Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panasnya Bunga Mekar - 118

$
0
0
Panasnya Bunga Mekar - Serial Pelangi Di Langit Singosari 4 - SH Mintardja.jpegCerita Silat | Panasnya Bunga Mekar | Serial Pelangi Di Langit Singosari | Panasnya Bunga Mekar | SH Mintardja | Panasnya Bunga Mekar pdf

Bunga di Kaki Gunung Kawi bag VIII Pembunuhan Di Rue Morgue - The Murders in the Rue Morgue - Edgar Allan Poe Detak Jantung dan Hati yang Meracau - Edgar Allan Poe Bunga di Kaki Gunung Kawi bag IX Bunga di Kaki Gunung Kawi bag X

orang-orang yang sempat berhubungan dengan mereka untuk menjual bahan-bahan makanannya” jawab pemimpin padepokan itu, “pemimpinnya seorang tua bernama Rajawali Penakluk Bumi”

Mahisa Agni mengerutkan keningnya. Nama itu terdengar aneh ditelinganya. Namun demikian ia tidak memberikan tanggapan atas nama itu. Demikian juga Witantra dan Pengeran Kuda Padmadata.

Namun demikian Pangeran itu bertanya, “Apa saja yang mereka katakan tentang kelompok mereka itu?”

“Mereka tidak mangatakan sesuatu yang penting. Yang mereka katakan hanyalah, bahwa kawan-kawan mereka terdiri dari orang-orang yang berasal dari lingkungan yang berbeda. Mereka di tempat terpencil itu mendapat latihan-latihan kanuragan dari pemimpin mereka yang yang mereka sebut Rajawali Penakluk itu”

“Memang suatu masalah tersendiri” berkata Witantra, “masalah yang tidak terdapat pada padepokan-padepokan lain yang jauh dari tempat ini”

“Ya” sahut pemimpin padepokan itu, “berita itu membuat kami cemas. Meskipun sampai sekarang, mereka tidak membuat kesulitan apapun, namun kita tidak tahu, apa yang akan mereka lakukan kemudian”

Mahisa Agni, Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata ternyata sangat tertarik kepada berita itu. Nampaknya persoalannya tidak ada hubungannya dengan tugas mereka, mencari seseorang yang bernama Ki Dukut Pakering. Namun agaknya mereka tidak dapat melepaskan perhatian mereka kepada peristiwa yang nampaknya akan dapat mempengaruhi ketenangan lingkungannya.

Karena itu, maka Mahisa Agni, Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata, memutuskan untuk tinggal di padepokan itu untuk beberapa saat lamanya. Mungkin ada sesuatu yang harus mendapat perhatian mereka.

“Kesediaan kalian tinggal di sini sangat menyenang kan kami” berkata pemimpin padepokan itu, “namun mudah-mudahan tidak akan terjadi sesuatu disini”

Demikianlah maka ketiga orang pendatang itupun mendapat tempat tinggal untuk beberapa lamanya di padepokan itu. Meskipun ada juga semacam kecurigaan terhadap mereka, karena ketiga orang itu sama sekali belum dikenalnya. Hanya karena keterangan mereka yang jelas dan pasti, tentang seorang anak muda bernama Mahisa Bungalan yang pernah berkunjung ke padepokan Ki Kasang Jati sajalah, maka ketiganya dapat diterima.

Namun demikian, pemimpin padepokan itu masih memerintahkan kepada para cantriknya untuk mengawasi ketiganya dengan diam-diam. Jika nampak sesuatu yang muncurigakan, maka mereka harus segera melaporkan kepadanya.

Dalam pada itu, Mahendra dan kelompok kecilnya telah menelusuri jalur jalan yang telah ditentukan pula. Mereka juga mengunjungi padepokan-padepokan yang terlibat dalam usaha Ki Dukut untuk mengalahkan Ki Kasang Jati tetapi gagal.

Namun dalam pada itu, Mahisa Bungalan ternyata masih belum membawa ayahnya ke padepokan yang pernah dikunjunginya, dan yang pernah menumbuhkan persoalan di dalam hatinya. Meskipun kadang-kadang ada juga getar kegelisahannya, bahwa justru padepokan itulah yang akan didatangi oleh Ki Dukut, namun ada semacam hambatan yang menghalanginya untuk berkunjung ke tempat itu mendahului padepokan-padepokan yang lain.

Ki Wastu yang mengerti perasaan anak muda itu sama sekali tidak mengusulkan sesuatu. Diikutinya saja arah yang ditentukan oleh Mahisa Bungalan. Bahkan ketika mereka sampai ke padepokan yang manjadi tempat yang dijanjikan untuk saling bertemu, ternyata bahwa Mahisa Agni dan kedua orang yang pergi bersamanya masih belum berada di tempat itu.

“Kita memang terlalu cepat sehari” berkata Mahisa Bungalan kepada ayahnya.

“Kita akan menunggu sampai besok. Biasanya pamanmu Mahisa Agni memegang hitungan waktu sebaik-baiknya. Jika besok mereka tidak datang, maka agaknya ada persoalan yang mereka hadapi di perjalanan.

Dengan demikian, maka Mahisa Bungalan yang sudah dikenal oleh pemimpin padepokan itu, telah diterima dengan senang hati. Bahkan kedatangannya telah ditunggu-tunggu oleh kegelisahan dan kecemasan bahwa Ki Dukut akan datang untuk melepaskan dendamnya.

Tetapi seperti keterangan yang didengar oleh Mahisa Agni, bahwa tidak ada tanda-tanda gerakan sama sekali yang akan dapat mengganggu ketenangan padepokannya.

Tetapi ternyata dihari yang sudah ditentukan, Mahisa Agni, Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata tidak datang ke padepokan itu.

Karena itu. maka Mahendra dan mereka yang datang bersamanya menjadi gelisah.

“Tentu terjadi sesuatu di perjalanan” berkata Mahisa Murti.

“Mudah-mudahan tidak demikian. Mungkin ada sesuatu yang menarik perhatian, sehingga mereka tidak segera datang ke tempat ini”

“Kita akan dapat menelusurinya” berkata Mahisa Bungalan, “bukankah arah perjalanan paman Mahisa Agni, paman Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata telah ditentukan?“ p>

“Ya. Kita akan segera melihat, apakah yang terjadi atas mereka” berkata Mahendra.

Dengan demikian maka Mahendra telah minta diri kepada pemimpin padepokan itu untuk mencari tiga orang kawan mereka yang menempuh perjalanan yang lain.

“Tetapi bukankah kalian akan datang lagi ke padepokan ini?“ bertanya pemimpin padepokan itu.

“Mungkin. Tetapi mungkin pula tidak. Kami sedang memburu buruan yang berbahaya dan tangkas. Mungkin kami akan mengambil sikap tertentu sesuai dengan perkembangan keadaan” jawab Mahendra.

Demikianlah, maka Mahendra dan mereka yang pergi bersamanya segera meninggalkan padepokan itu. Mereka menuju ke padepokan berikutnya sesuai dengan rencana perjalanan Mahisa Agni.

Ketika mereka sampai ke tempat itu, ternyata bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Pangeran Kuda Padmadata masih berada di tempat itu. Mereka tidak dapat dengan segera meninggalkan padepokan itu sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan, karena mereka menghadapi persoalan yang khusus.

“Kami tahu, bahwa kalian tentu akan datang” desis Witantra.

Mahendra mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berkata, “Kamilah yang menjadi gelisah. Syukurlah bahwa tidak terjadi sesuatu di perjalanan kalian”

“Kami mengawasi perkembangan sekelompok orang yang dengan sungguh-sungguh sedang mempelajari olah kanuragan di hutan sebelah” berkata Mahisa Agni yang kemudian memberikan beberapa keterangan sebagaimana didengarnya. Bahkan di hari terakhir, pemimpin padepokan itu telah memberikan pesan- pesan khusus kepada orang yang pernah melaporkan tentang sekelompok orang yang sedang meningkatkan ilmunya di hutan itu, agar apabila ia menjual beberapa jenis bahan makanan, ia memperhatikan orang-orang itu dengan lebih seksama.

Hal itu nampaknya memang sangat menarik hati Mahendra. Bahkan Ki Wastu pun berpendapat, bahwa kelompok itu memang memerlukan perhatian yang lebih besar.

“Ada yang sangat menarik pada kelompok itu“ berkata Ki Wastu, “nampaknya mereka mempunyai maksud tertentu. Mereka ingin meningkatkan kemampuan mereka, sementara mereka tidak ingin terganggu. Ternyata mereka sama sekali tidak berbuat sesuatu selain meningkatkan ilmu di tempat yang terpencil itu”

Pendapat itu sesuai dengan pendapat orang- orang lain yang berada di padepokan itu. Pemimpin padepokan itupun berpendapat demikian. Karena itu, maka yang perlu mereka ketahui, apakah yang sebenarnya dikehendaki oleh kelompok yang dengan sungguh-sungguh sedang menempa diri itu.

Dalam pada itu, orang- orang yang ditugaskan untuk mengetahui lebih banyak tentang kelompok itu, ternyata tidak dapat memberikan keterangan yang lebih jelas, selain bahwa orang-orang di tempat terpencil itu telah membeli beberapa jenis bahan makan dari mereka. p>

“Kita tidak dapat membiarkan mereka melakukan sesuatu yang dapat menggangu ketenangan daerah di sekelilingnya” berkata Mahisa Bungalan yang nampaknya tidak sabar menunggu.

Tetapi Mahisa Agni berkata, “Kita akan mencari keterangan yang lebih banyak tentang mereka“

“Sementara itu Ki Dukut telah merayap dari satu padepokan ke padepokan yang lain” sahut Mahisa Bungalan.

Pendapat Mahisa Bungalan itu dapat dimengerti oleh Mahisa Agni. Karena itu, maka katanya, “Apakah kita harus mempercepat perkembangan menempa diri itu“

“Maksud paman?“ bertanya Mahisa Bungalan.

“Kita akan memancing mereka, agar mereka segera berbuat sesuatu yang dapat memberikan petunjuk, apa yang sebenarnya akan mereka lakukan” berkata Mahisa Agni.

“Apakah yang dapat kita lakukan” bertanya Mahisa Bungalan.

Mahisa Agni merenung sejenak. Lalu katanya, “Sebaiknya di padepokan ini juga melakukan hal yang sama”

“Maksud paman di padepokan ini juga diselenggarakan latihan olah kanuragan seperti yang dilakukan di tempat terpencil itu?“ bertanya Mahisa Bungalan pula.

“Ya” jawab Mahisa Agni singkat.

Ternyata pendapat itu disetujui oleh pemimpin padepokan itu. Selagi beberapa orang yang berada di padepok-annya itu tetap berada bersama mereka, maka jika terjadi sesuatu, tamu-tamunya itu akan dapat membantunya. .

Demikian seperti yang telah direncanakan, maka di hari berikutnya, di padepokan itu telah diselenggarakan latihan-latihan olah kanuragan melampaui kebiasaan. Para cantrik dari padepokan itu mengikutinya justru di-tempat yang dapat dilihat dari luar padepokan.

Meskipun mereka berlatih di kebun belakang, namun pada saat-saat tertentu, para cantrik itu telah diperintahkan oleh pemimpin padepokannya untuk berbuat sesuatu yang dengan sengaja dapat memancing perhatian orang-orang yang menyaksikan.

Demikianlah, maka seperti yang diharapkan, maka berita tentang latihan- latihan yang melampaui kebiasaan itu, bahkan yang nampaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan sangat berat itu dapat didengar oleh Ki Dukut yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu.

“Apakah orang-orang padepokan itu sudah gila” berkata Ki Dukut kepada seseorang yang sedang mengantar beras kepada kelompok yang terpencil itu.

“Aku tidak tahu” jawab orang yang menjual beras itu, “yang aku ketahui mereka sedang berlatih melampaui saat-saat sebelumnya”

Ki Dukut mengerutkan keningnya sambil berkata, “Apakah kau pernah datang ke padepokan itu?“

“Jarang sekali. Mereka tidak pernah membeli beras, karena para cantrik mempunyai tanah yang cukup luas dan menghasilkan bahan makanan yang cukup bagi mereka”

Ki Dukut mengangguk- angguk. Ia pun mengerti, bahwa pada umumnya setiap padepokan memiliki sawah dan ladang yang cukup bagi persediaan makan mereka. Agak berbeda dengan kedudukannya di tempat terpencil itu. Ia tidak mempunyai waktu untuk membuka hutan bagi tanah persawahan. Dan ia tidak perlu minta agar orang- orangnya memberikan beras atau bahan makanan yang lain bagi orang-orangnya yang sedang ditempa, karena mereka mempunyai banyak uang untuk membeli dari orang-orang padukuhan di sekitarnya. p>

Ki Dukut tidak bertanya lebih banyak lagi kepada orang yang menjual beras kepadanya, karena orang itu tidak akan mengetahui terlalu banyak tentang para cantrik yang berlatih di padepokan itu. Hanya dari penjual beras itu, Ki Dukut dapat mengerti, saat-saat yang sering dipergunakan oleh para cantrik untuk berlatih.

Karena itu, maka Ki Dukut telah mengirimkan orang-orangnya yang terpercaya, termasuk pengikutnya yang setia, untuk melihat apakah yang dikatakan oleh penjual beras itu memang benar.

“Orang itu tidak berbohong” berkata pengikutnya yang setia, “Aku melihat para cantrik itu berlatih. Agaknya mereka bersembunyi atau setidak-tidaknya agar tidak mudah diketahui orang, karena mereka melakukan latihan- latihan itu di kebun belakang. Tetapi agaknya aku masih sempat melihatnya dari sela-sela pintu butulan kebun belakang yang terbuka”

“Apakah mereka tidak mempunyai sanggar?“ bertanya Ki Dukut.

“Mungkin ada” jawab pengawalnya, “tetapi yang agak menarik perhatian adalah, bahwa cantrik di padepokan itu agaknya terlalu banyak”

“Bagaimana dapat kau katakan terlalu banyak?“ bertanya Ki Dukut.

“Aku tidak dapat menghitung dengan pasti. Tetapi aku kira, padepokan itu dengan sengaja telah memperkuat diri”

Ki Dukut menjadi gelisah mendengar berita itu. Bahkan ia mulai bertanya kepada diri sendiri, apakah orang-orang di padukuhan itu mengetahui rencananya.

“Aku tidak pernah mengganggu mereka atau perbuatan-perbuatan lain yang dapat menimbulkan kecurigaan mereka” berkata Ki Dukut kepada diri sendiri.

Namun kemudian Ki Dukut pun menggeram, “Pemimpin padepokan itu pernah aku bawa ke padepokan Ki Kasang Jati. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa. Bahkan orang itu telah berkhianat”

Tiba-tiba saja dendam Ki Dukut telah bergejolak di dalam hatinya. Apabila pemimpin padepokan itu mengetahui bahwa yang memimpin sekelompok orang yang sedang menempa diri di tempat terpencil itu adalah Ki Dukut, maka mungkin sekali ia telah mempersiapkan diri.

“Bukan salahku” berkata Ki Dukut, “orang itu telah menantang agar aku bertindak atas mereka. Perbuatan mereka benar- benar telah menggugah dendamku kepadanya. Sebenarnya aku tidak akan menghiraukannya lagi, karena orang itu tidak lebih dari tikus celurut yang tidak tahu diri”

Ki Dukut pun kemudian telah memanggil pengawalnya yang setia, yang mengikutinya dari satu tempat ke tempat yang lain. p>

“Selesaikan saja padepokan kecil yang berisi orang-orang gila itu” berkata Ki Dukut, “mereka mencoba menantang aku, seakan-akan mereka memiliki kekuatan yang cukup untuk membendung dendam dan kemarahanku”

Pengawalnya pun mengangguk-angguk, meskipun ia masih bertanya, “Apakah aku pergi sendiri bersama para pengikut yang lain?”

“Bawalah sebagian besar dari orang-orang yang telah menempa diri ini. Hancurkan saja padepokan itu dari pada akan dapat menimbulkan persoalan di hari depan. Agaknya aku tidak perlu ikut bersamamu. Padepokan itu hanya akan mengotori tanganku saja jika aku pergi bersamamu”

Pengikutnya yang setia itupun kemudian mempersiapkan sepasukan laskarnya yang telah


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Latest Images

<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>