyerbunya. Kejadian seperti itu sudah berulang kali terjadi.
Anwar sedih sekali. Ayahnya adalah orang baik dan ayah yang baik juga. Kenapa harus mengalami nasib begitu mengerikan? Tetapi dalam kesedihan itu ia juga sempat merenungkan hari-hari akhir yang dijalani Harun. Sepertinya ayahnya sedang sibuk berbisnis. Entah apa yang diobjekkan. Ia tidak menanyakannya. Ia malah senang ayahnya punya kesibukan yang membuatnya tetap bersemangat. Belakangan ayahnya tidak rajin lagi mencari order cetak. Mungkin bosan atau kesulitan. Ia juga tidak mendesak atau memberi dorongan. Apa yang
290
dikerjakan ayahnya itu melulu atas kemauannya sendiri. Daripada bengong, begitu katanya.
Apa yang sedang dilakukan ayahnya di Kampung Belakang? Masa berbisnis di pasar loak? Mustahil ayahnya tidak tahu bahwa situasi di Kampung Belakang bertambah buruk saja setahun terakhir ini. Kondisinya yang kumuh diperburuk oleh segi keamanan yang juga buruk.
Tentu saja Anwar tidak bisa mendapatkan jawaban. Ayahnya tidak suka menceritakan kegiatannya meskipun bukan berarti tak suka mengobrol. Apa yang diobrolkan hanyalah kejadian sehari-hari yang sifatnya umum.
Lalu ia teringat. Ayahnya pernah dua kali dikunjungi Adam. Ia tidak melihat sendiri atau bertemu langsung dengan Adam. Tapi karyawan dan istrinya yang memberitahu. Harun sendiri tidak bercerita apa-apa. Anwar menganggap hubungan mereka wajar-wajar saja. Mungkin menyambung masa lalu. Ia tahu ayahnya punya hubungan cukup dekat dengan Adam.
Tetapi salah seorang karyawan Anwar mengatakan, kemarin ia melihat Adam keluar dari pavilyun Harun dengan wajah muram, sedang Harun sendiri tampak ceria. Apakah itu merupakan indikasi terjadinya konflik antara keduanya? Tapi bagaimanapun sulit menghubungkan nasib yang menimpa Harun dengan p
http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari