
Still (Sekuel Cewek) - Esti Kinasih Cinderellas Scandal - Phoebe Pendekar Mabuk 70 Hilangnya Kitab Pusaka Once - Phoebe Unforgiven Hero - Santhy Agatha
bertanya lagi tetapi wajahnya nampak bersungguh-sungguh. Tiba-tiba Ken Dedes melangkah maju mendekati Mahisa Agni. Ditatapnya sesuatu pada wajah anak muda itu.
"Kenapa wajahmu, Kakang?" bertanya Ken Dedes kemudian sambil meraba pipi Mahisa Agni.
Baru pada saat itu Mahisa Agni merasa wajahnya nyeri. Sebuah jalur kemerah-merahan membujur di wajahnya, di samping noda yang kebiru-biruan. Sekilas terasalah tangan hantu Karautan menghantam wajahnya itu pada saat ia berkelahi.
"Pipiku tersangkut dahan pada saat aku merunduk menangkap kelinci," jawab Agni.
Meskipun Ken Dedes tidak bertanya lagi namun tampaklah kerut-kerut di keningnya sebagai pertanyaan hatinya. Kemudian tanpa disengajanya Ken Dedes mencibirkan bibirnya.
Sesaat kemudian mereka telah duduk menghadapi minuman hangat. Air daun sereh dengan gula aren telah menyegarkan tubuh mereka.
"Kau terlalu lelah Agni," berkata Empu Purwa. "Beristirahatlah."
Sebenarnyalah bahwa Agni terlalu lelah. Perkelahiannya dengan Ken Arok telah memeras hampir seluruh tenaganya. Karena itu ia pun segera beristirahat pula. Karena kelelahan itulah maka ia pun segera jatuh tertidur.
Betapapun lelahnya namun Agni tidak dapat tidur terlalu lama. Sudah menjadi kebiasaan anak muda itu bangun pagi-pagi sebelum matahari melampaui punggung bukit-bukit di sebelah timur.
Tetapi kali ini Mahisa Agni terlambat juga. Ketika ia membuka mata, dilihatnya cahaya matahari telah memanasi dinding-dinding ruang tidurnya. Karena itu segera ia bangkit dan segera pula dengan tergesa-gesa pergi ke belakang membersihkan diri.
Ketika ia melangkah kembali masuk ke ruang dalam, Mahisa Agni terkejut mendengar sapa perlahan-lahan, "Kau kerinan, Agni."
Agni menoleh. Dilihatnya di sudut bale-bale besar yang terbentang di ruangan itu, Wiraprana duduk bersila. Senyumnya yang segar membayang di antara kedua bibirnya.
Agni pun tersenyum pula. Jawabnya, "Aku terlalu lelah."
"Kau baru pulang semalam?" bertanya Prana.
"Bukan semalam," jawab Agni, "pagi ini."
"Lama benar kau pergi," sahut Prana.
"Sepekan," jawab Agni.
"Selesaikan dirimu. Kita pergi ke sawah kalau kau tidak terlalu lelah," ajak Wiraprana.
Agni tidak menjawab. Segera ia membenahi diri. Sesaat kemudian mereka berdua telah turun ke halaman. Beberapa kali mata Agni mengitari seluruh ruangan dan halaman rumahnya untuk mencari Ken Dedes. Namun gadis itu tak ditemuinya. Ketika di halaman ia berpapasan dengan seorang cantrik, maka ia bertanya, "Ke mana Ken Dedes?"
"Ke sungai, Ngger," jawab cantrik itu.
"Apa yang dilakukan?" desak Agni.
"Ken Dedes membawa kelenting dan dijinjingnya bakul cucian," jawab cantrik itu pula.
"Bapa Pendeta?" bertanya Agni pula.
"Di sanggar, sejak beliau datang bersama Angger," jawab cantriknya itu.
Agni tidak bertanya lagi. Dan keduanya berjalan pula keluar halaman.
Tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika mereka melihat debu yang berhamburan dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang berlari tidak terlalu kencang. Kuda itu berjalan searah dengan Agni dan Wiraprana.
Agni melihat kuda yang besar dan tegar itu dengan kagumnya. Di punggung kuda itu duduk seorang pemuda dengan pakaian yang rapi dan teratur. Kain lurik merah bergaris-garis cokelat, celana hitam mengkilat, dan timang bermata berlian. Di punggungnya terselip sebuah pusaka, keris berwrangka emas.
Melihat anak muda yang duduk di atas punggung kuda itu wajah Agni menjadi terang. Ia tertawa sambil melambaikan tangannya dan dari sela-sela tertawanya terdengar ia menyapa, "Kuda Sempana"
Wiraprana berdiri saja di tempatnya. Ia melihat Agni dengan bibir yang ditarik ke sisi. Bisiknya, "Kau akan kecewa, Agni."
Meskipun Agni mendengar bisik sahabatnya namun ia tidak segera menangkap maksudnya. Ia masih tegak di tepi jalan menanti anak muda yang berkuda dengan gagahnya itu.
Mula-mula Mahisa menyangka bahwa Kuda Sempana tidak melihatnya. Karena itu sekali lagi menyapa, "He, Kuda Sempana"
Anak muda yang bernama Kuda Sempana itu memperlambat kudanya. Dilemparkan pandangannya ke arah Mahisa Agni. Namun hanya sebentar. Ia mengangguk tanpa kesan. Kemudian ia melanjutkan perjalanan.
Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Kuda Sempana baru beberapa tahun meninggalkan kampung halaman. Apakah anak itu telah melupakannya? Untuk meyakinkan dirinya, Mahisa Agni masih tetap berdiri menanti Kuda Sempana. Tetapi ia menjadi kecewa ketika tiba-tiba kuda yang dinaikinya membelok masuk ke halaman. Justru halaman rumah gurunya.
"Bukankah itu Kuda Sempana?" tanpa sesadarnya Agni bertanya.
"Ya," jawab Wiraprana.
"Kawan kita bermain dahulu?" Agni menegaskan.
"Ya," jawab Prana.
"Bukankah anak itu baru beberapa tahun meninggalkan kita," Agni meneruskan.
"Ya," sahut Prana pula.
"Aneh," berkata Agni seperti orang yang menyesal.
"Sudah aku katakan," jawab Prana, "kau akan kecewa. Dua hari yang lampau, aku menyesal pula seperti kau sekarang. Anak itu sekarang menjadi pelayan dalam dari Akuwu Tunggul Ametung. Ia menjadi kaya dan tak mengenal kita lagi."
"Barangkali ia tergesa-gesa," Agni mencoba untuk memuaskan hatinya sendiri.
"Aku telah mengalami dua hari yang lampau. Ia memandangku seperti orang asing," sahut Prana.
Tetapi Mahisa Agni masih belum yakin. Tak masuk di akalnya bahwa hanya karena menjadi pelayan dalam Akuwu Tumapel, seseorang dapat melupakan kawan-kawan bermain sejak masa kanak-kanaknya.
Wiraprana melihat keragu-raguan itu. Maka katanya sambil tersenyum, "Agni, agaknya kau tidak yakin akan kata-kataku. Cobalah kau temui anak itu."
"Marilah," ajak Agni.
Wiraprana menggeleng. Jawabnya, "Aku segan. Tak ada gunanya. Aku akan mendahului. Aku tunggu kau di atas tanggul."
Mahisa Agni sejenak menjadi ragu-ragu. Tetapi bagaimanapun juga ia melihat sikap yang aneh pada Kuda Sempana. Apalagi anak muda itu masuk ke halaman rumah gurunya. Karena itu akhirnya ia berkata, "Baiklah Prana, tunggulah aku di atas tanggul. Aku segera menyusul."
Sekali lagi Wiraprana tersenyum. Kemudian ia memutar tubuhnya berjalan perlahan-lahan mendahului Agni, yang karena keinginannya untuk mengetahui keadaan Kuda Sempana, berjalan kembali ke halaman rumahnya.
Ketika ia memasuki halaman, dilihatnya Kuda Sempana masih berada di atas punggung kudanya. Dengan sikap seorang bangsawan ia sedang bercakap-cakap dengan seorang cantrik.
"Sudah lama ia pergi?" terdengar Kuda Sempana itu bertanya.
"Sudah Angger," jawab cantrik itu.
"Sendiri?" bertanya Kuda Sempana.
"Dengan beberapa endang, Angger," jawab cantrik itu.
Kuda Sempana mengangguk-anggukkan kepalanya. Kemudian ditebarkan pandangannya ke seluruh sudut halaman. Dan ketika dilihatnya Mahisa Agni, Kuda Sempana mengerutkan keningnya.
Mahisa Agni tersenyum dengan ramahnya. Dengan akrabnya ia berkata, "Sempana. Alangkah gagahnya kau sekarang."
Anak muda itu memandang Mahisa Agni dengan tajam. Kemudian katanya, "Ya."
Jawaban itu terlalu pendek bagi dua orang kawan yang telah lama tidak bertemu. Meskipun demikian Agni masih menyapanya lagi, "Apakah keperluanmu? Adakah aku dapat membantumu?"
Kuda Sempana menggeleng, "Aku tergesa-gesa."
Perasaan kecewa mulai menjalari dada Mahisa Agni. Percayalah ia sekarang kepada Wiraprana bahwa hal yang diragukan itu benar-benar dapat terjadi.
Namun sekali lagi Agni bertanya, "Adakah sesuatu pesan untuk Bapa Pendeta?"
Sempana menggeleng.
"Tidak," katanya, "Aku tidak mempunyai sesuatu keperluan dengan Empu Purwa. Aku datang untuk putrinya."
Terasa sesuatu berdesir di dalam dada Agni. Tetapi ia mencoba menguasai perasaannya. Dan tahulah ia sekarang, siapakah yang ditanyakan oleh Sempana kepada cantrik itu.
Mahisa Agni terkejut ketika kemudian terdengar Kuda Sempana berkata, "Aku tidak mempunyai banyak waktu."
Anak muda yang gagah itu tidak menunggu jawaban siapa pun. Segera ia menarik kekang kudanya, dan kuda yang tegar itu pun berputar. Sesaat kemudian kuda itu telah menghambur meninggalkan halaman yang luas dan sejuk itu.
Ketika Kuda Sempana telah hilang di balik pagar, bertanyalah cantrik itu kepada Mahisa Agni, "Bukankah anak muda itu Angger Kuda Sempana?"
"Ya," jawab Agni sambil mengangguk-angguk kepalanya.
"Tetapi," cantrik itu meneruskan, "bukankah anak muda itu kawan Angger Agni bermain-main seperti Angger Wiraprana?"
Agni mengangguk. Ditatapnya sisa-sisa debu yang dilemparkan oleh kaki-kaki kuda yang mengagumkan itu. Jawabnya, "Begitulah."
Cantrik itu tidak bertanya lagi ketika dilihatnya sorot mata Agni yang aneh. Karena itu, segera ia kembali pada pekerjaannya membersihkan halaman dan tanam-tanaman.
Agni pun kemudian tidak berkata-kata pula. Diayunkan kakinya keluar halaman. Ia telah berjanji pergi ke tanggul. Di sana Wiraprana menunggunya. Ia masih melihat Kuda Sempana melarikan kudanya lewat jalan yang akan dilaluinya namun ia sama sekali sudah tidak menaruh perhatian kepada anak muda yang sombong itu. Karena itu segera angan-angannya kembali kepada sahabatnya, Wiraprana.
Tanggul yang dimaksud Wiraprana adalah tanggul sebuah bendungan dari sebuah sungai kecil yang membujur agak jauh dari desanya. Dari sungai itulah sawah-sawahnya mendapat aliran air. Karena itu, baik Agni maupun Wiraprana sering benar pergi ke tanggul itu. Bahkan bukan saja anak-anak muda namun gadis-gadis pun selalu pergi ke sungai itu untuk mencuci pakaian-pakaian mereka dan mandi di belumbang kecil di bawah bendungan.
Tetapi Agni tidak langsung pergi ke tanggul itu. Ketika ia lewat di samping sawah Empu Purwa yang menjadi garapannya, ia berhenti. Dilihatnya beberapa batang rumput liar tumbuh di antara tanaman-tanamannya meskipun masa matun baru saja lampau. Karena itu ia memerlukan waktu sejenak untuk menyiangi tanamannya itu.
Wiraprana yang sudah sampai di pinggir kali, duduk dengan enaknya di atas sebuah batu padas yang menjorok agak tinggi. Ketika ia melihat bahwa tanggul dan bendungan cukup baik, maka yang dikerjakannya adalah menunggu Mahisa Agni, yang akan diajaknya untuk melihat apakah rumpon yang mereka buat telah masak untuk dibuka.
Wiraprana meredupkan matanya ketika ia melihat seekor kuda berlari kencang ke arahnya. Segera ia mengenal bahwa di atas punggung kuda itu duduk Kuda Sempana. Meskipun ia tidak tahu maksud kedatangan anak muda itu namun perasaan tidak senang telah menjalari dirinya sehingga tanpa sesadarnya ia turun dan duduk di balik batu padas itu. Ia sama sekali tidak ingin untuk bertemu dengan anak yang sombong itu meskipun timbul juga keinginannya untuk mengetahui, apakah maksud kedatangan anak muda itu ke bendungan.
Ketika Wiraprana melayangkan pandangannya ke belumbang kecil di bawah bendungan itu, dilihatnya beberapa orang gadis sedang mencuci. Satu di antara mereka adalah gadis yang dikenalnya dengan baik, sebaik ia mengenal Mahisa Agni. Gadis yang namanya selalu disebut oleh hampir setiap pemuda di kaki Gunung Kawi itu. Gadis itu adalah Ken Dedes.
Wiraprana menarik nafas. Tetapi kemudian ia dikejutkan oleh derap kaki kuda di sampingnya. Sekali lagi ia berkisar ke balik batu itu. Ia benar-benar tidak mau bertemu lagi dengan Kuda Sempana setelah hatinya dikecewakan dua hari yang lampau.
Tetapi didesak oleh perasaannya maka dengan hati-hati ia mengintip apakah keperluan anak muda yang sombong itu. Ia menahan nafas ketika ia melihat Sempana berjalan hanya beberapa langkah di mukanya, kemudian membelok ke kanan, menuruni tebing sungai.
Beberapa orang gadis yang melihat kedatangan anak muda itu menjadi heran. Mereka telah biasa melihat Wiraprana, Mahisa Agni, dan anak-anak muda dari desa mereka berada di atas tanggul bendungan itu. Namun anak muda dengan pakaian yang sedemikian lengkapnya adalah jarang mereka lihat. Tetapi ketika anak muda itu menjadi semakin dekat, tiba-tiba terdengarlah hampir bersamaan dari mulut gadis-gadis itu sebuah sapa yang riang, "Kuda Sempana"
Tetapi sapa itu sama sekali tak berbekas di wajah Kuda Sempana yang seakan-akan telah membeku.
Meskipun kemudian gadis-gadis itu menjadi riuh, namun Sempana sama sekali tak terpengaruh olehnya, sehingga akhirnya gadis-gadis itu pun menjadi heran dan berhenti dengan sendirinya.
Tetapi di antara mereka, tampaklah Ken Dedes menjadi pucat. Tiba-tiba terasa tubuhnya gemetar seperti kedinginan. Ia melihat kedatangan Kuda Sempana seperti melihat hantu. Bagaimanapun ia mencoba menguasai dirinya namun tampak juga tubuhnya bergetar. Untunglah tak seorang pun dari kawan-kawannya memperhatikannya.
Kuda Sempana kemudian berdiri tegak di tepi belumbang kecil itu. Gadis-gadis yang berada di hadapannya itu seakan-akan tak dilihatnya