Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panasnya Bunga Mekar - 113

$
0
0
Panasnya Bunga Mekar - Serial Pelangi Di Langit Singosari 4 - SH Mintardja.jpegCerita Silat | Panasnya Bunga Mekar | Serial Pelangi Di Langit Singosari | Panasnya Bunga Mekar | SH Mintardja | Panasnya Bunga Mekar pdf

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag I Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag II Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag III Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag IV Panasnya Bunga Mekar bag I

Witantra pernah memegang kekuasaan atas nama kekuasaan Singasari di Kediri”

“Ah, itu sudah lama lampau. Sekarang, sebut saja kami dengan nama- nama kami. Agaknya dengan demikian, hubungan kami akan menjadi lebih akrab” berkata Mahisa Agni.

Ki Kasang Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Kami, penghuni padepokan ini mengucapkan terima kasih. Juga kepada Pangeran Kuda Padmadata yang tidak memakai pakaian kebesaran seorang Pangeran”

“Pakaian kebesaran semacam itu hanya akan mengganggu tugas kami sekarang ini Ki Kasang Jati” sahut Pangeran Kuda Padmadata.

“Baiklah. Kami sudah dapat menduga, bahwa kedatangan kalian adalah permulaan dari satu perburuan yang besar. Tetapi aku ingin mempersilahkan kalian singgah di padepokan ini barang satu dua hari. Kalian akan beristirahat sambil menyusun kerangka tugas kita” berkata Ki Kasang Jati.

Tidak seorang pun yang membantah. Mereka memang harus melakukannya. Singgah barang satu malam di padepokan itu sambil menyusun rencana perjalanan yang akan mereka tempuh.

Pada kesempatan yang terluang, Mahisa Murti dan Mahisa Pukat sempat melihat-lihat padepokan kecil yang tanang itu. Nampaknya hidup di padepokan semacam itu memang sangat menarik dibanding dengan kegelisahan hidup di Kota Raja dan sekitarnya.

Ketika malam berikutnya datang menyelubungi padepokan kecil itu maka mulailah beberapa orang berkumpul di pendapa. Mereka mulai menyusun rencana perburuan yang akan mereka lakukan.

Mahisa Bungalan yang mengenal beberapa bagian dari daerah yang akan mereka jelajahi dapat memberikan beberapa keterangan. Ditambah dengan pengenalan Ki Kasang Jati dan para Pututnya.

“Daerah itu cukup luas” berkata Ki Kasang Jati.

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya pekerjaan itu akan dapat memberikan suasana lain padanya. Untuk beberapa lama ia tinggal di istana, yang melihat putaran kehidupan sehari-hari yang hampir tidak berubah. Sementara yang dilihatnyapun sangat terbatas. Dinding-dinding istana, prajurit, taman dan jika ia melangkah keluar, mereka yang dilihatnya adalah jalur-jalur jalan Kota Raja yang sudah dilihatnya berubah.

Hampir diluar sadarnya, Mahisa Agni justru mengenang masa mudanya, selagi ia masih hidup di sela-sela hijaunya pepohonan padukuhan kecil. Mahisa Agni tersadar ketika ia mendengar Mahisa Bungalan berkata, “Kita akan membagi diri Ki Kasang Jati”

“Apakah tenagaku juga diperlukan?“ bertanya Ki Kasang Jati.

Mahisa Bungalan termangu-mangu. Namun Witantra lah yang menjawab, “Ki Kasang Jati akan berburu di daerah ini. Jika padepokan ini ditinggalkan, maka padepok an ini akan dapat menjadi sasaran pertama. Karena itu, mungkin Ki Kasang Jati akan dapat membantu kami, tetapi hanya di sekitar padepokan ini saja”

Ki Kasang Jati mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Aku akan berusaha membantu sejauh dapat aku lakukan sambil menunggui padepokan kecil ini” ia berhenti sejenak, lalu mudah-mudahan kalian berhasil.

Seperti yang sudah direncanakan, maka Mahisa Agni akan pergi bersama Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata. Sementara Mahendra akan pergi bersama ketiga anaknya dan Ki Wastu. Namun seperti yang diduga oleh Ki Wastu, bahwa agaknya Mahisa Bungalan akan memanfaatkan perjalanan ayahnya untuk kepentingan yang lain, apabila suasananya masih memungkinkan.

Namun dalam pada itu, agar Mahisa Agni, Witantra dan Pangeran Kuda Padma tidak mengalami kesulitan di medan, maka Ki Kasang Jati telah menyertakan seorang pututnya untuk ikut bersama mereka, yang akan dapat membantu mepermudah menyelusuri jalan-jalan yang akan mereka jelajahi.

“Meskipun ia juga belum mengenal seluruhnya, tetapi ia akan dapat mempermudah perjalanan kalian” berkata Ki Kasang Jati.

“Terima kasih” jawab Mahisa Bungalan, “tetapi dengan demikian, kekuatan padepokan ini akan berkurang.

“Mudah-mudahan kami di sini tidak mengalami banyak kesulitan jika iblis itu benar-benar datang lagi” jawab Ki Kasang Jati.

Dengan demikian, maka batas dan kewajiban masing-masing teluh ditentukan. Merekapun menunjuk beberapa tempat untuk bertemu jika diperlukan masa perburuan.

Orang-orang yang akan melakukan perburuan itupun sepakat, besok pagi, ketika matahari terbit, mereka akan berangkat dari padepokan Ki Kasang Jati. Sekelompok akan menuju ke Barat, dan kelompok yang lain akan menuju ke Timur.

Malam itu, mereka masih sempat berkelakar. Meskipun demikian Ki Wastu sama sekali tidak menyinggung masalah Mahisa Bungalan dalam hubungannya dengan seorang gadis yang bernama Ken Padmi, seperti pengakuan Mahisa Bungalan sendiri. Ki Wastu membiarkan Mahisa Bungalan sendiri pada saatnya menyampaikannya kepada ayahnya.

Demikianlah, di pagi hari berikutnya, ketika matahari terbit di timur, maka kedua kelompok itupun segera berang kat kearah yang sudah ditentukan.

Dalam pada itu, Ki Dukut Pakering yang merasa tidak mungkin lagi membujuk beberapa pemimpin padepokan ternyata telah mengambil jalan lain. Dengan sengaja Ki Dukut telah memasuki daerah yang terkenal gawat, karena daerah itu menjadi daerah jelajah para penjahat. Namun dengan mempertaruhkan dirinya, Ki Dukut justru mengambil cara itu untuk mendapatkan pengikut-pengikut

Dengan pakaian dan kelengkapan yang menarik perhatian, Ki Dukut dan seorang pengikutnya berkuda menyelusuri jalan yang gawat. Mereka berharap justru dapat bertemu dengan sekelompok penjahat yang akan menyamunnya.

Ternyata bahwa usaha Ki Dukut itu berhasil ketika tiba-tiba saja dari balik segerumbul perdu, berloncatan tiga orang berpakaian serba kelam. Wajah mereka pun nampak Kasar dan telanjang.

“Ki Sanak” berkata orang yang paling garang di antara mereka, “apakah aku boleh bertanya. Ki Sanak akan pergi ke mana?“

Ki Dukut menarik keningnya. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Aku sekedar ingin metihat-lihat, apakah daerah ini masih merupakan daerah yang gawat”

Ketiga orang itu menjadi heran mendengar jawaban Ki Dukut. Orang yang paling garang pun kemudian maju setapak, “Aku tidak mengerti maksudmu. Aku bertanya, kau akan pergi ke mana?“

“Sudah aku jawab dungu“ tiba-tiba saja Ki Dukut membentak.

“Gila” geram orang berwajah garang itu, “apakah kau mengenal kami?“ p>

“Tentu. Kalian adalah penyamun atau perampok atau apapun namanya” jawab Ki Dukut.

“Setan alas. Jika demikian, maka cepat lakukan perintah kami. Lepaskan pakaianmu, perhiasanmu, mungkin intan berlian pada timangmu, atau pada pendok kerismu, “

Tetapi Ki Dukut tertawa. Katanya, “Jangan bodoh. He, siapa pemimpinmu?“

Ketiga orang berpakaian kelam dan berwajah menyeramkan itupun termangu- mangu sejenak. Mereka belum pernah melihat orang yang dengan sengaja memasuki daerah yang gawat itu dan justru telah membentak-bentaknya.

Namun sesaat kemudian ketiga orang itu menyadari pekerjaannya. Salah seorang dari merekapun melangkah mendekat sambil berkata, “Sudahlah. Jangan banyak bicara. Jangan bertanya siapa pemimpin kami, dan jangan bertanya tentang kami lebih banyak lagi. Seandainya kau sengaja lewat jalan ini, maka kau telah salah langkah, dan kau akan menjadi korban dari kesombongan tetapi sekaligus kebodohanmu”

Ki Dukut dan pengikutnya kemudian menambatkan kuda mereka pada sebatang pohon perdu. Kemudian dengan suara lantang Ki Dukut berkata, “Ki Sanak. Aku sengaja memilih jalan ini. Aku sengaja ingin bertemu dengan kalian, dan terlebih-lebih lagi pemimpin kalian”

“Cukup. Sekarang apa maumu sebenarnya” bentak salah seorang dari ketiga orang penyamun itu.

“Panggilah pemimpinmu” jawab Ki Dukut.

Ketiga orang penyamun itu tidak dapat menahan kemarahan mereka lagi. Dengan gigi yang gemeretak merekapun kemudian mengepung kedua orang yang berdiri menghadap kearah yang berlawanan.

“Kalian benar-benar bodoh dan dungu. Tetapi baiklah. Marilah, apa yang akan kalian lakukan” geram Ki Dukut.

Ketiga orang itu tidak sabar lagi. Kemarahan mereka telah sampai ke ubun- ubun. Karena itu, Maka merekapun bergeser maju. Senjata merekapun mulai bergetar di tangan mereka.

Pengikut Ki Dukut telah mencabut pedangnya pula. Tetapi Ki Dukut sendiri masih saja berdiri tegak, tanpa sen jata meskipun sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Sikap itu benar-benar membuat lawannya tidak dapat menahan diri lagi. Dengan serta merta, maka ketiga orang itupun telah bersama-sama menyerang dengan ujung senjata.

Pengikut Ki Dukut itu sempat menangkis ujung senjata yang mengarah ke dadanya. Namun dalam pada itu. Ketiga orang itu terkejut, ketika tiba-tiba saja Ki Dukut telah berada di luar lingkaran.

“Setan alas“ orang-orang yang garang itu menggeram. Dua orang di antara mereka pun segera memburu

Ki Dukut Pakering, sedangkan yang seorang tetap menghadapi pengikutnya.

“Bunuh saja mereka berdua“ orang yang agaknya menjadi pemimpin dari ketiga orang itu menggeram.

Kedua kawannya tidak menunggu lagi. Dengan serta meria merekapun telah menyerang lawan masing-masing. Sementara Ki Dukut harus menghadapi dua orang lawan yang bertempur berpasangan.

Namun adalah diluar dugaan sama sekali. Bukan saja karena Ki Dukut tidak bersenjata. Tetapi pada gerak yang tidak mereka duga sama sekali, Ki Dukut sempat menghantam pergelangan tangan salah seorang lawannya, sehingga senjatanya telah terlepas dari tangannya yang serasa menjadi patah. Demikian selagi kawannya dengan heran memperhatikan sekilas, maka tiba-tiba saja tanpa dapat melihat bagaimana hal itu terjadi, senjatanya telah berpindah ke tangan Ki Dukut Pakering.

“Apakah kalian masih akan melawan?“ bertanya Ki Dukut.

Kedua orang itu benar- benar telah dicengkam ketegangan. Sementara pengikutnya yang bertempur dengan senjata itu telah berhasil menguasai lawannya pula.

Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Mereka benar-benar tidak mengerti, bagaimana segalanya itu dapat terjadi.

Namun dalam pada itu, selagi ketiga orang penyamun itu termangu-mangu terdengar Ki Dukut berkata ”Nah ternyata bahwa kawan kalian telah datang. Aku tidak tahu, apakah ia pemimpin kalian”

Ketiga orang itu menjadi heran. Tetapi yang lebih heran lagi adalah dua orang yang bersembunyi di balik sebuah gerumbul perdu. Ternyata orang tua yang telah mengalahkan para perampok itu tahu pasti, bahwa ada orang lain yang datang mendekat.

“Marilah” berkata Ki Dukut, “kalian tidak usah bersembunyi. Aku tidak akan membunuh siapa pun di sini. Ketiga orang ini pun tidak akan aku bunuh, meskipun aku dapat melakukannya dengan mudah, semudah memijit buah ceplukan”

Kedua orang itu tidak dapat bersembunyi lebih lama. Tetapi merekapun bukan pengecut yang hatinya susut karena sikap Ki Dukut yang garang. Salah seorang dari kedua orang itupun kemudian berkata ”Baiklah Ki Sanak. Kau memiliki penglihatan yang sangat tajam. Mungkin bukan penglihatan indera wadagmu, tetapi penglihatan batinmu. Namun demikian, aku tidak akan duduk menjilat telapak kakimu. Aku adalah pemimpin perampok dan penyamun yang ditakuti di daerah ini. Aku adalah orang yang dikenal sebagai Iblis Pencabut Nyawa”

Ki Dukut tertawa. Katanya, “jangan membuat nama yang dapat menakuti anak-anak. He. apakah kau pernah mendengar namaku?“

“Siapa kau?“ bertanya pemimpin perampok itu.

“Aku adalah Rajawali Penakluk Bumi” berkata Ki Dukut. Lalu, “Mungkin aku dapat membuat nama yang lebih mengerikan. Namun nama itu tidak berarti apa-apa bagiku. Sekarang, marilah kita berbicara tentang diri kita masing- masing”

“Apa maksudmu lewat dengan sengaja di daerah ini” bertanya pemimpin perampok itu.

“Aku adalah pemimpin perampok yang selama ini bertualang tanpa kawan selain seorang saja. Tiba-tiba aku ingin mempunyai lebih dari satu kawan. Karena itu, bagaimana jika aku saja yang memimpin kelompok pe-rampok di sini. Kau akan menjadi pemimpin kedua yang namamu akan terangkat pula karena tingkat ilmuku yang tanpa lawan”

Pemimpin perampok itu menggeram. Ia benar-benar merasa terhina mendengar keterangan Ki Dukut yang sombong itu. Bahkan seolah-olah merasa dirinya manusia yang lain dari manusia kebanyakan sehingga tidak mungkin terkalahkan.

Karena itu, maka iapun menjawab, “Ki Sanak yang menyebut dirinya Rajawali Panakluk Bumi. Jangan kau kira bahwa aku sama sekali tidak akan berdaya menghadapi kau berdua. Mungkin kau memang seorang yang memiliki ilmu yang tidak terkalahkan di daerah yang tidak aku kenal. Tetapi disini, kau tidak akan berarti apa-apa bagiku, sehingga jika kau ingin bekerja bersama kami, maka kau akan menjadi orang yang paling rendah dalam tataran kami”

“He, apakah kau tidak melihat kenyataan yang terjadi di hadapanmu Iblis? Tiga orangmu sama sekali tidak berdaya. Itupun aku hanya sekedar bermain-main Apalagi jika aku bertempur dengan sungguh-sungguh”

“Persetan” geram pemimpin perampok yang menyebut dirinya Iblis Pencabut Nyawa itu, “kau belum mengenal aku seperti aku belum mengenalmu. Jangan terlampau sombong”

“Terserahlah menurut penilaianmu. Tetapi yang jelas bahwa aku tidak akan dapat kau sebut orang yang akan berada ditataran terendah” jawab Ki Dukut Pakering.

Pemimpin perampok itu tidak sabar lagi. Sikap Ki Dukut benar-benar sangat menyakitkan hati.

Karena itu, maka ia pun segera bersiap dengan senjata di tangan. Ia ingin menjajagi, apakah kemampuan orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu benar-benar memiliki ilmu yang tinggi seperti sikap sombongnya. p>

Ki Dukut pun telah bersiap pula menghadapi segala kemungkinan. Bahkan ia masih sempat berkata, “Iblis yang jinak. Marilah kita membuat janji”

“Apa janjimu?“ bertanya pemimpin perampok itu.

“Kita akan bertempur. Mungkin kau tidak ingin bertempur seorang diri. Baiklah. Kau dapat bertempur berempat atau bahkan berlima sama sekali. Aku


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>